Friday 25 June 2010

Demokrasi Kaburkan Arah Langkah Indonesia

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Sebenarnya, istilah demokrasi tanpa embel-embel bukanlah istilah resmi. Tak pernah pemerintah menyatakan istilah ini. Istilah ini diambil dari pernyataan Amien Rais, Lokomotif Reformasi, yang menginginkan sebuah sistem politik demokrasi yang bukan terpimpin dan bukan Pancasila.

Kejatuhan Soeharto yang telah berkuasa selama kurang lebih 32 tahun disyukuri banyak pihak, terutama para pejuang reformasi. Mereka memang sudah bosan dengan Soeharto. Rakyat seluruhnya sulit berkembang secara mandiri. Semuanya bisa dikatakan terpusat. Seorang yang pandai akan tampak pandai jika pemerintah memberikan kesempatan padanya untuk berkembang. Akan tetapi, jika kesempatan itu tidak dibuka, jadilah dia orang pandai yang merugi, hidup tak ubahnya sebagaimana masyarakat lain yang kepandaiannya jauh di bawah dia. Seorang yang bodoh akan tampak pandai jika pemerintah memfasilitasinya. Sebaliknya, seorang bodoh hanya akan menjadi mainan jika pemerintah sama sekali tidak memperhatikannya.

Pada era ini yang juga dikenal sebagai era reformasi, rakyat dilepaskan benar-benar untuk berpikir, berpendapat, dan menjatuhkan pilihannya sesuai selera masing-masing. Parpol dibiarkan berdiri sebanyak mungkin untuk bisa menampung aspirasi rakyat seluruhnya. Namun, untuk bisa menjadi peserta Pemilu tentu diatur dengan cermat agar Parpol yang ada betul-betul serius, bukan jadi-jadian akibat ephoria reformasi.

Selintas rakyat berharap banyak dari sistem politik yang baru dibangun ini. Dengan jatuhnya Soeharto, berarti jatuh pula Orde Baru. Selanjutnya, setiap orang diperbolehkan berbicara menunjukkan aspirasinya. Harta-harta negara yang sebenarnya milik rakyat itu bisa benar-benar sampai kepada masyarakat di samping yang telah dikorupsi dapat diambil kembali untuk kepentingan bersama. Adapun para koruptor dapat dihukum seadil-adilnya. Masyarakat pun dapat memilih pemimpin sesuai dengan kehendak masing-masing. Dalam alam demokrasi, tentunya partai atau orang yang memiliki suara terbanyaklah yang boleh memimpin. Pengangkatan-pengangkatan dibatasi untuk kemudian dihilangkan sama sekali. Dengan demikian, kemakmuran lahir batin dapat tercipta.

Pada awal-awal reformasi yang menggusur Demokrasi Pancasila digembar-gemborkan lagi tentang kesuksesan Pemilu 1955. Pemilu itu benar-benar dianggap paling demokratis dan memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan banyak Parpol. Padahal, hasilnya, seperti yang disebutkan pada beberapa tulisan yang lalu di blog ini, PKI menjadi partai terkemuka di dunia dan memperkuat gagasan Nasakom yang ujung-ujungnya G-30-S. Selanjutnya, negeri ini jadi sibuk sendiri, runyam sendiri, dan kusut samut.

Dimulailah praktik demokrasi dalam rangka trial and error, ‘coba-coba’, sebagaimana yang sering diungkapkan Amien Rais dan Nurcholish Madjid selepas Demokrasi Pancasila.

Dengan mencontoh kebesaran Pemilu 1955, hampir pula terjadi keburukan yang sama, yaitu jatuh bangun kabinet. Pada masa ini terjadi jatuh bangun presiden. Habibie hanya dua bulan, diganti Gus Dur setengah main, sisa waktunya diganti Megawati. Beruntung hanya sampai di situ, tidak keterusan. Orang bisa berkilah macam-macam dengan kejadian ini, namun ini terjadi meskipun dengan alasan yang logis. Dulu juga sama, ketika jatuh bangun kabinet, alasannya logis-logis.

Habibie yang menggantikan Soeharto mampu dengan baik mengantarkan negeri ini ke gerbang Pemilu yang demokratis sangat adil. Pemilu 1999 tersebut diikuti oleh 48 partai. Hasilnya, hanya 21 partai yang mendapatkan kursi di DPR RI. PDI Perjuangan menjadi pemenang, tetapi tidak mutlak. Golkar mampu mengimbanginya.

Hasil tersebut mengecewakan banyak pihak. Partai-partai yang diisi oleh banyak intelektual, orang-orang cerdas, dan punya ghirah Islam tinggi tidak punya suara yang signifikan. Jauh di bawah kedua partai besar yang sudah lama besar sejak lama itu.

Tak urung Amien Rais pun yang getol mendorong Pemilu ini mengungkapkan kekecewaannya. Menurutnya, rakyat Indonesia belum cukup pintar untuk mengerti arti sebuah arti demokrasi di negara yang sebesar Indonesia ini (Inu Kencana Syafiie, Azhari: 2002).

Sudah dapat dibayangkan dan memang sudah pula menjadi kenyataan bahwa negeri ini kesulitan untuk mengadili para koruptor, menghentikan laju korupsi, menjerat para penjahat kemanusiaan, memiliki pemerintah yang berwibawa, menggali potensi sumber daya untuk kemakmuran negeri. Rakyat harus bersabar, entah sampai kapan.

Hasil Pemilu 1999 mengantarkan Abdurahman Wahid menjadi Presiden. Banyak perubahan dalam masa kepemimpinannya. Ia pun berhasil melemahkan TNI/Polri dan mendudukkannya di tempat yang semestinya, tidak ikut-ikutan lagi politik. Karena dipandang kontroversial, ia diturunkan. Sisa waktunya dihabiskan Megawati yang memang menjabat sebagai wakilnya.

Pada masa ini kentara sekali kedekatan dengan kapitalis Amerika. Kalau Soekarno dulu menolak Amerika dan menghardiknya dengan kata-kata Nekolim. Megawati, puterinya, tampak akur dengan Amerika. Amerika pun tampak senang karena punya banyak kepentingan di Indonesia. Dengan tenang Freeport, Mc Moran, Exxon Mobil, Chevron, dan lain-lain memperkaya dirinya.

Di samping itu, tim ekonomi Indonesia tunduk patuh sendiko dawuh kepada IFIs (International Financial Institutions). Privatisasi menjadi kultus globalisasi yang sangat merusakkan kekuatan ekonomi negara serta lebih menguntungkan investor dan pelaku keuangan asing. Kasus listing Telkom di NYSE, Semen Gresik, dan Indosat adalah contohnya (Amien Rais: 2008).

Rakyat sudah mulai pupus harapan. Banyak di antara mereka kebingungan dan kecewa, milih ini salah, milih itu salah. Rakyat mulai skeptis dengan Pemilu. Ukurannya bisa dilihat dengan angka Golput yang semakin tinggi.

Namun, sebagaimana keyakinan yang tinggi bahwa demokrasi akan membuat bangsa ini menjadi lebih maju, rakyat dibesarkan harapannya dengan akan adanya Pemilu berikutnya yang pengennya menghasilkan pemimpin-pemimpin adil dan mampu menjadikan Indonesia ke arah lebih baik.

Pemilu pun digelar. Hasilnya, tidak beda-beda amat. Perbedaan yang mencolok adalah dilangsungkannya pemilihan presiden dan wakilnya secara langsung oleh rakyat, one man one vote. Rakyat punya harapan besar. Dari seluruh calon presiden, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kala yang terpilih mengalahkan saingannya. Bahkan, Amien Rais yang berpasangan dengan Siswono mendapatkan suara yang kecil.

Dengan hadirnya mantan militer & pengusaha, sebagai pemimpin puncak eksekutif, rakyat berharap Indonesia dapat lebih jelas menapaki masa depan. Buktinya, sekarang hidup tambah susah. Tidak perlu dengan angka-angka, cukup lihat itu yang makan nasi aking, makanan kadaluarsa, BBM naik, kasus bunuh diri, gas langka, kriminalitas meningkat, Narkoba merajalela, korupsi makin menjalar, penyelundupan tak henti-henti, ilegal loging jadi trendi, tak jelas mau ke mana negeri ini.

Pengaruh kekuatan asing semakin jelas pada masa ini. Kekuatan asing itu mencengkeram Indonesia sehingga tak juga mampu mengatasi krisis yang berkepanjangan ini. Bukan saja dalam bidang ekonomi, melainkan pula bidang luar negeri, diplomasi, dan Hankam di bawah kontrol asing. Pengelolaan hutan, Migas, sumber laut, telekomunikasi, kerja sama pertahanan, supermarket, perbankan nasional, tenaga listrik, tenaga nuklir, pertanian, pendidikan, dan pengelolaan lain-lainnya rata-rata menguntungkan pihak asing. Sementara itu, rakyat kita melarat hampir sekarat, bahkan ada yang sedang sekarat karena lapar.

Itulah hasil dari demokrasi. Orang bisa bilang bahwa bukan demokrasi yang salah, melainkan orang-orangnya yang salah. Orang-orangnya itu siapa? Siapa yang salah? Pemimpin dan pejabat terpilih? Rakyat? Penyelenggara?

Orang bisa bilang Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila sebenarnya tidak ada demokrasi, semuanya otoriter. Lalu, demokrasi pra-Terpimpin apa hasilnya? Jatuh bangun kabinet, perdebatan tak berujung, persaingan perebutan kekuasaan, pertunjukkan hidup mewah oleh parlemen, suhu politik terus memanas. Pemilu 1955 yang menghasilkan PKI itu tak bertahan lama, terbentur RIS yang tidak laku dan tentunya tak menyelesaikan pekerjaannya dengan baik.

Tak pernahkah kita berpikir bahwa melepaskan masyarakat Indonesia yang sebenarnya harus dituntun, diayomi, dilindungi, dikasihi, dan dicintai sama dengan menyerahkannya ke pangkuan anak buah Dajjal dan Iblis?

Dengan dibiarkannya rakyat Indonesia mendirikan berbagai macam partai warna-warni, Dajjal dan Iblis beserta anak buahnya dengan lebih leluasa untuk meluaskan pengaruhnya. Dari seluruh partai yang terbentuk, yakinkah kita bahwa itu adalah aspirasi murni masyarakat, bukan pesanan pihak asing?

Kebebasan yang begitu membahana bisa membuat bebas pula pihak-pihak asing mendirikan partai dengan tujuan bermacam-macam. Mereka bisa menggunakan jaringan dan dananya yang kuat di dalam negeri untuk mendirikan partai dengan harapan bisa menang. Kalaupun tidak menang, minimal bisa memecahkan suara. Pihak asing yang saya sebut itu adalah bisa kapitalis, bisa pula komunis. Di samping mendirikan partai, bisa pula mereka mendirikan LSM-LSM atau membiayainya untuk kepentingan mereka sendiri.

