Tuesday 10 August 2010

Ramadhan Bulan Tepat untuk Menipu

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Kita memasuki Ramadhan yang agung. Banyak pihak yang secara sadar mempersiapkan dirinya untuk menyambut sekaligus pasang niat untuk berperilaku tertentu pada bulan penuh berkah ini. Orang-orang yang tercerahkan hatinya akan dengan gembira dengan kehadiran Ramadhan ini. Mereka tahu bahwa adalah suatu anugerah masih diberi kesempatan untuk menikmati Ramadhan. Dengan demikian, mereka mendapat momen yang teramat istimewa untuk meningkatkan perilaku positif diri di samping melebur semua dosa dan kesalahan yang telah diperbuat pada masa lalu. Akan tetapi, ada pula orang yang gembira terkotorkan hatinya dengan Ramadhan ini. Mereka mempersiapkan diri untuk bergerak secara terencana melakukan serangkaian aksi tipu-tipu pada bulan ini. Mereka ikut bersikap bak orang-orang manis penuh kesucian di hadapan orang banyak. Tujuannya tak lain adalah supaya dipandang sebagai orang yang tepat menjadi rujukan dan anutan rakyat. Dengan olah kata dan olah sikap, mereka dengan gerombolannya bergerak penuh perhitungan untuk menipu rakyat banyak.

Sangatlah benar bahwa pada bulan Ramadhan ini akan banyak orang yang ditingkatkan derajatnya oleh Allah swt di samping banyak pula yang lebih dijerumuskan-Nya ke lembah kegelapan. Hal itu disebabkan oleh perilaku mereka sendiri.

Taraweh Keliling, Subuh Keliling, tebar pesona, sebar sodaqoh, dan serangkaian aktivitas sosial positif lainnya yang inginnya disebut bernilai rohaniah digelar partai-partai dan elit-elit politik berbau busuk, baik yang sedang manggung maupun yang sudah sangat ingin manggung. Mereka tak ubahnya orang-orang baik yang ingin mengangkat derajat bangsa ini dari kemelaratan. Namun, di balik itu semua ada segumpal keinginan yang sulit disembunyikan, yaitu berharap simpati masyarakat untuk mendukungnya menduduki jabatan-jabatan politis yang lama diincarnya.

Dengan kata-kata manis yang rada-rada bernada keilahian, meluncur bak racun ke telinga masyarakat yang sudah sangat berharap bantuan ikhlas dari para dermawan dan negarawan. Para politikus kotor itu menggunakan Ramadhan sebagai sarana yang tepat untuk mengumbar dusta dan janji-janji palsu.

Kita patut bertanya, mengapa mereka hadir dengan seabrek kemanisan itu semua pada saat-saat mendekati masa-masa pemilihan? Kalau toh memang ingin berbuat baik ikhlas lillaahi taala, mestinya dari dulu dan sudah menjadi bagian hidup dari keseharian mereka. Di samping itu, tak perlu berharap dukungan masyarakat untuk memilihnya.

Sulit rasanya bagi kita untuk menilai mereka itu benar-benar berhati putih. Bahkan, ada kecurigaan dari mana dana-dana yang disebarkan itu berasal. Bisa-bisa dari para sponsornya yang nantinya ingin dibantu untuk menguasai sektor-sektor ekonomi dan pembangunan di negeri ini atau dari pinjam sana-pinjam sini yang disebutnya sebagai cost politics. Jika ini yang terjadi, mereka telah mencederai Ramadhan yang sebenarnya diciptakan Allah swt sebagai bulan penuh ampunan dan penuh berkah.

Brengseknya, banyak pula ahli agama yang terjun dalam politik sama-sama dengan tanpa malu-malunya menggunakan Ramadhan ini sebagai bulan emas untuk menebar pesona dengan harapan mendapatkan kursi panas yang menghasilkan uang syubhat dan cenderung haram. Dengan demikian, tak terlalu salah di masyarakat ada pemeo yang mengatakan bahwa preman dan kiyai jika sudah terjun dalam politik sama gilanya.

Bagi para politisi busuk, perilaku tersebut bukanlah suatu dosa atau kekeliruan karena memang selalu mengharapkan waktu dan suasana yang tepat untuk menggelar kampanye tersembunyi. Jika tak percaya, tanyakan langsung kepada mereka yang inginnya disebut terhormat itu.

Inilah buah dari demokrasi. Demokrasi memang selalu menuntut dusta dan janji-janji palsu agar mendapat perhatian rakyat untuk memilihnya. Jika tak berdusta dan tak berjanji palsu, kata-kata sederhana dan polos tampaknya tak akan menarik minat masyarakat.

Mana yang akan Saudara pilih jika ada dua orang politisi yang mengampanyekan program seperti berikut? Politisi A berjanji akan menurunkan harga sembako dalam waktu satu bulan sejak dia menduduki jabatan yang dinginkannya, sedangkan Politisi B mengajak rakyat untuk hidup sederhana dan mengencangkan ikat pinggang mengurangi kebiasaan makan sehari-hari sambil memperbanyak kesadaran untuk bersabar menghadapi hidup di samping tak ada kepastian untuk menurunkan harga bahan-bahan sembako. Pilih A atau B?

Keangkuhan Tim Sukses dan Upaya Pembodohan Masyarakat

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Sudah menjadi kebiasaan, bahkan keharusan setiap tim sukses mati-matian untuk memenangkan jagoannya yang juga lebih mati-matian untuk mendapatkan kedudukan yang diinginkannya. Berbagai upaya ditempuh agar tujuannya berhasil tercapai dengan gilang-gemilang. Dalam angan mereka, biasanya sudah ada gambaran kalau menang, akan bisa “menggali” ini dan itu sebagai hasil dari kemenangannya. Seluruhnya, biasanya berharap nilai materi dan duniawi yang semu dan sesaat.

Memang ada yang jujur dan tulus untuk masyarakat, tetapi siapa sih orangnya? Berapa sih jumlah mereka yang bisa benar-benar dibilang jujur dan tulus berbakti dan berkorban untuk rakyat?

Wajar jika para calon penguasa atau pejabat itu nggak enak tidur dan nggak enak makan atau bayangannya dipenuhi proses-proses politik, praktik dagang sapi, dan kengerian jika terjadi kekalahan. Hal itu disebabkan sudah sangat banyaknya modal yang dikeluarkan untuk mengikuti proses politik di alam demokrasi ini. Demikian pula para tim sukses yang selama ini membantunya. Mereka memiliki kesempatan untuk ikut meramaikan situasi dengan berupaya keras memenangkan jagoannya itu. Jika jagoannya menang, mereka akan ikut senang dan mungkin kebagian “sesuatu” sebagai buah dari upayanya. Jika kalah, ya harus pasrah menerima kenyataan pahit, termasuk harus pula rela jika jagoannya itu bukannya menjadi pejabat, melainkan menjadi penghuni rumah sakit jiwa. Di samping itu, mereka harus menerima untuk beberapa saat menjadi bahan gunjingan tetangga karena kekalahannya itu.

