Tuesday 26 October 2010

Thousands Friends & Zero Enemy

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif saat ini dikemas dalam gaya SBY, yaitu thousands friends & zero enemy, ‘ribuan teman & nol musuh’. Gaya itu selintas seperti keinginan yang luhur. Memang sangat luhur dan menunjukkan budi pekerti yang tinggi jika dilihat dari pandangan jiwa kesantunan bangsa Indonesia. Di dalam kesundaan, ada pemeo boga batur sarebu, kurang keneh, boga musuh saurang, loba teuing, ‘punya teman seribu, masih kurang, punya musuh satu orang, terlalu banyak’. Artinya, kita harus memiliki teman yang banyak dan menghindari permusuhan walaupun hanya dengan satu orang. Dengan demikian, kita akan hidup tenang, senang, aman, dan makmur. Hal itu memang harus dijalankan dalam hidup sehari-hari di lingkungan orang-orang yang memiliki kesantunan yang sama dengan kita. Dalam istilah lain, harus dan wajib dilaksanakan di dalam negeri sendiri. Akan tetapi, hal tersebut akan menjadi sangat kontraproduktif jika digunakan dalam pergaulan internasional, antarbangsa.

Dalam berbagai kajian hubungan internasional, sesungguhnya yang namanya pergaulan internasional itu intinya adalah war, ‘perang’. Adapun peace, atau reconcilement, ‘perdamaian’ hanyalah “jeda di antara perang”. Dengan demikian, perang merupakan suatu hal mutlak yang perlu disiapkan dalam segala situasi, baik itu dalam kondisi perang maupun dalam kondisi damai. Kesiapan tersebut akan memberikan nilai tinggi dalam melakukan bargaining position di dalam dunia internasional.

Sudah menjadi kebiasaan kita yang salah, yaitu memandang sesuatu dengan pandangan kita sendiri, bukan dengan pandangan orang lain. Mestinya, kita memandangnya dengan pandangan orang lain juga agar tidak tertipu dan terbuai bujuk rayu yang akhirnya merugikan diri kita sendiri. Kita memiliki pengalaman buruk mengenai hal ini. Sejak orde baru, kita mengenal yang namanya “bantuan” asing. Kita masyarakat Indonesia mengartikannya dengan pikiran kita sendiri melalui contoh kehidupan sehari-hari. Misalnya, kata “bantuan” tersebut diartikan dengan kebiasaan kita yang membantu kerabat, kenalan, atau tetangga kita. Biasanya, kita membantu yang sedang kesulitan itu dasarnya ikhlas untuk menolong sesama. Kebiasaan kita itulah yang kemudian dijadikan arti sama dengan “bantuan” dari pihak kapitalis, yaitu ikhlas menolong sesama. Padahal, dalam proses “bantuan” tersebut, ada banyak kepentingan yang berbeda karena memiliki kebiasaan dan budaya yang berbeda. Dalam dunia kapitalis, dikenal istilah no free lunch, ‘tak ada makan siang gratis’. Artinya, tak ada itu yang namanya ikhlas untuk menolong sesama. Semua hubungan yang terjadi harus dihitung berdasarkan untung rugi. Jika menguntungkan, harus segera dilaksanakan. Jika merugikan, tak perlu dilakukan. Di samping itu, yang namanya politik internasional itu harus dilaksanakan untuk kepentingan nasional negara masing-masing. Artinya, mereka membantu kita itu untuk mendapatkan keuntungan demi kepentingan negara mereka, bukan untuk kemakmuran negara kita. Jadi, salah total jika kita menganggap bantuan dari mereka itu sebagai kebaikan mereka. Mereka membantu itu untuk keuntungan mereka sendiri. Hal itu sudah terbukti, yaitu dengan adanya bantuan dari mereka itu, negara kita menjadi terikat berbagai perjanjian yang membuat kita harus selalu bertekuk lutut menerima arahan-arahan asing. Tak heran jika banyak aset-aset nasional yang dikuasai pihak asing. Hal itu disebabkan “bantuan” itu hanyalah hutang yang harus dibayar dengan bunga berlipat ganda yang sangat sulit untuk dilunasi. Akibatnya, negeri ini bisa dengan mudah ditekan mereka, baik dari depan, belakang, atas, maupun bawah.

Pada masa ini terdapat pula istilah baru yaitu hibah, ‘hadiah atau pemberian’, dari kapitalis. Karena istilahnya menggunakan bahasa Arab, kita menjadi lebih tertipu dengan mengartikannya sebagai pemberian cuma-cuma. Istilah itu seperti sebuah bentuk ibadat. Sesungguhnya, dengan adanya hibah yang diterima kita dari pihak kapitalis, menjadikan negeri ini kacung bagi orang lain. Kita tidak memiliki harga diri karena harus bersikap baik kepada mereka yang telah memberikan banyak hibah. Dengan banyaknya hibah yang kita terima, menjadikan pula kita bermental jongos yang mudah sekali diatur oleh negara-negara lain. Sudah menjadi kenyataan bahwa jika banyak diberi orang lain, kita akan berupaya bersikap manis dan cenderung menjilat agar orang yang membantu tetap dalam keadaan senang melihat kita yang sedang melakukan aksi teatrikal memalukan.

Demikian pula halnya dengan gaya thousands friends & zero enemy, gaya itu akan mendorong negeri ini selalu berbaik-baik kepada negeri orang. Bersikap baik sangatlah bagus, namun dengan gaya ini kita akan terikat untuk berupaya terus baik meskipun negara asing telah melakukan banyak keburukan terhadap negara kita. Contohnya, kita lihat saja dengan Malaysia yang telah melakukan banyak penodaan terhadap kedaulatan Negara Indonesia. Dengan gaya ini, kita terus dipaksa untuk tetap baik dan membiarkan mereka tetap buruk kepada kita. Demikian pula, dengan kekuatan militer, kita enggan menggunakan kekuatan militer untuk menunjukkan kewibawaan kita sekaligus menomorsekiankan kelengkapan TNI karena harus menunjukkan sikap-sikap yang baik, jangan kasar-kasar. Akibatnya, sejak Orde Baru kekuatan dan kwibawaan TNI menunjukkan penurunan yang nyata. Berbeda jauh dengan masa Orde Lama, TNI menjadi kekuatan yang sangat diperhitungkan di dunia internasional

Saya sangat khawatir gaya SBY dalam politik internasional ini akan menjadi bumerang bagi diri kita sendiri manakala negeri lain memandangnya sebagai kelemahan kita. Artinya, mereka bisa saja menyepelekan kita karena tahu bahwa kita akan selalu bersikap baik-baik. Sekali lagi, bersikap baik adalah harus, tetapi dalam hubungan internasional, kita harus terlebih dahulu mengkaji sejarah dan watak negeri-negeri lain tersebut berikut hubungan-hubungannya yang telah terjadi pada masa lalu dengan negeri kita. Maksudnya, dengan mempelajari lebih dahulu secara komprehensif, kita dapat berhubungan dengan sikap “sebaik” apa kita bisa tampil di hadapan mereka.

Hal terpenting yang harus kita ingat dalam hubungan internasional adalah bukan bagaimana kita tampil baik di depan negara lain dengan harapan bisa menjadi teman karib, melainkan kembali pada pemahaman terhadap pengertian dari hubungan internasional itu sendiri. Artinya, segala aktivitas hubungan internasional haruslah didasarkan pada kepentingan dalam negeri, kepentingan nasional, kepentingan seluruh hajat hidup warga Negara Indonesia, jangan dikait-kaitkan dengan mencitrakan diri sebagai orang yang santun, tidak mau bermusuhan. Hal itu disebabkan karena memang demikianlah hakikatnya hubungan internasional. Adalah hal yang sangat bodoh jika kita tampil baik dan terhormat di depan negeri lain, sementara rakyat negeri ini dirugikan akibat hubungan internasional yang terjadi.

Sesungguhnya, kita berharap bahwa politik luar negeri yang dijalankan adalah tetap untuk kepentingan kita sendiri, bukan untuk kepentingan orang lain. Sekali lagi, pergaulan internasional itu intinya adalah war, ‘perang’. Adapun peace, atau reconcilement, ‘perdamaian’ hanyalah “jeda di antara perang”. Dengan demikian, kesiapan dan kesediaan mental dan fisik merupakan hal mutlak yang perlu dilakukan dalam segala situasi, baik itu dalam kondisi perang maupun dalam kondisi damai. Jangan sungkan dan ragu untuk menggunakan kekuatan militer jika negeri ini ternoda harga dirinya. Kita adalah keturunan para pemenang perang!

Buka Dulu Catatan Sejarahnya, Baru Bicarakan Pantas-Tidaknya Soeharto Jadi Pahlawan

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Baru-baru ini ramai diperbincangkan Soeharto diusulkan menjadi pahlawan. Ah, ... sebuah wacana yang memalukan. Sejatinya, rakyat negeri ini sangat menghargai para pemimpinnya, para pejuang, dan penggerak pembangunan. Akan tetapi, orang-orang pintar di negeri ini jangan menjadikan rakyat yang begitu baik sebagai objek sasaran penipuan untuk kepentingan segelintir manusia.