Bukan hanya mendirikan partai yang mungkin mampu mereka lakukan, melainkan pula memberi sokongan dana dan jaringannnya untuk partai-partai yang sedang manggung di Indonesia. Jika partai yang didanainya menang, mereka akan meminta bagian atas jasa-jasanya. Demikian pula dengan pemilihan presiden atau kepala daerah. Karena calon-calon pemimpin ini sudah kebelet ingin menang, tetapi butuh dana besar untuk proses demokrasi, bisa saja menggadaikan harga dirinya sendiri dan harga diri bangsa kepada pihak asing. Jika menang, pantas saja banyak sumber daya atau aset-aset Indonesia yang dikuasai pihak luar dan dinikmati oleh pemenang itu dengan konco-konconya. Rakyat biarlah untuk sementara dipending dulu. Yang paling urgen dilaksanakan adalah pembagian hasil jerih payah selama kampanye kemarin-kemarin.

Belum lagi syetan-syetan halus yang membisiki ke dalam dada agar terus tamak, melakukan aksi tipu-tipu, dan sebagainya. Rakyat biarlah sedikit menderita, hitung-hitung mengurangi jumlah penduduk agar tak terlalu banyak beban. Bukankah harus ada yang menderita agar yang lain bisa bahagia, harus ada yang menangis agar ada yang bisa tertawa, harus ada yang miskin agar yang lain bisa kaya, harus ada yang menanggung beban agar yang lain bisa hidup ringan, harus ada yang mati agar yang lain bisa hidup, harus ada yang lapar agar ada yang bisa kenyang, harus ada yang sedih agar yang lain bisa gembira, dan harus ada yang sakit agar yang lain bisa sehat? Iya kan? Iya benar begitu kalau kita adalah bangsawan Eropa masa lalu. Masa kini juga tidak beda-beda amat. Agar mereka bisa senang, negara lain yang harus jadi sasaran penderitaan.

Bukan cuma pihak asing yang bisa melakukan itu semua, para koruptor dan orang-orang bermasalah di dalam negeri pun mampu melakukannya. Mereka berharap masalahnya dapat diselesaikan secara politis yang tentunya lebih mengenakan dan uangnya tak perlu dikembalikan kepada negara kan sudah digunakan untuk membantu kampanye partai.

Jika mau, keburukan-keburukan demokrasi bisa ditulis dalam berbab-bab dan berbuku-buku.

Demokrasi Runyamkan Indonesia saat Orde Baru

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Isu yang digunakan untuk menjatuhkan Soekarno di samping terlibat malam G-30-S, juga dianggap menyeleweng dari UUD 1945 dan tidak demokratis. Tak heran jika pada pasca-Soekarno, mengemuka isu melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekwen di samping tentunya melaksanakan demokrasi. Demokrasi yang diusung pada masa ini adalah Demokrasi Pancasila.

Kita bersyukur komunis telah dilarang di negeri ini. Itu artinya salah satu alat Dajjal dan Iblis telah minimal diharamkan ada meskipun pasti tetap ada di bawah tanah. Komunis memang sudah kesurupan syetan. Awalnya sih, tidak begitu, sebagaimana yang diajarkan Soekarno untuk menyatukan kaum Islam dan komunis. Soekarno mengatakan bahwa perselisihan faham antara komunis dan Islam adalah karena kebodohan dan ketololan. Ia memaparkan bahwa komunis hanyalah reaksi dari aksi-aksi yang dijalankan kaum kapitalis, kaum kemodalan yang besar usaha. Para pemilik modal itu tak cukup puas dengan hasil yang didapatnya. Mereka pun merampas hak-hak yang seharusnya diberikan kepada kaum buruh, kaum pekerja. Perampasan itu mengakibatkan kaum proletar bangkit dan marah, lalu mengadakan perlawanan. Mereka menuduh bahwa para pengusaha itu menjadi kaya raya karena banyak hak buruh yang tidak diberikan. Perlawanan yang dikenal dengan ajaran komunisme ini menjadi besar, membengkak dengan sangat cepat dan kuat. Hal itu tentu saja membuat para pemilik modal cemas. Untuk mengantisipasinya, salah satu caranya adalah menggunakan pendeta-pendeta gereja yang korup untuk tak henti-hentinya menuding komunis itu anti-Tuhan, atheis. Gereja yang dipandang sebagai wakil Tuhan bidang spiritual di muka Bumi telah membuat komunis marah. Di situlah mulainya komunis melawan agama gereja dan anti kepada Tuhan. Tampaknya, mereka yang miskin itu tak mendapat pertolongan dari kaum gereja, malah mendapat tekanan yang kuat. Mereka pun menganggap agama adalah candu. Kebodohan orang komunis adalah menimpakan pula permusuhan itu kepada kaum Islam, padahal Islam berbeda jauh dengan pendeta-pendeta korup itu. Islam adalah agama yang mengajarkan harus membela kaum miskin, membela kaum yang lemah, saling tolong menolong, saling mengasihi, tidak boleh menumpuk-numpuk harta, dilarang memakan riba. Akan tetapi, kaum Islam pada saat yang sama berpikiran pula seperti yang disuarakan oleh gereja korup itu, yaitu komunis adalah anti-Tuhan tanpa melihat sebab-sebabnya terlebih dahulu. Pendeknya, sudah sempurnalah perselisihan faham. Selanjutnya, ia berharap Islam dan Marxis bisa berdamai dengan satu tujuan, memerangi kapitalisme, imperialisme, dan neokolonialisme.

Setelah PKI hancur meskipun dengan cara-cara biadab, komunis kehilangan keberaniannya. Artinya, kapitalis menang.

Mungkin di antara pembaca ada yang bertanya, kalau komunis itu syetan karena tidak mempercayai Tuhan, kapitalis adalah pihak yang benar?

Jawaban saya adalah kedua-duanya sama alat Dajjal dan Iblis untuk menyesatkan dan menghancurkan manusia dari jalan Allah swt.

Muncul lagi pertanyaan, bagaimana mungkin keduanya alat syetan? Masa iya syetan mengadu domba pengikutnya sendiri sehingga salah satunya hancur? Rugi dong syetan karena salah satu alatnya hancur di Indonesia?

Bagi Dajjal dan Iblis tak ada untungnya mau hancur salah satu atau kedua-duanya. Mereka berdua tidak sedang berbisnis. Mereka bertujuan untuk menjauhkan manusia dari jalan kebenaran. Mereka tidak senang jika manusia hidup rukun, damai, harmonis, serasi, dan penuh cinta kasih. Saling bunuh dan saling serang tanpa alasan yang jelas adalah tontonan mengasyikan bagi mereka.

Setelah runtuhnya kekuasaan Soekarno, tak heran jika lawan-lawan politik PKI bergembira ria, terutama kapitalis. Jangan pula heran jika Indonesia banyak dikucuri dana pinjaman oleh pihak asing kapitalis. Dewi Soekarno atau Naoko Nemoto, istri Soekarno dari Jepang, pernah menuturkan bahwa setelah suaminya itu jatuh, banyak dana luar negeri masuk kepada Soeharto. Amerika memberi Soeharto dan jenderal-jenderalnya uang. PM Sato dari Jepang mengucurkan 6 juta yen untuk Soeharto dan Sofyan Wanandi melalui Duta Besar Siso Saito.

Demi Allah yang menguasai jagat raya! Jika bantuan-bantuan asing yang diberikan kepada Soeharto dan lawan-lawan politik PKI adalah bayaran atas hasil kerja membantai orang-orang PKI dan menjatuhkan Soekarno, kita sama saja telah dipimpin oleh orang-orang yang tidak lebih mulia dibandingkan preman jalanan, orang sewaan, cuma tukang pukul dan pembunuh bayaran.

Demi Allah, mudah-mudahan bukan itu yang terjadi, melainkan upaya pemerintah Orde Baru untuk membangun bangsa Indonesia. Bantuan-bantuan itu bukanlah bayaran, melainkan dana yang benar-benar dipergunakan untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Mudah-mudahan. Kita memang berharap seperti itu.

Pada masa Orde baru memang ekonomi menjadi perhatian yang penting. Dana-dana bantuan itu dipergunakan untuk membangun berbagai bidang. Kita bisa menyaksikan pada awal 90-an muncul orang-orang kaya baru yang telah ikut menikmati bantuan-bantuan itu. Oleh sebab itu, ketika masa reformasi dimulai dengan penuh kesulitan ekonomi, banyak orang yang menginginkan kembali ke zaman Orde Baru. Padahal, saat itu tak ubahnya kita nasabah yang pinjam uang ke bank. Uang pinjaman itu digunakan untuk membeli kendaraan mewah, baju bagus, pesiar, beli ini-beli itu sehingga tampak seperti orang makmur, padahal uang itu harus dikembalikan karena cuma hutang. Hutang pinjaman itu diperoleh dengan menggadaikan aset-aset yang ada, yaitu sumber daya alam dan rakyatnya sekaligus. Ketika hutang tak mampu kita kembalikan, negara-negara yang memberi pinjaman itu dengan gampang menekuk leher kita, mau dari belakang atau dari depan.

Dalam hal politik, sebagaimana retorika politik yang telah disuarakan untuk melawan Soekarno adalah melaksanakan demokrasi, Orde Baru pun mulai merancangnya. Untuk menyelenggarakan pesta demokrasi, sejak awal sudah terjadi teror. Tentara ingin pemenang Pemilu adalah pihak yang pro-Soeharto dan dekat dengan tentara. Untuk mewujudkan keinginan itu, digaraplah PNI dan Masjumi agar menjadi partai yang lemah. Hasilnya, memang kedua partai itu rusak.

Orang-orang yang masih setia kepada Bung Karno diintimidasi, pegawai negeri digiring untuk memilih Golkar. Sisa-sisa PKI pun sudah tentu dipaksa memilih Golkar. Golkar pun menang berturut-turut.

Untuk mempermudah pengawasan Parpol, dilakukan fusi dari sekian banyak partai menjadi dua partai dan satu Golkar. Ini agak mirip dengan negeri kapitalis Amerika yang hanya mengizinkan dua partai, Republik dan Demokrat.

Golkar yang menang berturut-turut mengantarkan pula Soeharto menjadi presiden berturut-turut. Penggiringan, pemaksaan suara, dan pengangkatan anggota di lembaga konstitutif merupakan strategi jitu di alam Demokrasi Pancasila.

Pemilu yang tidak fair play ini menambah kepongahan dan kerakusan penguasa, baik dalam mempertahankan kedudukan maupun dalam menambah harta benda.

Tentara yang biasanya berada bersama rakyat terbius pula nikmatnya Demokrasi Pancasila. Dwifungsi ABRI yang berkembang menjadi kekaryaan menjadikan ABRI hadir di semua sektor kehidupan berbangsa bernegara. Mereka tidak lagi seperti dulu berjuang bersama rakyat, tetapi petantang-petenteng di depan rakyat. Bahkan, rakyat banyak yang takut, tidak lagi merasa aman.