Upaya-upaya yang dilakukan tim sukses itu ada yang normal, wajar, dan bisa dibilang mendidik masyarakat. Akan tetapi, ada pula yang angkuh dan pongah, terutama yang berada di pedesaan dan atau daerah pinggiran kota. Mereka mencoba menekan masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah dengan menakut-nakuti masyarakat untuk wajib datang ke tempat pemilihan. Banyak masyarakat yang mengeluh, resah, dan merasa tertekan karena ditakuti-takuti, misalnya, kalau tidak memilih, akan didatangi aparat pemerintah dan urusan mereka ke depan akan dipersulit. Jika datang ke tempat pemilihan apalagi memilih jagoannya, diberi janji akan dimodali usahanya serta disebut warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Kalau tidak datang ke tempat pemilihan, disebut masyarakat yang tidak bertanggung jawab dan mendapat sindiran untuk segera pindah dari tempat tinggalnya sekarang, bahkan diolok-olok sebagai bukan warga Negara Indonesia. Sungguh, masyarakat sebenarnya sudah luntur kepercayaannya kepada sistem politik demokrasi ini. Mereka sangat bingung karena mulai tumbuh keyakinan bahwa siapa pun yang terpilih, kehidupan mereka tidak akan pernah berubah. Kemerosotan kepercayaan masyarakat terhadap proses politik demokrasi ini mendorong para tim sukses busuk untuk melakukan serangkaian upaya-upaya pemaksaan yang membodohkan.

Perilaku “pemaksaan” itu pun tampaknya dilakukan pula bukan hanya oleh tim sukses, melainkan pula dilakukan oleh panitia pemilihan. Biasanya, mereka, panitia itu, di beberapa TPS berkoar-koar melalui pengeras suara mengingatkan masyarakat untuk segera ke tempat pemilihan dan memberitahukan batas waktu pemilihan. Jika batas waktu sudah habis dan ada masyarakat yang masih belum datang, ada panitia yang mengunjungi warga yang belum atau tidak memilih itu. Memang yang terjadi bukan pemaksaan, melainkan peringatan tentang batas waktu pemilihan. Akan tetapi, di lingkungan masyarakat Indonesia, upaya “didatangi” itu sudah dirasakan merupakan aksi “memaksa”.

Upaya-upaya angkuh dari sebagian tim sukses dan sebagian panitia pemilihan itu sungguh bukanlah upaya yang mendidik masyarakat dalam politik. Perilaku itu hanya menunjukkan betapa khawatirnya dan sombongnya para elit di negeri ini.

Seharusnya, jika ingin disebut terpelajar, para jagoan itu mendidik tim suksesnya masing-masing agar mengajari masyarakat bahwa datang ke tempat pemilihan itu adalah “hak”, bukan “kewajiban”, di samping tugas pokoknya memberitakan soal visi dan misi para jagoannya yang biasanya isinya begitu-begitu saja. Berikan kebebasan kepada masyarakat untuk tidak datang memilih karena tidak memilih itu juga merupakan sikap politik yang lahir dari sebuah kecerdasan dan itu harus diakomodasi dalam sistem pemerintahan yang demokratis. Demikian pula pemerintah, sudah saatnya memberikan pengarahan kepada KPU dan panitia-panitia di TPS untuk tidak maksa-maksa orang datang ke tempat pemilihan. Biarkan masyarakat berjalan mengikuti kata hatinya. Duduk saja diam di tempat pemilihan dan jika waktu telah usai, lakukan proses selanjutnya, tinggalkan masyarakat yang tidak datang ke tempat pemilihan dengan rasa hormat. Nah, itu baru sportif, gentleman, dan jiwa pemberani.

Kalaulah masyarakat sudah tidak respek lagi dengan sistem politik demokrasi, mengapa tidak tinggalkan saja sistem politik demokrasi yang memalukan ini? Kemudian, bangkit membangun sistem politik baru yang berasal dari jiwa asli bangsa Indonesia. Sistem politik demokrasi itu kan hanya isu, bukan pemahaman hasil dari pengkajian ilmiah.

Jangan paksa dan jangan bodohi masyarakat!

Teori Jam Dinding

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Dalam setiap diskusi dan berbagai kesempatan. Saya selau memberikan pemahaman bahwa demokrasi itu sesat dan menyesatkan, rendah dan merendahkan. Akan tetapi, setelah mereka memahami apa yang saya sampaikan, biasanya kebingungan. Pada satu pihak mereka sangat yakin bahwa negeri ini harus keluar dari demokrasi yang memuakkan ini, di pihak lain tidak memiliki pilihan lagi untuk mengganti sistem politik demokrasi karatan ini. Hal itu disebabkan di kepala mereka hanya ada sedikit pengetahuan mengenai sistem politik, yaitu sistem otoriter, demokratis, atau Negara Islam. Hanya itu yang ada. Padahal, jika kita mau, akan ada banyak sistem politik yang bisa dijadikan alternatif. Syaratnya adalah keluar dari kebiasaan kita yang selalu menyandarkan diri pada otak dan teori-teori yang berasal dari buku-buku barat.

Kita memang terbiasa dan kerap bangga jika sudah mampu mengemukakan gagasan atau opini dengan sandaran pendapat para intelektual barat. Padahal, mereka mengatakan hal-hal itu berdasarkan tempat dan waktu yang berbeda dengan kita sekarang ini. Itulah agaknya yang menjadi dasar Ir. Soekarno, Presiden RI ke-1, mengatakan bahwa kita, bangsa Indonesia, adalah bangsa yang malas berpikir, tidak mau berpikir yang rumit-rumit. Oleh sebab itu, berulang-ulang Pemimpin Besar Revolusi itu mengingatkan kita bahwa dalam berjuang menjalankan negara untuk mencapai kejayaan haruslah memikirkan sendiri gagasan-gagasannya dan cara-caranya, gagasan dan cara-cara yang datang dari luar, tidaklah boleh begitu saja semau-maunya dijiplak. Ia adalah tokoh yang sangat yakin dengan jati dirinya. Tak heran oleh sebab itu, nama dan semangatnya tak pernah mati di negeri ini. Tidak seperti kebanyakan pemimpin kontemporer saat ini, masih hidup saja semangat dan namanya sudah mati duluan, menyedihkan sekaligus memalukan.

