Tuesday 23 March 2010

Demokrasi Dorong Pencetakan Uang Palsu

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Negeri yang sedang dirundung malang ini kerap menyaksikan banyak pihak yang berupaya mencari kekayaan dengan membuat uang palsu. Memang ada ahli yang mengatakan bahwa peredaran uang palsu rupiah sampai saat ini belum menggoncangkan stabilitas moneter Indonesia, artinya jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan uang asli. Akan tetapi, jika perilaku pemalsuan itu berlanjut, bukan tak mungkin akan membengkak yang pada gilirannya akan menambah rumit suasana. Apalagi pada masa ini masyarakat tampak kurang begitu waspada terhadap uang palsu.

Dulu pembuatan uang palsu kelihatannya dilakukan untuk sekedar mencari kekayaan dengan jalan menipu. Saat ini dorongan untuk membuat uang palsu bertambah lagi, yaitu mencari kedudukan dan kekuasaan.

Praktiknya begini. Dalam sebuah stasiun televisi swasta dikemukakan bahwa mereka yang membuat uang palsu itu bermaksud mengongkosi berbagai aksi kampanye memperkenalkan partai dan Calegnya. Rakyat yang katanya sudah “cerdas” ini bersedia berkampanye untuk apa saja, baik untuk partai, Caleg, ataupun demonstrasi dengan catatan diberi upah yang sesuai. Orang-orang ini punya manajer yang sering bertugas menjadi penghubung dengan pihak-pihak yang berkepentingan, Sang Manajer tentunya meminta biaya untuk menggelar arak-arakan itu. Pihak-pihak yang punya “keinginan” itu, sesuai kebiasaan, akan memberikan dana yang dianggapnya cukup.

Uang untuk menggelar arak-arakan itu berasal dari tentunya kalau tak punya sendiri, pasti pinjam sana-pinjam sini dengan menjual sejumlah janji. Jika itu pun masih kurang, kepalanya berputar untuk mencari uang. Lalu, terbersitlah untuk mencetak uang palsu dengan memanfaatkan masyarakat yang sudah semakin tidak waspada dan tidak peduli dengan asli-tidaknya uang yang beredar. Begitulah yang terjadi. Alasannya untuk kampanye yang sangat dibutuhkan dalam dunia demokrasi. Bukankah demokrasi mensyaratkan adanya dukungan masyarakat yang luas? Untuk mencapai dukungan itu, uang jadi alat efektif untuk menarik dan menggerakkan massa.

Jadi, demokrasi adalah benar-benar sistem politik yang berbahaya dan cenderung merusakkan moral, mental, dan spiritual masyarakat. Sepertinya itu indah demokrasi, namun sesungguhnya menyimpan jutaan keborokan yang busuk dan memuakkan.

Monday 22 March 2010

Kalau Tidak Demokratis, Berarti Tirani: Pikiran Sesat

oleh Tom Finaldin

Bandung
Selama ini hampir dari semua kita menganggap bahwa demokrasi adalah sistem politik paling unggul. Kita mengira bahwa kalau bukan demokrasi, berarti menggunakan sistem politik tirani atau paling jauh menerapkan sistem Negara Islam. Ini adalah pikiran sesat yang disebabkan kita sudah dijejali oleh pemahaman-pemahaman terbatas yang terkena pengaruh asing sangat kuat.

Dalam peribahasa Sunda dikenal ajaran “Ulah kurung batokeun” yang dalam bahasa Indonesia kurang lebih artinya adalah “Jangan hidup bagaikan dalam tempurung”. Orang yang hidup dalam tempurung memiliki pandangan yang teramat terbatas. Ia hanya melihat apa yang ada dalam tempurung yang dibatasi oleh dinding-dinding tempurung kelapa. Oleh sebab itu, ia dan orang-orang lain yang juga hidup dalam tempurung tidak tahu apa-apa kecuali yang dilihatnya itu.

Baguslah para orang tua Sunda punya pepatah seperti itu. Artinya, kita harus berani keluar dari tempurung itu. Orang yang berani keluar dari tempurung kelapa akan segera terpesona dengan luasnya dunia yang jauh lebih luas dan punya banyak pilihan dibandingkan hidup dalam kegelapan tempurung. Ia akan segera tersenyum senang, gembira karena mendapatkan hal-hal lain yang jauh lebih mengenakan mata, fisik, dan jiwa.

Apabila orang yang telah keluar dari tempurung itu berjiwa pertapa, ia akan terus berada di luar sendirian dan menikmati indahnya dunia luar tak peduli dengan orang-orang lain yang masih berada dalam kegelapan. Kalau orang itu berjiwa pejuang, ia akan masuk lagi dalam tempurung, kemudian memberi kabar gembira pada orang-orang yang selalu berada dalam kegelapan yang menyesakan itu. Ia akan terus berbicara mengenai indahnya dunia luar. Akan tetapi, ia segera akan mendapat cemoohan, ejekan, hinaan dari orang-orang gelap itu. Ia dianggap gila atau pengkhayal karena mengajak kepada hal-hal yang menurut mereka tak mungkin. Wajar, toh, mereka pandangannya terbatas. Meskipun demikian, seorang pejuang tak kenal lelah dan tak takut cacian, ia akan terus menyadarkan orang-orang agar segera menuju keadaan yang lebih baik. Hal itu disebabkan ia teramat mencintai manusia dan merasa kasihan kepada mereka yang setiap hari gelisah dan punya banyak impian yang kosong.