ABRI sepertinya harus selalu menjadi menteri, legislatif, gubernur, walikota, bupati, camat, bahkan sampai RT. Bukan hanya itu, jika ada perselisihan antara ABRI dan rakyat, pasti ABRI yang harus menang meskipun salah. Yang lebih aneh adalah ketika itu dengan gampangnya ABRI menuduh seseorang atau suatu pihak dengan cap PKI. Segala-gala PKI, padahal bukankah PKI sudah sejak dulu dibubarkan? Keterlaluan ada seorang anggota Paskibraka yang masih SMP kesiangan dituding PKI. Tukang becak, PKL, sopir truk yang protes pun mendapat cap yang sama, PKI.

Golkar Sang Penguasa tunggal semakin angkuh seolah-olah tak terjamah hukum. Mereka memang menganggap semua bisa diselesaikan secara politis meskipun sedang terlibat kasus hukum.

PDI yang telah memilih Megawati menjadi ketua umum diacak-acak dan diberantemkan dengan Suryadi. Kantornya diserang hingga menimbulkan korban jiwa. Belum lagi pembunuhan, penculikan, penganiayaan para aktivis yang kontrapemerintah menghiasi kehidupan sehari-hari. Itu semua dijalankan dalam kerangka Demokrasi Pancasila.

Rakyat hanya menjadi penonton dan objek menderita dari kekuasaan. Ketidakadilan ekonomi dan politik membuat hidup rakyat menjadi susah.

Jika diuraikan di sini betapa mencekamnya kehidupan saat itu, pasti membutuhkan ribuan lembar kertas. Untuk kasus kerusuhan 12 – 13 Mei 1998 saja yang mengandung berbagai peristiwa, misalnya, pembunuhan dan pemerkosaan, sudah bisa jadi sebuah judul buku tersendiri.


Pinjaman Asing
Sudah menjadi rahasia umum bila negeri-negeri kapitalis memberikan bantuan, pasti ada maunya. Pasti ada imbalan yang harus diberikan negara peminjam. Imbalan tersebut tentu saja bunga yang harus dibayar ditambah pesanan-pesanan lain, baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, maupun yang lainnya. Bagi mereka, dikenal istilah no free lunch, ‘tak ada makan siang gratis’. Semuanya harus dihitung untung rugi dan mereka pasti ingin untung. Tekanan terhadap negara lain itu akan semakin kuat apabila negera peminjam itu benar-benar sangat terdesak. Hal itu dimanfaatkan oleh negara-negara kaya untuk mencengkeram negara lemah tersebut.

Indonesia yang telah membuat lega dada para kapitalis dengan hancurnya PKI, tentu saja diberi berbagai kemudahan untuk mendapatkan pinjaman. Hal itu sangat terasa pada masa awal-awal Orde Baru. Pembangunan di segala sektor digiatkan. Akan tetapi, para kapitalis pun tidak mau begitu saja. Mereka tentunya meminta jaminan agar kepentingannya di Indonesia bisa terus terjaga dan mendapatkan untung. Di samping itu, mereka pun bukan tak mungkin meminta bagian untuk menguasai beberapa hal dalam bidang ekonomi, misalnya, sumber daya alam, industri, atau pasar bagi barang produksinya. Oleh sebab itu, tak heran jika banyak sekali sumber-sumber daya alam yang dikuasai pihak asing dan untungnya pun sebagian besar dinikmati mereka, bukan rakyat Indonesia. Rakyat cukup diberi sumbangan sekadarnya.

Di samping banyak sumber produksi yang dikuasai pihak asing, Indonesia pun dirugikan oleh adanya perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme yang terjadi di kalangan penyelenggara negara. Keuntungan, dana, serta hasil-hasil yang semestinya menetes ke rakyat kecil, ternyata mandek di tingkat elite dan segelintir pengusaha. Terjadinya konglomerasi adalah bukti bahwa negeri ini sudah mulai terbiasa dengan cara-cara hidup yang kapitalistis. Modal-modal dikuasi oleh sekelompok kecil manusia. Adapun rakyat cukup hanya menonton dan rebutan sisa uang yang tak seberapa.

Semakin lama semakin dalam merasuk budaya KKN ini sehingga hampir bisa dibilang tak ada satu tempat pun yang bersih dari KKN. Akibatnya, kesenjangan ekonomi sangat tampak. Sementara itu, para negeri kapitalis mendiamkan saja karena toh mereka tak rugi apa pun dengan perilaku KKN di Indonesia. Mereka bahkan bisa ikut memanfaatkan situasi itu untuk kepentingannya sendiri. Hutang Indonesia yang semakin menumpuk menggunung menjadi alat pula bagi mereka untuk memaksakan keinginannya kepada Indonesia.

Hutang luar negeri yang sangat besar dan perilaku KKN para elit membuat negeri ini jadi sangat lemah di berbagai bidang. Kita semua hampir lupa diri.


Akhir Hayat Orde Baru
Demokrasi Pancasila lebih mengerikan dibandingkan dengan Demokrasi Terpimpin. Orang bisa tiba-tiba hilang, mati, gila karena berbeda pendapat dengan pemerintah. Orang baik-baik bisa jadi tampak jahat karena disebut jahat oleh pemerintah. Orang jahat bisa jadi berjasa karena disebut pahlawan oleh pemerintah.

Orang bisa bilang bahwa zaman Orde Baru sebenarnya tak ada demokrasi atau demokrasi semu. Sesungguhnya, justru terjadi demokrasi, yaitu demokrasi seperti itu. Toh, wajar partai pemenang Pemilu mempertahankan diri untuk menang terus. Yang namanya demokrasi itu mempersilakan partai untuk menggunakan seluruh kemampuannya agar bisa menang sesuai aturan yang ditetapkan. Saat itu partai yang berkuasa adalah partai yang memiliki banyak akses untuk membuat aturan dan mempunyai kekuatan berlebih untuk menjadi pemenang. Sudah barang tentu partai itu akan membuat aturan yang memudahkan dirinya untuk menang. Partai apa pun akan selalu menggunakan kekuatannya, dari yang terbesar sampai yang terkecil agar bisa menang. Soal aksi tipu-tipu, janji palsu, money politics, publikasi diri besar-besaran, penggiringan massa, kerja sama, serta tawar menawar kepentingan dengan pemilik uang dan pejabat, itu adalah hal yang biasa terjadi dalam alam demokrasi. Hal itu merupakan suatu modal juga untuk mempengaruhi massa pemilih. Bukankah semuanya ingin menang? Semuanya ingin berkuasa? Di mana moral? Moral dan etika ada dalam mulutnya para Jurkam, dalam aturan-aturan tertulis, dalam catatan sejarah, di media-media massa yang sudah pasti banyak dilanggar.

Kejatuhan Soeharto sesungguhnya berawal dari banyaknya ketimpangan di masyarakat. Masyarakat merasa diperlakukan tidak adil, serba takut, serba terkekang. Seandainya Soeharto mampu menjamin keadilan ekonomi, politik, hukum, keamanan, kebebasan berpendapat, beribadat, budaya, pendidikan, kesempatan untuk mengembangkan diri sesuai potensinya masing-masing, dan lain sebagainya, saya yakin haqul yaqin, masyarakat tidak peduli mau sampai kapan dia berkuasa. Masyarakat akan merasa diayomi, dilindungi, dihargai, dan didorong untuk berkembang. Rakyat memiliki “ayah” yang dibanggakan dan dicintai. Rakyat akan merasa kehilangan jika dia tiada.

Kenyataannya, tidak seperti itu. Terjadi banyak penyelewengan.

Memang penyelewengan yang terjadi tidak mencolok di mata rakyat, hanya warga negara yang kritis yang benar-benar sadar terhadap penyelewengan Orde Baru. Pemerintah Orde Baru memanfaatkan Pancasila untuk meminggirkan orang-orang yang dianggap tidak loyal kepada kekuasaan. Setiap kali ada kelompok ‘radikal’—demikian pemerintah Orde Baru menyebut kelompok yang vokal terhadap pemerintah—selalu dicap pembelot, anti pembangunan, dan anti Pancasila. Tidak konsekwennya Orde Baru melaksanakan nilai-nilai Pancasila terlihat begitu nyata. Misalnya, sila Keadilan Sosial diganti dengan kapitalisme, sila Kerakyatan diganti dengan otoritarianisme, sila Persatuan diganti dengan militerisme, sila Kemanusiaan diganti dengan kekerasan politik. Hanya sila Ketuhanan yang tak tersentuh substansinya karena ada rekayasa khotbah yang bersifat prosedural.

Digantikannya sila Keadilan Sosial oleh kapitalisme yang jelas melanggar Pasal 33 UUD ’45 tampak dalam banyak hal. Umpamanya saja, pembangunan nasional at all cost, pembentukan kroni di sekitar presiden, maraknya konglomerasi, suburnya tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), pemberian hak pengusahaan hutan (HPH) kepada para konglomerat, kontrak-kontrak karya di bidang pertambangan dengan perusahaan asing yang penuh persekongkolan, pemberian hak monopoli kepada kroni-kroni presiden berkuasa (pengapalan minyak dan gas, perniagaan cengkeh, minuman keras, berbagai tender), serta keluarnya berbagai Keppres untuk memperkaya keluarga presiden.

Tergantikannya sila Kerakyatan oleh otoritarianisme pun tampak jelas. Contohnya, diberlakukakannya monoloyalitas bagi pegawai negeri sipil (PNS), lumpuhnya peran MPR/DPR, intervensi eksekutif yang kelewat batas pada institusi pengadilan, tuduhan PKI, tuduhan anti-Pancasila, stigma ekstrem kanan dan ekstrem kiri, dan berbagai tuduhan pembentukan Negara Islam.

Hal yang sama terjadi pula dengan sila Persatuan yang digantikan militerisme. Pada saat Orde baru berkuasa, kekuasaan unsur militer terhadap sipil begitu terlihat sangat dominan. Militer menguasai semua lembaga dalam masyarakat, mulai pemerintahan, bisnis, hingga politik. Misalnya, pembentukan dinas-dinas intelijen untuk memata-matai rakyat, pembentukan Bakorstranas dan Bakorstranasda, pengaruh militer yang amat dominan dalam banyak kegiatan yang bersifat bisnis sampai olah raga, dan berbagai tindakan represif. Sila Kemanusiaan digantikan oleh kekerasan politik berupa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di berbagai tempat, seperti, Aceh, Tanjung Priok, Lampung, Timor Timur, kasus Semanggi I dan II, kasus Trisakti, pembredelan media massa, izin pementasan, izin ceramah, izin penerbitan koran, serta berbagai sensor yang dilakukan pemerintah

Ndilalahnya, lebih dari itu, pemerintah Orde Baru selalu menafsirkan Pancasila secara subjektif semisal pengeramatan ‘keampuhan Pancasila’ atau ‘Pancasila Sakti’ mengesankan bahwa Pancasila adalah kekuatan yang mampu berdiri sendiri terlepas dari para pendukungnya, yaitu rakyat dan bangsa Indonesia. Tafsir tunggal terlihat dengan dilaksanakannya Pancasila (P-4). Tanpa melihat fakta sosial, pemerintah Orde Baru telah memaksakan azas tunggal atas partai dan organisasi massa (R. Soeprapto: 2004).