Kita sebenarnya diberi anugerah berupa keyakinan bahwa tujuan hidup bangsa ini adalah menjadi/menjadikan manusia Indonesia seutuhnya. Manusia yang utuh itu mengandung pengertian terjadinya keseimbangan hidup secara batin maupun lahir. Tidak berat sebelah, memprioritaskan yang batin sambil meninggalkan urusan lahir atau sebaliknya.

Untuk menyeimbangkan kehidupan yang seimbang secara individu, setiap anggota rakyat Indonesia diberikan kebebasan menganut agama dan kepercayaannya masing-masing sebatas yang diakui oleh Negara Indonesia. Tak boleh ada agama dan kepercayaan lain di luar yang telah disepakati. Untuk berinteraksi antaragama, antarkepercayaan, dan antarsuku yang majemuk ini, Pancasila telah menjadi rumusan yang sangat tepat. Tak ada segolongan manusia Indonesia pun yang dimarjinalkan oleh Pancasila. Di samping itu, Pancasila menjadi penahan sekelompok umat untuk berdiri di atas umat lainnya di lingkungan Negara Indonesia. Tambahan pula, Pancasila akan menjadi filter yang tangguh dalam menahan arus gelombang negatif yang datang dari luar Negara Indonesia jika dilaksanakan secara benar dan konsekwen sesuai dengan keinginan Pancasila itu sendiri, bukan sesuai dengan hawa nafsu segelintir manusia yang rakus harta dan kekuasaan.

Untuk mendapatkan kondisi yang “utuh” tersebut, kita sudah selayaknya menggunakan seluruh sarana lahir dan batin yang kita miliki. Modal itu hendaknya digunakan secara seimbang dalam menata pergaulan berbangsa dan bertanah air. Saat ini kita hanya terbiasa menggunakan sarana lahir tanpa menggunakan sarana batin. Dengan pongah dan bingungnya kita berputar-putar menggunakan teori-teori dan pengalaman-pengalaman hidup bangsa lain dalam memberikan dasar-dasar bagi proses berbangsa dan bertanah air Indonesia. Bisa kita saksikan perdebatan demi perdebatan yang tak karu-karuan itu mengeluarkan teori atau pendapat asing di samping menjelaskan berbagai hal yang terjadi di luar negeri. Para elit kita sangat terbiasa dengan mencontohkan hal-hal yang terjadi di Amerika, Jepang, Swedia, Cina, India, Malaysia, dan negeri-negeri lain. Padahal, keluhuran dan kemuliaan telah dicontohkan oleh para pemimpin negeri ini sejak berabad-abad lalu dan itu adalah nyata menghasilkan kejayaan, keemasan, dan kemakmuran. Tentunya, sebelum terdistorsi kerakusan VOC plus penjajah lain.

Upaya-upaya lahir yang keterlaluan ini sudah saatnya dikurangi untuk kemudian ditambah dengan upaya-upaya batin. Pendekatan batin kepada Sang Pencipta adalah upaya yang sangat tepat untuk menyelesaikan berbagai masalah yang kita alami.

Kembali pada maksud dari tulisan ini. Ketika banyak orang yang bertanya jika tidak menggunakan sistem politik demokrasi, sistem apa yang lebih baik daripada demokrasi, sesungguhnya jawaban itu selalu ada dan setiap hari diberikan Allah swt. Masalahnya, kita terlalu sibuk dengan hal-hal yang lahir, urusan hiruk pikuknya dunia ini. Padahal, sementara itu, kita meyakini bahwa Tuhan adalah Mahabenar, Maha Pemberi Petunjuk. Sangatlah aneh jika memiliki keyakinan terhadap Tuhan, tetapi mencari jalan keluar yang jauh dari nilai-nilai ketuhanan.

Saudara sebangsa dan setanah air, saya coba upayakan untuk menyederhanakan maksud ini. Kita tak akan pernah mendapatkan petunjuk yang jelas jika terlalu sibuk dengan hal-hal yang sifatnya lahir, duniawi. Kita akan selalu tersesat jika tidak memperhatikan petunjuk-petunjuk batin.

Sebagaimana judul di atas, saya mengajak Saudara-saudara sekalian untuk memperhatikan jam dinding. Saat siang ketika dunia ini dipenuhi kebisingan suara-suara yang sibuk, jam dinding itu seolah-olah hanya berjalan seperti itu, tak ada istimewanya. Akan tetapi, ketika mulai menjelang malam, saat kesibukan dunia berkurang, kita mulai mendengar sesuatu yang lain dari jam dinding, yaitu detak jam. Suara detak jam itu semakin lama semakin keras seiring dengan berkurangnya hiruk-pikuk kesibukan dunia. Ketika malam semakin pekat, semakin gelap, semakin sepi, suara detak jam dinding itu keras sekali. Bahkan di ruangan tertentu suara itu menjadi raja dibandingkan suara-suara lainnya.

Sebenarnya, suara detak jam dinding itu sejak siang pun ada dan tetap ada. Kalaupun kita tidak tidak mendengarnya, itu disebabkan perhatian kita yang tersedot oleh suara kesibukan dunia. Kalau mau sedikit melelahkan diri dengan berkonsentrasi, kita setiap saat bisa mendengarnya, baik siang apalagi malam hari.

Sesungguhnya, petunjuk mengenai sistem politik alternatif yang dapat menyelamatkan, bahkan memuliakan negeri ini setiap saat selalu ada. Allah swt selalu memberikannya kepada kita, namun kita tidak pernah benar-benar memperhatikannya. Hal itu disebabkan kita terlalu angkuh, pongah, sombong, dan bangga dengan pengetahuan yang kita dapatkan secara lahir dan bisa diraba atau dijelaskan secara lahiriah. Adapun pengetahuan dan petunjuk batin, kita abaikan. Padahal, keagungan petunjuk Allah swt itu hanya bisa diperoleh dengan upaya batin yang sungguh-sungguh.

Jika saja kita mau, sesungguhnya petunjuk untuk mengantarkan negeri ini menuju puncak kejayaannya selalu ada dan tidak pernah berhenti diberikan oleh Allah swt. Akan tetapi, hal itu hanya akan kita dapatkan jika kita mulai mengurangi kepusingan kita dengan segala hal yang sifatnya duniawi yang cenderung mengantarkan manusia untuk mengejar keuntungan sesaat.

Semoga tulisan ini memberikan sedikit pencerahan agar kita mau mencari petunjuk yang suci dari Allah swt sekaligus menghentikan atau setidak-tidaknya mengurangi kebiasaan-kebiasaan menipu, berdusta, mengingkari janji, khianat, bertengkar, berdebat, saling fitnah, saling umbar kebaikan diri pribadi, saling tuding, dan perilaku lainnya yang disahkan oleh sistem demokrasi. Sungguh sistem politik demokrasi itu sangat menggelikan. Acara yang disebut “terpelajar” dalam demokrasi adalah acara adu bacot dan adu tegang urat leher. Padahal, Pancasila mengajarkan kita untuk hidup saling membantu, bukan saling berkompetisi menjadi penguasa terhadap sekelompok manusia lainnya.

