Saturday 18 June 2011

Si Pendekar Dusta dari Gua Hantu Demokrasi

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Amerika hebat, pendekar demokrasi, mbah demokrasi, teladan dunia. Begitu kan? Memang benar 100%. Saya sangat setuju. Saya setuju karena demokrasi itu kejahatan dusta. Jadi, bisa diganti pujiannya seperti ini, Amerika hebat, pendekar kejahatan dusta, mbah kejahatan dusta, teladan dunia kejahatan dusta. Memang AS adalah teladan bagi para pemimpin dunia yang menjadi penjilatnya sekaligus teladan pula bagi orang-orang tersesat.

Di dalam Injil pasal Wahyu (17 : 1-6), New York atau AS itu disebut Pelacur Besar dan raja-raja di dunia telah berbuat cabul bersamanya. Begitu yang dikatakan Pendeta Mark Hitchcok dalam bukunya Bible Prophecy (Wisnu Sasongko, 2003). Kalau AS dijelaskan dalam Injil sebagai ibu dari wanita-wanita pelacur dan kekejian di Bumi, berarti para pemimpin negeri yang telah bermesraan dengan AS adalah pelanggan atau hidung belang yang gemar berzina menjadi pelacur pencinta wanita sundal itu. Siapa saja yang telah menjadi hidung belang itu? Tebak aja sendiri. Bagaimana dengan para pemimpin di Indonesia? Halo para Pelacur, halo para Hidung Belang. Yang bukan pelacur dan bukan hidung belang tidak halo. Para pemuja AS sama saja artinya dengan pemuja Pelacur Besar Dunia.

Kelakuan pelacur memang aneh dan penuh kebohongan, maaf ya kepada seluruh wanita pelacur di Indonesia. Sungguh, saya tidak bermaksud menghina saudara-saudara. Saya tahu benar hati saudara penuh tangisan karena saudara sendiri tidak menginginkan pekerjaan itu. Insyaallah, pada masa depan jika Pemimpin Pilihan Tuhan, bukan pilihan manusia, telah hadir berkuasa di tengah-tengah rakyat Indonesia, semuanya akan berubah. Kemakmuran akan melimpah ruah. Saudara-saudara tidak lagi perlu bekerja menjadi pelacur, sungguh. Dia sendiri sebenarnya menangis melihat kondisi saudara-saudara. Sumpah.

Sedikit saya ingin berdongeng tentang beberapa pelacur di Bandung. Ketika 2001, saat gedung kembar World Trade Centre luluh lantak ditabrak pesawat, AS mempropagandakan kepada dunia bahwa kambing hitam peristiwa itu adalah Osama bin Laden. Propaganda AS itu sampai juga ke telinga para pelacur. Beberapa WTS mendekat mengerumuni saya pada suatu sore di pusat Kota Bandung. Saya duduk di kursi taman yang terbuat dari semen, sedangkan mereka berjongkok membentuk setengah lingkaran di depan saya. Cukup serius mata mereka memandang saya.

Mereka bertanya, “Kang, siapa sih Osama itu?”

Saya jawab sesuai dengan yang saya ketahui saat itu bahwa Osama bin Laden adalah orang kaya raya yang memimpin Al Qaeda, musuh besar Amerika Serikat, dan bla ... bla ... bla ....

Dengan polosnya, salah seorang di antara mereka yang paling cantik, tetapi kelihatan jelas keletihan jiwanya, bertanya lagi, “Ooh, dia orang kaya raya ya? Kang, ... Kang, ... dia bakalan inget nggak ya sama orang miskin kayak kita-kita ini?”

Di matanya terlihat harapan, keinginan yang bercampur kepasrahan menghadapi ketidakmungkinan. Susah melukiskannya dengan kata-kata.

Duh, ... saya tidak bisa menjawabnya. Saya hanya bisa tersenyum kecil menutupi perasaan getir di hati. Mereka orang-orang yang terjebak situasi dan memerlukan kasih sayang. Akan tetapi, mereka akan tetap begitu karena orang-orang kaya di negeri ini banyak yang sombong dan angkuh, bahkan banyak yang mencuri hak-hak mereka. Bukankah mereka juga rakyat Indonesia?

Kita membenci dan mengutuk mereka karena pelacur. Akan tetapi, kita pun tidak memiliki jalan keluar bagi mereka. Mereka mau ke mana lagi?

Ya... sudahlah, itu hanya kisah masa lalu. Yang saya tahu bahwa Allah swt Mahaadil.

Kembali ke soal Pelacur Besar yang tertulis dalam Injil, Amerika Serikat. Pelacur itu memang aneh dan penuh dusta. Dulu sebelum menyerang Libya, mereka mengutuk Khaddafi karena tidak demokratis, memasung hak-hak politik warganya.

Beberapa pengusaha Amerika Serikat ikut bicara bahwa Libya lebih mementingkan stabilitas politik dan ekonomi daripada demokrasi. Menurut saya, pendapat para pengusaha itu cukup bego karena kalau sudah stabil politik dan ekonomi, itu kan artinya bagus. Bukankah demokrasi juga dalam berbagai kajiannya mengarah pada kestabilan politik dan ekonomi? Pusing tuh para pengusaha AS, ngomongnya nggak bener.

Sekarang, berita terbaru, setelah AS dan Nato-nya menggempur Libya yang dibantu penduduk lokal anti-Khaddafi, Khaddafi menyatakan siap untuk berdemokrasi. Anaknya sendiri mengatakan akan melaksanakan demokrasi pada tiga bulan mendatang. Mestinya, pernyataan Khaddafi dan keluarganya itu menghentikan brutalitas AS dan Nato karena dulu kan alasan penyerangannya adalah untuk menciptakan demokrasi. Akan tetapi, apa yang terjadi? Anehnya, Nato dan AS menolak rencana demokrasi yang akan digelar itu. Jadi, apa sebetulnya yang diinginkan orang-orang stress itu?

Para penjahat barat itu tak lain dan tak bukan hanya menggunakan isu demokrasi untuk menggulingkan Khaddafi agar bisa lebih mudah merampok Libya. Mereka itu cuma perampok. Sesungguhnya, nggak ada urusan dengan demokrasi. Demokrasi hanyalah dagangan basi di emperan lokalisasi pelacuran. Mereka tak peduli Libya mau demokratis atau tidak. Mereka hanya ingin merampok.

Penolakan itu mungkin juga berdasarkan perhitungan bahwa demokrasi akan tetap menjadikan Khaddafi penguasa. Khaddafi akan menang dalam pemilihan. Kalau mereka setuju demokrasi, lalu Khaddafi menang, mereka harus pulang gigit jari. Mereka tidak mau itu terjadi. Mereka tetap mau merampok.

Hal tersebut pernah terjadi di Indonesia secara nyata. Dulu pada akhir-akhir kekuasaan Soekarno, Soekarno disebut-sebut sebagai diktator, otoriter, tidak demokratis, dan segerobak fitnah lainnya. Padahal, Soekarno sendiri tidak pernah ingin menjadi diktator dan tidak setuju sistem yang otoriter-totaliter. Salah satu bukti yang menegaskan Soekarno tidak setuju pemerintahan diktator adalah laporan resmi pemerintah berdasarkan dokumen utama Bisap (Biro Informasi Staf Angkatan Perang) sebagaimana di bawah ini.