Soeharto boleh menjadi pahlawan, tetapi sebelumnya harus dibuka dulu catatan sejarahnya. Ia jatuh karena dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menggerogoti bangsa ini. Belum lagi kebijakan-kebijakannya yang membungkam suara-suara arus bawah. Tambahan pula yang sampai saat ini menjadi misterius, yaitu tentang peristiwa G-30-S yang berujung pada pembunuhan jutaan jiwa warga Indonesia. Posisi yang pernah dipegangnya sebagai pemulih keamanan malah membuat situasi kacau penuh dendam, huru-hara, bukannya menjadi stabil dan kondusif. Di samping itu, banyak hal yang perlu dijelaskan semasa kepemimpinannya yang ternyata membuat banyak aset nasional yang dinikmati pihak asing kapitalis, bukan untuk rakyat Indonesia.

Kalau soal pembangunan dan peningkatan ekonomi, itu kan cuma hutang yang belakangan ini harus dibayar oleh rakyat yang terus-menerus hidup dalam penderitaan dengan aneka ragam jenis pajak. Soal ekonomi dan pembangunan itu sama sekali Soeharto tidak memilik keistimewaan. Orang lain pun bisa lebih hebat dari dia jika memiliki banyak fasilitas seperti yang pernah dikuasainya.

Malahan, sampai saat ini saya masih curiga bahwa dana-dana pembangunan itu berasal dari pihak-pihak kapitalis yang telah diuntungkan dengan kejatuhan Soekarno berikut pembantaian anggota-anggota PKI yang jumlahnya jutaan itu. Artinya, dana-dana untuk pembangunan dan peningkatan ekonomi itu bisa saja cuma berupa bayaran karena Soeharto telah menjadi tukang pukul kapitalis. Itu artinya, bisa sama saja nilainya dia itu dengan preman jalanan yang disewa untuk memukul atau membunuh seseorang yang sesudahnya diberi upah atas hasil kejahatannya. Diakah pahlawan kita? Malu-maluin aja....!

Sebagaimana tadi disebutkan, sesungguhnya rakyat negeri ini, termasuk saya akan sangat mendukung sepenuh hati Soeharto menjadi pahlawan kebanggaan negeri ini, tetapi sebelumnya harus dibuka dahulu secara jujur hal-hal yang sampai saat ini masih menjadi kecurigaan masyarakat mengenai berbagai hal semasa kepemimpinannya. Harus dijelaskan praktik-praktik KKN yang masih belum terbuka, penculikan dan pembunuhan aktivis, G-30-S, Supersemar, pengkhianatan terhadap Ir. Soekarno, dan lain sebagainya. Kalau itu dapat dibuka dengan jelas dan jujur serta ternyata Soeharto adalah memang orang baik-baik, why not?

Jangan gunakan kalimat-kalimat bodoh semacam setiap orang memiliki kesalahan, tetapi memiliki juga sisi positif. Itu adalah kalimat racun dalam kasus ini. Lihat para pahlawan lain yang tidak kontroversial, mereka juga manusia yang punya kesalahan, tetapi jasanya bagi negeri teramat besar dan penolakan terhadap mereka untuk menjadi pahlawan sangatlah kecil, bahkan mungkin tidak ada sama sekali. Berbeda jauh dengan Soeharto yang ketika diusulkan, penolakannya sangat besar karena dalam ingatan banyak orang keburukannya sangatlah masih terasa.

Saya mengusulkan, sudahi percekcokan soal ini. Soeharto masih sangat sulit untuk dijadikan pahlawan. Adalah lebih baik bagi penggemarnya untuk berdoa agar berbagai kesalahannya dapat diampuni atau setidak-tidaknya dikurangi oleh Allah swt. Percekcokan soal ini bisa saja sangat terasa ke alam sana, alam tempat Soeharto sekarang berada. Percekcokan ini malahan merugikan Soeharto sendiri karena akan banyak gugatan kepadanya, padahal sebenarnya dia saat ini sangat menanti-nanti doa dari banyak orang karena ia tak lagi memiliki kesempatan untuk menambah catatan pahalanya dan mengurangi dosa akibat kesalahannya. Jika mencintai Soeharto, sudahi berbagai hal yang akan membuatnya tampak buruk dan lebih buruk lagi, sebaiknya doakan dan terus doakan.

Jalan Sudah Buntu

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Negeri ini sudah sampai di penghujung kebingungan. Segala daya dan upaya yang dilakukan sudah tak lagi mampu menyelesaikan berbagai persoalan. Penderitaan dan kesulitan pemilik sah negeri ini tak terpecahkan, bahkan semakin hari semakin parah. Pemerintah dan kalangan tertentu bolehlah mengatakan ada perbaikan-perbaikan, tetapi dalam kenyataannya, kelaparan, kesulitan ekonomi, kejahatan, kerusakan moral, penyakit, bencana, dan berbagai ketimpangan lainnya muncul lebih mencolok. Ironisnya, ketika sebagian besar rakyat negeri ini dalam kesusahan, sebagian kecil lainnya mengalami kemakmuran.

Dengan sistem politik demokrasi, sebetulnya kita menjatuhkan diri dalam jurang kesengsaraan berkepanjangan. Kita dulu menyangka bahwa sistem ini sangat menolong kita untuk mengatasi berbagai permasalahan, bahkan menjadi bangsa maju yang disegani dunia. Namun, apa yang terjadi? Ternyata, negeri ini semakin dililit kesulitan. Semakin hari semakin banyak bencana, huru-hara, kriminalitas, dan penurunan kesejahteraan. Hal itu disebabkan politik demokrasi mengandung berbagai cacat bawaan berupa virus mematikan. Demokrasi menjatuhkan moral dan kepribadian bangsa sehingga menimbulkan banyak kesusahan. Kesusahan dan penderitaan yang harus ditanggung rakyat itu tak bisa dilawan oleh rakyat karena rakyat dan seluruh elemen bangsa ini terikat dan terbelenggu oleh sistem demokrasi yang sebetulnya sangat jauh dari kepribadian bangsa serta tuntunan Allah swt. Ketika penderitaan itu menimbulkan kemarahan yang terpendam, alam pun menangkap gelombang itu dan memuntahkan kemarahan tersebut dengan caranya sendiri. Hakikatnya, Allah swt tidak suka dengan sistem politik dusta ini dan menunjukkan akibat-akibatnya kepada kita dengan maksud agar kita mengerti untuk segera meninggalkannya dan kembali kepada jati diri bangsa yang sesungguhnya.

Akan tetapi, kita ternyata tidak juga mau mengerti dan enggan meninggalkannya, terutama mereka yang telah mengecap manisnya demokrasi sambil tetap membohongi rakyat untuk tetap berada dalam hipnotis kedustaannya. Orang-orang jahat ini akan sangat dirugikan jika negeri ini kembali pada jati dirinya.

Meskipun demikian, mereka menyaksikan sendiri bahwa sistem politik demokrasi ini telah menunjukkan tabiatnya yang merusak. Dulu ketika berlangsung pemilihan eksekutif secara tidak langsung, telah terjadi berbagai kerusakan, di antaranya, money politics, oligarki, dan panen uang yang dituai anggota DPRD saat masa-masa pertanggungjawaban eksekutif yang ujungnya adalah tetapnya kondisi rakyat dalam kesulitan, sementara para penguasa berpesta pora. Oleh sebab itu, diubahlah menjadi pemilihan langsung oleh rakyat untuk menekan praktik-praktik buruk akibat pemilihan tidak langsung tersebut. Hal yang paling mengemuka adalah dengan dilangsungkannya pemilihan langsung oleh rakyat, para Caleg dan calon eksekutif itu tidak memiliki uang yang cukup untuk menyuap rakyat agar memilihnya karena jumlah rakyat sangat banyak, berbeda dengan pemilihan tidak langsung yang dengan uang sedikit saja bisa menyuap anggota DPR yang jumlahnya sangat sedikit itu. Akan tetapi, setelah dilaksanakan pemilihan langsung, kita semua menyaksikan bahwa ternyata rakyat tetap bisa dibeli, huru-hara semakin meluas, kriminalitas menjadi-jadi, serta kerusakan fisik dan mental semakin kentara. Setelah kerusakan akibat pemilihan langsung itu jelas terasa, elit-elit politik mencari cara untuk menyelesaikannya. Cara yang sekarang mulai keras diwacanakan oleh Ketua DPR RI Marzuki Alie dan Ketua Partai Demokrat Anas Urbaningum adalah kembali ke sistem pemilihan tidak langsung. Harapannya adalah tidak lagi terjadi keburukan-keburukan akibat pemilihan langsung.

Jika diperhatikan, para elit itu ternyata cuma menjalankan politik “setrikaan baju” yang bolak-balik tidak jelas ujung pangkalnya. Dulu kita menggunakan pemilihan tidak langsung dan berakhir buruk, lalu diganti dengan pemilihan langsung. Setelah pemilihan langsung pun buruk, kita diajak lagi ke sistem pemilihan tidak langsung yang buruk itu. Jadi, ternyata para politisi itu tidak memiliki jalan lain untuk memperbaiki kondisi negeri. Mereka malahan banyak yang melihat keuntungan besar dari pemilihan tidak langsung. Tentu saja, keuntungan itu bukan untuk rakyat, melainkan untuk para politisi sendiri. Di samping itu, dengan kembali ke sistem pemilihan tidak langsung, berarti merestui tindakan-tindakan korup dan kemaksiatan yang terjadi akibat dari pemilihan tidak langsung. Inilah yang saya sebut jalan sudah buntu. Pemilihan tidak langsung diganti pemilihan langsung diganti lagi pemilihan tidak langsung. Nggak punya cara lain lagi.