Dalam istilah asing yang mirip dengan pepatah di atas adalah “Helicopter skill”. Artinya, kita harus memiliki kemampuan melihat sesuatu itu dari atas sehingga pandangan kita luas, lebih jauh dibandingkan dengan orang-orang yang berada di bawah. Orang-orang yang berada di jalanan pandangannya dibatasi oleh benda-benda dan bangunan-bangunan yang berada di sekitarnya, sedangkan yang berada dalam helikopter akan lebih jelas dan luas. Dengan demikian, ia akan lebih cermat dan lebih arif dalam mengambil berbagai keputusan sebelum melakukan tindakan.

Sengaja saya mengemukakan pepatah itu agar kita paham bahwa pengetahuan itu teramat luas dan pengetahuan yang kita miliki saat ini teramat terbatas. Tulisan ini dibuat dengan harapan orang-orang lebih memahami apa yang sering saya kemukakan dalam berbagai kesempatan. Rata-rata semua yang telah saya ajak diskusi mulai kalangan bawah sampai akademisi, memahami bahwa apa yang saya sampaikan adalah benar, yaitu sistem politik demokrasi adalah sistem politik yang berbahaya dan menghancurkan peradaban manusia. Hanya mereka, sebelum saya terangkan, selalu memiliki kesimpulan sendiri bahwa saya mengharapkan sistem pemerintahan tirani atau Negara Islam.

Jujur saja, pendapat atau kesimpulan mereka secara sepihak itu bisa dimaklumi karena mereka tidak memiliki alternatif di luar yang mereka ketahui. Artinya, kalau tidak demokrasi, berarti tirani atau Negara Islam.

Beginilah yang saya maksudkan berkaitan dengan pepatah Sunda di atas. Kita telah terkurung oleh batok kelapa terlalu lama, mungkin berabad-abad. Penyebabnya adalah kita selalu hanya merespon sesuatu yang bisa kita raba, kita lihat, dan kita ukur dengan ukuran konvensional. Padahal, ilmu Allah swt sangat luas, meliputi segala sesuatu.

Meskipun demikian, kita tidak bisa menyalahkan karena Allah swt sendiri sangat bijaksana dalam memberikan pengetahuan, artinya setahap demi setahap, bagian demi bagian, tidak langsung dijatuhkan dari langit seluruhnya karena pasti akan membuat manusia kebingungan. Bukankah Al Quran juga diturunkan bertahap sesuai dengan asbabun nuzul-nya?

Pandangan tersesat itu wajar keluar karena dalam setiap diskusi, orang-orang selalu melihat betapa terkekangnya hidup dalam demokrasi palsu Orde Baru, semua serba terbatas, mudah takut, dan cenderung feodalistis. Adapun dalam demokrasi sekarang ini, orang-orang bisa lebih bebas berekspresi, menggunakan potensinya secara maksimal meskipun itu tidak juga menimbulkan manfaat yang diharapkan.

Pendek kata, mereka paham demokrasi itu bejat dan menyesatkan, namun tidak memiliki pilihan lain dalam arti takut hidup dalam keterkekangan jika tidak menggunakan sistem politik demokrasi.

Saudara sekalian, sesungguhnya hidup dalam suasana represif Orde Baru tidak berkaitan dengan demokrasi. Kesewenang-wenangan Orde Baru bukan berarti tidak demokratis. Pemerintahan Orba itu represif karena tidak melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekwen. Buktinya, bukankah yang namanya kebebasan mengeluarkan pendapat dan berserikat itu dilindungi oleh undang-undang? Bukankah kita diamanatkan untuk gemar bermusyawarah oleh Pancasila? Bukankah kita harus bergotong royong? Bukankah kita harus menghargai manusia lain dengan lebih beradab?

Dalam zaman Orde Baru hak-hak itu ditekan, dibatasi, dikekang secara masif. Sesungguhnya, tanpa demokrasi, asal hak-hak yang diatur dalam UUD 1945 dan Pancasila itu diberikan penuh, hidup kita akan tenang, nyaman, dan bebas. Bahkan, ada lebihnya bila dibandingkan dengan kebebasan sekarang. Kebebasan yang telah ada dalam UUD 1945 dan Pancasila itu akan memberikan daya dorong yang kuat untuk saling membahu menuju kemajuan bersama agar hidup lebih mulia lahir maupun batin. Berbeda jauh dengan kebebasan yang digembar-gemborkan demokrasi yang berujung pada perpecahan, fitnah, persaingan, dan kecurangan.

Jadi, Saudara-saudara sekalian, sungguh tak ada hubungan antara sifat reprersif Orde Baru dengan demokrasi. Artinya, bukan karena pemerintah Orde Baru tidak demokratis hidup kita terkekang, tetapi keterkekangan itu disebabkan oleh tidak dilaksanakannya UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekwen oleh Orde Baru.