Kol. Nasution : Kami minta kepada Presiden dapat menerima tentang adanya “keadaan bahaya” di seluruh Indonesia dan supaya Presiden dapat mengambil kekuasaan sebagai Panglima Tertinggi.

Presiden : Apakah Saudara-saudara menghendaki saya sebagai diktator?


Kol. Nasution
: Jika Perlu.


Presiden : Jika saya menjadi diktator, bagaimana saya kalau memecat Saudara-saudara sekalian?


Cukup bukti, bukan?

Meskipun dokumen ini belakangan pada masa Orde Baru dinyatakan palsu, tetapi tak mudah menghilangkan kesan adanya keinginan dari Angkatan Darat untuk menghentikan kerja-kerja DPR yang dianggap telah menggoncangkan keadaan negara saat itu dengan memaksa Soekarno untuk mengambil alih kekuasaan secara mutlak. Buktinya, Dekrit Presiden mendapat dukungan penuh dari KSAD Nasution saat itu.

Ketika Soekarno sudah sangat tersudut dan disebut tidak demokratis, ia pun menantang untuk mengadakan Pemilu. Sebenarnya, Soekarno memang sangat anti terhadap demokrasi, baca saja di dalam bukunya Di Bawah Bendera Revolusi, kita akan menemukan kritikan-kritikan kerasnya terhadap demokrasi, di blog ini juga ada kok, beberapa, cari saja. Kalaupun ia melaksanakan Demokrasi Terpimpin, itu hanyalah sebagai bentuk kompromi antara pendukung demokrasi dengan keyakinannya sendiri yang antidemokrasi. Ia hanya ingin bangsa ini tetap berjalan bersama, tidak terpecah belah. Akan tetapi, meskipun tidak setuju dengan demokrasi, dalam keadaan terpaksa, ia mengamini demokrasi. Ia pun menantang Soeharto dan Angkatan Darat untuk bertarung di kancah pemilihan. Meskipun harus berdemokrasi, Soekarno sangat yakin menang karena sebagian terbesar rakyat masih berada di belakangnya.

Dalam pidato 17 Agustus 1966 yang berjudul Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah, Soekarno berkata lantang menantang:

“Berkali-kali sudah aku katakan bahwa kita harus menyelenggarakan pemilihan umum secepat mungkin karena pemilihan umum adalah satu-satunya cara mengetahui kehendak rakyat, mengetahui keinginan rakyat yang sebenarnya, mencari penjelasan tentang tuntutan-tuntutan yang dikemukakan atas nama rakyat dan untuk memperbaiki anggota-anggota lembaga-lembaga negara ....”

Apa yang terjadi setelah tantangan itu?

Soeharto dan Angkatan Darat mulai ketar-ketir. Mereka tahu benar popularitas Soekarno bisa menggulung Orde Baru melalui proses demokrasi. Oleh sebab itu, Soeharto menolaknya. Yang paling nyata adalah pernyataan Konferensi Kerja Kasi Djaja dan Delegasi Kami Konsulat Bandung, yaitu menolak Pemilu dengan alasan tidak sesuai dengan aspirasi Tritura dan Orde Baru. Suatu alasan yang aneh dan lucu. Dulu mereka menyudutkan Soekarno karena tidak demokratis dan otoriter. Akan tetapi, ketika ditantang dalam Pemilu, malah tidak mau karena takut kalah. Hal itu menjelaskan dugaan bahwa demokrasi itu tidak penting karena yang penting adalah mendapatkan kekuasaan, Soekarno jatuh, dan kapitalis yang dipimpin AS bisa senang. Itu saja.

Pemilu memang digelar, tetapi setelah Soekarno wafat. Bisa diduga bahwa Orde baru menggelar Pemilu setelah Soekarno wafat adalah supaya lebih nyaman. Meskipun demikian, ternyata tidak senyaman yang diharapkan karena para pendukung Soekarno sampai hari ini tetap ada dan masih kuat.

Kejadian itu mirip sekali dengan yang terjadi di Libya sekarang, bukan? Menggembar-gemborkan demokrasi, menyudutkan Khaddafi, tetapi ketika ditantang Pemilu, mereka takut, malah ngajak terus perang. Alasan AS tidak mau demokrasi adalah sudah terlambat. Sudah terlambat? Alasan apa itu? Kalau di Indonesia kata-kata itu hanya keluar dari seorang preman egois di pasar-pasar atau terminal. Alasan pemimpin oposisi Libya malahan menunjukkan kebodohan dirinya, yaitu tidak mau Pemilu karena Khaddafi sudah kehilangan legalitas. Kehilangan legalitas? Memang apanya yang hilang dari Khaddafi? Ia masih punya wilayah, masih punya rakyat, berperan sebagai pemimpin, negara-negara di dunia masih mengakui bahwa dia adalah pemimpin Libya. Bukankah itu yang dinamakan legalitas sebuah negara: ada wilayah, ada rakyat, ada pemimpin, dan ada pengakuan dari dunia internasional? Jadi, kekacauan yang ditimbulkan AS dan Nato itu apa artinya?

Artinya, demokrasi itu adalah alat bagi diktator kapitalistis untuk mengumpulkan modal dan kekayaan, baik halal maupun haram di mana saja, baik di dalam negeri maupun di luar negeri dan itu cocok sekali dengan kultur AS dan barat yang dalam sejarah hidupnya dipenuhi kekerasan dan pelarian karena tekanan gereja. Kita bukanlah mereka. Jadi, tidak perlu itu yang namanya demokrasi titik.

Takdir Kehancuran Indonesia

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Dalam tulisan beberapa waktu lalu saya mengatakan bahwa Indonesia akan menjadi negara super power baru yang mengimbangi Amerika Serikat. Hal itu didasarkan pada beragam prediksi, baik luar negeri maupun dalam negeri. Saat ini apalagi kaum muda semakin memiliki semangat untuk maju dalam berbagai bidang. Presiden SBY sendiri mengatakan dalam pidatonya kemarin-kemarin saat pertemuan ekonomi dengan para pengusaha muda bahwa Indonesia sedang berada dalam keadaan “percaya diri”. Itu tidaklah salah. Buktinya, coba saja sekarang pembaca ukur kedalaman hati diri sendiri, pasti sedang dalam keadaan bersemangat cinta tanah air dan gemas tidak sabar ingin segera berjaya di muka Bumi. Iya kan? Jangan tahan keinginan itu, biarkan meledak sejadi-jadinya.

Akan tetapi, sebelum masa kejayaan itu benar-benar terjadi secara nyata, Indonesia akan mengalami dahulu kehancuran dan kegagalan luar biasa dalam proses berbangsa dan bernegara. Hal itu disebabkan masa ini adalah masanya kegelapan, kejahatan, fitnah, dusta, dan kerusakan berkuasa di muka Bumi. Indonesia kini berada di dalam ujung kekusutan tersebut. Dalam istilah Jawa disebut kalabendu, ‘waktunya kemarahan’. Waktunya bagi alam untuk memuntahkan kemarahannya akibat dari ketimpangan yang dilakukan manusia sekaligus waktunya bagi orang-orang terpinggirkan untuk mendesakkan keinginannya sekuat-kuatnya menjatuhkan orang-orang licik, jahat, angkuh, sombong, pongah, dan brutal.