Berbagai bentuk penyelewengan itu diakibatkan di samping Soeharto memang diduga keras sebagai seorang pembohong dan penyelundup serta tamak harta dan kekuasaan, juga karena demokrasi. Negeri ini harus secara reguler melaksanakan Pemilu. Ia dan konco-konconya tetap ingin menang. Untuk menang, jelas butuh biaya banyak dan simpul-simpul massa yang sangat kuat. Sudah merupakan hal yang wajar jika seseorang atau partai ingin menang harus mempersiapkan banyak hal. Apa pun akan dilakukannya, yang penting harus menang. Di samping itu, untuk mengukuhkan kemenangannya, harus pula punya tangan-tangan yang mampu mempengaruhi massa, baik legal maupun tidak.

Soeharto tak ingin kalah meskipun sejak dulu sudah menggarap partai-partai saingannya, baik secara halal maupun tidak. Partai boleh sedikit. Kontrol ketat dijalankan. Tuduhan PKI, subversif, dan ekstrem diobral. Akan tetapi, semua tak juga menenangkan dirinya. Ia ingin selalu merasa aman dalam memenangkan Pemilu di alam Demokrasi Pancasila.

Berbagai ketidakadilan yang diakibatkan perilaku Orde Baru membuat rakyat marah dan muak. Rakyat yang tadinya diam saja bergerak bersama elemen bangsa yang lain. Akibatnya, Soeharto jatuh.

Bagaimana dengan kapitalis? Dengan jatuhnya Soeharto, mereka pasti rugi. Bukankah Soeharto dekat dengan kapitalis? Bukankah negeri-negeri itu sempat diuntungkan karena ikut menikmati pula kekayaan alam Indonesia?

Negeri-negeri itu mungkin tak lagi berminat untuk membela Soeharto. Ia toh sudah sepuh dan banyak sekali lawan politiknya. Lawan-lawannya ini semakin hari semakin kuat. Ada dugaan bahwa negeri-negeri itu pun ikut serta dalam penggulingan Soeharto. Mereka lebih suka mencari penggantinya yang lebih muda dan tentunya bisa diatur. Dalam awal masa reformasi koran-koran menyebutkan banyak pihak yang dibiayai oleh Amerika untuk menjatuhkan Soeharto. Pihak-pihak yang dituding itu ada yang protes keras karena tidak merasa, tetapi ada pula yang tenang diam saja. Kita boleh menyimpulkannya sendiri.

Saturday 19 June 2010

Demokrasi Merusakkan Bangsa pada Orde Lama

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Sampai hari ini, sejak proklamasi, Indonesia telah mengalami empat demokrasi dengan cirinya masing-masing, yaitu: Demokrasi Pascakemerdekaan, Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila, dan Demokrasi tanpa Embel-embel. Dari pelaksanaan keempatnya, yang kita dapati adalah kekacauan, kesemrawutan, kegoncangan, dan kesulitan hidup. Kini lebih parah lagi, hidup nyaris tanpa harapan masa depan.

Dalam catatan sejarah, masa-masa keemasan Indonesia adalah ketika sebelum penjajahan. Adapun penjajahan adalah masa-masa perusakan. Masa kemerdekaan sampai sekarang merupakan zaman pencarian jalan menemukan kejayaan masa kini dan masa depan.

Sebelum proklamasi kemerdekaan atau dalam masa revolusi fisik memang terdapat perbedaan di antara komponen bangsa. Akan tetapi, semuanya bisa diredam karena memiliki dan meyakini tujuan yang sama, yaitu mantera Merdeka! Semua pejuang, baik yang di medan tempur maupun di meja perundingan tekadnya sama dengan menyingkirkan perbedaan yang ada. Hasilnya, perjuangan itu sukses gemilang. Rakyat yang kata Soekarno sudah 100% menjadi rakyat kelas kambing karena telah hilang keyakinan dirinya ternyata mendapati dirinya teramat kuat dan gagah. Kesempatan emas untuk mengatur diri sendiri pintunya sudah dibuka lebar-lebar dengan adanya Proklamasi Kemerdekaan.

Semua gembira dan senang terlepas dari penjajahan fisik. Para founding father kita dalam situasi yang masih belum normal dan terburu-buru berhasil pula meletakkan dasar-dasar negeri ini.

Untuk menjalankan roda politik negeri, dibentuklah partai-partai. Pembentukan itu tampaknya karena memang Pascaperang Dunia II demokrasi dianggap sebagai sistem politik terbaik oleh hampir semua pemimpin negara. Di samping itu, para pemimpin kita pun banyak yang belajar di luar negeri yang jelas mengajarkan hal-hal seperti itu. Apalagi dengan keberhasilan Amerika yang mampu menempati posisi unggul dalam bidang ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, dan militer. Amerika adalah negara yang demokratis. Demokrasi Pascakemerdekaan pun mulai kelihatan lebih jelas.

Sebenarnya, pembentukan partai-partai itu tidak disukai Soekarno. Pengumuman pembentukan partai-partai tersebut bisa dikatakan tanpa sepengetahuan Soekarno. Awalnya, ketika Soekarno berada di luar kota, Syahrir dan Hatta yang sering bertengkar dengan Soekarno mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No. X pada 16 Oktober 1945. Maklumat tersebut memberikan kekuasaan legislatif kepada KNIP di samping membentuk Badan Pekerja untuk menjalankan tugas KNIP sehari-hari. Selanjutnya, pada 3 November 1945 Hatta mengeluarkan pengumuman pembentukan partai-partai.

Akibat dari pengumuman tersebut, bermunculanlah banyak partai sesuai dengan aspirasi masing-masing. Mulailah terjadi polarisasi yang tajam di antara partai-partai tersebut. Semua ingin mendapatkan jatah kekuasan dan kesempatan untuk menikmati kue kemerdekaan. Politisi bisa mengelak bahwa mereka sesungguhnya berjuang menginginkan kemajuan bagi Negara Indonesia, tidak untuk rebutan makanan. Kenyataannya, tidak seperti itu. Partai digunakan sebagai kendaraan untuk mencapai kursi kekuasaan karena memang seperti itulah yang seharusnya terjadi. Partai bukan Ormas, bukan pula lembaga derma. Untuk mencapai kursi kekuasaan di dalam alam demokrasi, jelas harus memperebutkan suara rakyat dengan menggunakan partai.

Persatuan, kebersamaan, rasa senasib dan sepenanggungan, keyakinan yang sama sudah terkikis oleh persaingan perebutan kekuasaan. Dari sini kita melihat bahwa partai-partai itu memang hidupnya selalu begitu, berupaya menonjolkan diri sebagai yang terbaik dan mempropagandakan partai saingannya sebagai partai yang lebih rendah daripada partainya.

Kecintaan pada duniawi, kekuasaan, serta tindak-tanduk dusta dan mengumbar janji palsu sudah jelas merupakan bagian dari program syetan untuk menyesatkan manusia.

Pada pertengahan November 1945 Badan Pekerja KNIP mengusulkan pembentukan kabinet yang bertanggung jawab kepada KNIP. Hatta menyetujui usulan tersebut dan memutuskan agar Syahrir membentuk kabinet yang baru. Pembentukan itu tentu saja mendapat tentangan dari kabinet lama. Ingat bahwa peristiwa itu terjadi ketika Soekarno tidak ada di Jakarta. Artinya, Hatta punya kekuasaan yang lebih leluasa untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan yang dikehendakinya.

Akibat dari pembentukan kabinet yang baru itu, selama dua hari Indonesia memiliki dua kelompok menteri yang masing-masing mengaku sebagai pemerintah yang resmi. Untuk memperoleh jalan keluar dari permasalahan tersebut, Soekarno diminta keputusannya. Dengan mempertimbangan keselamatan bangsa, Soekarno menerima dan menyetujui Kabinet Syahrir. Soekarno mampu berlapang dada meskipun keputusan itu membuatnya harus menjadikan dirinya sebagai presiden “pajangan” dari asalnya yang memiliki kekuasaan absolut.

Selama empat tahun perang kemerdekaan, peranan terpenting, baik sebagai administrator maupun sebagai negosiator dikuasai oleh Hatta dan Syahrir hingga Konferensi Meja Bundar (KMB) yang menjatuhkan RI menjadi RIS. Dalam KMB itu, 27 Desember 1949, Hatta mewakili RI. Setelah menjadi RIS, Hatta berkuasa sebagai perdana menteri.

Ternyata, hasil KMB itu sangat menggelisahkan rakyat Indonesia. Rakyat tidak menyukainya. Alhasil, rakyat memilih untuk kembali pada negara kesatuan. Artinya, hasil kerja Hatta yang berunding dengan Belanda, tidak laku, tidak tahan lama.

Pada 17 Agustus 1950 seluruh wilayah Indonesia Serikat menyatakan diri melebur ke dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peleburan tersebut terjadi tanpa paksaan senjata.

Mulai saat itu, sebagaimana diakui Hatta, sudah tak ada lagi yang namanya mitos Dwitunggal. Ia mulai surut dan memberikan fair chance kepada Soekarno untuk membuktikan apakah sistem pemerintahan yang diinginkan Soekarno akan sukses atau gagal.

Apabila dilihat dari sejarah Indonesia serta hubungan antara Soekarno dan Hatta yang diliputi penuh dengan pertengkaran, saya pikir sah-sah saja jika ada dugaan bahwa Hatta dipersilakan terlebih dahulu oleh Soekarno untuk membuktikan apakah sistem yang dibangunnya berhasil atau gagal. Soekarno memberikan keleluasaan kepada Hatta dengan cara merelakan dirinya sendiri menjadi presiden pajangan. Setelah uji coba kekuasaan Hatta terbentur RIS yang kemudian tidak disukai rakyat dan bangkrut, Soekarno mendapat giliran untuk membuktikan dirinya. Hatta pun tak lagi merecokinya, lalu memilih mundur teratur dari pemerintahan. Akan tetapi, sekali lagi, itu hanya dugaan yang sah.

Kembali pada partai-partai. Pertikaian-pertikaian di antara partai itu menjadi sebab pula tidak bertahannya kabinet-kabinet. Jatuh bangunnya kabinet-kabinet itu sudah tentu sangat merugikan. Bangsa ini tidak sempat membangun ekonomi dengan lancar dan mendidik rakyat agar cerdas karena penguasanya berganti-ganti dalam waktu yang teramat pendek.

Raja Syetan Manusia dan Raja Syetan Iblis tentunya senang dengan kericuhan itu. Mereka pasti terbahak-bahak melihat rakyat yang dulunya kuat bersatu mengusir kejahatan, kini berpencar-pencar, terbelah-belah, terkotak-kotak dalam biusan demokrasi.