Perhatikan jam dinding. Dengarkan suaranya. Cari petunjuk Tuhan. Tuhan akan memberikan jalan keluar dari demokrasi yang menjijikan ini serta kita akan mendapatkan sistem politik yang lebih baik dan lebih agung untuk kebaikan negeri ini. Insyaallah.

Penggusuran Tanah dan Bangunan adalah Ciri Indonesia Masih di Bawah Pengaruh Penjajah

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Akhir-akhir ini kita disuguhi banyak berita tentang penggusuran tanah dan bangunan, baik itu dilakukan oleh pemerintah yang merasa memiliki hak, lembaga, institusi, perusahaan, maupun dilakukan oleh perseorangan sebagai hasil dari sengketa. Yang baru-baru ini menghebohkan adalah kasus dua janda pahlawan itu. Urusan persengketaan itu sebenarnya diakibatkan oleh masih terjajahnya mental dan pikiran kita. Sebenarnya, kita tidak perlu bersengketa soal tanah maupun bangunan jika mau memerdekakan diri dengan sebenar-benarnya merdeka.

Para founding father kita sudah berjasa besar mengusir penjajah secara fisik dari Bumi Pertiwi ini. Akan tetapi, itu hanya merupakan gerbang emas menuju kemerdekaan yang hakiki. Kita, sebagai generasi penerus, harus benar-benar menyempurnakan kemerdekaan kita, yaitu memerdekakan mental dan pikiran kita.

Kasus penggusuran tanah dan atau bangunan itu benar-benar menunjukkan bahwa kita masih percaya pada pikiran-pikiran dan hasil kerja para penjajah yang menyengsarakan negeri ini, terutama Belanda. Padahal, dulu ketika negeri ini sangat merdeka dan maju dalam berbagai bidang dalam zaman keemasannya, seluruh rakyat bisa memiliki tanah tanpa harus bersengketa. Semua orang bisa memiliki tempat tinggal dan menggarap tanah. Justru setelah kehadiran penjajah, timbulah berbagai permasalahan, kemudian aturan-aturan penjajah itu masih juga digunakan sampai sekarang karena kita punya mental kerdil dalam urusan tanah ini, pengecut, dan penakut. Kita masih saja tidak berani melakukan terobosan untuk mengembalikan kejayaan negeri ini.

Saudara-saudara sebangsa setanah air, untuk menjadikan Negara Indonesia kembali pada masa keemasannya, tentunya seluruh rakyat harus dilibatkan dalam pembangunan. Tak satu orang pun yang termasuk usia angkatan kerja diperbolehkan menganggur. Semua harus produktif. Untuk menjadi produktif, tentu harus punya hal yang dikerjakan. Oleh sebab itulah, sistem politik Indonesia yang baru harus mampu mengembalikan tanah kepada pemiliknya yang sah, yaitu rakyat Indonesia.

Dari dulu Tuhan menciptakan tanah ini untuk kepentingan manusia secara gratis. Namun, tiba-tiba keserakahan manusia membuat tanah ini harus diperjualbelikan. Banyak orang bertanya, sejak kapan tanah yang pasti dulunya gratis ini diperjualbelikan? Kok tiba-tiba ada yang ngaku milik Si Ini milik Si Itu?

Saudara-saudara pembaca yang budiman, dulu sekali nenek moyang kita membuka lahan-lahan pertanian untuk kelangsungan hidupnya, baik dari rawa atau hutan. Saat itu pertanian masih menggunakan sistem berladang pindah. Masyarakat akan menggarap tanah yang sudah dibukanya itu selama tanah itu masih subur. Ketika tingkat kesuburannya berkurang, mereka berpindah tempat ke tanah lain yang masih subur. Tanah yang dulu ditinggalkan selama tiga sampai tujuh tahun hingga menjadi gembur kembali, kemudian digarap lagi, demikian seterusnya. Pada masa itu tidak dikenal adanya hak milik individu. Tanah dianggap sebagai milik komunal, milik bersama. Tanah subur yang ditinggalkan oleh penggarapnya, bisa digarap oleh orang lain dan menjadi milik orang lain itu selama digarap.

Seiring dengan tumbuhnya pusat-pusat kekuasaan, pihak keraton pun cukup rajin membuka lahan-lahan pertanian. Rakyat diperbolehkan menggarap tanah milik istana tersebut dengan syarat memberikan upeti dari hasil pertaniannya. Semakin banyak rakyat yang bertani, baik itu dengan cara mengelola tanah keraton, maupun membuka tanah sendiri, semakin senang pula para raja. Hal itu disebabkan jumlah rakyatnya semakin banyak. Artinya, tanah di wilayah kekuasaannya akan lebih produktif serta kerajaannya bertambah kuat. Oleh sebab itu, setiap raja selalu mengingatkan pejabat bawahannya agar tidak membuat “lari” rakyat dari negerinya. Memang saat itu jika pihak penguasa dipandang tidak adil, rakyat protes dengan cara pindah ke kerajaan lain. Kalau sudah begitu, apa artinya sebuah kerajaan yang hanya memiliki sedikit rakyat atau bahkan sama sekali tidak memiliki rakyat?

Ketika kekuatan Islam semakin meningkat yang ditandai dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, semakin intensif pula masyarakat diajari bagaimana caranya mengolah tanah dengan sistem sawah atau menggarap tanah yang sama secara terus-menerus tanpa harus berpindah-pindah. Dengan demikian, setiap bidang tanah dapat terus produktif dan tanah yang lain dapat dipergunakan lagi untuk mengembangkan kekuatan kerajaan.

Memang di setiap wilayah di Nusantara ini terdapat perbedaan soal penggarapan dan pemilikan tanah, tetapi garis besarnya sama, yaitu tanah adalah milik bersama, bukan milik individu. Artinya, tak ada jual beli tanah. Semua bisa memanfaatkan tanah, semua bisa punya tempat tinggal. Tanah yang sudah tidak digarap oleh pemiliknya dapat dipergunakan oleh orang lain yang menggarapnya kemudian. Pada masa-masa itulah negeri-negeri di Nusantara ini hidup dengan makmur, zaman keemasan-kejayaan.