Hal tersebut senada dengan yang sering diucapkan oleh mantan Menpora Adhiyaksa Dault yang mengutip pendapat seorang profesor asing bahwa Indonesia adalah negara berkembang yang sedang mengalami penurunan untuk kemudian berubah menjadi negara yang gagal. Demikian pula Amien Rais mengatakan bahwa Indonesia sudah bisa dibilang sebagai negara yang gagal (2008).

Kegagalan dan kehancuran Indonesia tak bisa dihalang-halangi karena sudah seharusnya terjadi. Sebagaimana saya katakan tadi, sekarang ini adalah hampir puncaknya kejahatan kehidupan. Kalau sudah puncak, berarti tak ada jalan lain, kecuali jalan menurun. Jika kita mendaki puncak gunung, setelah puncak, pasti akan menemui jalan turun.

Umar bin Khattab mengatakan bahwa segala sesuatu yang telah sempurna, pasti mengalami kekurangan dan kebusukan. Untuk lebih mudah memahaminya begini Saudara, kita lihat buah di pohon, buah apa saja. Buah itu berawal dari bunga yang kemudian menguncup, lalu menjadi buah yang teramat kecil, dalam bahasa Sunda disebut pentil. Warnanya hijau sangat muda. Buah pentil tersebut membesar, lama-lama warnanya pun berubah hijau rada-rada merah. Semakin tumbuh, semakin matang. Sampailah pada suatu titik puncak kematangan. Warnanya merah matang, menggiurkan, manis rasanya. Akan tetapi, tak ada jalan lain setelah puncak kematangan adalah kebusukan. Lambat laun, buah matang yang merah menggairahkan itu berkurang indahnya, berkurang rasa nikmatnya, mengeriput, busuk dan busuk, lalu jatuh. Setelah kesempurnaan adalah kebusukan.

Hal itu terjadi terhadap hal apa saja dan di mana saja, kecuali terhadap Allah swt. Wanita cantik yang telah mencapai kesempurnaan, pasti akan mengalami pengurangan kecantikannya, akhirnya mati. Begitu kan? Setiap manusia jika sudah sampai titik puncak hidupnya, akan mengalami penurunan, kelemahan, sakit, belum mati, tetapi pasti bakal mati, nggak mati juga, pengen mati, akhirnya tetap mati.

Demikian pula Indonesia tercinta, kita ini berada di ujung kejahatan, hampir berada di puncak kehancuran, tetapi belum hancur, nanti juga bakal hancur. Setelah berada di titik puncak kehancuran, kekacauan, dan kesemrawutan, negeri ini akan gagal total. Akan tetapi, kegagalan itu sekaligus membuka era baru, yaitu era kalasuba, ‘zaman kemuliaan’. Situasi dan kondisinya jauh sekali berbeda daripada sekarang. Setelah kejahatan mencapai puncaknya, kejahatan pun akan berkurang energinya, artinya jalan kebaikanlah yang mulai bersinar.

Tenang, Indonesia memang akan hancur karena masih diselimuti kejahatan. Kejahatan itulah yang akan hancur. Negaralah yang akan hancur, bukan bangsa. Negara Indonesia memang akan hancur, tetapi bangsa Indonesia tetap tegak berdiri. Bagi orang-orang yang memiliki senjata kehidupan berupa tritunggal nan suci, yaitu: sikap benar, lurus, dan jujur, tak perlu risau, tak perlu sedih. Saudara-saudara pasti selamat, pasti bahagia. Saudara-saudaralah yang akan terlebih dahulu menikmati masa kejayaan Indonesia. Allah swt tak pernah menyia-nyiakan orang baik-baik. Allah swt hanya mencoba kita dengan berbagai kegetiran. Orang-orang yang hatinya jahil dan berlindung di balik sistem politik jahatlah yang akan menuai kehancuran. Itu pasti. Lihat saja sudah tahu jahat masih berbohong juga. Sudah tahu punya teman ngaco, masih dibela juga. Itu artinya mereka memiliki hati yang jahil. Mereka kira akan selamat, padahal tidak sama sekali tidak. Mereka pikir kekuasaan dan kekayaannya akan menjamin kejahatan mereka, padahal tidak sama sekali tidak.

Tidak mungkin Indonesia mengalami masa kejayaan dan kemakmuran jika kejahatan masih belum hancur. Sama tidak mungkinnya buah menjadi busuk tanpa melewati masa matang. Kejahatan harus matang dulu, harus berkibar dulu sampai puncaknya merusakkan rakyat, barulah terjadi panen besar-besaran. Sabit-sabit dan golok-golok kebaikan akan menebas buah kejahatan yang sudah sangat matang. Saat selesai sabit-sabit dan golok-golok itu penuh darah karena memenggal kepala-kepala kejahatan, kezaliman pun mati berlumuran dosa. Mulailah era kejayaan, kemakmuran, kemuliaan, dan kebahagiaan. Hanya orang-orang benar, lurus, dan jujur sajalah yang akan berdiri tegak dan kokoh pada masa keagungan. Oleh sebab itu, milikilah senjata kehidupan berupa tritunggal nan suci, yaitu sikap benar, lurus, dan jujur.

Senjata itu ada yang dimiliki langsung sebagai pemberian atau hadiah dari Allah swt. Adapula yang dimiliki setelah proses upaya penempaan diri, riyadhah. Orang yang diberi langsung sikap mulia tersebut adalah orang yang “didekatkan” kepada Allah swt. Adapun orang yang memilikinya melalui proses upaya adalah orang yang “mendekat” kepada Allah swt.

Indonesia hancur karena di samping memang sudah terlalu banyak kejahatan, juga berlaku jahat kepada orang-orang baik yang memberikan peringatan. Orang-orang baik yang memperingatkan bahaya kejahatan itu tidak didengar, malahan sebagian ada yang dimasukkan penjara. Keterlaluan memang. Perilaku menganiayai orang-orang baik itulah juga yang memicu hukuman dari Allah swt kepada bangsa dan negara ini.

Sudah menjadi kebiasaan Allah swt jika ingin menghancurkan negeri-negeri, jika hendak menurunkan azab, jika berketetapan menjatuhkan bencana, terlebih dahulu memberikan peringatan agar kaum dimaksud kembali ke jalan yang benar. Jika kaum itu mematuhi seruan Allah swt, selamatlah. Jika tidak, Allah swt akan menghancurkannya.

“Kami tidak membinasakan sesuatu negeri pun, melainkan sesudah ada baginya orang-orang yang memberikan peringatan.” ( QS Asy Syu’araa : 208)

“Jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS Al Israa : 16)

“Tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota, kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman.” (QS Al Qashash : 59)

Bencana alam sudah lebih dahulu nyata dan akan terus berlanjut sampai puncaknya, kemudian berhenti bebarengan dengan hancurnya kejahatan manusia. Sudahlah kita pasrah saja, tak ada gunanya menolak bencana.

Kata Syekh Abdul Qadir Jaelani, “Kalaulah bencana itu datang, terimalah dengan pasrah, jangan ditolak. Jangan dilawan sekalipun dengan doa. Sebaiknya, mintalah kepada Allah swt kekuatan untuk tetap tegar dan kuat menghadapi bencana. Berperilakulah untuk tetap baik.”