Mereka tak lagi mampu berpikir dari jeratan sistem politik demokrasi yang jelas-jelas rendah, kampungan, dan hina ini. Mereka tetap mengeramatkan demokrasi yang sebetulnya merendahkan derajat manusia dan kemanusiaan. Akibatnya, mereka bolak-balik nggak karu-karuan. Mereka tidak memiliki cara lain karena sudah terbius dan menjerumuskan diri sebagai penyembah berhala demokrasi.

Mereka pikir dengan kembali pada pemilihan tidak langsung akan menjadikan negeri ini lebih baik. Itu adalah kesesatan yang nyata. Mereka pikir dengan sistem pemilihan tidak langsung akan berhenti dari huru-hara, money politics, dan seabrek kejahatan lain akibat sistem pemilihan langsung? Sungguh pikiran yang keliru dan teramat bodoh, tolol sangat memilukan.

Buntunya jalan tersebut menunjukkan kepada kita semua bahwa Allah swt sudah tidak menghendaki lagi sistem yang nista ini dilanjutkan. Kita semestinya kembali pada jati diri yang sejak dulu dilekatkan Allah swt kepada kita. Jika kita terus berlanjut seperti ini, akan terjadi kekalutan dan kesemrawutan melebihi yang sudah-sudah.

Akan tetapi, sudah menjadi keharusan bahwa negeri ini akan menemukan dirinya dalam keadaan yang sangat menderita. Hal itu disebabkan kita menggunakan jalan yang salah. Artinya, tulisan atau peringatan ini tak akan mengubah sedikit pun perjalanan bangsa ini, kecuali memberikan peringatan bahwa kita sudah mengambil jalan yang salah dan akan menerima akibatnya dengan kesedihan melebihi yang sudah-sudah, baik itu bencana alam maupun bencana sosial-politik-ekonomi.

Ada pesan yang disampaikan oleh Prabu Siliwangi mengenai kekalutan dan kebingungan yang akan terjadi dan atas izin Allah swt, pasti terjadi, tak bisa diubah-ubah. Jika kita berhati bersih dan berpikiran luas, akan mampu menangkap apa yang dipesankan oleh Sang Prabu mengenai bagian dari masa depan negeri ini.

Dalam bahasa Sunda:

Jayana buta-buta, hanteu pati lila; tapi, bongan kacarida teuing nyangsara ka somah anu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di alun-alun. Buta bakal jaradi wadal, wadal pamolahna sorangan. Iraha mangsana? Engké, mun geus témbong budak angon! Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi gélo marantuan nu garelut, dikokolotan ku budak buncireung! Matakna garelut? Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang loba. Nu boga hak marénta bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarérang.

Nu garelut laju rareureuh. Laju kakara arengeuh. Kabéh gé taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara.

Dalam bahasa Indonesia:

Kekuasaan raksasa-raksasa buta itu tidak terlalu lama, tetapi selama berkuasa itu keterlaluan sekali menindas rakyat susah yang sedang berharap datangnya mukjizat, Raksasa-raksasa itu akan menjadi tumbal, tumbal kejahatannya sendiri. Kapan waktunya? Nanti kalau sudah tampak Anak Gembala! Mulai saat itu akan terjadi keributan, huru-hara, dari rumah menjadi sekampung, dari sekampung menjadi senegara! Orang-orang bodoh pada jadi gila ikut-ikutan membantu mereka yang sedang berkelahi yang dipimpin oleh Pemuda Buncit! Penyebabnya berkelahi? Memperebutkan warisan, tanah. Mereka yang serakah ingin mendapatkan lebih banyak lagi. Mereka yang memiliki hak meminta haknya diberikan. Mereka yang sadar berdiam diri. Mereka hanya menonton, tetapi tetap terimbas juga.

Mereka yang berkelahi akhirnya kelelahan. Mereka baru tersadar. Ternyata, semuanya tidak ada yang mendapatkan bagian. Hal itu disebabkan tanah dan kekayaan alam seluruhnya habis, habis oleh mereka yang memegang banyak uang. Para raksasa lalu menyusup curang ke berbagai kelompok. Mereka yang berkelahi jadi ketakutan sendiri, takut dipersalahkan atas kerusakan dan kehilangan tanah dan kekayaan negara.

Sudah jelas sistem politik demokrasi ini adalah salah dan jahat, tetapi orang-orang tidak mau mendengarkan karena bodoh. Oleh sebab itu, negeri ini akan menerima akibatnya yang berupa berbagai bencana. Pada tulisan lain, bencana-bencana alam yang telah, sedang, dan akan terjadi menurut Uga Wangsit Siliwangi akan dipaparkan lagi.

Segera jauhi apa pun yang berhubungan dengan demokrasi. Dekatkan diri kepada Allah swt. Mudah-mudahan Allah swt akan melindungi kita dari ganasnya kejahatan dan tekanan pada masa depan akibat dari ketololan yang dijalankan dalam pemerintahan kita sendiri saat ini. Amin.

Sunday 10 October 2010

Ketegasan Itu Mutlak Diperlukan

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Ketegasan pemimpin dalam menunjukkan bahwa negaranya berdaulat, memiliki harga diri, dan tidak mudah untuk dipermainkan adalah mutlak diperlukan. Ketegasan itu akan menjadi sorotan internasional dan membuat pihak luar semakin mempertimbangkan eksistensi negara tersebut.

Adalah hal yang sangat hebat ketika SBY, Presiden RI, membatalkan kunjungan kenegaraan ke Negeri Belanda. Saya berharap pembatalan kunjungan yang terjadi hanya beberapa saat keberangkatan itu bukan atas dasar “takut ditangkap di negeri orang”, melainkan suatu sikap menunjukkan harga diri yang kuat bahwa Negara Indonesia adalah negara yang harus dihormati sehingga negara-negara lain harus membuat negaranya clear dari hal-hal yang bisa mengganggu hubungan dengan Negara Indonesia.

Adalah suatu ketololan kondisi yang tercipta di Negeri Belanda. Ketika pemerintahnya secara resmi mengundang Presiden RI, lembaga peradilannya menjadwalkan sidang yang didasarkan pada tuntuntan Republik Maluku Selatan (RMS) untuk menangkap SBY ketika berada di Belanda. Itu sebuah situasi dan kondisi aneh yang sangat bisa dianggap menghina kehormatan bangsa Indonesia.

Saya dan pihak-pihak lain terlalu sering tidak setuju dan kesal dengan pemerintahan duet Yudhoyono-Boediono. Oleh sebab itu, sering pula melontarkan kritik-kritik keras. Akan tetapi, soal itu adalah persoalan “di antara keluarga besar Indonesia”, persoalan pribadi di dalam negeri. Jika ada pihak luar yang mengganggu anggota keluarga besar Indonesia apalagi kepala negara, itu tidak boleh dibiarkan. Satu jiwa anggota keluarga Indonesia adalah kehormatan bagi bangsa. Kalau diibaratkan kita adalah sebuah keluarga, tidak mungkin kita membiarkan atau meminta bantuan agar tetangga kita menghardik bahkan memukul salah satu anggota keluarga kita. Kita sudah sangat wajib hukumnya melindungi anggota keluarga kita bagaimanapun seringnya kita berbeda paham. Hanya orang-orang tolol, bodoh, dan tidak berpengetahuan yang membiarkan anggota keluarganya dihina orang lain.

Kembali ke masalah pembatalan kunjungan Presiden SBY. Orang-orang pintar boleh berkilah bahwa pembatalan kunjungan itu adalah sikap yang salah karena tidak mungkin pemerintahan Belanda mencampuri atau mengintervensi proses hukum di sana. Mereka berpendapat bahwa seharusnya SBY datang saja karena diberi imunitas dan harus memahami sistem kenegaraan di sana. Bagi saya, pendapat-pendapat yang menyalahkan pembatalan kunjungan itu adalah pendapat yang didasarkan pada mental terbelakang yang masih menganggap diri lemah, tertinggal, dan selalu harus mengerti orang lain. Seharusnya, sudah sangat tepat waktunya orang lain, negara lain, yang harus mengerti kita. Dengan kata lain, negara mana pun yang ingin berhubungan dengan Indonesia hendaklah tidak sombong mempertontonkan kebiasaan dirinya dengan menganggap remeh kita yang sepertinya diharuskan mengerti keadaan mereka. Merekalah yang justru harus mengerti kebiasaan dan keinginan kita. Dengan demikian, tercipta hubungan saling menghormati atas kedaulatan dan harga diri setiap bangsa.

Di samping itu, di dalam berbagai teori hubungan internasional, setiap aktivitas internasional haruslah mengacu pada kepentingan dalam negeri. Kegiatan apa pun itu. Kita harus selalu mempertimbangkan manfaat dan keburukan dari jalinan hubungan tersebut. Dalam kasus pembatalan kunjungan ke Belanda, sesungguhnya kitalah yang lebih untung. Hal itu bisa dilihat dari masih berharapnya Ratu Belanda atas kunjungan SBY, penolakan pengadilan Belanda atas gugatan RMS terhadap SBY, serta semakin hormatnya negara lain kepada Indonesia. Dari sisi keburukan, berbagai pihak mengemukakan bahwa mereka, orang-orang Belanda, akan menertawakan Indonesia karena pembatalan tersebut di samping Indonesia akan disorot sebagai negara yang kurang mengerti tentang pergaulan internasional. Kalau keburukannya cuma itu, ya biarkan saja, kita tidak rugi-rugi amat kok.