Soekarno melihat kekacauan itu. Ia menyadari bahwa dengan menjamurnya partai, kondisi negeri tidak stabil. Dengan lugas dan tegas, ia mengecam partai-partai. Ia menginginkan adanya gotong royong antarelemen bangsa. Parlemen yang terdiri dari partai-partai itu di dalam pandangannya adalah lembaga yang tidak efektif karena terlalu lama mengambil keputusan. Lamanya pengambilan keputusan tersebut tentu karena terjadinya perdebatan-perdebatan di dalamnya.

Bukan hanya Soekarno yang tidak menyukai keberadaan partai, melainkan banyak pula lapisan masyarakat lain yang sama sekali tidak respek. Tentara adalah elemen yang tidak menyukai partai. Mereka memang sejak dulu kurang senang dengan berbagai perundingan dan perdebatan, termasuk diplomasi-diplomasi dengan pihak asing saat merebut atau mempertahankan kemerdekaan. Pihak tentara terkadang harus kecewa dengan hasil-hasil perundingan. Cendekiawan dan mahasiswa adalah kaum akademisi yang memiliki latar belakang pengetahuan sosial lebih baik dibandingkan masyarakat lainnya. Sesuai dengan disiplin ilmu dan intuisi masing-masing, mereka menganggap partai-partai itu berbahaya bagi kehidupan politik bangsa. Demikian pula golongan independen yang melihat partai hanya sebagai sarana tawar menawar kepentingan dan sarat dengan politik dagang sapi yang sudah tentu bisa membuat moral bangsa ini merosot.

Pihak-pihak yang secara sadar menolak Pemilu umumnya memiliki pemahaman hampir sama, yaitu meragukan manfaat dilaksanakan Pemilu. Bahkan, mereka melihat adanya risiko yang sangat besar dengan diselenggarakannya Pemilu. Saat kekacauan masih terjadi, gerombolan bersenjata merajalela, serta rakyat buta huruf sekaligus buta politik, tak ada gunanya Pemilu. Kalaupun Pemilu dilaksanakan, hasilnya hanya menguntungkan golongan-golongan tertentu yang posisi ekonomi dan politiknya memiliki pengaruh terbesar terhadap massa rakyat, baik dengan jalan legal maupun tidak legal.

Parlemen yang telah terbentuk dalam kondisi tidak normal menunjukkan tabiatnya yang mengecewakan masyarakat. Tak heran jika 17 Oktober 1952, lima ribu orang berdemonstrasi menuntut pembubaran parlemen. Mereka dengan membawa bendera merah putih serta spanduk-spanduk bertuliskan anti kabinet dan anti parlemen, menuduh bahwa DPR bukan wakil rakyat, melainkan Dewan Penipu Rakyat yang sukanya mementingkan kawan-kawannya sendiri, bukan rakyat. Kementerian pun diserang dengan kata-kata kasar.

Pihak tentara yang sudah banyak kecewa dengan kerja DPR disinyalir ikut menggerakkan massa untuk berdemonstrasi. Spekulasi ini tidak terlalu jauh meleset karena merupakan kesimpulan yang ditarik dari laporan resmi pemerintah berdasarkan dokumen utama Bisap (Biro Informasi Staf Angkatan Perang) sebagaimana di bawah ini.


Kol. Nasution : Kami minta kepada Presiden dapat menerima tentang adanya “keadaan bahaya” di seluruh Indonesia dan supaya Presiden dapat mengambil kekuasaan sebagai Panglima Tertinggi.

Presiden : Apakah Saudara-saudara menghendaki saya sebagai diktator?

Kol. Nasution : Jika Perlu.

Presiden : Jika saya menjadi diktator, bagaimana saya kalau memecat Saudara-saudara sekalian?


Dalam tanggapannya, Jenderal Nasution mengatakan bahwa dokumen itu palsu belaka. Namun, tidak mudah menghilangkan kesan bahwa Angkatan Darat terlibat dalam mengorganisasikan massa demonstran. Saat itu memang sudah ada konfrontasi antara militer dan parlemen. Militer secara terang-terangan mengungkapkan ketidakpuasan terhadap DPRS yang membuat kabinet tidak dapat bekerja. Oleh sebab itu, kestabilan tidak terjamin. Militer menuntut agar Presiden mengakhiri masa kerja DPRS dan membentuk DPR baru dengan memperhatikan kehendak rakyat (Daniel Dhakidae: 1986).

Mereka, baik sipil maupun militer sama sekali sudah tidak mempercayai kabinet dan parlemen yang ada. Mereka menuntut segera diselenggarakannya Pemilu.

Tuntutan itu mendorong Soekarno untuk segera menyelenggarakan Pemilu. Akan tetapi, karena tidak stabilnya kondisi politik, Pemilu pun tidak segera bisa dilangsungkan. Perlu tiga kali pergantian kabinet untuk bisa mengadakan Pemilu, yaitu Kabinet Wilopo, Kabinet Ali I, dan Kabinet Burhanuddin Harahap.

Kita bisa melihat bagaimana gonjang-ganjingnya politik seperti itu. Pemerintahan sangat lemah, mudah sekali dijatuhkan karena terlalu banyak kepentingan kelompok yang bersifat sesaat dan semu. Senjata yang digunakannya tentu saja isu Pemilu yang merupakan ciri khas demokrasi.

Selepas Pemilu 29 September 1955, ternyata kestabilan politik tidak pernah terjadi. Justru hasil Pemilu yang menghasilkan empat besar: PNI, Masjumi, NU, dan PKI memunculkan ketegangan yang lebih tajam antara partai agama dan nonagama.

Jika ditanya kepada para pemain politik saat itu kenapa harus bertegang-tegang, pasti jawabannya semua adalah menginginkan Indonesia yang lebih baik. Itu pasti, tetapi sejarah mencatat toh yang terjadi adalah sebaliknya.

Di samping situasi politik yang labil, negara muda ini pun diganggu oleh sejumlah pemberontakan yang apabila disinyalir berawal pula dari kurang adilnya pembagian kue kemerdekaan. Soal pembagian kue itu pun tak lepas dari kerja-kerja parlemen yang terdiri atas partai-partai itu bersama kabinet yang berkuasa.

Melihat hal itu, pada 21 Februari 1957, Soekarno mengemukakan konsepsinya. Inti dari Konsepsi Presiden itu adalah demokrasi parlementer secara Barat tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia dan harus diganti dengan Demokrasi Terpimpin, perlunya pembentukan Kabinet Kaki Empat, serta pembentukan Dewan Nasional.

Setelah Kabinet Ali II menyerahkan mandat kepada Presiden Soekarno, Kabinet Karya dengan Ir. Djuanda sebagai perdana menteri menggantikannya. Di dalam kabinet ini duduk dua orang dari Angkatan Bersenjata.

Sidang konsituante yang berlangsung pada masa kabinet ini pun ternyata sama saja dipenuhi oleh perdebatan-perdebatan yang tak tahu kapan selesainya. Hal itu menjadi pemicu bagi Presiden Soekarno untuk mengeluarkan dekrit 5 Juli 1959. Dekrit untuk kembali ke UUD 1945 tersebut mendapat dukungan penuh dari KSAD.

Selanjutnya, DPR hasil Pemilu 1955 dibubarkan. Dibentuklah DPR Gotong Royong yang anggotanya diangkat dan ditentukan pemerintah. Demikian pula anggota MPRS, diangkat dan ditentukan pemerintah.


Soekarno Semakin Kuat
Dengan dekrit tersebut, Soekarno semakin kuat posisinya. Sistem politik yang sejak lama diimpikannya semakin mendapat jalan. Ia memang sejak dulu menginginkan sistem pemerintahan yang benar-benar berasal dari jiwa bangsa Indonesia. Adapun pemikiran-pemikiran lain menurutnya tidak boleh begitu saja dijiplak.

Soekarno yang sejak dulu menuding banyaknya partai menjadi penyebab tidak adanya pencapaian hasil dalam pengambilan keputusan, segera melaksanakan Demokrasi Terpimpin. Demokrasi Terpimpin ini sebagai konsepsi bidang ekonomi dalam rangka pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, yaitu lebih menekankan keterlibatan pemerintah.

Sesungguhnya, ada dua belas definisi yang tertata dalam Demokrasi Terpimpin, tetapi dua di antaranya bahwa tiap-tiap orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum, masyarakat, bangsa, dan negara, kemudian semua orang Indonesia dinyatakan berhak untuk mendapatkan penghidupan yang layak dalam masyarakat, bangsa, dan negara. Dengan demikian, demokrasi terpimpin adalah sistem pemerintahan yang berdasarkan musyawarah untuk mufakat dengan pimpinan satu kekuasaan sentral di tangan satu orang.

Setelah lelah melihat penyelenggaraan pemerintahan Indonesia yang tak juga stabil dan setelah “terbebas” dari jabatan presiden ”pajangan”, Soekarno tampak bersemangat dengan berbagai gagasannya yang telah lama terpendam.

Semangatnya itu tampak sekali pada Pidato Presiden, 17 agustus 1959, yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita. Judul tersebut seolah-olah menyiratkan telah menemukan sesuatu yang hilang dari zaman revolusi fisik karena terkubur oleh kabut Demokrasi Pascakemerdekaan. Pidato itu dikenal dengan sebutan Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol). Dalam pidato di depan kongres Pemuda di Bandung, Februari 1960, Soekarno menyatakan bahwa intisari Manipol ada lima, yaitu: Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (Usdek). Selanjutnya, gagasan itu dikenal dengan nama Manipol Usdek. Pidato pada HUT RI tersebut menjadi GBHN yang dikukuhkan oleh MPRS dengan Ketetapan Nomor 1/MPRS/1960.

Dalam masanya ini, Politik Luar Negeri Bebas Aktif benar-benar dijalankan dengan keikutsertaan Indonesia dalam mewujudkan perdamaian dunia tanpa harus terikat oleh kekuatan Barat maupun Timur. Demikian pula berbagai bidang pembangunan dijalankan.

Untuk menjaga stabilitas kemanan dan menegakkan wibawa pemerintah, Soekarno membubarkan Partai Masjumi dan PSI. Kedua partai itu dibubarkan karena tidak segera secara resmi menyalahkan pimpinan-pimpinannya yang telah melakukan pemberontakan PRRI/RPI.

Dari sini, kita bisa menebak bahwa jika ada suara-suara keras yang mengecam Soekarno, berasal pula dari orang-orang yang telah dipinggirkan oleh Soekarno dari gelanggang pentas perpolitikan di Indonesia. Bayangkan saja ratusan ribu atau bahkan jutaan orang yang dikecewakan Soekarno sejak pembubaran parlemen hasil Pemilu 1955 dan pembubaran partai atau Ormas pada masa itu. Mereka yang kecewa bukan hanya dihitung orangnya, melainkan pula di belakang mereka ada konstituen yang setia mendukungnya. Di samping itu, tentu saja ada pula pihak-pihak yang berseberangan dengannya karena perbedaan paham dan melakukan tindakan yang membahayakan negara. Wajar jika ada banyak suara yang miring sekali.