Jangan ditolak karena memang sudah waktunya datang. Itu sudah menjadi ketetapan Illahi. Bencana tak bisa dihalangi, sebagaimana kita tidak bisa menghalangi datangnya malam untuk menggantikan siang.

Ada gambaran kekisruhan yang bakal bahkan mungkin sedang terjadi di Indonesia dalam puncak kejahatan menurut Prabu Siliwangi.

Mulai saat itu akan terjadi keributan, huru-hara, dari rumah menjadi sekampung, dari sekampung menjadi senegara! Orang-orang bodoh pada jadi gila ikut-ikutan membantu mereka yang sedang berkelahi yang dipimpin oleh Pemuda Buncit! Penyebabnya berkelahi? Memperebutkan warisan, tanah. Mereka yang serakah ingin mendapatkan lebih banyak lagi. Mereka yang memiliki hak meminta haknya diberikan. Mereka yang sadar berdiam diri. Mereka hanya menonton, tetapi tetap terimbas juga.

Mereka yang berkelahi akhirnya kelelahan. Mereka baru tersadar. Ternyata, semuanya tidak ada yang mendapatkan bagian. Hal itu disebabkan tanah dan kekayaan alam seluruhnya habis, habis oleh mereka yang memegang banyak uang. Para raksasa lalu menyusup curang ke berbagai kelompok. Mereka yang berkelahi jadi ketakutan sendiri, takut dipersalahkan atas kerusakan dan kehilangan tanah serta kekayaan negara.

Dalam darmagandhul:

Manusia bingung dengan sendirinya sebab rebutan mencari makan. Mereka tidak mengingat aturan negara sebab tidak tahan menahan keroncongannya perut. Hal tersebut berjalan disusul datangnya musibah pagebluk yang luar biasa. Penyakit tersebar merata di tanah Jawa. Bagaikan pagi sakit, sorenya telah meninggal dunia.

Bahaya penyakit luar biasa. Di sana-sini banyak orang mati. Hujan tidak tepat waktunya. Angin besar menerjang sehingga pohon-pohon roboh semuanya. Sungai meluap banjir sehingga bila dilihat, persis lautan pasang.

Seperti lautan meluap airnya naik ke daratan. Merusakkan kanan kiri. Kayu-kayu banyak yang hanyut. Yang hidup di pinggir sungai terbawa sampai ke laut. Batu-batu besar pun terhanyut dengan gemuruh suaranya.

Gunung-gunung besar bergelegar menakutkan. Lahar meluap ke kanan serta ke kiri sehingga menghancurkan desa dan hutan. Manusia banyak yang meninggal, sedangkan kerbau dan sapi habis sama sekali. Hancur lebur tidak ada yang tertinggal sedikit pun.

Menurut R. Ng. Ronggowarsito:

Para pemimpinnya berhati jahil, bicaranya ngawur, tidak bisa dipercaya dan tidak ada wahyu yang sejati. Wahyu yang turun adalah wahyu dari iblis dan sulit bagi kita untuk membedakannya. Para wanitanya banyak yang kehilangan rasa malu. Rasa persaudaraan meluntur, tidak saling memberi berita, dan banyak orang miskin beraneka macam yang sangat menyedihkan kehidupannya.

Banyak peperangan yang melibatkan para penjahat. Kejahatan, perampokan, dan pemerkosaan makin menjadi-jadi serta banyak pencuri malang melintang di jalan-jalan.

Alam pun ikut terpengaruh dengan banyak terjadi gerhana Matahari dan Bulan, hujan abu dan gempa Bumi. Angin ribut dan salah musim. Banyak terjadi kerusuhan seperti perang yang tidak ketahuan mana musuhnya yang menyebabkan tidak mungkin ada rasa tenteram di hati.

Kewibawaan negara tidak ada lagi, semua tatatertib, keamanan, dan aturan telah ditinggalkan. Para penjahat maupun para pemimpin tidak sadar apa yang diperbuat dan selalu menimbulkan masalah dan kesulitan bagi banyak orang.

Para pemimpin mengatakan seolah-olah bahwa semua berjalan dengan baik, padahal hanya sekedar menutupi keadaan yang jelek.

Menurut Jayabaya:

Raja tidak menepati janji. Kehilangan kekuasaan dan kewibawaannya. Banyak rumah di atas kuda. Orang makan sesamanya. Kayu gelondongan dan besi juga dimakan, katanya enak serasa kue bolu. Malam hari semua tak bisa tidur.

Yang gila dapat berdandan. Yang membangkang semua dapat membangun rumah, gedung-gedung megah.

Orang berdagang barang makin laris, tetapi hartanya makin habis. Banyak orang mati kelaparan di samping makanan. Banyak orang berharta, namun hidupnya sengsara.

Orang waras dan adil hidupnya memprihatinkan dan terkucil. Yang tidak dapat mencuri dibenci. Yang pintar curang jadi teman. Orang jujur semakin tak berkutik. Orang salah makin pongah. Banyak harta musnah tak jelas larinya. Banyak pangkat dan kedudukan lepas tanpa sebab.

Begitulah sedikit gambaran yang terjadi pada masa-masa kekalutan Indonesia. Sesungguhnya, masih banyak yang bisa ditulis, tetapi akan terlalu panjang. Lain kali mungkin bisa ditulis dalam bahasan yang lain.

Meskipun demikian, kita tidak perlu berkecil hati karena zaman kekalutan dan kejahatan akan segera sirna jika sudah mencapai puncaknya. Indonesia tidak akan pecah seperti Unisoviet atau negeri-negeri Balkan. Indonesia tetap bersatu dan kuat, bahkan lebih tegak dengan catatan kejahatan dan para penjahat harus hancur dulu. Setelah kesulitan, akan tiba kemudahan. Itu pasti, sebagaimana janji Allah swt.

“Sesungguhnya, setelah kesulitan itu ada kemudahan. Sungguh, setelah kesulitan ada kemudahan.” (QS : Alam Nasyrah 5-6)

Dua kali Allah swt mengatakan hal tersebut dalam satu surat pendek. Itu artinya, pasti pasti pasti pisan sekali. Setelah kesulitan ada kemudahan. Setelah jalan terjal mendaki ada jalan turun menyenangkan. Setelah kejahatan, ada keadilan dan kemakmuran. Demi Allah swt.

Ingatlah untuk memiliki senjata tritunggal nan suci: benar, lurus, dan jujur. Mari kita songsong zaman kemuliaan bersama-sama.



Demokrasi X Pancasila = - X + = -

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Demokrasi dikali Pancasila sama dengan negatif dikali positif sama dengan negatif. Begitu cara membaca judul di atas.

Demikian pula demokrasi dikali gotong royong, sebagaimana yang dikatakan Presiden SBY yang dikatakan lagi oleh Taufik Kiemas, suami Megawati, demokrasi gotong royong, hasilnya pasti negatif. Juga sama dengan yang sering dikatakan Mahfud MD dalam tayangan iklan MK, demokrasi dikali martabat atau demokrasi bermartabat, hasilnya jelas-jelas bakal negatif.

Demokrasi itu memiliki nilai negatif. Adapun Pancasila, gotong royong, maupun martabat memiliki nilai positif. Negatif dikali positif hasilnya jelas negatif.