Saat Belanda datang dengan ambisi menjajahnya, dimulailah praktik-praktik pemaksaan terhadap masyarakat yang tengah berkembang dengan nilai-nilai dirinya itu. Pemerintahan kolonial tentunya ingin dapat mengontrol masyarakat seluruhnya. Oleh sebab itu, pada beberapa daerah rakyat ditarik mendekat terkonsentrasi ke pusat kekuasaannya. Mereka tampaknya kesulitan jika harus menguasai rakyat yang terbiasa berpindah-pindah dan jaraknya jauh-jauh. Hal yang sangat jelas dalam urusan ini adalah penjajah ingin lebih mudah dan lebih cepat menarik pajak dari rakyat.

Di Jawa Barat penjajah rakus itu menggunakan Undang-undang Agraria (Agrarischwet) tahun 1870 untuk menetapkan hubungan antara tanah dengan orang-orang yang menempati, menggarap, atau mengusahakannya. Berdasarkan undang-undang tersebut, pemerintah kolonial seolah-olah membagikan tanah kepada rakyat sebagai tanah milik untuk keperluan pertanian. Setiap kepala keluarga mendapat satu bau (500 tumbak atau ± 7.000 m²) tanah. Rakyat yang mendapat tanah secara demikian disebut “cap singa” (Adiwilaga, 1975: 3).

Cap singa adalah istilah saat itu yang didapat dari gambar yang tertera pada cap stempel surat izin yang dikeluarkan pemerintah kolonial. Gambar singa adalah lambang Kerajaan Belanda.

Sesungguhnya, sistem pemilikan atas tanah di Jawa Barat itu, umumnya di Pulau Jawa yang ditetapkan dengan undang-undang merupakan perkembangan dari keinginan pemerintah, baik pemerintah kolonial maupun bumiputera agar penduduk di wilayah Jawa Barat, terutama di daerah pedalaman, tidak berpindah-pindah tempat lagi, tetapi menetap di suatu lokasi tertentu dan mengolah tanah di lokasi itu. Undang-undang Agraria tahun 1870 dapat dipandang sebagai alat untuk memaksa penduduk wilayah Jawa Barat agar menetap di suatu lokasi tertentu dan memiliki bidang tanah tertentu.

Sejak saat itulah timbul keruwetan-keruwetan. Ketidakpastian dalam menentukan tanah kesultanan, tanah pusaka, tanah yasa, upeti dan kerjabakti, kebijakan kolonial yang sering berubah, kondisi ekonomi sosial masyarakat, dan makin meluasnya akibat perekonomian uang mengakibatkan terjadinya pemindahan hak atas tanah melalui sistem gadai dan sistem jual-beli. Kecenderungannya adalah makin terjadinya pemusatan pemilikan tanah pada orang-orang tertentu yang mengakibatkan timbulnya petani-petani yang tidak memiliki lahan pertanian lagi. Pemilik tanah luas disebut Tuan Tanah, sedangkan petani yang tidak memiliki tanah lagi disebut petani penggarap atau buruh tani (Edi S. Ekadjati: 1993).

Di samping jatuhnya rakyat ke dalam kemiskinan karena tidak lagi memiliki lahan, juga mendorong timbulnya pemberontakan-pemberontakan. Rakyat sama sekali tidak mengerti mengapa mereka yang dulunya aman-aman saja menggarap tanah, membuka hutan, berbagi dengan sesama, dan mengirimkan sepersepuluh dari hasil pertaniannya kepada sultan, tiba-tiba harus membayar pajak tinggi yang disertai dengan kerja rodi untuk kepentingan Belanda? Mengapa lahan-lahan jadi sangat terbatas?

Pemberontakan yang cukup terkenal karena lahan ini adalah Gerakan Petani Saminis. Mereka meneriakan slogan lemah pada duwe, banyu pada duwe, kayu pada duwe, ‘tanah, air, hutan adalah milik semua orang’.

Kalaulah ada orang yang mengatakan bahwa Belanda mengeluarkan aturan-aturan itu untuk kepentingan rakyat dan lestarinya alam sekitar dari penjarahan rakyat, berarti orang itu cukup pintar, tetapi sudah teramat jauh dari kebenaran itu sendiri. Coba saja lihat orang Baduy. Mereka tidak mengenal krisis ekonomi, tak pernah kelaparan, tak ada anarkisme, dan mampu seimbang dengan alam, tak ada alam yang rusak. Mereka punya hutan larangan yang sama sekali tidak boleh disentuh. Jangankan untuk menebang pohon, hanya sekedar mengambil ranting kering yang patah dari hutan itu, mereka tidak berani. Cukup satu kata, pamali, dari pemimpinnya, rakyatnya akan mematuhinya dengan kata teu wasa (tak kuasa untuk melanggar pemali itu). Hasilnya, semua aman-aman saja, senang-senang saja, dan teratur lebih tertib dibandingkan komunitas yang terdiri atas banyak jebolan perguruan tinggi. Mereka pun punya rumah yang juga pake kata pamali jika menggunakan paku. Rumah-rumah mereka dibangun dengan cara menggunakan tali ijuk. Kata pamali itu bermaksud agar rumah-rumah mereka tidak roboh jika terjadi gempa. Dengan membangun seperti itu, rumah mereka lebih tahan gempa karena elastis.

Berbeda jauh dengan kondisi di luar Baduy yang terus meluncur ke arah kemiskinan. Tampaknya, kondisi kehidupan rakyat yang serba miskin ini pun diakibatkan oleh tidak berubahnya atau tidak dikembalikannya tanah kepada rakyat. Artinya, peraturan penggunaan dan kepemilikan tanah yang ada sekarang merupakan perpanjangan kisah dari aturan-aturan yang dipaksakan penjajah itu. Tak heran jika saat ini banyak pengangguran, tak punya tempat tinggal, harus bayar sewa meskipun harus ngos-ngosan, tinggal di emperan toko, kolong jembatan, luntang-lantung tak karuan, penggusuran, dan berbagai sengketa tanah yang tak kunjung selesai memuaskan.

Adalah kenyataan yang sangat ironis di daerah-daerah tertentu ada satu kamar yang disewa oleh dua pasang suami-istri. Mereka hanya memisahkan kamar itu dengan menggunakan kain kebaya. Sementara itu, banyak rumah yang besar-besar hanya diisi oleh beberapa gelintir orang, bahkan ada yang sama sekali tidak ditempati.

Adalah pelanggaran terhadap Pancasila ketika banyak orang yang kelaparan, megap-megap, banyak tanah yang mestinya bisa produktif dibiarkan kosong tak dimanfaatkan, tetapi dimiliki oleh orang-orang kaya.

Nah, pemerintah Pancasilais adalah yang mampu mengembalikan kejayaan negeri ini diawali dengan membagikan tanah secara gratis kepada seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali. Urusan ini harus disadari oleh semua pihak, seluruh elemen bangsa karena dalam pemerintahan yang baru sudah tidak boleh ada satu orang pun yang menguasai tanah sejengkal pun dari Bumi Pertiwi ini. Semuanya milik bersama. Tak ada satu orang pun yang berhak memiliki tanah, termasuk orang No. 1 di Indonesia.