Tanpa demokrasi kita akan hidup lebih bebas penuh kemuliaan dan terhormat, baik di hadapan manusia maupun di hadapan Allah swt.

O ya, soal Negara Islam, menurut saya sampai hari ini konsep itu masih kabur dan tidak jelas. Saya berpandangan tidak perlu menjelas-jelaskan sesuatu yang pasti tidak akan pernah jelas karena Islam itu diturunkan bukan untuk mendirikan suatu negara berikut syarat-syarat konvensionalnya. Islam tidak terbatas teritorial, tidak terikat syarat-syarat konvensional sebuah negara yang dibikin oleh manusia. Malahan, kalau Islam dikotak-kotakan, dikerdil-kerdilkan menjadi suatu negara tertentu, rasa-rasanya membuat Islam itu sendiri sempit dan sesak. Islam merupakan ajaran penyempurna akhlak untuk mencapai kehidupan harmonis dan serasi di dunia serta menyebabkan pemeluknya mendapatkan kebahagiaan, baik lahir maupun batin, baik di dunia maupun diakhirat.

Semoga tulisan ini dapat memberikan penjelasan yang cukup bisa dipahami meski terbatas oleh ruang dan waktu. Semoga Allah swt tak pernah bosan untuk memberikan petunjuk kepada kita agar keluar dari ketersesatan yang menimbulkan kerumitan hidup ini. Amin.

Saturday 20 March 2010

Kejahatan Demokrasi Tak Terperikan

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Masih segar dalam ingatan kita. Beberapa waktu yang lalu negeri ini menggelar Pemilu legislatif yang tidak diikuti oleh seluruh rakyat pemilik sah hak pilih. Lebih dari 40% kabarnya tidak ikut-ikutan pergi ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Sebagaimana tulisan-tulisan yang lalu, saya senantiasa menyebarluaskan pemahaman bahwa sistem politik demokrasi itu adalah ajaran bingung yang menyesatkan dan harus secepatnya ditinggalkan jika Indonesia ingin segera menemukan kemakmuran dan kejayaannya.

Saya sungguh teramat kaget setelah menyaksikan Pemilu kemarin--saya tentunya nggak ikut-ikutan berdemokrasi. Masa harus ikut-ikutan kayak begituan. Saya lebih meneladani Nabi Ibrahim as, yaitu berlepas tangan dari segala apa yang dilakukan orang-orang. Saya tak punya beban untuk bertanggung jawab di akhirat kelak, baik sebagai pemilih maupun yang dipilih. Hati-hati Coy, semua yang kita lakukan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah swt kelak. Terserah, kalian mau percaya atau tidak. Yang jelas, peristiwa pengadilan Illahi itu pasti terjadi.

Dalam banyak artikel di situs ini, saya memaparkan keburukan-keburukan demokrasi dengan segala risikonya. Misalnya, menyuburkan korupsi, memboroskan uang rakyat, menggadaikan bangsa, meningkatkan aksi-aksi tipu dan fitnah, mendorong pertentangan, menghancurkan jati diri, mengundang penjajah asing dalam bentuk lain dengan hormat untuk mengeruk kekayaan alam, memperbanyak uang palsu, menumbuhkan oligarki, membludakkan kemunafikan, membuat plin-plan, serta seabrek kejahatan lainnya yang ujung-ujungnya membuat negeri ini selalu miskin dan melarat .

Kini setelah Pemilu 9 April 2009, kejahatan demokrasi semakin bertambah. Hal-hal yang tidak saya duga dan belum pernah dikemukakan dalam sejarah kemanusiaan muncul mencolok dan para elit brengsek itu diam-diam saja. Mestinya, elit-elit itu mikir mengapa sampai terjadi, lalu dipikir lagi bagaimana cara pencegahannya di masa datang. Mikir Lu sampai muntah sekalian!
Elit itu ada yang baik dan ada yang brengsek. Hitung saja sendiri berapa gelintir yang baik dan berapa ribu yang brengseknya nggak ketulungan.

Bisa kita lihat demokrasi itu telah mengakibatkan kericuhan, kerusuhan, kecurangan yang menggila, depresi, frustrasi, kegilaan, bahkan kematian. Para putera bangsa yang semestinya bisa menggunakan potensinya dengan lebih baik untuk diri dan bangsanya telah menjadi korban dari kebiadaban demokrasi. Amien Rais pernah mensinyalir bahwa dalam Pemilu kali ini ada kerja-kerja siluman, kecurangan yang aneh. Kita pun melihat dengan prihatin bahwa nilai-nilai kebaikan telah begitu hancur tergantikan nilai-nilai materialistis

Yang lebih parah adalah masyarakat kita malah menertawakan orang-orang yang telah menjadi korban kekejian demokrasi itu. Kita sering mendengar atau mungkin kita sendiri yang bersenda gurau dengan topik kegilaan dan kematian para Caleg yang tidak jadi berkuasa. Tidak sadarkah kita bahwa perilaku menertawakan dan membuat malu orang itu adalah suatu keburukan? Dengan sikap kita yang jelas keliru itu telah menunjukkan bahwa betapa begonya kita, betapa tololnya kita, tak ada rasa kasihankah dalam diri kita? Sungguh, kesempurnaan kegoblokan negeri ini sebentar lagi mencapai puncaknya jika terus berdemokrasi.