Kalau mau bertahan dalam demokrasi, tinggalkan Pancasila, gotong royong, dan martabat. Begitupula sebaliknya, kalau mau hidup dalam Pancasila, gotong royong, dan martabat, tinggalkan demokrasi. Harus begitu jalan berpikirnya, hitam putih, haram untuk abu-abu. Nggak ada waktu lagi untuk bersikap ragu-ragu.

Demokrasi tidak bisa disandingkan dengan Pancasila, gotong royong, maupun martabat. Hal itu disebabkan demokrasi merusakkan Pancasila, gotong royong, maupun martabat. Meskipun sudah berkali-kali ditulis mengenai keburukan demokrasi dalam blog ini, tak ada salahnya dijelaskan lagi sedikit. Demokrasi itu akan membuat manusia saling curiga dan itu merusakkan sila kedua dari Pancasila. Demokrasi itu menimbulkan konflik dan itu merusakkan sila ketiga. Demokrasi mengajarkan perdebatan, pertengkaran, perselisihan, persaingan, dan itu merusakkan sila keempat. Demokrasi menghambur-hamburkan biaya dan itu merusakkan sila kelima. Lambat laun demokrasi pun akan menghajar sila pertama karena orang ingin bebas sebagaimana orang-orang di luar Indonesia yang cenderung lebih bebas.

Dalam setiap periode perjalanan bangsa ini, sila-sila dari Pancasila selalu saja menjadi “bulan-bulanan”, tetapi selalu dijadikan landasan kedustaan. Meskipun demikian, satu sila yang lebih kukuh hampir tidak bisa dirusakkan adalah sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Jenderal Soeprapto (2004), penulis buku Pancasila Menjawab Tantangan Globalisasi, sila pertama ini selalu terlindungi ketika sila-sila yang lain dikhianati. Akan tetapi, pada masa ini tampak sila pertama ini pun mulai hampir tersentuh pengkhianatan.

Supaya tidak terlalu pusing, sebaiknya kita sederhanakan, jangan dibahas sila demi sila kemudian disandingkan dengan demokrasi. Begini saja, Pancasila itu jika diperas akan menjadi Trisila. Trisila jika diperas lagi akan menjadi Ekasila. Ekasila itu adalah gotong royong. Gotong royong itulah yang merupakan intisari dari keseluruhan nilai-nilai Pancasila. Gotong royong itu merupakan kebiasaan atau perilaku yang bermartabat. Nilainya positif.

Nah, mari kita lihat apakah demokrasi bisa selaras dengan gotong royong atau tidak. Kita harus melihat dari kenyataannya, bukan dari teori-teori atau kajian-kajian pustaka dari berbagai literatur. Kalau menurut berbagai teori, demokrasi itu bernilai positif, isinya ... bla ... bla ... bla .... pret .... yang semuanya cuma ngalamun, ukur dongeng, kahayang bari wadul, ‘lamunan, hanya dongeng, keinginan tanpa kenyataan’. Demokrasi itu sama dengan melak sugan dina lamunan diceboran ku boa-boa matak panen kumaha engke, ‘menanam benih coba-coba di tanah lamunan disirami siapa tahu yang panennya buah bagaimana nanti’. Berbeda dengan gotong royong yang jelas sudah terlaksana dan terbukti mampu menjadi alat pemersatu kehidupan berbangsa dan bernegara meskipun tidak harus ada di dalam lembaran negara. Gotong royong merupakan jiwa asli dari bangsa Indonesia yang saat ini sudah sangat tergerus demokrasi meskipun tetap masih ada di dalam setiap jiwa. Menurut Pitut Soeharto, penyusun disertasi mengenai Pancasila, jika kita ingin belajar Pancasila, belajarlah dari kehidupan orang-orang kecil (masa lalu karena orang kecil sekarang banyak yang jadi pencoleng akibat susah hidup di alam demokrasi). Itu artinya, Pancasila atau gotong royong sudah tumbuh dan hidup dalam masyarakat Indonesia sejak lama.

Kita lihat kenyataannya. Zaman Demokrasi Masa Pergerakan hancur karena konflik kepentingan dengan kolonial Belanda, tak ada gotong royong di sana. Di samping itu, memang Pancasila pun belum ada.

Zaman Demokrasi Pascakemerdekaan yang ada cuma konflik. Kabinet jatuh bangun dalam waktu yang pendek-pendek, lebih pendek daripada menyelesaikan studi SMP, bahkan mungkin periode kerjanya kurang lebih sama dengan waktu kerja panitia tour pariwisata ke Pangandaran atau Ragunan. PKI membesar dan semakin kukuh. Sipil dan militer curiga-mencurigai. NKRI menjadi RIS. Jatuhlah masa ini. Di mana gotong royong? Di mana Pancasila? Tidak ada. Konflik itu bertolak belakang dengan gotong royong, sedangkan gotong royong itu adalah intisari Pancasila.

Zaman Demokrasi Terpimpin. Dalam periode ini ada kedekatan dengan Pancasila. Pada masa ini negara didorong melaksanakan musyawarah untuk mufakat dengan nilai-nilai gotong royong dalam satu kekuasaan sentral, Ir. Soekarno. Hasilnya oke, bagus, membanggakan. Berbagai kegiatan pembangunan dan hubungan luar negeri berjalan sangat baik. Kedaulatan negara sangat terjaga dan sangat dihormati seluruh bangsa di dunia. TNI menjadi angkatan bersenjata nomor empat terkuat di dunia. Akan tetapi, sayangnya, hanya sebentar, sekitar enam tahun. Hal itu disebabkan Soekarno jatuh sakit. Penyakit partai mulai tampak lagi, yaitu rebutan kekuasaan. Kapitalis dan komunis berebut posisi jika terjadi apa-apa terhadap Soekarno. Syahwat perebutan politik ini terus membengkak sehingga posisi Soekarno menjadi tersudut. Negara pun goncang. Terjadi peristiwa menghebohkan, yaitu G-30-S. Sejak itu masa ini semakin menurun dan jatuh. Sejak Soekarno jatuh sakit, gotong royong sudah tak ada lagi, Pancasila pun semakin jauh. Konflik terus terjadi.

Zaman Demokrasi Pancasila. Konflik dari masa Demokrasi Terpimpin berlanjut pada masa ini. Saling curiga semakin keras. Penguasa membungkam partai-partai saingannya. Pembekuan Ormas-ormas. Penggiringan dan pemaksaan pemilih. Intimidasi. Penculikan aktivis, Pembunuhan misterius. Huru-hara. Korupsi, kolusi, nepotisme jadi tontonan dan tuntunan. Di mana gotong royong? Di mana Pancasila? Ada di dalam dustanya penguasa. Pancasila cuma jadi slogan, kedok, tameng perilaku-perilaku yang justru tidak Pancasilais dan jauh dari gotong royong.

Zaman Demokrasi Masa Reformasi. Wuah, paling males nih. Soalnya kan nggak perlu diterangkan lagi, semuanya sudah pada tahu konflik-konflik yang terjadi dan kekacauan yang timbul. Gus Dur jatuh karena konflik. Megawati konflik dengan Hamzah Haz dan SBY. Partai-partai konflik. Pemilihan Kadal menimbulkan pertarungan fisik. Teroris menjadi-jadi. Penjahat makin banyak. Korupsi berkecamuk. Di mana gerangan gotong royong? Addduuuhhh .... kalau gotong royong tidak ada, berarti tidak Pancasilais.