Para pengecam Soekarno mengatakan bahwa Demokrasi Terpimpin adalah bentuk penyelewengan terhadap UUD 1945 di samping sebagai pemusatan kekuasaan yang berlebihan. Boleh saja berpendapat seperti itu. Akan tetapi, jika diteliti maksud dan tujuannya tak lain dan tak bukan adalah Soekarno menginginkan sesuatu yang lebih baik bagi Indonesia. Ia tidak mau Indonesia menjadi negeri yang lemah, baik disebabkan intervensi dari luar maupun acak-acakan dari dalam. Kalaulah memang Soekarno dianggap bersalah karena mengerucutkan kekuasaan kepada dirinya sendiri, apa sebenarnya yang dia inginkan? Kekayaan melimpah? Harta yang banyak, baik legal maupun ilegal? Keluarga dan keturunannya harus menjadi penguasa negara? Sejarah tidak mencatat itu ada di benak Soekarno selain dari ingin menyelenggarakan negara sesuai dengan cara-cara yang dia cita-citakan sejak muda.

Selanjutnya, Soekarno membawa nama Indonesia dalam posisi yang sangat diperhatikan dunia dengan berbagai gagasan dan keberaniannya. Semua mata politisi internasional mengarahkan pandangannya kepada sosok Soekarno. Ia dan Indonesia-nya menjadi kekuatan politik real dunia yang berpotensi mengubah sejarah dunia. Potensi ini menggetarkan negeri-negeri imperialis yang masih bermimpi menginginkan menguasai negeri orang.

Pemutusan hubungan diplomatik dengan Belanda dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda adalah langkah berani yang dilakukannya. Pemerintah pun menguatkannya dengan menyusun kekuatan Angkatan Bersenjata untuk merebut Irian Barat.

Di depan Sidang Umum PBB, 30 September 1950, Soekarno dengan lantang menguraikan Pancasila, perjuangan Indonesia untuk membebaskan Irian Barat, masalah kolonialisme, usaha memperbaiki PBB, serta upaya untuk meredakan ketegangan perang dingin, dan ketegangan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Pada akhir pidato yang berjudul To Build the World a New tersebut Soekarno menyerukan untuk membangun tatadunia baru.

Pidato tersebut tentu saja mendapat perhatian luar biasa. Seruan tersebut sudah menandakan kecilnya kepercayaan Indonesia terhadap PBB dalam menata dunia sehingga harus ada bentuk baru.

Soekarno memang menjadi ancaman bagi kedua blok yang berseteru, baik Blok Barat maupun Blok Timur. Ia tidak ingin berpihak, tetapi aktif dalam perdamaian dunia sesuai dengan politik luar negeri RI yang bebas dan aktif. Untuk itu, ia menggalang kekuatan membentuk kubu baru, kubu ketiga, yang diwujudkan dalam Nefos (New Emerging Forces) dan Nonblok. Nefos terdiri atas bangsa-bangsa yang tertindas dan bangsa-bangsa yang progresif revolusioner menentang imperialisme dan neokolonialisme. Dengan demikian, di dunia ada ada tiga blok. Barat, Timur, dan Nefos. Kapitalis, komunis, dan Nonblok.

Dajjal dan Iblis ada di mana? Berpihak pada siapa? Apa yang dilakukan mereka beserta pasukannya?

Untuk menjawab pertanyaan itu, dibutuhkan wawasan keilmuan yang luas dan kontemplasi tingkat tinggi yang disertai pemaparan jawaban yang rumit. Akan tetapi, setidak-tidaknya, kita dapat mengenalinya dari dua blok standar kehidupan, yaitu: blok kebaikan dan blok kejahatan. Dari ketiga blok di atas, mana yang baik dan mana yang jahat?

Bagi orang Indonesia, yang terbaik adalah Nonblok. Sebetulnya, secara moral seluruh manusia jika jujur, akan mengatakan bahwa Nonblok lebih baik dibandingkan kapitalis dan komunis. Alasannya mudah sekali. Bukankah anggota-anggota Nonblok itu antiimperialis dan neokolonialisme? Bukankah mereka adalah negeri-negeri yang terpinggirkan, tertindas, dan teraniaya oleh kerakusan negeri-negeri penjajah? Penjajah dan penjajahan adalah alat syetan untuk merusakkan umat manusia.

Nonblok, Nefos, dan peserta Konferensi Asia Afrika memiliki keinginan yang sangat mulia, yaitu menghapuskan imperialisme dan kolonialisme di muka Bumi sehingga umat manusia dapat hidup damai dan sejahtera, harmonis dan saling menghargai. Sudah sangat wajar jika Dajjal dan Iblis geram dengan adanya gerakan yang menentang kejahatan manusia atas manusia lainnya. Bukan hanya geram, melainkan pula pasti menghalangi dan menghancurkan setiap gerakan apa pun yang menyuarakan kebaikan dan kebenaran.

Di dalam negeri Soekarno mengonsolidasi potensi-potensi besar yang telah ada sejak lama dengan politik Nasionalis-Agama-Komunis (Nasakom). Pemikiran Nasakom telah ada sejak ia masih muda. Bahkan, untuk mempertahankan politiknya tersebut, ia rela bercerai dengan isteri pertamanya, Utari, puteri cantik Guru Bangsa HOS Tjokroaminoto. Soekarno dan Tjokroaminoto tak sepaham dalam politik. Mertuanya itu punya pandangan bahwa nasionalisme itu salah karena Islam bersifat universal, tidak terbatas teritorial, sedangkan Soekarno berjiwa nasionalis. Perbedaan paham itu membuatnya harus bercerai karena ia tak ingin isterinya menjadi durhaka kepada orangtuanya hanya karena mematuhi dirinya di samping tak ingin isterinya itu durhaka kepada dirinya karena harus patuh kepada orangtuanya. Perceraian adalah jalan terbaik yang menyakitkan hatinya. Tentang kesedihan karena perceraiannya itu, diadukannya kepada ibunya sendiri dan kepada Tuhan. Setiap malam ia memandang langit dengan sedih, gelisah, rindu dendam karena kehilangan Utari yang disangkanya akan menjadi teman hidup selamanya. Rintihan demi rintihan itu semakin mendekatkan dirinya kepada Tuhan dan semakin membuatnya yakin bahwa Islam adalah agama yang cocok bagi dirinya.

Dalam pandangannya, kekuatan yang telah ada tumbuh dalam masyarakat Indonesia, yaitu nasionalis, komunis, dan agama merupakan modal yang sangat penting untuk memerdekakan bangsa dan mempertahankan kemerdekaan, bahkan mencapai puncak kemajuan. Dalam mengajarkan Nasakom, di samping memaparkan kelebihan ketiga kekuatan tersebut, juga melecehkan dan menghinanya.

Nasionalis adalah kaum yang mencintai negerinya, tanah tumpah darahnya. Mereka tak rela tanahnya diinjak oleh bangsa asing. Mereka ingin menentukan nasibnya sendiri. Kaum agama Islam adalah orang-orang yang memiliki kewajiban membela kebenaran, melindungi dan menolong kaum lemah, serta memerangi setiap bentuk kezaliman. Orang-orang komunis adalah mereka yang membenci kapitalis karena telah merampok hak-hak buruh dan orang-orang miskin.

Menurut Soekarno, ketiga kekuatan tersebut memiliki kesamaan, yaitu: membenci imperialisme dan kolonialisme. Orang nasionalis membenci penjajah dan penjajahan, Islam membenci kejahatan dan kemunkaran, komunis membenci kapitalis. Bukankah musuh ketiganya adalah sama, yaitu para penjajah kapitalis asing yang berkulit putih?

Ia pun melecehkan dan menghina orang-orang nasionalis yang bertengkar dengan kaum Islam hanya karena hal sepele, yaitu soal universalitas dan batas teritorial. Komunis yang tidak mau tunduk pada budaya bangsa disebutnya komunis tolol. Demikian pula, ia mencoba menetralisir soal atheisme dan antiagama.

Begitulah ia ingin mempersatukan kekuatan-kekuatan yang ada untuk kepentingan Indonesia. Dengan demikian, kurang tepatlah jika banyak profesor asing yang mengatakan bahwa Soekarno melindungi komunis adalah untuk menyeimbangkan kekuatan politik di dalam negeri agar tidak terlalu ke kanan. Yang jelas Soekarno mempertahankan PKI adalah untuk digunakan melawan kapitalis, imperialis, dan neokolonialis.

Kekuatan Soekarno, baik di dalam negeri maupun di tingkat internasional membuat banyak pihak ketar-ketir. Barat kapitalis adalah yang paling gelisah karena memang pandangan politik Soekarno berhadapan langsung dengan politik Barat. Adapun dengan Timur Komunis, Soekarno menjalin kerja sama, misalnya, dalam pembelian persenjataan.

Pengaruh Soekarno di dunia ketiga sejak dulu sudah menjadi sorotan. Konferensi Asia Afrika adalah awal kesuksesannya. Kemudian, keberaniannya memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda dan menyuarakan perlunya pembentukan tata dunia baru membuat kaum imperialis dan neokolonialisme terhenyak.

Kita harus sadar bahwa dengan merdekanya Indonesia banyak negara yang dirugikan. Mereka adalah bukan hanya Belanda, melainkan pula negara-negara lain yang ikut kenyang dengan kekayaan Indonesia secara tidak sah, di antaranya, Inggris, Amerika, Perancis, Belgia, Jepang, Jerman, serta Swiss. Dengan keberadaan Soekarno yang dikenal keras terhadap imperialis, akan sulit negeri-negeri itu untuk tetap menikmati Indonesia. Sudah sangat wajar jika mereka berupaya keras mendapat jalan untuk kembali merasakan nikmatnya Indonesia. Kalau perlu, Soekarno digulingkan.

Setelah keluar dari Komite Olimpiade International (International Olympic Committee [IOC]) Soekarno menyelenggarakan Ganefo (Games of the New Emerging Forces). Ganefo adalah kegiatan olah raga yang diikuti oleh negara-negara Nefos. Pesta olah raga ini diikuti oleh 48 kontingen. Game ini praktis membuat kapitalis lebih cemas. Mereka memandang Soekarno telah mampu menandingi olimpiade dunia. Suatu unjuk kekuatan yang luar biasa.

Penyerangan terhadap pembentukan negara federasi Malaysia oleh Soekarno, membuat Barat semakin ketakutan. Yel-yel Ganyang Malaysia merupakan perlawanan Soekarno terhadap kepentingan Nekolim di balik pembentukan negara federasi tersebut. Ketegangan dengan Malaysia ini berbuntut pada keluarnya Indonesia dari PBB.