Mestinya kita ikut prihatin, sedih, dan bersimpati, bahkan kalau mampu, berikanlah bantuan. Bukankah mereka itu adalah saudara kita sebangsa dan setanah air?

Kita benar-benar sedang ditipu dan menipu diri sendiri karena dengan—eh … ada kata lain yang lebih kasar daripada goblok?—seluruh kebodohan yang berlanjut terus menerus menggunakan sistem politik demokrasi yang sudah jelas-jelas berbahaya, kampungan, dan menyedihkan itu.

Sebenarnya, kita bangsa besar yang bisa benar-benar besar jika menggunakan kebesaran yang telah Allah swt berikan kepada kita sejak dalam kandungan.

Duh, Tuhan, Ya Robbi, selamatkan kami. Hentikan kami dari ketololan yang dibuat bangga ini. Amien.

Thursday 18 March 2010

Elit Tolol Ngajarin Rakyat Munafik

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Siapa pun orangnya, jabatan apa pun yang disandangnya, sebanyak apa pun pengikutnya, saya mengatakan orang itu adalah Elit Tolol, Goblok, Bego, dan Bodoh. Mereka itu punya borok di dalam otaknya. Kalau boroknya itu tidak bisa dioperasi sampai sembuh, sebaiknya disuruh diam sampai mati. Soalnya, kalau masih tetap hidup, bisa mengacaukan pikiran orang-orang, rakyat Indonesia, yang mestinya banyak mendapatkan cinta dan bimbingan.

Dari dulu kita sangat menyadari bahwa demokrasi yang terjadi di negeri ini melibatkan perilaku “money politics”. Sehebat apa pun upaya untuk menghentikan perilaku gila ini, tak akan pernah bisa berhasil. Ada elit politik yang pengennya disebut orang baik mengganti istilah itu dengan “cost politics” supaya lebih sopan. Padahal, isinya ya itu–itu juga, namanya suap.

Ingat, yang menyuap dan yang disuap belum tentu masuk penjara, malah bisa menjadi pejabat yang jahat, tetapi pasti tempatnya adalah di neraka. Itu pasti. Percayalah. Nggak percaya? Gimana Elu aja deh.

Karena money politics ini tak bisa dibendung dan terus menerus terjadi, Elit Tolol yang goblok itu ngajarin rakyat dengan kalimat, “Ambil saja uangnya, tapi jangan dipilih.”

Itu ngajarin orang jadi munafik, Bego!

Kalau kemunafikan ini hanya terjadi pada tingkat antarperson, kerusakannya terbatas. Hanya di antara mereka yang terlibat yang mengalaminya. Akan tetapi, kalau kemunafikan ini menyebarluas secara sporadis, akan mengacaukan hubungan pergaulan masyarakat. Kita sudah melihat buah ajaran Elit Bodoh itu.

Banyak Caleg yang meminta kembali barang-barang atau uang yang telah diberikan kepada masyarakat karena masyarakat tidak memilihnya. Ada juga Caleg gagal yang merusakkan fasilitas-fasilitas di sebuah tempat karena merasa ditipu oleh rakyat.

Akibat dari peristiwa itu adalah terjadinya gangguan hubungan baik di dalam masyarakat. Semua jadi tegang, saling curiga, dan marah besar.

Kita dengan spontan menyalahkan para Caleg gagal itu karena dinilai tidak baik. Lalu, rakyat yang telah menerima uang, barang, atau fasilitas itu adalah orang-orang yang baik?

Si Elit Goblok pasti mengatakannya adalah rakyat yang cerdas.

Cerdas dari mana? Dari Hongkong?

Saya pikir wajar saja para Caleg gagal itu kecewa dan marah. Dia merasa telah ditipu mentah-mentah oleh rakyat. Bahkan, mungkin sudah ada yang berjanji padanya untuk memilihnya dan mengajak orang-orang yang dia kenal untuk memilihnya juga karena telah mendapatkan pemberian yang rasanya enak dari Sang Caleg, padahal hatinya bengkok. Bukankah itu sikap yang munafik?

Saya mencontohkan kepada diri saya sendiri. Kalau saya memberikan uang dua puluh lima ribu rupiah kepada seseorang dengan harapan orang itu membantu saya membetulkan genteng yang bocor, kemudian orang itu ternyata tidak melakukannya padahal telah menerima uang dari saya, tetapi malahan membetulkan genteng tetangga, wajarkah kalau saya marah dan kecewa? Tidak bolehkah saya mengambil kembali uang yang telah saya berikan agar dapat diberikan kepada orang lain yang benar-benar akan membantu saya? Saya bisa mengambil uang itu kembali atau membiarkannya, tetapi orang itu sudah ada dalam catatan hidup saya sebagai orang yang tidak bisa dipercaya.

Dari peristiwa-peristiwa yang telah terjadi pasca-Pemilu, kita mestinya sudah bisa mengambil pelajaran dan semakin hari semakin meyakini bahwa sistem politik demokrasi itu mengacaukan kehidupan yang harmonis. Semua orang bisa jadi munafik, baik Caleg maupun rakyat. Bahkan, orang yang pengennya jadi terhormat ngajarin nggak bener sama rakyat.