Tentang RMS itu dianggap kecil sehingga SBY tak perlu meladeninya, justru itu pendapat yang meremehkan sesuatu yang besar. Bagi negeri ini, nasionalisme adalah nomor satu sehingga sekecil apa pun yang dianggap menghina dan mengganggu nasionalisme Indonesia harus diperhatikan dengan serius. Dengan demikian, tak ada satu celah pun yang dapat digunakan oleh orang-orang licik untuk merongrong kewibawaan Negara Indonesia.

Hal yang paling memalukan adalah justru karena banyaknya bacot dari mereka yang pintar-pintar itu yang menganggap pembatalan kunjungan SBY sebagai kesalahan sehingga membesarkan eksistensi RMS, RMS seperti mendapat angin dengan menganggap dirinya menang mengganggu kedatangan SBY. Padahal, pembatalan itu adalah kemenangan dari harga diri Republik Indonesia. Dengan kata lain, para pemikir negeri ini tanpa disadari justru memberikan peluru kepada RMS untuk menghina Presiden RI. Siapa yang bodoh sebetulnya?

Seluruh Rakyat Wajib Siaga Satu Setiap September!

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

September ini sepertinya merupakan bulan emas yang digunakan para teroris dunia, baik di tingkat internasional maupun di dalam setiap negeri untuk melakukan serangkaian aksi kejahatan atas kemanusiaan di mana pun berada. Biasanya, mereka menang telak pada bulan ini dalam arti menciptakan ketakutan dan sejarah hitam dalam kehidupan manusia, bukan dalam arti menguasai manusia secara utuh dan terbuka. Oleh sebab itu, mereka berulang-ulang melakukannya pada bulan yang sama, September.

Seandainya kita mau memperhatikan, mungkin di antara Saudara-saudara Pembaca sekalian bisa mendapatkan catatan dan kenyataan bahwa pada banyak bulan September telah terjadi rangkaian kejahatan atas manusia atau peristiwa menghebohkan dalam sejarah manusia. Ada baiknya Saudara-saudara sekalian membuat data tentang berbagai persitiwa fenomenal lengkap dengan tahun, bulan, hari, jam, menit, dan detiknya. Hasilnya, bisa digunakan kita sendiri yang sadar dan awas untuk berhati-hati dalam menjalani hidup ini. Lebih baik lagi jika berbagi informasi dengan orang banyak agar semua orang dapat lebih hati-hati dan sigap dalam menghindari aksi-aksi teror yang dilakukan para penjahat pengecut itu.

Berikut beberapa contoh data yang dapat saya catat mengenai berbagai kejahatan pada bulan September ini.

Jenderal Augusto Pinochet mengudeta Presiden Sosialis Salvador Allende dari Partai Rakyat Chile pada 11 September. Dalam sebuah majalah terbitan Ibukota, CIA mengatakan bahwa operasi penggulingan itu bernama Operasi Jakarta Jakarta. Mereka mengakui nama operasi itu merupakan lambang keberhasilan penggulingan Soekarno pada peristiwa G-30-S. CIA menggunakan Jenderal Augusto Pinochet untuk mengudeta Allende. Pinochet mengebom Allende di Istana La Moneda. Allende pun tewas. Setelah berkuasa, Pinochet menjadi diktator. Lebih dari 3.200 warga Chili dibunuh atau dihilangkan. Pinochet menjadi boneka CIA. Kejadian itu terjadi pada 11 September. Peristiwa itu dibuat film dengan judul House of Spirit. Kita, bangsa Indonesia, juga punya film yang tidak diputar lagi karena dianggap buruk, yaitu tentang peristiwa malam G-30-S itu.

Penyerangan terhadap menara kembar WTC terjadi pula pada 11 September 2001 pukul 09.00. Amerika dan CIA menuduh Osama bin Laden sebagai dalangnya. Kemudian, menggelar dan mengampanyekan perang terhadap teroris. Sementara itu, terlalu banyak yang tidak mempercayai Osama sebagai dalangnya. Sampai saat ini tuduhan AS belum mendapatkan bukti kecuali propaganda dan isu rendahan. Di Indonesia pun demikian pula, orang-orang cerdas dan sadar memiliki banyak analisa bahwa hal itu dilakukan bukan oleh Osama bin Laden. Prof. Dr. Amien Rais mengatakan bahwa Osama tidak memiliki kemampuan dan teknologi untuk melakukan itu. Malahan, banyak pihak yang curiga bahwa aksi teror itu hanya akal-akalan untuk memasuki negeri-negeri Islam yang kaya minyak dan sumber daya alam lainnya di samping meredam kecepatan luar biasa dari para intelektual muda Islam dalam berkiprah di berbagai lapangan kehidupan di tingkat internasional. Kalangan futurolog berpendapat bahwa aksi itu merupakan sebuah jalan bagi kapitalis dan Yahudi untuk memerangi kedatangan Imam Mahdi yang akan menghancurkan seluruh kemaksiatan di muka Bumi ini dan memenuhi Bumi dengan kebaikan. Bahkan, tudingan yang terbaru datang dari Presiden Iran Ahmadinejad bahwa aksi penghancuran gedung WTC itu merupakan rekayasa AS sendiri dalam menangani kondisi ekonomi negerinya yang sedang menurun sekaligus mengalihkan isu agar dunia tidak lagi memperhatikan kejahatan-kejahatan yang dilakukan AS bersama Yahudi, sekutu emasnya.

Di Indonesia pemboman terhadap Kedubes Australia di Jakarta terjadi pada 9 September pukul 11 siang. Demikian pula G-30-S berlangsung pada bulan September yang ujungnya terselenggara pesta pembunuhan jutaan manusia yang tidak terkait dengan peristiwa tersebut sekaligus menciptakan rasa saling curiga di antara anak bangsa sampai dengan pada hari ini. Dulu mengemuka sekali bahwa PKI adalah pelakunya. Namun, sekarang menggeliat tuduhan bahwa CIA dan Nekolim berada di belakangnya dengan menggunakan perwira yang tidak terkenal (awalnya), tetapi cukup cerdas, Soeharto yang pernah menjadi Presiden RI itu.

Pada 30 September pagi, antara pukul 09.00 dan 11.00, Dul Arief bersama-sama dengan perwira intelijen Batalion 530/Brawijaya, Letnan Satu Ngadimo, dan Komandan Batalion 454/Diponegoro, Mayor Sukirno, telah datang menghadap tim Operasi Khusus Kostrad. Entah apa yang mereka bicarakan (Tragedi Manusia dan Kemanusiaan dalam Fitradjaja P. & B. Setiawan).

Yang baru-baru ini terjadi di negeri yang kita cintai ini adalah aksi teror yang kampungan itu. Perampokan Bank CIMB Niaga terjadi pada bulan September 2010, huru-hara di Tarakan terjadi pada September 2010, bentrokan di Ampera pun pada September 2010, demikian pula bom bunuh diri sepeda ontel di Jaktim terjadi pada September 2010, tambahan lagi baku tembak antara polisi dan teroris di Tebing Tinggi berlangsung pada September 2010.

Jika dihitung, bulan September adalah bulan ke-9. Tampaknya, kita musti hati-hati dalam bulan ini, terutama pada tanggal dan jam-jam yang berkaitan dengan angka 911. Entah ada kejadian-kejadian buruk apalagi pada bulan September ini sepanjang sejarah manusia. Para pembaca dapat menelusurinya sendiri. Sayang, saya hanya baru mendapatkan sedikit contoh.

Hal itu menguatkan dugaan bahwa aksi-aksi kejahatan manusia di atas muka Bumi ini telah direncanakan dan diskenariokan secara sistematis oleh sebuah kekuatan besar yang pengecut dan gemar bersembunyi.

Seorang Jenderal Amerika, William Gay Karl, mengaku bahwa sejak Revolusi Perancis tahun 1789 M sampai sekarang (13 Oktober 1958: Pen.), masih ada kekuatan misterius yang menggerakkan berbagai revolusi dan menggunakan orang-orang berpengaruh, seperti, Mirabeau, Lafayette, dan Duke Dourlian. Sejumlah orang masih mewakili kekuatan misterius gerakan-gerakan ini. Walaupun nama-nama mereka berbeda, mereka tidak keluar dari tangan-tangan kekuasaan misterius yang mewujudkan gerakan-gerakan itu. Mereka diperalat untuk menimbulkan pemberontakan-pemberontakan. Ketika mereka melaksanakan kepentingan itu, mereka dibersihkan dari kekuatan-kekuatan yang dibelanya. Kekuatan-kekuatan misterius itu melemparkan tuduhan dan memikulkan dosa yang sebenarnya adalah tanggungan mereka. Beginilah orang-orang itu mati karena noda dan dosa mereka, padahal kekuatan-kekuatan misterius itu tetap ada di belakang komplotan-komplotan internasional yang berlepas diri dari setiap prasangka (Muhammad Isa Dawud: 1996).