Dari berbagai pengalaman itu, jelas sekali demokrasi bertentangan dengan gotong royong. Artinya, demokrasi itu tidak Pancasilais. Demokrasi bertentangan dengan Pancasila, bertentangan dengan jiwa bangsa, dan bertentangan dengan hidup bermartabat.

Salam hormat kepada para profesor, guru besar, doktor, birokrat, teknokrat, dan orang-orang cerdas senusantara! Saya diberi tahu kalau suatu fenomena sudah terjadi berulang-ulang selama tiga kali, itu sudah bisa menjadi sebuah teori. Benarkah itu? Kalau benar, demokrasi sudah lima kali bertentangan dengan gotong royong dan Pancasila, itu artinya sudah bisa menjadi teori bahwa demokrasi tidak bisa diterapkan di Indonesia yang memiliki jiwa gotong royong berlandaskan Pancasila.

Ngapain lagi sih memelihara demokrasi? Sudah jelas rusak kok dipelihara? Jadi herman saya ... e eh ... jadi heran saya. Cik atuh euy, kumaha ieu teh.

Sebaiknya, kita semua belajar dari sejarah dan budaya kita sendiri. Itu sudah menjamin kepastian. Tanda-tanda kejayaan Indonesia ada dalam kejayaan sejarah dan budaya kerajaan-kerajaan di seluruh nusantara pra-VOC. Kita tinggal mengumpulkan semuanya, kemudian meraciknya dengan penuh cinta dan semangat sehingga memiliki sistem dan struktur politik khas Indonesia. Itu adalah lebih baik daripada yang sekarang. Demi Allah swt.

Lord Acton? Hmm ... Nggak Lah ... Ngaco ... Salah Tuh

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely, ‘kekuasaan cenderung untuk korup dan kekuasaan mutlak korup secara mutlak’. Begitulah adagium Lord Acton yang sangat dikenal di dunia.

Adagium tersebut menggoncangkan daratan tempatnya lahir. Anehnya, orang-orang Indonesia pun ikut bergoncang sampai hari ini dan mengamininya. Padahal, ia mengatakan hal tersebut pada 1870, sudah lama sekali, saat terjadi krisis besar di organisasi Katolik Romawi. Kemudian, ia pun semakin menegaskan pandangan-pandangannya dalam The Vatican Decrees mengenai contoh-contoh sejarah tidak lurusnya dan tidak konsistennya sistem kepausan.

Ia mengeluarkan pandangan tersebut berdasarkan fenomena yang terjadi di sekitarnya dalam organisasi keagamaannya. Ia tidak pernah melihat permasalahan di Indonesia. Beda jauh antara Indonesia dengan kekacauan dalam organisasi Katolik Romawi. Jaraknya saja sudah sangat jauh, ribuan mil, agamanya apalagi, jauh pisan euy, di sana Katolik, sedangkan di sini Islam, cik atuuuh ... mikir saeutik. Jadi, aneh sekali jika orang-orang Indonesia mengutip pernyataan Lord Acton itu untuk menganalisa sesuatu yang terjadi di Indonesia atau melawan kekuasaan di Indonesia.

Adagiumnya itu hanya tepat untuk di negerinya sendiri dan di tempat-tempat yang memiliki permasalahan yang sama. Akan tetapi, sangat tidak tepat jika digunakan di tempat lain dengan permasalahan yang berbeda, terutama di Indonesia.

Begini Saudara-saudara sekalian. Coba gunakan adagiumnya itu untuk melawan contoh-contoh kekuasaan lain. Pasti tidak tepat, bertolak belakang.

Muhammad Rasulullah saw berkuasa mutlak dan seumur hidup. Korupsikah beliau? Tidak!

Penggantinya, yaitu Abu Bakar As Shidiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib berkuasa mutlak seumur hidup. Korupsikah orang-orang mulia itu? Tidak!

Rasulullah saw dan Khulafaur Rasyidin itu sampai hari ini perilakunya menjadi rujukan orang-orang Islam. Tak ada kekotoran korupsi selama kepemimpinannya yang sangat mutlak.

Kita ambil contoh penguasa lain yang warna kulitnya sama dengan kita. Raden Wijaya, orang Sunda yang mendirikan Kerajaan Majapahit; Prabu Siliwangi, Raja Kerajaan Pajajaran; Hayam Wuruk dan Prabu Brawijaya, Raja Majapahit; Pangeran Diponegoro; Sultan Hasanudin; Tuanku Imam Bonjol; Tuanku Tambusai; Sisingamangaraja; Dipatiukur; Sentot Alibasyah; Ratu Sima dari Bali; Sultan Iskandar Muda; para pemimpin lainnya yang tersebar di nusantara pra-VOC. Mereka berkuasa secara mutlak seumur hidup. Korupsikah mereka? Bencikah rakyat kepada mereka? Bersenang-senangkah mereka di atas penderitaan rakyat? Tidak!

Para pemimpin di seluruh nusantara itu berkuasa secara mutlak, tetapi tidak korup. Buktinya, sampai hari ini tidak ada satu orang pun yang membenci mereka, bahkan sering mengenang kejayaan keemasan dalam kepemimpinan yang mutlak itu. Tak sedikit orang yang dadanya berdebur-debur bangga dengan kehebatan nusantara masa lalu. Di samping itu, memang tidak ada catatan sejarah yang menyebutkan mereka dan pemerintahannya melakukan tindakan-tindakan korup.

Kerajaan Pajajaran dalam kekuasaan yang mutlak di bawah kendali Prabu Siliwangi malahan mengalami zaman keemasan dan kejayaan dengan sistem pemerintahan yang bersih, clean government. Hal itu dikomentari Tome Pires, sejarahwan Portugis.

Kata Tome Pires, “The Kingdom of Sunda is justly governed. They are true men.”

Artinya, Kerajaan Sunda diperintah dengan adil. Mereka orang-orang jujur.

Kalau disebut jujur, berarti tidak korup. Di dalam masa keemasan Pajajaran adagium Lord Acton menjadi tidak tepat dan tidak laku. Bukan hanya di dalam masa keemasan Pajajaran adagium itu salah tempat, melainkan pula di kerajaan-kerajaan lain di seluruh nusantara ini sebelum kedatangan VOC.

Akan tetapi, memang adagium itu jadi sangat tepat di Indonesia sejak kedatangan VOC. Sejak Si Anjing itu menggonggongi tanah Ibu Pertiwi, terjadi pergeseran budaya yang tajam. VOC ikut campur dalam kehidupan keraton yang akhirnya menimbulkan berbagai kebijakan yang berpengaruh langsung kepada rakyat.

Sejak situasi pemerintahan didomplengi orang-orang barat, apalagi saat ini yang bukan hanya didomplengi, melainkan mengadopsi sistem politik barat, adagium Lord Acton menjadi sangatlah tepat untuk digunakan melawan kekuasaan yang korup dan mutlak di Indonesia. Adagium ini dijadikan alat untuk menumbangkan rezim orde baru yang bermesraan dengan kapitalis.

Adagium itulah yang tampaknya menjadikan pula orang-orang takut untuk meninggalkan sistem politik demokrasi. Mereka masih sangat percaya bahwa kekuasaan mutlak itu pasti korup. Saya juga memang percaya kekuasaan mutlak itu pasti korup jika sistem politiknya berasal dari barat atau meniru-niru cara hidup orang barat.