Seharusnya, kalau tidak akan memilih orang itu atau partai itu, jangan diterima pemberiannya. Itu adalah sikap sportif, ksatria, terpuji, dan Pancasilais.

Sikap yang paling mudah adalah meninggalkan demokrasi. Kembalilah kepada kesucian Ibu Pertiwi. Di sanalah kekuatan kita. Demi Allah.

Heh, Bego! Hai Tolol! Wahai Goblok! Kalau jadi elit politik, kalau jadi figur publik, ngomong harus bener, pikir dulu, pertimbangkan dulu pakai hati dan otak. Jangan asal berkokok. Brengsek juga Lu!

Wednesday 17 March 2010

Demokrasi Itu Alat Penjajahan

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Negeri ini begitu gembira ketika telah berhasil memerdekakan diri dari penjajahan asing pada 17 Agustus 1945. Kita telah menjadi bangsa yang berdaulat dan memiliki peluang besar untuk mengatur diri sendiri. Akan tetapi, kemerdekaan yang kita dapatkan itu tak lain dan tak bukan hanyalah berupa pergantian orang-orang yang menjadi pemimpin. Kalau saat dulu adalah bangsa asing, sedangkan sekarang bangsa sendiri. Adapun soal kemerdekaan yang merupakan jembatan emas menuju kemakmuran barulah sebatas mimpi di siang bolong.

Negeri-negeri asing tidak mau melepaskan Indonesia begitu saja, soalnya Indonesia itu rasanya nikmat dan lezat. Bolehlah mereka terusir, tak lagi memimpin secara kasat mata di Indonesia, namun Indonesia harus tetap dikuasai. Mereka pun berlelah-lelah putar otak dan putar energi untuk menguasai Indonesia dengan cara yang lain.

Hasil karya dan pemikiran mereka itu disebut oleh Soekarno, Presiden RI ke-1, adalah Nekolim (neokolonialisme imperialisme), ‘penjajahan gaya baru’. Tampaknya, hasil kerja keras mereka berhasil. Buktinya, negeri ini tak kunjung makmur dan orang-orang asing sajalah yang menikmati bagian terbesar sumber daya Indonesia.

Soekarno dari dulu sudah melihat upaya penjajahan yang halus lembut dan terasa bagai hantu menakutkan yang tak dirasakan jahatnya karena tak terlihat, namun tetap ada ini. Oleh sebab itu, ia mati-matian menerangkan kepada rakyat dan elit-elit politik bahwa demokrasi adalah alat penjajahan gaya baru. Akan tetapi, rakyat dan elit-elit itu rupanya punya penyakit yang sama, yaitu menganggap segala sesuatu yang datang dari luar adalah lebih baik, termasuk sistem politik. Hal itu disebabkan telah melihat Amerika yang berhasil dalam bidang ekonomi dan militer. Padahal, belum tentu yang bagus bagi orang lain bagus juga bagi kita. Di samping itu, kini Amerika sudah mengalami kemerosotan di berbagai bidang, terutama moral, religi, dan ekonomi. Negeri itu sudah menjadi sarang penjahat kemanusiaan, penjahat lingkungan, dan penjahat ekonomi. Mereka telah merambah ke berbagai dunia dengan nafsu-nafsu jahatnya.

Merekakah yang menjadi anutan kita? Silakan saja ikuti mereka bagai orang tolol yang begonya nggak ketulungan.

Karena para elit dan rakyat Indonesia sangat terkena wabah penyakit demokrasi, terjadilah paduan pemikiran yang menjadi suatu kebijakan negara. Soekarno mengambil jalan tengah dalam melaksanakan politik, yaitu demokrasi terpimpin. Kata demokrasi tetap dipakai, namun kepemimpinan sentral menjadi rujukan akhir dari setiap musyawarah.

Bagi lawan-lawan politiknya, terutama mereka yang sakit hati karena partai atau Ormas-nya dibubarkan Soekarno, berpendapat bahwa dalam zaman demokrasi terpimpin sebenarnya tak ada demokrasi. Bagi saya, dari seluruh demokrasi di negeri ini, demokrasi terpimpin adalah lebih baik, lebih punya harga diri, lebih kuat, lebih mantap, dan lebih menjanjikan, asal seluruh elemen mampu sabar dan percaya pada kebenaran konsep Berdikari (berdiri di atas kaki sendiri). Maksud sabar adalah kita harus lebih kuat menahan diri agar tidak menjadi pengemis pada bangsa asing. Pada tulisan lain akan saya bahas tentang kedahsyatan demokrasi terpimpin.

Di atas tadi telah disebutkan bahwa bangsa asing tak rela meninggalkan Indonesia yang gurihnya bukan main. Didoronglah demokrasi di Indonesia dan dipuji-pujilah Indonesia yang telah berdemokrasi ini. Tujuannya adalah agar mereka tetap bisa bermain dengan lancar dan manis untuk mendapatkan tegukan demi tegukan dan suapan demi suapan dari Indonesia.