Pemerintah Pancasilais harus mampu mencari cara untuk itu karena hanya dengan cara itulah kita bisa kembali, bahkan lebih kaya dan lebih makmur dibandingkan zaman keemasan dulu.

Semua orang, semua keluarga, harus punya tempat tinggal. Tentunya, harus diatur dengan baik seadil mungkin. Misalnya, sebuah keluarga yang menggantungkan hidupnya pada pengolahan tanah secara langsung mendapat hak untuk menggarap tanah 2,5 ha, sedangkan untuk keluarga yang penghasilannya dari upah sebagai karyawan pabrik tentunya tidak seluas itu, cukup 100 m². Demikian pula dengan jabatan-jabatan tertentu, disesuaikan dengan baik dan layak. Jika hendak pindah atau tidak lagi menggarap tanahnya, dipersilakan mencari tempat lain dengan membiarkan tanah miliknya yang dulu digunakan untuk orang lain. Misalnya, sebagaimana hadits Nabi, tanah atau rumah yang tidak dimanfaatkan selama tiga tahun atau lebih akan menjadi milik penggarap berikutnya.

Dengan pengaturan seperti itu, akan didapat efek-efek positif lainnya, yaitu hemat energi, lalu lintas tertib, daya dan semangat kerja tinggi, sehat, silaturahmi semakin sering, dan sebagainya. Logikanya adalah jika diatur dengan baik, semua orang pasti berharap dapat tinggal dekat dengan tempatnya bekerja, dosen dekat dengan kampusnya, pegawai negeri dekat dengan kantornya, karyawan dekat dengan pabriknya, petani ada di lahan pertaniannya, dan lain sebagainya. Sekarang ini orang harus menempuh jarak dan waktu lama dari rumahnya untuk sampai ke tempat kerjanya. Akibatnya, boros energi, macet, mudah lelah, gampang sakit, semakin individualistis, dan boros biaya.

Selintas seperti khayalan, namun toh sejarah kita menunjukkan hal seperti itu. Kejahatan penjajahlah yang menjadikan kita seperti sekarang ini. Dalam praktiknya memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, tetapi akan ringan jika semua elemen bangsa mau menyadarinya.

Upaya pengembalian tanah menjadi milik semua akan sangat berguna juga untuk menguji seluruh orang Indonesia, apakah benar ingin maju dan berkorban untuk kepentingan bersama atau hanya teriak-teriak dengan penuh kepalsuan menipu rakyat?

Jika bangsa ini telah mampu mengembalikan tanah kepada rakyatnya sebagaimana sebelum kehadiran penjajah, kemerdekaan pun akan semakin terasa. Kita akan benar-benar bisa membangun dan kembali meneriakkan slogan yang selama ini sudah hampir mati, yaitu: Mari Kita Singsingkan Lengan Baju!

Saat ini slogan itu tidak lagi berlaku karena rakyat siap bekerja menyingsingkan lengan baju, tetapi kebingungan apa yang harus dikerjakan. Pemerintahlah yang harus berubah dan menyiapkan lahan agar rakyat yang siap bekerja dan berdikari ini akan menyingsingkan lengan bajunya untuk membangun Indonesia yang benar-benar merdeka.

Monday 9 August 2010

Yang Tersisa dari Demokrasi Hanyalah Propaganda Menyedihkan

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Sudah demikian jelas bahwa demokrasi tidak memberikan jalan keluar untuk memperbaiki sistem tatanan pergaulan berbangsa dan bernegara di negeri yang kita cintai ini. Demokrasi hanyalah menjadi sumber kekisruhan dan kekalutan yang kemudian menjadi pemicu berbagai ketimpangan yang ada. Sistem ini adalah sistem yang sangat rendah, kotor, hina, kampungan, dan tidak bernilai akademis. Akan tetapi, anehnya banyak orang yang memiliki kedudukan penting dan atau tergolong akademisi masih mempertahankan sistem politik demokrasi yang sudah demikian tampak jelas kengacoannya. Mereka dengan tanpa ragu dan tanpa malu bersuara lantang membela demokrasi. Padahal, sudah tampak nyata bahwa demokrasi semakin menyulitkan hidup kita. Tak jelas mereka itu apakah memang tidak tahu, pura-pura tidak tahu, tahu tetapi mendapatkan keuntungan duniawi dari sistem politik demokrasi yang menipu rakyat itu, tahu tetapi malu mengakui kesalahan yang telah diperbuat selama ini, atau tahu tetapi tidak memiliki alternatif lain selain demokrasi karena di kepalanya hanya ada sistem demokrasi, otoriter, atau Negara Islam. Kalaulah yang membela demokrasi itu rakyat biasa, wajarlah karena rakyat di Indonesia ini sangat mendengarkan pemimpinnya atau tokoh-tokohnya tanpa mempelajari dan mempertimbangkannya dengan matang. Akan tetapi, sangat tidak wajar kalau orang itu termasuk akademisi, bersuara lantang membela demokrasi dengan tanpa pengetahuan, hanya mengikuti isu-isu yang dihembuskan pihak-pihak kapitalis.

Ketika negeri ini mulai menjalankan praktik demokrasi, sama sekali tidak didahului dengan penelitian yang akurat dan matang. Saat itu beberapa di antara para founding father hanya melihat bahwa Amerika Serikat telah maju di berbagai bidang dengan menggunakan sistem politik demokrasi tanpa melihat dengan lebih detail penyebab-penyebab kemajuan tersebut berikut akibat-akibatnya. Dimulailah praktik demokrasi yang secara legal mulai disemarakkan pada 3 November 1945. Beberapa saat setelah itu, hanya dalam hitungan hari, sudah terjadi kekisruhan, Indonesia memiliki dua kabinet yang berseberangan dan menganggap diri paling sah. Beruntung Presiden RI ke-1, Ir. Soekarno, lebih mengutamakan persatuan bangsa dibandingkan keukeuh mempertahankan pendapat pribadinya. Ia memilih untuk merestui kabinet baru yang dibentuk di luar persetujuan dirinya. Hal itu terpaksa dilakukannya hanya untuk menyelamatkan kondisi negeri. Perlu diketahui, Soekarno sangat tidak menyukai demokrasi. Ia sudah dari dulu melihat bahwa demokrasi itu teramat buruk bagi Indonesia.