Korupsi sendiri merupakan budaya barat dan diperkenalkan ke Indonesia melalui sistem pemerintahan barat dalam masa kolonial. Perkenalan dan keakraban korupsi tersebut berlanjut sampai hari ini dalam sistem politik demokrasi. Sistem politik demokrasi itu berasal dari barat dan merupakan sistem yang korup.

Korupsi di Indonesia dalam catatan sejarah dimulai sejak kehadiran VOC. Tak ada catatan korupsi sebelum VOC datang.

Di mana korupsi itu dimulai?

Korupsi dimulai di tubuh VOC sendiri. VOC itu kan perusahaan, maskapai, company, dan rakyat biasa menyebutnya kompeni atau kumpeni. Di dalam perusahaan itulah dimulai terjadinya korupsi besar-besaran yang kemudian menjalar ke kalangan penduduk pribumi yang bekerja sama dengan pihak Belanda. Perilaku itu berlanjut menular mewabah terus-menerus hingga kini.

Dengan demikian, budaya korupsi itu adalah budaya barat, sama sekali bukan budaya asli Indonesia. Akan tetapi, anehnya orang-orang barat itu yang mengecam Indonesia sebagai negara korup. Memang korup sih, tetapi sejarahnya kan mereka juga yang ngajarin.

Sepanjang Indonesia menggunakan sistem politik nyontek barat, korupsi pasti terus berlanjut. Persoalan korupsi itu bukan karena lama-tidaknya atau mutlak-tidaknya kekuasaan, melainkan persoalan sistem dan mental. Meskipun periode kekuasaan dibatasi oleh konstitusi, korupsi ternyata tetap terjadi, bahkan semakin semarak memperkaya para begundal. Sistem politik barat memang menghasilkan mental-mental yang korup karena dibangun pula oleh mental yang korup. Oleh sebab itulah, mereka giat sekali menyerang korupsi dan tidak pernah berhasil. Kalaupun sulit korupsi di negerinya sendiri, mereka pergi ke negeri orang untuk kemudian melakukan korupsi dan aksi tipu-tipu.

Berbeda jauh dengan sistem pemerintahan yang dibangun oleh para raja di Indonesia zaman dahulu. Sistem dan struktur pemerintahan yang dibangun berasal dari mental-mental yang dikendalikan oleh nilai-nilai luhur bangsa. Misalnya, di dalam pemerintahan Sunda yang digunakan dalam Kerajaan Pajajaran dikenal istilah Tritangtu di Buana, ‘Tiga Hal Pasti di Dunia’. Tiga hal tersebut adalah pertama, Prabu, pelaksana pemerintahan yang harus ngagurat batu, ‘berwatak teguh’. Kedua, Rama, penentu hal-hal yang harus dipijak, wataknya harus ngagurat lemah, ‘melindungi, memfasilitasi, dan mengarahkan jalan hidup’. Ketiga, Resi, penjaga serta pemberdaya hukum dan agama yang berwatak ngagurat cai, ‘menyejukkan dalam peradilan’. Pemerintahan yang terbentuk dari nilai-nilai luhur itu menghasilkan pula pribadi-pribadi yang bernilai luhur tanpa korupsi. Sayangnya, perkembangan nilai-nilai luhur itu terdistorsi penjajahan yang jelas korup.

Adagium Lord Acton sama sekali tidak berlaku terhadap sistem pemerintahan di nusantara pra-VOC. Para penguasa nusantara saat itu berkuasa seumur hidup dan mutlak, tetapi tidak korup dan tidak menyengsarakan rakyat. Bahkan, rakyat merasa bangga.

Artinya, kita hendaknya mulai menggali dan terus menggali contoh-contoh dari budaya dan nilai luhur sendiri, bukan nyontek dari orang lain. Kalau nyontek orang lain, pasti akan mengalami kekacauan seperti yang dialami oleh mereka juga yang kacau-balau seperti ketel penuh minyak yang mendidih panas sekali. Kalau ingin korupsi berhenti dan negara berada dalam kemakmuran kejayaan, mulailah belajar dari diri sendiri. Peninggalan keluhuran kejayaan itu masih ada, kita tinggal menyatukan kepingan-kepingannya sehingga menjadi gambar yang jelas, kemudian dijadikan rujukan untuk membentuk sistem politik baru khas Indonesia. Itulah Indonesia yang sesungguhnya kita inginkan.

Wednesday 8 June 2011

Demokrasi Mirip Kencing Berdiri Melawan Arah Angin

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Saya tidak menyarankan, tetapi pernahkah Saudara-saudara kencing berdiri sambil melawan arah angin? Kalau mau coba, silakan, asal sendirian kencing di lapangan terbuka sambil berdiri. Jangan ngajak orang lain, apalagi berbeda jenis kelamin. Sendirian saja jangan rame-rame. Kalau rame-rame, apalagi dengan beda jenis kelamin, bisa kacau situasi. Lakukan saja sendirian, apalagi kalau angin sedang kencang dan berada di tempat yang tinggi, pasti seru hasilnya.

Laki-laki atau perempuan kalau kencing berdiri melawan arah angin, akan sama saja hasilnya. Mungkin perempuan akan lebih heboh hasilnya karena...., tetapi ... ah ... saya tidak tahu... dan tidak ingin membayangkannya. Pembaca juga jangan mulai membayangkan hal-hal yang aneh. Itu tidak baik. Sumpah, tidak baik.

Saya hanya mencoba mencari cara agar pembaca yakin bahwa demokrasi itu sistem politik rendahan yang merugikan semua orang. Kemudian, kita semua kembali pada jati diri kita dan mulai menata kehidupan politik sesuai dengan jiwa kita sendiri.

Ketika kencing memang enak. Maksudnya orang normal kalau kencing pasti enak. Kalau orang sakit di rumah sakit, kan nggak enak.

Ketika air seni keluar, nikmat, bukan? Sayangnya, angin dari depan kencang sekali sehingga membuat air seni yang keluar tidak terkontrol dan tidak bisa dikoordinasikan dengan baik. Semakin lama kencing, semakin merepotkan. Hasilnya, jelas tidak sesuai harapan dan akibatnya pun menjijikan.

Oleh sebab itu, saya sangat tidak menyarankan melakukan hal itu. Namun, kalau ingin meyakinkan, coba saja, tanggung jawab sendiri.

Begitulah demokrasi mirip sekali dengan kencing berdiri melawan arah angin. Ketika di awal-awal reformasi semua orang senang bisa memilih sesuai hatinya masing-masing. Enak dan bebas rasanya. Akan tetapi, dalam hitungan jam akibatnya sudah sangat terasa. Orang-orang yang dianggap penyakit masih bisa duduk berkuasa. Mulailah efek angin depan terasa.

Rakyat adalah yang paling awal merasakan keburukan akibat demokrasi itu. Koruptor masih kuat berdiri, ekonomi tak juga membaik, pertengkaran-pertengkaran mulai terjadi, hukum pun sangat lemah.