Mereka akan bikin partai yang dipimpin oleh orang Indonesia atau membiayai partai yang diperkirakan akan menang atau berupaya keras memenangkan partai tertentu untuk menjadi penguasa di Indonesia. Setelah jagonya menang, mereka akan minta balas budi dan menagih janji dari keroconya di Indonesia yang telah berhasil mendapatkan kekuasaan. Mereka akan minta agar "anjingnya" itu membikin legislasi yang menguntungkan mereka, minta agar beberapa sumber daya alam potensial dimiliki mereka, minta agar hukum tidak terlalu keras kepada kolega-koleganya, minta ini-itu yang pasti sudah jelas tak bisa ditolak. Toh, mereka sudah keluar uang banyak dan energi yang besar untuk membantu kutu kupret-nya yang kini telah memiliki kekuasaan. Soal rakyat, ah … dari dulu mereka tak peduli, rakyat cuma sebuah data statistik yang menyusahkan kepentingan imperialisme.

Oleh sebab itu, tak heran jika kita terus miskin dan menderita. Soalnya, potensi-potensi terpenting kita telah tergadai oleh para kecoa yang berkolaborasi dengan asing. Itulah harga yang harus dibayar karena kita telah melaksanakan politik demokrasi yang menyesatkan ini.

Oleh sebab itu, tak bosan-bosannya saya dengan tegas di mana pun dan kapan pun selalu mengampanyekan agar kita meninggalkan sistem politik demokrasi yang rendah dan hanya bagus bagi orang-orang yang rendah dan kampungan. Soal politik demokrasi rendah dan kampungan ada banyak alasan dalam berbagai tulisan pada situs ini.

Kita ini bukan bangsa kampungan dan rendah. Kita hanya sedang mabuk oleh racun yang setiap saat dihidangkan oleh pihak-pihak asing melalui berbagai sarana, misalnya, melalui media massa, perguruan tinggi, ceramah-ceramah keagamaan, aktivitas-aktivitas sosial, diskusi politik, dan seabrek sarana lain yang kelihatannya positif, tetapi sesungguhnya baunya lebih busuk dari nanah luka borok.

Kita mestinya kembali kepada diri sendiri dan menggunakan cara-cara hidup, sistem politik, yang berasal dari nilai-nilai dan norma-norma yang telah dilekatkan Allah swt sejak dalam kandungan. Hanya dengan itu kita mampu besar, kuat, punya harga diri, dan bernilai di hadapan Allah swt dan seluruh umat manusia. Jika kita masih terus menggunakan demokrasi yang jelas bukan dari diri kita sendiri, melainkan mengadopsi pemikiran orang-orang yang sedang bingung dan sesat, sudah pasti kita akan melarat dan terus sekarat sampai tubuh kita rapat dengan tanah.

Soal Soekarno sangat anti demokrasi, bisa dilihat dari pernyataan-pernyataannya di bawah ini. Hal ini harus menjadi renungan bersama karena Soekarno adalah sosok yang sangat mencintai rakyat dan menginginkan keluhuran martabat bagi bangsanya.

“Perbaikan nasib ini hanyalah bisa datang seratus prosen bilamana di masyarakat sudah tidak ada kapitalisme dan imperialisme. Hal itu disebabkan stelsel inilah yang menjadi kemadean tumbuh di atas tubuh kita, hidup dan subur dari kita, hidup dan subur dari tenaga kita, rezeki kita, zat-zat masyarakat kita.

Orang akan menanya, kenapa tidak cukup dengan parlemen? Tidakkah dapat terkabul semua kehendak rakyat jelata di dalam parlemen setelah dapat merebut jumlah kursi yang terbanyak? Tidakkah rakyat dapat meneruskan semua ia punya kehendak ekonomi asal saja suaranya di dalam parlemen sudah lebih dari separo?

Pembaca, di dalam praktiknya, parlemen, nyatalah hal yang demikian itu tak dapat terjadi. Pertama, oleh karena biasanya kaum borjuislah yang mendapat lebih banyak kursi. Mereka, kaum borjuis itu, banyak alat propagandanya. Mereka punya surat-surat kabar, mereka punya radio-radio, mereka punya bioskop-bioskop, mereka punya sekolah-sekolah, mereka punya gereja-gereja, mereka punya buku-buku, mereka punya partai-partai. Semuanya itu biasanya dapatlah menjamin suara terbanyak bagi borjuis di dalam parlemen. Semuanya itu menjamin bahwa biasanya utusan-utusan rakyat jelata kalah suara. Kedua, kalaupun rakyat jelata bisa menang suara, kalaupun rakyat jelata dapat merebut jumlah kursi yang terbanyak, maka toh tetap tak mungkin terjadi kesamarataan ekonomi itu. Sejarah parlemen democratie sudah beberapa kali mengalami kejadian arbeidersmeerderheid. Misalnya, dulu di Inggeris pernah terjadi di bawah pimpinan Ramsay Mc Donald. Akan tetapi, dapatkah waktu itu dilangsungkan kesamarataan ekonomi?

Ya, demokrasi politik itu hanya bau-baunya, bukan?