Berbagai peristiwa menyedihkan pun terjadi pascapemberlakuan demokrasi. Kabinet jatuh bangun, pertontonan kekayaan para anggota dewan, debat tak berkesudahan, dan negeri tak sempat membangun dengan baik. Pertikaian politik pun berlanjut. Jangan dilupakan pula bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi besar secara nyata adalah gara-gara diberlakukannya demokrasi. Seandainya tidak ada demokrasi, PKI tak akan menjadi partai empat besar di Indonesia dan sama sekali tak pernah menjadi partai komunis terbesar di dunia.

Saat kita beralih dari Orde Lama ke Orde Baru pun sama, cita-citanya demokrasi, yaitu Demokrasi Pancasila. Namun, apa yang terjadi selanjutnya? Kengerian dan kesakitan harus di derita rakyat negeri ini. Perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme tumbuh secara sporadis. Pemusatan keuangan yang memalukan, tekanan yang begitu hebat dari penguasa terhadap kehidupan rakyat pada umumnya, serta menggunungnya hutang terhadap luar negeri. Terlalu bosan untuk menuliskan berbagai ketimpangan dan kemelut yang terjadi pada masa Orde Baru. Saya pikir semua tahu dan sudah banyak informasi yang tersedia untuk hal tersebut, tak perlu diuraikan lagi di sini.

Ketika memasuki Orde Reformasi dari Orde Baru pun tak jauh berbeda, cita-citanya demokrasi. Kali ini Demokrasi tanpa Embel-embel. Kita semua menyangka bahwa dalam zaman ini akan terjadi perbaikan hidup secara nyata. Namun, harapan tinggal harapan, rakyat semakin bingung hidupnya. Mereka kini pun tak tahu harus ke mana melangkah. Kekisruhan dan kerusuhan politik menjadi-jadi sampai menimbulkan korban jiwa, money politics merajalela yang membuat politisi sederajat dengan tukang warung yang menghitung-hitung modal dan labanya, proses-proses hukum terhambat karena diduga terkait dengan proses demokrasi, pemborosan dana meningkat drastis yang semestinya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan, perilaku korupsi dan kolusi pun tak bisa disebut berkurang atau berhenti, malahan terus menjamur, ditambah lagi dengan tingkat kriminalitas yang meresahkan rakyat. Berita terbaru dari Pong Harjatmo yang kesal dengan perilaku anggota dewan, salah satunya adalah soal Century. Tentang Century ini tersiar dugaan keras bahwa kasus Century ini terkait dana kampanye salah satu partai. Dana kampanye itu kan berarti cost yang harus dikeluarkan untuk demokrasi. Kasus ini tetap dirasakan mengambang dan tetap menggoyang istana. Lalu, mengapa sih harus bertahan dengan demokrasi? Pengalaman sudah menunjukkan dengan sangat nyata bahwa sistem politik demokrasi itu benar-benar menjijikkan.

Tak ada lagi hal yang bisa dijadikan landasan kuat untuk mempertahankan demokrasi. Semuanya sudah hancur berantakan. Kalaupun demokrasi masih didukung oleh para pengagungnya, yang tersisa hanyalah propaganda membingungkan. Bingung karena apa sebenarnya yang membuat mereka tetap pada demokrasi? Tak jelas dan misterius. Jangan jangan, ah ... jangan deh.

Beberapa waktu yang lalu Wakil Presiden RI, Prof. Boediono dalam sebuah surat kabar mengatakan bahwa menurut pemikirannya, demokrasi adalah sistem politik yang terbaik. Akan tetapi, ia pun mewanti-wanti bahwa akan terjadi penurunan kepercayaan terhadap sistem politik demokrasi jika para elit tidak memiliki komitmen yang tinggi dalam berbangsa dan bernegara. Itu tinggal menunggu waktu kejatuhan.

Baru-baru ini pun Presiden RI, SBY, menjelaskan dalam sebuah surat kabar bahwa tak perlu lagi diperdebatkan antara Pemilihan Kadal (Pemilihan Kepala Daerah Langsung) dengan pemilihan tidak langsung dalam arti melalui orang-orang yang pengennya disebut wakil rakyat. Maaf, itu bahasa saya saja. SBY mengistilahkan dengan Pemilukada langsung, sedangkan saya mengistilahkan dengan Pemilihan Kadal. Presiden menegaskan bahwa tetap harus dilakukan pemilhan langsung, tetapi meminta Wantimpres untuk mengkaji berbagai eksesnya. Ia sangat menyadari bahwa pemilihan langsung itu memang memboroskan dana dan memicu money politics. Kesadaran seperti itu adalah teramat baik daripada mengingkari kenyataan yang ada. Namun sayangnya, ia masih percaya terhadap demokrasi yang membuat runyam itu.

Baik Presiden maupun Wakil Presiden sampai hari ini masih sangat yakin terhadap sistem politik demokrasi. Akan tetapi, mereka tampaknya sama dengan para elit dari zaman dulu sampai dengan sekarang, tak pernah mengkaji secara mendalam apakah sistem politik demokrasi itu cocok untuk diterapkan di negeri ini atau tidak. Mestinya, mereka sebagai orang yang teramat terpandang di negeri ini, memberikan penjelasan ilmiah mengenai keagungan demokrasi bagi bangsa Indonesia yang kita cintai ini, bukan hanya berpikir sekilas, mengira-ngira, atau bahkan mengikuti isu. Mereka itu akademisi yang telah mencapai gelar doktor. Seharusnya, mereka memiliki penjelasan ilmiah yang menggunakan pendekatan-pendekatan atau metode-metode ilmiah jika tetap bersikukuh mempertahankan demokrasi yang kini sudah mulai diserang dan tidak lagi dipercayai oleh beberapa kalangan rakyat, terutama rakyat yang menggunakan otak dan perasaannya. Jika mereka tak memiliki waktu untuk memiliki karya ilmiah tersebut dengan alasan bukan disiplin ilmunya atau karena kesibukannya, bukankah mereka itu dapat mengendalikan orang-orang? Mereka bisa mengumpulkan orang-orang pandainya untuk menyusun karya ilmiah tentang demokrasi itu. Mereka bisa mengumpulkan para rektor perguruan tinggi untuk hal itu. Kemudian, sampaikan kepada rakyat sehingga jelas semuanya bahwa demokrasi itu adalah yang terbaik. Selepas itu, biarkan atau bahkan undang para pengeritik demokrasi dan para antidemokrat untuk mengujinya. Jika karyanya itu selamat dari ujian, mengapa tidak diteruskan saja demokrasi itu dan dibangun dengan sepenuh keyakinan.

Akan tetapi, jika karyanya itu tidak tahan uji, ubah saja sistem politik kita tanpa ragu-ragu seperti yang pernah dikatakan Ir. Soekarno, Pemimpin Besar Revolusi kita itu, “Ubah saja yang perlu diubah, jangan tedeng aling-aling!”