Dunia pun sampai kini masih dibuat bingung tentang peristiwa pembunuhan Presiden John F. Kennedy plus kematian keturunannya; pembunuhan Presiden Abraham Lincoln; pembunuhan Malcolm X; pembantaian terhadap orang Yahudi oleh Hitler, apakah benar ataukah kisah rekaan?; Segitiga Bermuda; UFO; Neil Armstrong; Teori Evolusi; pembunuhan terhadap para pembesar negara serta penghilangan tokoh-tokoh dan aktivis; terorisme; peledakan bom di tempat-tempat yang bukan seharusnya; tragedi penabrakan gedung WTC; invasi AS ke Irak; masalah Palestina; G-30-S; Medio Mei 1998, Peristiwa Poso; Bom Bali; Bom JW Marriot; pemboman di Kedubes Australia; virus flu burung; hasil-hasil Pemilu. Di samping itu, saya yakin bahwa masih banyak peristiwa misterius, baik di tingkat internasional, maupun di tingkat negara masing-masing.

Dari seluruh rangkaian peristiwa menghebohkan itu, baik di tingkat internasional maupun di dalam negeri sendiri, kita akan merasakan sesuatu yang aneh, semacam invisible hand atau menurut Cherep Spiridovich, gubernur dari Skandinavia yang telah dibunuh secara misterius, The Hiden Hand. Tangan-tangan itu kekuatannya menjurus ke satu arah, satu maksud, dan berasal dari satu arah juga. Siapa pun pelakunya, negara mana pun yang menjadi bintangnya, selalu ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya.

Kalau ada orang yang mengatakan bahwa tak ada yang namanya skenario global, baik itu pejabat sipil, militer, akademisi, aktivis, ataupun rakyat biasa, hanya ada dua kemungkinan bagi orang itu, yaitu: dia orang bodoh dan tolol atau dia itu anak buah syetan, baik sadar ataupun tidak. Kalau bodoh dan tolol, lumayanlah, dia bisa belajar lagi agama dari awal yang mengajarkan bahwa syetan sudah bertekad memerangi manusia tak terbatas oleh batas-batas negara. Di mana pun ada manusia, di sana ia melancarkan aksinya, baik menyesatkan secara individual maupun sosial. Kalau tidak bodoh dan tolol, berarti orang itu sudah benar-benar kesetanan.

Siaga satu setiap September!

Pindah Ibukota Bukan Solusi Terbaik

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Saat ini Jakarta sudah menjadi kota semrawut yang dikeluhkan, baik oleh penduduk aslinya sendiri maupun oleh mereka yang memiliki aktivitas di kota ini. Saya sebetulnya sudah sangat mengeluh beberapa tahun lalu ketika mendapatkan tugas atau beraktivitas di Kota Jakarta. Sungguh, Kota Jakarta bagi saya bukanlah tempat tinggal yang nyaman dan mengenakkan. Saya lebih suka tinggal di Kota Bandung yang lebih sejuk, nyaman, dan leluasa. Kalau tidak perlu-perlu amat, saya tidak ingin ke Jakarta. Akan tetapi, sekarang pun Kota Bandung sudah mulai sesak sehingga saya memutuskan untuk pindah ke Kabupaten Bandung yang jauh lebih segar, luas, dan murah.

Bagaimana tidak mengeluh? Di Jakarta untuk sampai ke tempat tujuan, harus berputar-putar dulu sambil terjebak dalam macet, padahal tempat tujuan itu tidak jauh-jauh amat. Itu sungguh memakan waktu dan sangat mengesalkan. Untuk kemacetan ini, orang-orang Jakarta dan yang sering berada di Jakarta akan lebih sempurna menggambarkan kekusutan Kota Jakarta.


Kemacetan
Melihat kemacetan, kesemrawutan, dan kekusutan Jakarta yang pernah dibahas di stasiun televisi berskala internasional Al Jazeera, saya jadi teringat Prof. Dr. H. Ateng Syafrudin, S.H., penggagas Bappenas dan Bappeda yang merampungkan desertasi dengan fokus penelitian “koordinasi”. Dalam tulisannya itu, ia menggambarkan bahwa saat itu tidak ada koordinasi yang baik antara Dinas Perhubungan (Dishub), Telkom, Pekerjaan Umum (PU), dan Perusahaan Listrik Negara (PLN). Prof. Ateng melukiskan jalan raya yang merana. Jalan itu awalnya telah dibangun dengan baik dan rapi serta mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Akan tetapi, baru saja beberapa saat selesai dan masyarakat mulai menikmatinya, tiba-tiba ada lagi program kerja resmi, yaitu membangun instalasi listrik yang membuat jalan itu harus dibongkar kembali. Artinya, jalan itu rusak lagi. Selepas itu, ada lagi pembangunan pemasangan jalur telekomunikasi yang membuat jalan tersebut kembali dirusak. Kemudian, ada lagi pekerjaan untuk membangun drainase. Artinya, jalan tersebut semakin parah. Rusak. Padahal, baru saja selesai dibuat.

Hal tersebut menunjukkan tidak adanya koordinasi yang baik antarinstansi. Bahkan, Prof. Ateng menggambarkannya sebagai egoisme instansi. Jelas hal itu merugikan masyarakat karena pembangunan-pembangunan itu menggunakan uang rakyat. Belum lagi jika jalan itu diperbaiki, ikut pula listrik, telekomunikasi, dan drainase memperbaiki instalasinya. Artinya, terjadi pemborosan dana dan pembangunan jalan yang tidak dinikmati masyarakat secara utuh. Masyarakat terus terganggu oleh pembangunan-pembangunan itu.

Sang Profesor menyarankan agar ada koordinasi yang baik antarinstansi dan menghilangkan egoisme masing-masing untuk kepentingan pembangunan yang ujung-ujungnya memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat. Misalnya, sebelum jalan itu dibangun, maka terlebih dahulu dibangun instalasi listrik, telekomunikasi, drainase, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pembangunan jalan. Selepas sarana-sarana itu dibangun, jalan pun dibuat. Dengan demikian, terjadi manfaat yang lebih baik lagi dirasakan oleh masyarakat. Nah, hal tersebut memerlukan koordinasi yang baik dan terpadu antarinstansi.

Agaknya, hal-hal yang terkait koordinasi yang pernah ditulis Prof. Ateng tersebut masih sangat berguna untuk menganalisa kekacauan Kota Jakarta. Kita bisa melihat dengan pasti bahwa luas tanah yang digunakan sebagai jalan sama sekali tidak bertambah. Akan tetapi, jumlah kendaraan terus bertambah. Yang baru semakin berjubel dan yang lama masih dapat digunakan untuk sarana transportasi. Jelas hal itu menimbulkan kemacetan yang rumit. Di sini terlihat jelas sekali tidak adanya koordinasi yang baik antara Dishub, kepolisian, Disperindag, dan instansi lain terkait dengan pengadaan kendaraan.

Tenggelam
Akhir-akhir ini mengemuka isu bahwa Jakarta bisa tenggelam atau runtuh. Hal itu disebabkan oleh pembangunan-pembangunan fisik yang tidak selaras dengan lingkungan. Artinya, pembangunan-pembangunan itu merusakkan alam sekitar. Wajar saja jika terjadi penurunan tanah, amblasnya jalan raya, atau runtuhnya bangunan secara tiba-tiba.

Hal ini pun sangat terkait erat dengan tidak adanya koordinasi yang baik dalam pembangunan-pembangunan tersebut. Di samping itu, sangat menyengat pula bau korupsi di dalamnya.

Solusi
Saat ini ada isu yang mengemuka bahwa untuk mengatasi kesemrawutan Jakarta, solusinya adalah memindahkan ibukota negara ke kota lain yang lebih baik untuk itu. Sesungguhnya, itu bukanlah solusi terbaik. Itu memang salah satu solusi, tetapi sama sekali tidak memecahkan masalah. Pemindahan ibukota hanyalah akan menambah masalah baru, baik sosial maupun ekonomi jika prioritas, mekanisme pembangunan, dan sistem politik tetap seperti hari ini.

Secara sosial, akan timbul keanehan dan kecemburuan masyarakat dengan pemindahan ibukota tersebut. Bagaimana tidak? Di tengah-tengah kemiskinan yang melanda dengan berbagai tragedi yang mewarnai, misalnya, ada satu keluarga yang bunuh diri karena himpitan ekonomi, terpaksa menjual keperawanan, merampok dan mencuri karena sudah tak tahan lapar, jualan Narkoba untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, dan melakukan tindakan kriminal lainnya yang dilakukan bukan karena ingin, pemindahan ibukota hanyalah sebuah upaya menciptakan kekisruhan yang baru dan gejolak yang lebih keras di tengah-tengah masyarakat. Secara ekonomi, jelas itu merupakan pemborosan yang mengada-ada dan hanya menguntungkan segelintir manusia yang dari dulu sudah kaya. Hal itu akan mendorong pula gejolak kemarahan yang luar biasa dari masyarakat. Dilihat dari sistem politik saat ini, pemindahan ibukota hanya akan menjadi pesta rebutan makanan bagi para elit serakah dan berjiwa korup. Demokrasi memang menciptakan politisi-politisi pendusta dan berjiwa tamak karena memang untuk bisa ikut ambil bagian dalam kekuasaan, harus memiliki uang banyak. Mantan menteri, Sonny Keraf, menyatakan bahwa sulit sekali penguasa atau pejabat yang sedang manggung untuk mampu mengontrol pembangunan karena pada saat kampanye, baik itu Pemilihan Kadal maupun Pileg dan Pil-pil lainnya, banyak disuntik dana oleh para pengusaha yang sekarang meramaikan pembangunan-pembangunan fisik di Ibukota. Di samping itu, bukan tak mungkin para elit itu mendapatkan dana lagi dalam pembangunan-pembangunan itu untuk saku pribadinya.