Di negeri-negeri modern benar ada parlemen, benar ada ‘tempat perwakilan rakyat’, benar rakyat namanya ‘boleh ikut memerintah’, tetapi ach, kaum borjuis lebih kaya daripada rakyat jelata. Mereka dengan harta kekayaannya, dengan surat-surat kabarnya, dengan buku-bukunya, dengan midrasah-midrasahnya, dengan propagandis-propagandisnya, dengan bioskop-bioskopnya, dengan segala alat-alat kekuasaannya bisa mempengaruhi semua akal pikiran kaum pemilih, mempengaruhi semua aktivitas politik. Mereka, misalnya, membikin ‘kemerdekaan pers’ bagi rakyat jelata menjadi suatu omongan kosong belaka. Mereka menyulap ‘kemerdekaan pikiran’ bagi rakyat jelata menjadi suatu ikatan pikiran. Mereka memperkosa ‘kemerdekaan berserikat’ menjadi suatu kedustaan publik. Mereka punya kemauan menjadi wet, mereka punya politik menjadi politiknya staat, mereka punya perang menjadi peperangannya ‘negeri’. Oleh karena itu, benar sekali perkataan Caillaux bahwa kini Eropa dan Amerika di bawah kekuasaan feodalisme baru.

’Akan tetapi, kini kekuasaan feodal itu tidak digenggam oleh kaum tanah sebagaimana sediakala. Kini ia digenggam oleh perserikatan-perserikatan industri yang selamanya bisa mendesakkan kemauannya terhadap kepada staat.’

Benar sekali juga perkataan de Brouckere bahwa ‘demokrasi’ sekarang itu sebenarnya adalah suatu alat kapitalisme, suatu kapitalistische instelling, suatu kedok bagi dictatuur van het kapitalisme! ‘Demokrasi’ yang demikian itu harus kita lemparkan ke dalam samudera, jauh dari angan-angan dan keinginan massa.”

Hmm… masih tidak mengertikah bahwa demokrasi itu adalah alat penjajahan?

Kalau belum juga paham, baca seluruh artikel dalam situs ini, mudah-mudahan Allah swt memberikan petunjuk kepada kita semua. Amin.


Demokrasi Tak Ada dalam Pancasila

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya


Masih hafal Pancasila?

Alhamdulillah, banyak yang masih hafal. Namun, generasi sekarang sudah banyak yang tidak hafal Pancasila. Kayaknya, pemerintah kita saat ini merasa rugi banget mewajibkan rakyatnya untuk menghafalkan Pancasila yang cuma lima sila itu. Seolah-olah jika mewajibkan hafal, sama dengan membebani rakyat dengan penderitaan yang mahahebat.

“Tapi … sudahlah itu kan cuma hal kecil yang tidak perlu dipikirkan,” kata pejabat pemerintah yang goblok sambil ketar-ketir tidak terpilih lagi pada Pemilu periode berikutnya.

Ah, sebenarnya sih, bukan cuma pejabat yang goblok soal itu, banyak juga masyarakat yang lebih goblok karena menganggap Pancasila adalah produk kolot dan terbelakang sehingga tidak perlu lagi diperhatikan.

Ya, … sudahlah … tulisan ini bukan untuk mendiskusikan hal itu. Kalau mau tahu bagaimana hebatnya Pancasila, ada pada artikel-artikel lain di situs ini.
Saat ini kita sedang mengeramatkan demokrasi. Sistem politik demokrasi dianggap yang paling paten, paling agung, padahal kita tak pernah benar-benar stabil dalam membangun bangsa disebabkan kita menggunakan sistem demokrasi yang lahir lima ratus tahun sebelum Yesus lahir.

Kalau mau diibaratkan dengan motor atau mobil, pilih mana, yang keluaran tahun 1990, tahun 2000, atau tahun 2008?

Rasanya goblok juga yah kalau ada yang pilih tahun 1990 sementara bisa dengan gratis mendapatkan yang tahun 2008. Demikian pula dengan sistem politik, bagusnya kan yang keluaran terbaru, bukan yang sudah usang. Minimal, kenapa nggak pake sistem politik yang terwujud setelah Yesus lahir?

Nggak mau ya?

Pengennya yang kuno melulu sih. Pantas hidupnya selalu dalam alam yang Jadul.

Eh, … tapi tulisan ini sedang membicarakan kuno dan tidak kuno suatu sistem politik, tetapi mencoba mencari teman diskusi untuk saling tukar pikiran tentang demokrasi dan Pancasila.

Sebagaimana tadi disebutkan bahwa sekarang ini hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia sedang terpersosok dalam demokrasi dalam arti mengkultuskan demokrasi. Inilah sistem termodern, tercanggih yang dapat menyelesaikan masalah. Padahal, tipu. Bahkan, banyak sekali yang berpendapat dan mengajarkan kepada orang banyak bahwa Pancasila juga mengamanatkan demokrasi.

Sungguh, kalau kita baca kata per kata dalam Pancasila, tak ada itu yang namanya kata demokrasi. Saya mau taruhan apa saja jika ada kata itu dalam Pancasila.

Orang biasanya maksa-maksain demokrasi sesuai atau diamanatkan Pancasila dengan bersandar pada sila keempat yang bunyinya begini Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Sila ini menjadi tiangnya para demokrat.