Saat Indonesia keluar dari PBB karena menganggap organisasi itu hanyalah menjadi alat untuk kepentingan imperialis dan neokolonialisme, Soekarno masih memiliki pengaruh yang besar di Asia, Afrika, dan Amerika latin. Ia lebih merupakan ancaman bagi kapitalis dibandingkan dengan komunis itu sendiri. Coba saja jika Nasakom benar-benar terjiwai dan teraplikasi di dalam negeri secara merata, lalu negara-negara lain tertarik untuk mengikutinya, negeri-negeri kapitalis pasti akan hidup dalam kesulitan.

Dengan memandang bahwa basis penyanggah negara-negara kapitalis (Pakta Anzus yang terdiri atas Australia, Selandia Baru, dan AS), yaitu Malaysia dan Singapura berada dalam posisi bahaya karena gebrakan-gebrakan Soekarno, AS melakukan banyak rencana.

Untuk meredam atau mengimbangi aktivitas Soekarno, Amerika sudah tidak mungkin lagi mengandalkan kekuatan fisik. Mereka telah mencobanya berkali-kali melalui pemberontakan-pemberontakan di daerah, namun seluruhnya kalah. Misalnya, pemberontakan PRRI/RPI dan Permesta. Dengan angkuhnya, Amerika menyalurkan dana dan senjata lewat Singapura untuk PRRI dan Permesta. Amerika pun telah menyiapkan kekuatan tempur Armada VII di Laut Jawa. Armada VII ini digunakan untuk mengancam Jakarta agar keselamatan warga Amerika dan perusahaan-perusahaan miliknya dijaga. Armada VII Amerika adalah kekutan tempur yang telah mengalahkan Jepang di pasifik.

Jakarta rupanya tidak ambil peduli. Ahmad Yani, prajurit gagah berani, bertarung mempertahankan harga diri. Hanya dalam waktu tiga hari, Padang, Ibukota PRRI, berhasil direbut Yani. Selain itu, hanya dalam waktu satu minggu seluruh PRRI berhasil digulung.

Nasib yang sama dialami pula oleh Permesta. Dalam waktu yang singkat berhasil ditumpas. Di Sulawesi pesawat pembom B-26 yang dikemudikan agen CIA Allan Pope ditembak jatuh oleh Mayor Udara Dewanto. Akibatnya, Allan Pope ditahan, kemudian diadili. Dalam pengadilan, Pope mengaku bahwa operasinya dilakukan di Pangkalan Angkatan Udara Amerika di Clark Field, Filipina. Ia dijatuhi hukuman mati. Akan tetapi, Soekarno mengampuninya karena ingin menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beradab tinggi.

Pemberontakan-pemberontakan di daerah untuk melepaskan diri dari NKRI ternyata tak melemahkan negara proklamasi ini, bahkan rasa nasionalisme semakin kuat. Oleh sebab itu, dicarilah cara lain, yaitu memberikan bantuan yang sangat besar kepada kelompok-kelompok antikomunis, terutama Angkatan Darat. Bukan hanya dalam hal perlengkapan perang dan pelatihan militer, namun juga program-program sipil. Program yang bernama Civic Action Program (CAP) ini ditujukan untuk mengasistensi misi-misi Angkatan Darat ke desa-desa.

Dari data yang dikeluarkan CMIP’s (Current Military Data files and The Indonesia Military Leaders: Biographical and Other Background Data, 1979), ada sekitar 17% hingga 25% perwira-perwira milliter Indonesia yang memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah militer Amerika, seperti, Leavenworth dan Fort Bragg.

Jumlah perwira Indonesia yang dilatih membengkak dari hanya 250 pada 1958 menjadi 6.000 pada 1965. Mereka dilatih bukan hanya dalam rangka pengembangan CAP program, tetapi juga pembangunan infrastruktur AD di Indonesia. Di sinilah tranformasi nilai-nilai militer Amerika seperti antikomunis dan prokapitalis Barat ditanamkan. Kerja sama yang erat dilakukan dengan Seskoad yang dipimpin Mayjen Soewarto (Fitradjaja P. & B. Setiawan).


Soekarno Melemah
Ketika kesehatan Soekarno memburuk dan muntah-muntah, lalu pingsan, 4 Agustus, tim dokter RRC menyimpulkan Soekarno akan lumpuh dan meninggal dalam waktu dekat. Oleh sebab itu, Amerika dan PKI mulai ancang-ancang untuk menggantikan posisi Soekarno.

Amerika yang sudah khawatir dengan politik luar negeri Indonesia yang konfrontatif dengan Malaysia, memerlukan kaki tangan untuk menghancurkan PKI. Awalnya, orang berpengaruh kuat akan didekati, yaitu Ahmad Yani dan Nasution. Akan tetapi, kedua orang ini tidak mungkin untuk diajak berkolaborasi dengan Amerika karena sangat setia pada NKRI, Pancasila, dan Bung Karno. Oleh sebab itu, Amerika menoleh sosok lain meskipun kurang dikenal dan bermasalah, namun lumayan cerdas.

Pertarungan tingkat dunia antara kapitalis dan komunis menjadikan Indonesia sebagai medan pertempuran. Di tengah keduanya ada Soekarno yang tidak pro keduanya, tetapi berupaya keras menjadikan Indonesia negara yang kuat dan makmur. Akan tetapi, politik Nasakom membuat Indonesia condong ke kiri. Hal ini dimanfaatkan PKI untuk memperkuat dirinya dan memang PKI berada di atas angin ketika Komando Ganyang Malaysia.

Puncak pertarungan antara kapitalis dan komunis, Amerika dan PKI, adalah misteri G-30-S. Dalam peristiwa itu, kedua aliran pemikiran yang rebutan materi itu bertemu, bergulat, berkelit, dan adu jotos. Ada permainan politik taktis tingkat tinggi di sana yang tak gampang-gampang dipecahkan. Alhasil, PKI dituduh sebagai biang keladi peristiwa itu. Tak pelak Soekarno pun dianggap terlibat. Soeharto menjadi pahlawan bangsa. Akan tetapi, kini bukan PKI yang dituduh, melainkan Soeharto yang dituding sebagai kaki tangan CIA yang menggerakkan kejadian malam itu. Ia harus bertanggung jawab atas pembunuhan jutaan rakyat yang tidak berdosa. Adapun Soekarno menjadi korban dari semuanya.

Peristiwa itu tetap menjadi misteri sampai hari ini. Kelak kita harus membukanya dengan penuh kejujuran dan kelapangan dada karena kita tidak boleh berdusta kepada generasi penerus bangsa. Jangan biarkan kegelapan sejarah menjadi olok-olokan generasi berikutnya karena kita telah berdusta. Biarkan semuanya terbuka agar generasi berikut dapat lebih arif dan bijaksana mengambil langkah untuk kepentingan negeri yang kita cintai ini.

Jangan mudah menuduh terhadap hal yang masih misteri tanpa bukti yang pasti hanya karena emosi. Hal itu hanya akan menunjukkan betapa bodoh dan gobloknya kita. Kita harus menerima kebenaran sejarah walaupun pahit terasa.

Mau atau tidak mau, rela atau terpaksa, semuanya akan terbuka dengan jelas di depan mata kita. Allah swt Maha Melihat dan Maha Adil. Dia akan menunjukkan kebenaran itu di depan kita semua. Pihak-pihak yang berusaha menutupinya akan menanggung malu yang amat sangat karena Allah swt tak dapat dibendung keinginan-Nya. Sebaiknya, sebelum Allah swt sendiri yang membukanya, kitalah yang berlapang dada untuk berterus terang karena di samping akan menunjukkan betapa mulianya kita, juga membebaskan diri dari beratnya dosa dusta.

Kalaupun sampai hari ini kita masih belum menganggap waktu yang tepat untuk membuka misteri itu, saya lebih senang kepada pernyataan para mantan perwira yang hidup sezaman dengan peristiwa itu.

Mereka mengatakan, “Jika diungkapkan, khawatir terjadi perang saudara.”

Itu adalah kalimat terbijak yang pernah saya dengar. Mereka tahu yang sebenarnya, namun tak ingin ada keburukan di negeri ini.

Selepas peristiwa G-30-S, Soekarno benar-benar terpojok. Ia tak mau menyalahkan PKI karena ingin penelitian dan pengadilan yang terbuka seadil-adilnya. Namun, emosi massa tak bisa ditahan, bahkan terus dikipas-kipasi untuk melakukan balas dendam yang ujung-ujungnya adalah pembantaian jutaan manusia yang sama sekali tak terlibat.

“Epilog ini,” kata Soekarno, “Telah mengganggu sukmaku, telah membuatku sedih, membuatku khawatir … Dengan terus terang kukatakan aku meratap kepada Allah, bertanya kepada Tuhan, bagaimana ya Allah, Robbi, bagaimana semua ini dapat terjadi?” (Pidato Presiden Soekarno, 20 November 1965).

Dalam suatu pertemuan dengan para gubernur pada Desember 1966, Soekarno mengatakan, “Kita memulihkan hukum dan ketertiban dengan cara yang terlalu ekstrem… dengan akibat bahwa orang-orang yang tidak berdosa dimasukkan ke dalam penjara. Tidak hanya masuk ke dalam penjara, beberapa orang malah dipotong lehernya.”

Soekarno kemudian mengingatkan, “…Bila seseorang, suatu golongan, suatu partai, terlalu disia-siakan dan bahkan yang tidak bersalah ikut ditangkap, dibunuh, dan diganyang, akan datang waktunya mereka akan bangkit kembali dan membalas dendamnya.”

Dalam keputusasaan, ia meminta kepada anggota organisasi HMI untuk bersikap sebagai orang Islam yang baik dengan cara setidak-tidaknya menguburkan mayat-mayat.

Soekarno mengatakan, “Di Jawa Timur banyak anggota Pemuda Rakyat atau anggota-anggota PKI ataupun sekedar simpatisan-simpatisan PKI telah dibunuh, disembelih, ditikam, atau dipukuli sampai kepala mereka pecah. Mayat-mayat mereka ditinggalkan di bawah pohon-pohon, di pinggir sungai-sungai, dilempar seperti bangkai anjing mati. Kalau kita melanjutkan keadaan seperti ini, Saudara-saudaraku, kita akan masuk ke dalam neraka, benar-benar kita akan masuk neraka.” (Pidato Presiden Soekarno, 20 November 1965)

Tragis. Epilog yang tragis dari G-30-S. Pembunuhan terhadap 6 jenderal, 1 perwira pertama, dan 1 bocah perempuan sekalipun tidak dapat menjadi pembenaran terhadap pembantaian massal semacam itu. Peristiwa itu telah menjerumuskan bangsa yang beradab ini menjadi bangsa yang biadab. (Fitradjaja P. & B. Setiawan)

Surutlah kekuasaan Soekarno. Ia pun kemudian menjadi tahanan politik tanpa diperbolehkan bertemu dengan teman-temannya. Tragis memang.