Selain itu, pemindahan ibukota hanya akan menjadikan kota yang baru yang dipindahi menjadi kota semrawut baru karena mekanisme pembangunannya akan sama persis dengan pembangunan Kota Jakarta yang kini merana, bising, dan membingungkan.

Solusi yang sangat tepat adalah menggiatkan ekonomi di pedesaan di luar Kota Jakarta dengan percepatan luar biasa dan menghentikan terlebih dahulu pembangunan di Kota Jakarta yang tidak perlu-perlu amat. Dengan demikian, tidak akan terjadi lagi arus urbanisasi. Mengapa harus datang ke Jakarta? Toh, di desa pun pembangunan berjalan cepat. Bahkan, jika pembangunan di luar Kota Jakarta dilipatgandakan, baik kecepatan maupun jenisnya, banyak warga Jakarta yang pindah ke daerah lain. Hal itu akan sangat mengurangi kekacauan di Jakarta.

Solusi lainnya adalah menciptakan koordinasi yang baik antarinstansi, baik dalam pembangunan fisik maupun dalam pengadaan kendaraan. Hilangkan egoisme instansi, lebih utamakan kepentingan rakyat banyak. Jangan jadikan ekonomi sebagai rujukan utama, sebagaimana yang pernah dikatakan Gubernur DKI Fauzi Bowo bahwa industri dan perdagangan otomotif adalah salah satu faktor penentu pertumbuhan ekonomi. Pikiran seperti itu menandakan kita sudah terjebak dalam budaya materialistis yang menyandarkan kehidupan pada hal yang sangat rendah, yaitu uang.

Solusi ketiga adalah ubah sistem politik sekarang ini jangan tanggung-tanggung. Jangan gunakan lagi demokrasi karena demokrasi hanya menyumbangkan kesusahan dan kepusingan di dalam negeri kita. Negeri ini akan sangat kuat jika tidak menggunakan sistem demokrasi. Negeri ini akan menjadi negeri yang besar, kuat, dan makmur jika membuang demokrasi dalam septictank perpolitikan, lalu kembali pada sistem politik yang berasal dari dalam jiwa bangsa sendiri. Kita tidak bisa mengingkari kalau Indonesia adalah negeri-negeri yang berjaya penuh masa keemasan ketika sama sekali tidak mengenal sistem politik demokrasi yang kampungan dan menyedihkan itu.

Insyaallah, jika kita berani, tentunya dimulai di tingkat elit, Jakarta akan menjadi Ibukota Indonesia yang disegani, makmur, aman, dan nyaman. Hal itu akan mendorong pula kemakmuran, keamanan, dan kenyamanan di daerah-daerah lain. Amin.

Terorisme Permainan

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Aksi-aksi teror di muka Bumi ini muncul lebih mengemuka pascapenyerangan menara kembar World Trade Centre di Amerika Serikat (AS). Sejak saat itu AS memproklamasikan perang terhadap teror dengan mengambil ikon musuhnya, yaitu Osama bin laden dan Al Qaeda-nya. Sungguh merupakan sebuah proklamasi yang merendahkan martabat dirinya sendiri, masa AS yang begitu besar bisa menyatakan perang terhadap Osama bin Laden. AS itu kan negara besar katanya, tetapi berperang dengan sekelompok orang yang sama sekali bukan sebuah negara. Memalukan. Hal itu memperlihatkan kelemahan AS sendiri dan membuat Osama bin Laden semakin terkenal. Apalagi sampai saat ini AS yang besar itu tidak bisa menghentikan Osama bin Laden. Memalukan.

Meskipun AS menuding Osama sebagai pelaku teror. Osama sampai saat ini tidak mengakuinya. Meskipun Osama tidak mengaku, AS berupaya keras meyakinkan dunia bahwa Osama adalah biang keroknya. Upaya AS itu nyaris berhasil meyakinkan banyak pemimpin negara dan tokoh-tokoh masyarakat dunia, terutama mereka yang berwawasan sempit dan bermental rendah yang terlalu gembira mendapatkan sejumlah uang untuk mendukung AS. Hanya orang-orang yang kuat pendirianlah yang sampai saat ini tidak bersedia untuk mengakui Osama bin Laden sebagai pelakunya, bahkan menuding bahwa upaya teror itu hanyalah merupakan sandiwara politik dan ekonomi AS beserta Yahudi, anak emasnya. Pasalnya, sampai sekarang tidak ada bukti yang kuat dan akurat yang menunjukkan bahwa Osama bin Laden dan Al Qaeda adalah otak penyerangan terhadap menara kembar WTC. Yang sekarang ada hanyalah penyebaran propaganda yang dipaksakan dan hibah-hibah yang diberikan bagi negeri-negeri yang memiliki pemimpin bermental jongos untuk mengikuti program perang AS terhadap terorisme.

Program perang AS itu pun menyeret pula Indonesia. Kita masih ingat ketika AS menawarkan UU antiteroris untuk diberlakukan di Indonesia. Saat itu Indonesia tidak segera menerimanya karena memang tidak membutuhkannya. Baik Osama, Al Qaeda, maupun kelompok-kelompok lainnya sama sekali tidak menganggu kehidupan di Indonesia.

Tidak berapa lama kemudian, terdengar peristiwa Bom Bali, Bom JW Mariott, penangkapan Abu Bakar Baasyir, dan percobaan pembunuhan terhadap Presiden Megawati. Dengan adanya aksi-aksi teror tersebut, Indonesia pun menjadi merasa perlu untuk menyusun undang-undang yang menangani aksi teror ini. Dengan demikian, terseretlah Indonesia ke dalam perang terhadap terorisme meskipun aksi-aksi teror ini tidak jelas apa tujuannya.

Banyak masyarakat yang kebingungan lalu melakukan analisa sendiri dengan hasil bahwa aksi-aksi ini didalangi oleh kepentingan tertentu yang terkait kekuasaan, baik itu politik maupun ekonomi. Kapitalis disinyalir kuat berada di balik semuanya. Dengan kata lain, terorisme ini hanyalah sebuah permainan untuk menguntungkan kepentingan tertentu dengan berkedok agama.

Sesungguhnya, banyak masyarakat yang sudah sangat muak dengan semua ini karena merasa sudah sangat telanjang bohongnya. Di kampus-kampus, di dalam berbagai diskusi, sampai di kalangan tukang becak dan tukang cukur membicarakan permainan terorisme ini. Dengan berbagai latar belakang pemahamannya, di antara mereka banyak yang menganggap bahwa aksi-aksi teror yang terjadi hanya merupakan aksi teror yang “dipelihara” untuk kepentingan tertentu.

Bom Bali, Bom JW Mariott masih menyisakan banyak pertanyaan di masyarakat. Dr. Azhari dan Nurdin M. Top juga meninggalkan kepenasaranan. Tuduhan Abu Bakar Baasyir yang tidak terbukti sebagai dalang teror membukakan mata masyarakat cerdas bahwa hal itu hanya rekayasa. Di samping itu, dengan pernah dipaksanya Ketua Muhammadiyah Syafii Maarif untuk menyatakan Abu Bakar Baasyir sebagai teroris, kemudian Syafii menolaknya dengan mengatakan bahwa dirinya tidak mau dipaksa karena tidak mau menjual bangsanya sendiri, membuat lebih terang segala sesuatu yang terjadi. Tambahan pula pengakuan dari Frederick Burks, penerjemah Amerika, bahwa dirinya pernah ikut memaksa Megawati waktu masih jadi presiden untuk menuduh Abu Bakar Baasyir sebagai benar-benar teroris. Burks mengakui hal itu karena sangat berhutang budi kepada masyarakat Indonesia. Dia sudah delapan belas tahun di Indonesia. Selama itu, masyarakat bersikap sangat baik dan ramah kepadanya. Dia jadi tidak enak melukai perasaan rakyat Indonesia. Apalagi dengan penangkapan Abu Bakar Baasyir baru-baru ini yang tidak jelas bukti-buktinya selain indikasi. Masyarakat sangat menunggu pengadilan terhadap Ustadz ini. Sangat penting untuk diingat bahwa masyarakat akan menilai dan mengadili sendiri dalam benak dan pemahamannya jika pengadilan terhadap Abu Bakar Baasyir digelar. Masyarakat tidak lagi akan mempedulikan keputusan hakim. Masyarakat akan punya pendapat sendiri. Penyebabnya adalah cari saja sendiri, masa tidak tahu. Hal itu, menunjukkan betapa lemahnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan kita.

Kalaulah aksi-aksi teror yang ada di Indonesia sekarang ditampakkan sebagai perwujudan dari keinginan untuk mendirikan Negara Islam Indonesia (NII), itu sangatlah aneh. Kalau ingin memenuhi Indonesia ini dengan aturan-aturan Islam, bukankah negeri ini sudah begitu memberikan kebebasan untuk berbicara, berpendapat, dan berorganisasi? Sebaiknya, masuki saja lembaga-lembaga legislatif dan eksekutif sesuai dengan konstitusi yang ada, lalu ubah dan sosialisasikan aturan-aturan yang dianggap islami itu. Tidak perlu melakukan teror. Itu lebih aman dan lebih terhormat.

Artinya, sangatlah aneh di dalam ruang keterbukaan yang luas ini masih ada orang-orang yang sembunyi-sembunyi untuk membentuk sistem politik sendiri. Terbuka saja asal tidak mengorganisasikan manusia untuk membuat makar.