Jika ternyata demokrasi itu setelah diuji, sangatlah lemah dan busuk, tetapi negeri ini tetap mempertahankannya, berarti negeri ini telah mengalami kebodohan yang ditimpa oleh kebodohan lain yang dikunci oleh ketololan yang sangat memuakkan.

Saudara sebangsa dan setanah air, sungguh saya yakin haqul yaqin, seluruh orang pintar di negeri ini tak akan sanggup menyusun penjelasan ilmiah untuk mengagungkan demokrasi. Hal itu disebabkan pertama, demokrasi itu lahir dari orang-orang bingung Athena kuno yang pusing bagaimana caranya untuk mempersatukan seluruh suku yang ada.

Kedua, saat itu pun demokrasi sudah mengklasifikasikan manusia ke dalam golongan-golongan tertentu. Manusia tidak sederajat.

Ketiga, demokrasi itu sistem politik yang kuno sangat kuno nggak ketulungan, lahir enam ratus tahun sebelum Yesus lahir. Padahal, kita hidup di zaman modern.

Keempat, sejak lahir pun demokrasi sudah ditentang para ilmuwan. Plato dan Aristotle adalah filsuf barat yang sangat berpengaruh. Mereka memandang bahwa sistem politik demokrasi itu inferior dan berbahaya.

Kelima, setelah Athena jatuh, dunia menganggap demokrasi tidak efisien. Sejak kejatuhan demokrasi itu, di berbagai belahan dunia mengalami kemajuan yang menakjubkan di berbagai bidang, seperti, ekonomi, pengetahuan, militer, dan lain sebagainya. Islam mengalami keemasan dan kejayaannya tanpa menggunakan demokrasi. Cina dan India mengalami kemajuan pesat, nggak pake demokrasi. Eropa mencapai zaman kegemilangannya, jauh dari demokrasi. Indonesia mencapai masa keemasan dan kebesarannya saat sebelum VOC datang dan sama sekali tidak mengenal demokrasi. Sejarah mencatat hal itu semua.

Keenam, Indonesia dan banyak negara lain menggunakan demokrasi hanya karena mengikuti isu-isu internasional pascaperang dunia kedua, yaitu memandang sosok AS yang saat itu maju dengan demokrasi ketika negara-negara Eropa sedang dilanda kemelut peperangan yang menyakitkan. Indonesia mengikuti isu demokrasi itu tanpa melakukan pengkajian mendalam, sebagaimana yang pernah dikatakan Ir. Soekarno bahwa di negeri ini banyak orang yang malas berpikir. Artinya, lebih suka memperhatikan, lalu mengikuti isu. Isu kok diperhatikan sih? Mestinya kan ada cek en ricek terlebih dahulu.

Ketujuh, setelah menjamur demokrasi di seluruh dunia, kapitalis menjajah negeri-negeri lain tanpa menggunakan fisik. Mereka menggunakan demokrasi itu untuk berbuat cabul dengan pemimpin-pemimpin negeri yang lemah demi merampok harta kekayaan negerinya.

Kedelapan, sejarah Indonesia tak mencatat bahwa demokrasi menyelesaikan berbagai permasalahan. Kenyataan yang ada adalah menambah masalah yang ada. Dari berbagai peristiwa yang terjadi saat ini, para pecinta demokrasi akan selalu mendapatkan masalah untuk mengagungkan demokrasi karena akan selalu bertentangan antara teori, keinginan, asumsi, dengan kenyataan yang ada. Oleh sebab itu, para penganut demokrat tidak akan pernah berhasil menjelaskan kehebatan demokrasi.

Kesembilan, negeri-negeri yang saat ini makmur, cenderung tak ada masalah berarti, dan tetap relatif berada dalam kesantunan, sama sekali tidak menggunakan sistem politik demokrasi. Rakyat di negeri-negeri itu akan menganggap Pemilu hanya kegiatan yang nggak ada kerjaan. Mereka tidak membutuhkannya. Mereka mungkin akan tertawa terpingkal-pingkal jika di negerinya diadakan Pemilihan Kadal. Amerika? Makmur? Wow... tidak salah, tetapi mereka itu menjajah orang lain, gemar berdusta, bertengkar, bermuka dua, sering mengadu domba, mudah membunuh, terlalu grasu-grusu, dan menjadi sumber kemaksiatan di muka Bumi ini. Negeri itukah yang menjadi anutan Indonesia? Hmh ... kalau memang itu yang terjadi, saya hanya ingin mengatakan kaciaaan deh lu.

Kesepuluh, demokrasi modern yang katanya telah berkembang, padahal masih tetap mengacu pada yang kuno itu, dasar-dasarnya diletakan di negara-negara yang berbeda budaya dengan kita. Di negara-negara itu telah terjadi pengekangan yang luar biasa dari pihak kerajaan dan gereja, revolusi industri, revolusi sosial, revolusi komunis, dan dinamika sosial lainnya. Di Indonesia tidak terjadi peristiwa-peristiwa itu, jadi nggak perlu ngikut-ngikut mereka.

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air, sebetulnya sangat ingin saya menambahkan lagi alasan-alasan lain yang membuat saya yakin bahwa orang-orang terpandai di negeri ini tak akan pernah sanggup menjelaskan kehebatan demokrasi. Akan tetapi, saya khawatir Saudara-saudara akan bosan membacanya dan kemudian merasa letih. Sungguh, terlalu banyak untuk ditulis di sini. Lain kali dalam tulisan berikutnya akan saya tambah.

Intinya adalah kita harus segera keluar dari isu demokrasi ini, lalu rumuskan sistem politik yang sesuai dengan jiwa bangsa dan berasal dari dalam jiwa negeri. Allah swt sudah melekatkan nilai-nilai dan norma-norma yang kemudian dapat dijadikan landasan untuk membentuk sistem politik sendiri. Jangan pikirkan negara lain dulu. Mereka biarkan dengan urusannya sendiri.

Akan tetapi, jika masih juga percaya terhadap demokrasi, lakukan penelitian mendalam tentang hal itu. Kemudian, uji dengan baik oleh orang-orang yang kontra demokrasi. Itu akan menghasilkan sesuatu yang baik. Tidak perlu malu untuk berubah. Hanya orang tolol yang tidak mau berubah menjadi baik.

Jangan pula menyusun penjelasan ilmiah, lalu hanya diuji oleh orang-orang yang prodemokrasi. Itu sama saja dengan bohong. Dengan kata lain, upaya itu akan sama saja dengan onani atau masturbasi, yaitu punya gagasan sendiri, mengerjakan sendiri, menikmati sendiri, dan orang lain tidak boleh ikut campur.

Saya sangat percaya bahwa yang tersisa dari demokrasi hanyalah propaganda menyedihkan.