Dari peristiwa itu, Dajjal dan Iblis benar-benar bisa dipastikan terbahak-bahak. Demikian pula dengan pengikutnya yang berkeliaran dalam berbagai organisasi, merayakan kemenangan. Mereka berhasil membuat bangsa ini tersesat dan menumpahkan darah tanpa alasan yang dihalalkan. Tak mungkin mereka bersedih hati menangis dengan hati yang pilu.


Tak Seimbang
Soekarno pernah sesumbar bahwa Nasakom telah ditulisnya sejak usia 26 tahun. Ia akan memegang kuat ajaran itu sampai ke liang kubur. Kenyataan pun menunjukkan hal itu.

Obsesi Nasakom ini sesungguhnya telah mengurangi kenetralan Indonesia. Kita sudah benar tak perlu menjadi bagian dari Barat ataupun Timur, kapitalis maupun komunis. Kita negara yang bebas, tetapi aktif menjalin perdamaian dunia. Akan tetapi, dengan adanya Nasakom, Indonesia menjadi miring ke kiri, tidak terlalu netral.

Soekarno begitu yakin mampu mengendalikan komunis/PKI agar sesuai dengan citra dan budaya bangsa Indonesia. Ia mati-matian untuk itu, bahkan tak segan-segan memaki-maki orang-orang komunis agar bisa bergandeng tangan dengan kelompok nasionalis dan kelompok Islam.

“Marxis yang ingkar akan persatuan, Marxis yang kolot teori dan kuno taktiknya, Marxis yang memusuhi pergerakan kita Nasionalis dan Islamis yang sungguh-sungguh, Marxis yang demikian itu janganlah merasa terlanggar kehormatannya jikalau dinamakan racun rakyat adanya!” begitu yang dikatakannya.

Dalam kenyataannya, komunis ini sulit sekali bergandeng tangan. Hal itu disebabkan mereka memiliki agenda sendiri, baik nasional maupun internasional. Tak jarang mereka membikin manuver-manuver sendiri yang mengancam keutuhan bangsa. Soekarno kurang menyadari kalau sangatlah sukar menarik ajaran komunis untuk menjadi sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia. Nasakom hanyalah cita-cita yang teramat sulit untuk diwujudkan.

Pada praktiknya, bukannya komunis yang dapat bergandeng tangan dengan nasionalis dan agama, melainkan Soekarno yang dijadikan alat untuk melindungi PKI dari lawan-lawan politiknya. Komunis bisa dibilang tak akan sesuai dengan jiwa bangsa karena ajaran ini pun berasal bukan dari dalam jiwa bangsa dan tidak melebur ke dalam jiwa bangsa. Komunis tetap pada jati dirinya sebagaimana komunis.

Komunis berasal dari kaum buruh yang merasa tertindas oleh kaum kapitalis. Kaum buruh yang merasa dirampas hak-haknya oleh pengusaha itu melakukan perlawanan. Ajaran perlawanan itu adalah komunis. Pertarungan itu terjadi di tanah sono bukan di Indonesia. Sebagaimana yang dikatakan Soekarno sendiri bahwa komunis adalah anaknya kapitalis. Kapitalis adalah ibunya komunis. Komunis tak akan pernah ada jika kapitalis tidak ada.

Berbeda dengan nasionalis dan agama. Nasionalisme tumbuh dari rasa kebersamaan, senasib sepenanggungan, persaudaraan, tanah kelahiran, dan harga diri. Agama (Islam) pun meski berasal dari luar negeri, mampu melebur ke dalam jiwa bangsa sehingga kita tidak merasakannya sebagai sesuatu yang asing, bahkan mendapatkan manfaat lebih dari Islam. Keduanya, baik nasionalis maupun Islamis, meskipun sulit, memiliki banyak celah untuk dapat bergandeng tangan. Keduanya bisa saling memahami karena banyak nasionalis yang beragama Islam dan orang Islam yang berjiwa nasionalis tanpa melupakan sifat Islam yang universal.

Awalnya, Nasakom hanya ada dalam pikiran dan tulisan Soekarno. Ia memang sangat tertarik dengan ajaran komunis. Dunia mencatat bahwa tak ada ajaran pemikiran yang sangat cepat menyebar masuk ke berbagai pelosok negeri, kecuali komunis. Pemikiran ini ternyata mampu menahan gelombang kerakusan para kapitalis. Soekarno melihatnya sebagai suatu kekuatan yang dapat digunakan untuk melengkapi kekuatan bangsa.

Nasakom muncul lebih kuat justru setelah dimulainya demokrasi. Dengan pengumuman pemerintahan Hatta, 3 November 1945, agar masyarakat mendirikan banyak partai. Komunis memiliki legalitas untuk lebih memperkuat diri. Ia pun menjadi salah satu komponen yang ikut serta membuat jatuh bangunnya kabinet yang membuat bangsa ini tidak bisa segera membangun dengan lebih baik. Apalagi setelah Pemilu 1955, Soekarno seperti mendapat pembenaran untuk melaksanakan Nasakom dengan munculnya PKI sebagai empat besar.

Dengan PKI yang begitu kuat, tentu saja semua orang bisa melihat bahwa komunis memiliki pengaruh kuat di masyarakat. Untuk menghancurkannya di alam demokrasi, ya harus dengan menggunakan cara demokratis, yaitu Pemilu. Itu jelas tak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Seperti saat ini juga kita akan butuh ribuan tahun untuk menyingkirkan partai-partai yang korup karena perlu ribuan kali Pemilu untuk mengalahkannya, itu pun kalau orang-orang baik bisa menang. Kenyataan yang terjadi kan justru menyedihkan. Orang yang tadinya baik-baik, pejuang yang tangguh, ternyata tergoda untuk jadi koruptor juga.

Ketika Soekarno sakit dan Nasakom tak juga diimani oleh ketiganya (nasionalis, agama, komunis), kapitalis kebat-kebit. Kaum kapitalis khawatir jika negeri ini jatuh ke tangan PKI yang sedang berada di atas angin. Oleh sebab itu, mereka bergerak cepat menggunakan berbagai aksi dan tentunya dana yang tidak sedikit untuk menghancurkan komunis. Mereka pun berhasil membabat habis PKI meskipun dengan cara-cara biadab. Bukankah Dajjal dan Iblis sangat senang jika terjadi kebiadaban di antara manusia?

Meskipun G-30-S masih menjadi misteri, kita patut curiga bahwa kapitalislah yang berada di belakang semuanya dengan menggunakan orang-orang PKI. Tujuannya agar PKI dipandang sebagai organisasi yang sangat jahat dan harus dimusnahkan selama-lamanya. Salah satu kecurigaan itu adalah terjadinya penggulingan Salvador Allende, Presiden Sosialis yang terpilih dari Partai Rakyat Chile. Dalam sebuah majalah terbitan Ibukota, CIA mengatakan bahwa operasi penggulingan itu bernama Operasi Jakarta Jakarta. Mereka mengakui nama operasi itu merupakan lambang keberhasilan penggulingan Soekarno pada peristiwa G-30-S. CIA menggunakan Jenderal Augusto Pinochet untuk mengudeta Allende. Pinochet mengebom Allende di Istana La Moneda. Allende pun tewas. Setelah berkuasa, Pinochet menjadi diktator. Lebih dari 3.200 warga Chili dibunuh atau dihilangkan. Pinochet menjadi boneka CIA. Kejadian itu terjadi pada 11 September. Peristiwa itu dibuat film dengan judul House of Spirit. Kita bangsa Indonesia juga punya film yang tidak diputar lagi, yaitu tentang peristiwa malam G-30-S itu.

Sedikit tentang bulan September. Wajar kan kalau kita merasa aneh dengan bulan ini. Pinochet mengudeta Allende tanggal 11 September, penabrakan gedung WTC tanggal 11 September 2001 pukul 09.00, pemboman Kedubes Australia di Jakarta tanggal 9 September pukul 11 siang, demikian pula G-30-S bulan September; pada 30 September pagi, antara pukul 09.00 dan 11.00, Dul Arief bersama-sama dengan perwira intelijen Batalion 530/Brawijaya, Letnan Satu Ngadimo, dan Komandan Batalion 454/Diponegoro, Mayor Sukirno, telah datang menghadap tim Operasi Khusus Kostrad. Entah apa yang mereka bicarakan (Tragedi Manusia dan Kemanusiaan dalam Fitradjaja P. & B. Setiawan). Jika dihitung, bulan September adalah bulan ke-9. Tampaknya, kita musti hati-hati dalam bulan ini, terutama pada tanggal dan jam-jam yang berkaitan dengan angka 911. Entah ada kejadian-kejadian buruk apalagi pada bulan September ini sepanjang sejarah manusia.

Soekarno jatuh karena tersudut oleh peristiwa G-30-S. Ia dikait-kaitkan dengan kejadian itu. Padahal, sama sekali tidak terkait. Ia sendiri merasa bingung dan disodok dari belakang. Soekarno dikait-kaitkan karena melindungi PKI. Ia mempertahankan Nasakom. Nasakom sendiri muncul sangat kuat setelah melihat kenyataan bahwa PKI adalah partai komunis terkemuka di dunia yang ditakuti kaum kapitalis. PKI menjadi besar karena proses demokrasi yang diawali pada masa pemerintahan Hatta. Pemilu 1955 adalah awal kejayaan PKI.

Maksud Nasakom baik, tetapi Soekarno tak cukup memiliki kekuatan untuk mewujudkannya. Komunis akan kuat bertahan dalam kalbu rakyat Indonesia jika lahir dari jiwa bangsa. Kenyataannya, ia lahir dan besar di tanah orang yang dilanda banyak pertarungan politik, ekonomi, dan agama. Ia adalah pemikiran asing bagi rakyat negeri ini. Akibatnya, Soekarno harus menanggung semuanya, termasuk juga negeri yang kita cintai ini, Indonesia.

Meskipun demikian, Nasakom pernah ada karena dikuatkan oleh PKI. PKI mendapati dirinya gagah karena proses demokrasi.

Demokrasi pada pascakemerdekaan telah membuat jatuh bangun kabinet, perdebatan tak berkesudahan, perebutan kekuasaan dan materi, tontonan kemewahan dari anggota parlemen, dan memunculkan PKI sebagai partai terkemuka di dunia. Negeri ini jadi tak sempat membangun dengan baik dan lancar menuju kemakmuran rakyat karena disibukkan oleh hal-hal itu.

Demikian pula demokrasi terpimpin yang di dalamnya komunis dijadikan sebagai salah satu penopangnya. Demokrasi terpimpin tak bisa mengingkari hasil Pemilu 1955 yang menjadikan PKI tampak nyata besar. Namun, di luar pengendalian Soekarno, PKI punya agenda sendiri, memperunyam persatuan bangsa, serta mengundang kapitalis untuk bertarung di Indonesia.

Itulah singkat bagaimana demokrasi yang dikeramatkan orang itu menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Kita mesti belajar dari sejarah ini, lalu keluar dari lingkaran sistem politik demokrasi yang ngawur itu.