Perlu diketahui bahwa melakukan kegiatan yang sembunyi-sembunyi di dalam alam yang penuh keterbukaan adalah perilakunya orang-orang Yahudi yang pengecut dan gemar bersembunyi. Islam sama sekali tidak mengajarkan hal itu. Ketika Mekah dikuasai orang kafir, yang sembunyi-sembunyi itu bukan untuk melakukan kontak senjata, melainkan dakwah. Ketika kontak senjata, sama sekali tidak diajarkan untuk sembunyi-sembunyi, tetapi terang-terangan. Bahkan, ketika telah menghancurkan musuh, orang-orang Islam yang berada di dalam kepemimpinan Nabi Muhammad saw merasa bangga dan mengumumkan bahwa dirinya telah melakukan hal tersebut. Hal itu disebabkan perjuangan itu merupakan salah satu bentuk ibadat. Jadi, upaya membom orang dan membunuh orang, lalu sembunyi itu kelakuannya Yahudi dan atau kapitalis yang dulu dikenal dengan ku klux klan, ‘lempar batu sembunyi tangan’. Perilaku itu sama sekali tidak pernah diajarkan Nabi Muhammad saw.

Saat ada informasi dari kapitalis bahwa akan ada pembunuhan terhadap Presiden Megawati, sangat kentara sekali gaya Amerika-nya yang dalam sejarahnya beberapa kepala negaranya mati ditembak teroris. Mereka sepertinya mau lebih meyakinkan bahwa ada teroris berbahaya yang mengancam nyawa presiden. Mereka berupaya menyiarkan kabar sesuai dengan pengalaman di negaranya sendiri. Mereka lupa bahwa Indonesia tidak memiliki sejarah itu dan tidak akan pernah menghakimi kepala negaranya seperti itu bagaimana pun busuknya dia. Mereka lupa Indonesia sangat sangat santun dan tidak brutal seperti negaranya. Mereka lupa bahwa Indonesia memiliki keluhuran dalam berinteraksi dengan pemimpinnya. Itulah yang menjadi indikasi bahwa semua itu hanya kebohongan, rekayasa.

Beberapa waktu lalu pun, Presiden SBY memperlihatkan foto orang-orang yang sedang pelatihan menembak untuk membunuh dirinya. Kelihatan sekali Amerika-nya. Bahkan, banyak orang yang tertawa meskipun tidak sampai terpingkal-pingkal. Itu sebuah informasi dusta lagi.

Mari kita berandai-andai. Katanya para teroris itu ingin mendirikan Negara Islam Indonesia. Seandainya saat itu Presiden Megawati dan atau Presiden SBY berikut seluruh kabinetnya mati ditembak teroris, tumpur, musnah, lalu tempat-tempat yang katanya kafir dibom luluh lantak, akankan Indonesia menjadi negara Islam? Akankah Indonesia menjadi Negara Islam Indonesia? Jawabanya pasti tidak akan pernah! Hal itu menunjukkan bahwa semuanya itu cuma permainan Yahudi-kapitalis yang menggunakan orang-orang berwawasan sempit untuk melakukan aksi-aksi teror untuk kepentingannya sendiri, baik itu politik maupun ekonomi.

Jadi, hentikan menerima hibah dari kapitalis, buang demokrasi, dan kembali pada jati diri Indonesia. Dengan demikian, kita akan kuat, jaya, dan masyarakat mendapat kesempatan untuk mengembangkan diri sesuai dengan potensinya masing-masing dengan dukungan penuh dari negara. Yang tak kalah penting adalah negeri ini tidak akan pernah menjadi bahan permainan Yahudi-kapitalis. Insyaallah.

Teroris dan Polisi Sama-Sama Anak Bangsa

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Sungguh merupakan peristiwa yang menyedihkan ketika melihat anak-anak bangsa menjadi korban kekejian suatu pertikaian politik dan ekonomi. Baik para polisi maupun mereka yang disebut teroris, saya, serta kita semua adalah anak-anak negeri yang menginginkan dirinya bermanfaat dalam hidupnya, minimal untuk dirinya sendiri. Sayangnya, kita terjebak dalam pertarungan kepentingan rendahan semu yang menimbulkan korban jiwa. Mereka yang tidak ikut dalam pertempuran langsung, sesungguhnya tetap ikut-ikut terseret dalam kekacauan tersebut.

Sebenarnya, persoalan Negara Islam Indonesia (NII) itu adalah persoalan usang dan memuakkan. Kita sebenarnya adalah bangsa yang santun dan mampu untuk hidup berdampingan saling mengalah dan saling menerima agar tercipta kehidupan yang harmonis dan serasi. Akan tetapi, agaknya ada banyak penjahat kudisan kotor yang tidak menginginkan di negeri ini terjadi keselarasan hidup dan tentunya menjadi kuat dalam kemakmuran. Mereka terus menciptakan berbagai konflik dan kerusuhan untuk kepentingan yang rendah. Untuk mengatasi permasalahan NII itu, sesungguhnya bisa diselesaikan dengan baik. Setiap elemen bangsa yang terlibat langsung dalam konflik bisa duduk bersama berbicara menyelesaikannya. Jika terjadi deadlock, dalam pemahaman keilmuan, biarkanlah para ahli ilmu dari kedua pihak yang berlelah-lelah, berletih-letih untuk menemukan jalan keluarnya. Saya yaqin haqul yaqin semuanya bisa selesai dengan baik. Sekarang ini semuanya berjalan kacau karena tidak diselesaikan secara terpelajar, bahkan terkesan memang dibiarkan agar kondisi ini bisa terus dimanfaatkan sebagai sarana untuk melanggengkan keuntungan materi yang memalukan. Saat ini kedua belah pihak yang terlibat dalam pertempuran hanya saling lempar propaganda di luar diskusi resmi seolah-olah hendak mempengaruhi publik bahwa dirinya yang terbaik tanpa adanya keinginan luhur untuk berbicara dari hati ke hati. Kedua pihak mempromosikan dirinya sebagai hero bagi para pendukungnya masing-masing. Itu hanyalah sebuah tontonan keji dan bodoh.

Kita harus sadar bahwa negeri ini sangat seksi sehingga banyak pihak yang tergiur untuk menikmatinya. Bagi para perampok kekayaan bangsa, konflik ini merupakan alat efektif untuk tetap merampok dan memperkaya dirinya sendiri. Masyarakat pun dibuat tersesat karena perhatiannya hanya terfokuskan pada peristiwa-peristiwa langsung saling bunuh-bunuhan itu. Kemudian, tercipta kondisi dan opini-opini palsu yang lebih menyesatkan lagi.

Sungguh, kejahatan saling bunuh dan saling fitnah di antara anak negeri ini harus segera dihentikan. Kita memiliki potensi untuk saling menghormati. Ada beberapa hal yang harus dilakukan, yaitu: hentikan demokrasi, hentikan menerima hibah-hibah dari kapitalis, percaya kepada diri sendiri, jangan bangga dengan kehidupan bangsa lain, jangan gemar percaya terhadap informasi kapitalis, jadikan komunikasi sebagai cara untuk menyelesaikan masalah, serta pandang bahwa setiap nyawa itu adalah berharga, satu orang saja mati tanpa hak adalah kerugian bagi bangsa ini. Demi Allah.

Jualan Terorisme

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Terorisme itu cuma barang dagangan. Terorisme itu cuma belanjaan yang ditawarkan di supermarket kapitalis. Kalau kita tidak mau, para salesnya akan maksa kita, mulai dengan sales yang tampan-tampan, lalu yang cantik-cantik, kemudian kalimatnya diucapkan sampai berbusa-busa. Kalau kita masih belum tertarik, akan ditawarkan hadiah yang menggiurkan dan menyenangkan tanpa perlu diundi, bisa dibawa pulang saat itu juga melebihi harga barang yang namanya teroris itu sendiri. Kalau masih juga tidak mau, perusahaan itu, akan menciptakan kondisi palsu agar kita mau membelinya. Misalnya, kita ditawari alarm antirampok, tetapi kita tidak membutuhkannya dan kita memang tidak membelinya. Perusahaan itu akan dengan sekuat tenaga membuat kita membutuhkannya dengan melakukan perampokan ke rumah kita dengan menggunakan orang-orang suruhan. Akibatnya, kita menyadari bahwa memang alarm itu dibutuhkan. Kalau kita masih juga tidak mau membelinya karena memiliki cara lain dalam mencegah perampokan, kita akhirnya yang akan dituduh perampok dengan memasukkan secara diam-diam barang-barang orang lain ke rumah kita. Kemudian, melakukan tindakan hukum terhadap kita dengan bekerja sama dengan pihak yang berkuasa. Begitulah perusahaan itu bekerja. Jalan terakhir adalah stick and carrot, ‘kalau tidak mau dikasih wortel, ya harus dipukul’.

Perhatikan kata-kata Soekarno berikut ini.

“Ideologi, isme, paham, hanyalah kulit dari pokok-pokok hakiki yang menjadi motor peperangan. Demokrasi dan fasisme hanyalah kulit belaka. Demokrasi dan fasisme hanyalah ideologi geschut belaka, ‘meriam fikiran belaka’, yang menurut tiap-tiap ahli perang adalah sedikitnya sama dengan meriam besi dan meriam waja. Peperangan ini adalah tabrakan antara kepentingan dan kepentingan, belang dengan belang, realiteiten dengan realiteiten. Peperangan ini memakai semboyan ideologi dan fasisme oleh karena realiteit itu berkata bahwa pada tingkat dunia sekarang ini ideologi demokrasi dan ideologi fasismelah yang paling bermanfaat buat dipakai semboyan peperangan. Ya, malahan, pada hakikatnya sistem parlementaire democratie dan sistim fascistische dictatuur itu adalah ‘kepentingan mentah’ pula, ‘rauwe belangen’ pula!”