Jika mau dicermati, anak SD pun tak mungkin mengatakan bahwa ada kata demokrasi dalam sila itu.

Sila ini sesungguhnya mengamanatkan kepada bangsa Indonesia untuk terbiasa melakukan musyawarah yang dibimbing oleh hikmah dan kebijaksanaan, bukan demokrasi. Terdapat perbedaan yang teramat jauh antara musyawarah yang diajarkan Pancasila dengan musyawarah yang dikembangkan dalam demokrasi menyesatkan itu.

Banyak orang yang sesat berpikir dan juga menyesatkan pikiran orang lain dengan berpendapat bahwa demokrasi sama dengan musyawarah. Sesungguhnya itu sangat jauh berbeda.

Saudara-saudara sekalian, demokrasi itu berasal dari bahasa Yunani, demos kratos yang artinya pemerintahan rakyat. Adapun musyawarah berasal dari bahasa Arab. Dari asal kata saja, sudah berbeda negeri.

Benar dalam demokrasi ada musyawarah, tetapi berbeda dengan yang dikehendaki Pancasila. Musyawarah yang ada dalam demokrasi berujung pada perdebatan sengit dan saling menjatuhkan. Hal itu disebabkan banyaknya kepentingan kelompok dan pribadi yang menjadi ukuran. Coba saja lihat, masyarakat melalui berbagai media, baik cetak maupun elektronik, kerap disuguhi hidangan yang tidak mendidik, yaitu adu mulut, debat, dan adu bacot. Pihak-pihak yang katanya memikirkan masalah yang sama dan untuk kepentingan rakyat bersitegang dan tak mau kalah.

Memang hal itu, adu sakti itu, dibenarkan dalam demokrasi, namun sungguh merupakan suatu pengkhianatan terhadap diri sendiri, selaku bangsa Indonesia.

Mengapa mereka harus selalu bersitegang?

Soalnya, mereka itu kan perwakilan partai, kelompok, Ormas, LSM, atau yang sejenisnya. Mereka pasti akan mempertahankan pendapatnya mati-matian tidak pedulil salah atau benar. Mereka harus menang, apalagi jika ditonton orang banyak. Kalau mereka kalah atau mengalah, pasti malu dan kredibilitasnya di depan masyarakat akan menurun. Kalau masyarakat sudah menganggap rendah kelompok itu karena kalah berdebat, pasti jumlah pemilihnya akan berkurang. Pasti rakyat akan memilih pihak yang menang debat, kan lebih cerdas dan lebih unggul. Oleh sebab itu, tak heran akan terus-terusan terjadi perdebatan untuk melindungi berbagai kepentingan pribadi dan kelompoknya. Tak jarang kelompok-kelompok itu menghasut massa dan membodoh-bodohi rakyat bahwa pihaknyalah yang benar dan paling hebat. Itulah demokrasi.

Dengan demikian, kita sudah terlalu jauh dan tersesat dari jiwa asli kita sendiri. Jiwa asli bangsa Indonesia adalah bergotong-royong, bahu-membahu, saling mengisi untuk kepentingan bersama, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Musyawarah yang diamanatkan dalam Pancasila adalah musyawarah yang dibimbing oleh hikmah dan kebijaksanaan. Seluruh elemen bangsa melalui wakil-wakilnya berdiskusi, bermusyawarah untuk memecahkan masalah bersama. Dengan hikmah dan kebijaksanaan, yang menjadi prioritas adalah kebenaran, bukan kemenangan. Dalam demokrasi, prioritasnya adalah kemenangan. Dalam Pancasila adalah kebenaran. Jika dalam permusyawaratan itu terjadi perbedaan pemikiran dan pendapat, yang diambil adalah pendapat terbaik dari seluruh pendapat, bukan pendapat terbanyak. Semua pihak harus menyadari bahwa pendapat terbaiklah yang harus diakui dan digunakan. Tak ada yang dikalahkan dan tak ada yang dimenangkan karena semuanya demi kebenaran. Yang pendapatnya tidak tergunakan, tidak akan kecewa karena toh buat apa kecewa bukankah semuanya untuk kepentingan bersama, termasuk dia sendiri? Yang pendapatnya paling benar, paling baik, akan bersyukur karena Tuhan telah menyibakkan hikmah/rahasia baginya untuk menjadi pihak yang dipercaya memiliki pendapat terbaik dan itu di samping merupakan karunia, juga beban yang harus dipikul karena mesti diimplemantasikan untuk kepentingan bersama, bukan hanya kepentingan kelompoknya.

Begitulah musyawarah yang dikehendaki Pancasila, bukan demokrasi yang berakibat menyesatkan dan tak jarang membuat orang sakit, bahkan gila. Kalau Cuma gila sendirian masih mending, tetapi kalau sudah membuat negeri ini tambah carut marut, itu namanya kebangetan gobloknya. Supaya kita tidak terus-terusan berada dalam kegoblokan, tinggalkan saja demokrasi, lalu kembali pada jati diri sendiri yang dianugerahkan Allah swt kepada kita. Dengan itulah kita akan jaya dan stabil dalam menata diri dan meniti masa depan.