Soekarno mengajarkan bahwa isme apa pun, ideologi apa pun, paham bagaimanapun yang ditawarkan untuk menggerakan perang adalah sebuah barang dagangan untuk kepentingan bisnis, untuk kepentingan ekonomi, untuk kepentingan materi, untuk kepentingan uang, ujung-ujungnya duit. Saat Soekarno menulis itu, terjadi perang antara demokrasi-kapitalis dan fasis. Mereka berperang dengan mengeluarkan semboyan-semboyannya untuk menjatuhkan lawannya. Dari pihak demokrasi menyerang kesewenang-wenangan fasis dan menyatakan bahwa fasis adalah harus dihancurkan karena tidak manusiawi. Demikian pula fasis membela diri dengan seluruh kekuatannya dan keyakinannya bahwa fasis adalah yang terbaik. Kedua kekuatan itu seolah-olah ingin menyelamatkan manusia dan kemanusiaan, padahal kedua-keduanya hanyalah berperang dan bertarung rebutan makanan.

Waktu pun berputar, perang terus terjadi. Namun, kali ini fasisme tidak lagi laku untuk dijual. Yang laku dijual adalah demokrasi dan komunis. Kedua kekuatan ini adu tegang urat leher menyatakan yang terbaik bagi umat manusia. Demokrasi menyerang komunis anti -Tuhan dan kejam gemar membunuh. Komunis menyerang demokrasi-kapitalis sebagai perampok hak-hak orang miskin, korup, dan menggunakan agama untuk kepentingannya. Keduanya memasuki berbagai negara dengan kalimat-kalimat indah yang tampak di luarnya sebagai pembela kemanusiaan. Padahal, kalau mau dilihat lebih dalam, keduanya sama-sama rebutan benda dan makanan. Perang ini tidak ada yang menang mutlak, keduanya tetap tegak berdiri di negeri-negeri yang telah terpengaruh oleh salah satunya.

Tampak sekali benturan rebutan benda dan makanan ini pada saat ini. Mereka tak lagi berperang, tetapi saling memahami. Lantas semboyan-semboyan perang, tudingan-tudingan yang dulu membahana sampai mengorbankan puluhan juta umat manusia itu bagaimana? Masihkah bertahan? Tampaknya, sudah tidak lagi digunakan karena itu hanya amunisi untuk membohongi orang-orang bodoh, malahan mereka sudah bekerja sama dengan erat, bersahabat karib. Tak akan terjadi pembunuhan jika warga komunis berada di dalam negeri kapitalis, begitu juga sebaliknya. Berbeda dibandingkan dahulu yang bisa saling bunuh di mana saja mereka bertemu. Yang menyedihkan adalah Indonesia yang sampai kini masih terjebak dalam propaganda perang antara kapitalis dan komunis dahulu, padahal penyebar propagandanya sudah pada akur. Kita masih ribut dengan urusan komunis dengan sejarah yang tidak jelas itu. Kita masih beranggapan bahwa perang yang dulu melawan komunis sampai menimbulkan korban jutaan itu benar-benar perlawanan terhadap Pancasila, padahal cuma perang import dari pertarungan antara kapitalis dan komunis dunia. Kita memang tidak pernah waspada dan gemar sekali mengikuti isu.

Saat ini komunisme tidak lagi laku untuk dijual. Oleh sebab itu, diciptakan isme baru yang menjadi musuh kapitalisme dalam arti mengancam kepentingan, terutama kepentingan ekonomi kapitalis. Setelah redanya perang dingin, kapitalisme begitu khawatir dengan ghirah Islam yang tinggi, baik di negara-negara berpenduduk muslim maupun di negeri-negeri kapitalis sendiri, terutama kalangan muda dan intelektual Islam. Adanya kesadaran mencolok dari kaum intelektual muda Islam ini untuk kembali pada Islam yang utuh menimbulkan kekhawatiran di kalangan kapitalis. Maklum, Islam adalah satu-satunya agama yang mengajarkan bagaimana menata kehidupan bernegara yang baik plus menjalankan roda ekonomi yang baik dan bermanfaat bagi seluruh umat manusia. Di samping itu, Islam pun memang pernah berkuasa di muka Bumi menjalankan roda pemerintahan hampir di dua per tiga luas seluruh Bumi. Hal ini sangat mungkin menggusur ide-ide kapitalisme yang sampai saat ini membuat para kapitalis senang-senang. Kapitalis itu kan sangat menyembah dan memuja terhadap pemusatan modal pada kalangan tertentu, bukan untuk seluruh umat manusia. Mereka khawatir Islam akan kembali menguasai Bumi dengan cara yang lebih islami dibandingkan dahulu.

Yang tak kalah menarik untuk diperhatikan adalah kapitalis memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap minyak yang ada di negeri-negeri berpenduduk muslim. Dengan jualan terorisme yang kemudian laku keras, mereka mendapat kesempatan untuk mengejar teroris ke negeri-negeri tersebut yang kaya minyak dengan harapan bisa berkuasa dan dapat kembali mencoleng harta kekayaannya.

Sesungguhnya, bukan agama Islam dengan berbagai ritualnya yang membuat mereka cemas, melainkan terganggunya kepentingan materialistis mereka oleh sistem-sistem ekonomi yang ada dalam ajaran Islam dan itu mulai muncul ke permukaan. Untuk memusuhi Islam secara frontal, mereka tidak berani. Mereka sangat bergantung juga pada negara-negara Islam, terutama soal minyak dan pemasaran barang. Namun, mereka tetap merasa terganggu. Oleh sebab itu, diciptakanlah isme baru yang Islam seolah-olah berada di belakangnya, yaitu terorisme setelah sebelumnya melakukan dahulu aksi teatrikal dengan penyerangan ke menara kembar WTC, kemudian memperkenalkan tokoh baru Osama bin Laden dan Al Qaeda.

Sejak saat itulah, mulai dijual barang dagangan baru, yaitu demokrasi-kapitalis lawan terorisme-Islam. Indonesia pun kembali terjebak dalam perang itu, padahal pada waktu yang lalu akibat dari jebakan itu masih terasa saat membeli barang dagangan yang namanya demokrasi-kapitalis lawan komunisme-anti-Tuhan.

Satu lagi dari Soekarno.

“Kaum nasionalis harus dikejar, Kaum Pan-Islam juga harus diburu!

Kita ingat ini semuanya. Kita mengakui hak yang demikian itu dan kita hanya tersenyum. Kita di sini hanya menetapkan feitnya saja. Kita ingat bagaimana sesudah pemberontakan, kaum sana meneriaki setinggi langit pergerakan Pan-Islam sebelum dan sesudah kongres di Pekalongan. Bagaimana sesudah pemberontakan, mereka menunjukkan tabiat serendah-rendahnya dengan mengotorkan nama prive saudara kita. Dr. Soetomo. Mereka membencanai saudara kita, dr. Tjipto Mangunkusumo..... Kita mengerti bahwa ini sudah semestinya. Kita hanya tersenyum dan mengambil pelajaran. Pelajaran bahwa sikap kaum itu terhadap kita bukanlah bergantung dari beginsel kita, bukanlah bergantung dari azas kita, bukanlah bergantung dari bahaya ‘isme’ kita, tetapi bergantung dari besarnya bahaya yang mengancam kepentingan oleh sikap dan gerak kita adanya!”


Soekarno mengajarkan bahwa para kapitalis itu menyerang dan memburu bukan karena isme yang kita miliki, bukan karena agama yang kita anut, bukan sistem yang kita pergunakan, namun karena kekhawatiran kepentingan materialistis mereka terganggu. Perhatikan, teroris itu ada di mana-mana dengan nama yang banyak dan isme yang beragam. Akan tetapi, yang mereka perangi adalah teroris yang dengan menggunakan kata Islam, padahal Islam sendiri bukan teroris. Teroris-Islam itu hanya diciptakan mereka sendiri agar tumbuh keyakinan bahwa Islam itu memang mengajarkan teror dan berbahaya bagi umat manusia. Padahal, sungguh upaya itu tidak pernah akan berhasil dan mereka akan kelelahan sendiri sebelum akhirnya hancur berantakan.

Mereka dan kita semua mestinya ingat ketika bagaimana dengan angkuhnya mereka menyebarkan propaganda jahat bahwa orang-orang kulit putih itu lebih tertib dan beradab dibandingkan kulit berwarna yang disebutnya primitif. Dengan propaganda itu, mereka seolah-olah memiliki hak untuk memasuki tanah orang lain, kemudian menjajahnya. Sebetulnya, yang terjadi adalah mereka butuh makanan, barang mentah yang murah, dan tenaga kerja yang juga murah, kalau bisa, gratis. Namun, propaganda dan penjajah angkuh itu harus berakhir dengan kekalahan seluruh penjajah di muka Bumi ini dan menghancurkan propaganda serta ajaran sesat mereka.

Sungguh demokrasi-kapitalis itu jahat. Mereka itu musuh dalam selimut, menohok kawan seiring, dan menggunting kain dalam lipatan.