Saat ini bukan hanya rakyat yang kecipratan air kencing itu, melainkan juga mereka yang duduk di puncak-puncak kekuasaan. Padahal, mereka adalah orang-orang yang sangat mempertahankan demokrasi. Borok-borok partai terbuka jelas. Mahalnya membiayai demokrasi memunculkan tindakan korup yang nyata. Untuk menjadi pemenang, cari uang kasak-kusuk entah haram, entah halal. Ketika perilaku-perilaku korup itu terbuka, efek air kencing yang tertiup angin berhamburan itu sangat terasa.

Untuk bisa bertahan dan menang dalam demokrasi, harus punya uang. Uang itu dari mana? Dari iuran anggota? Nonsense! Harus ada departemen dalam partai yang mempersiapkan dana-dana untuk kampanye itu. Keinginan yang besar untuk menang menimbulkan pula kebutuhan yang besar terhadap uang. Semakin banyak uang, semakin besar kemungkinan untuk menang.

Ketika harus dilakukan tindakan hukum terhadap perilaku dan pelaku korup tersebut, banyak yang tersandera karena ternyata banyak juga yang mendapatkan keuntungan dari perilaku korup yang terjadi. Cipratan air kencing itu semakin terasa bau menyengat.

Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menjadi turun. Demikian pula keyakinan terhadap partai dan anggota dewan semakin rusak. Masyarakat pun mulai kesal dengan proses-proses politik yang terjadi dan memang tak ada solusi untuk menyelesaikan itu semua. Ketika ada solusi, pasti ada yang menjegal karena merasa terancam dengan solusi tersebut. Terjadilah adu bacot dan adu kekuatan politik, itulah demokrasi.

Saat masyarakat benar-benar putus asa, kemudian mengambil jalan pintas yang mereka pikir sendiri baik, kekacauan akan menjadi-jadi. Kejijikan air kencing itu akan sangat terjadi nyata. Masyarakat menilai sudah tidak ada lagi yang benar di republik ini. Seluruh lembaga penyelenggaraan negara tidak akan lagi dihormati, kekesalan pun memuncak. Para elit tersandera oleh kepentingannnya masing-masing. Mereka pun bingung sendiri. Saat itulah para elit kudisan akan tenggelam dalam “air kencingnya sendiri”.

Sudah saya bilang, kembali pada diri kita, kembali pada kekuatan kita, kembali pada kesucian diri kita. Dengan itulah kita bisa mengendalikan potensi negeri ini untuk kemakmuran bersama secara utuh, seimbang lahir maupun batin. Masa sih tidak mau.

Tuesday 7 June 2011

Kadang-Kadang Rada-Rada

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Kadang-kadang rada-rada, begitu yang sering diucapkan Coker Cowok Keren dalam sinetron Islam KTP yang ditayangkan SCTV. Saya juga jadi pengen bicara seperti itu melihat situasi negeri ini. Saya juga sebenarnya Coker Cowok Kertas. Saya kan penulis yang setiap hari tidak bisa lepas dari kertas.

Kadang-kadang rada-rada nih orang-orang. Kita, negeri ini, sudah mengalami lima kali terjatuh dalam keburukan yang sama, tetapi anehnya tidak pernah belajar dari kejatuhan tersebut, malahan sepertinya ingin terus terjatuh, bangga lagi. Kadang-kadang rada-rada.

Ayah saya mengajarkan bahwa kalau terjatuh ke dalam lubang satu kali, itu biasa. Kalau terjatuh dua kali pada lubang yang sama, itu normal, wajar. Kalau masih terjatuh juga ketiga kalinya pada lubang yang sama, itu artinya goblok.

Negeri ini, Indonesia tercinta, sudah lebih dari goblok karena sudah lima kali terjatuh, tetapi pengen jatuh lagi untuk yang keenam kalinya. Kadang-kadang rada-rada.

Kejatuhan pertama. Kita sudah melaksanakan demokrasi pertama kali pada masa pergerakan kebangsaan yang ditandai dengan adanya volksraad. Akan tetapi, semuanya sama sekali hampir tidak berguna karena sistem demokrasi ini dikuasai pemerintah kolonial Belanda. Haji Agus Salim mengatakannya sebagai tempat komidi omong. Mungkin maksudnya tempat orang-orang melawak. Sistem ini jelas jatuh karena bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk kolonial Belanda. Sistem ini jatuh oleh proses revolusi.

Kejatuhan kedua. Demokrasi Pascakemerdekaan. Pada masa ini digunakan sistem multipartai. Banyak sekali partai warna-warni. Hasilnya PKI menjadi nomor empat terbesar partai pemenang Pemilu sekaligus mengukuhkan diri sebagai partai komunis terbesar di dunia. Di samping itu, kabinet jatuh bangun dalam waktu yang pendek-pendek sehingga ekonomi tidak berjalan baik. Tambahan pula terjadi situasi curiga-mencurigai antara sipil dengan militer. Kartosoewiryo pun memproklamasikan NII karena tidak setuju hasil Perundingan Renville yang menurutnya menguntungkan Belanda. Ujungnya adalah terciptanya negara boneka RIS (Republik Indonesia Serikat) yang tidak laku itu. Demokrasi ini pun jatuh membuat penduduk RI jatuh pula secara mengenaskan.

Kejatuhan ketiga. Demokrasi Terpimpin. Memang pada masa ini Indonesia mencapai kemajuan yang signifikan di berbagai bidang, tak ada kekisruhan atau kegaduhan politik yang berarti karena semuanya berada dalam kepemimpinan Ir. Soekarno secara gotong royong. Akan tetapi, karena memang masih demokrasi juga, terjadi pertikaian meruncing antara kapitalis dan komunis. Ketika Soekarno jatuh sakit, kapitalis menggunakan kekuatan politik nonkomunis dan militer untuk menghabisi komunis. Sebaliknya, komunis menggunakan PKI sebagai kekuatannya untuk mencapai kekuasaan. Ujung-ujungnya G-30-S yang mengakibatkan terbunuhnya jutaan warga Indonesia, kekacauan politik, dan kesemrawutan sejarah bangsa. Jatuhlah demokrasi ini dalam keadaan rakyat penuh derita.

Kejatuhan keempat. Demokrasi Pancasila. Dalam awal masa ini terjadi peningkatan ekonomi yang cukup tinggi. Akan tetapi, terjadi korupsi, kolusi, nepotisme besar-besaran yang membuat negara berhutang banyak yang harus ditanggung oleh rakyat. Hak-hak politik rakyat dipasung, suara kritis diberangus, banyak terjadi penculikan dan pembunuhan yang tak jelas. Ujung-ujungnya krisis moneter yang berpengaruh langsung pada krisis ekonomi yang berubah menjadi krisis multidimensi. Jatuhlah Demokrasi Pancasila bebarengan dengan jatuhnya Soeharto.

Kejatuhan kelima. Demokrasi Masa Reformasi. Pada awal masa ini digaungkan kembali “kejayaan Pemilu 1955” yang multipartai itu. Menurut banyak pihak, Pemilu 1955 adalah Pemilu yang paling hebat. Paling hebat? Kadang-kadang rada-rada. Okelah, Pemilu itu memang lebih bersih dibandingkan Pemilu dalam zaman Orde Baru. Akan tetapi, proses sistem politik yang terjadi selanjutnya diabaikan, tidak diperhatikan, padahal banyak sekali kekisruhan. Itukah sistem politik yang hebat? Kadang-kadang rada-rada.

Saya tidak ingin menggambarkan kesemrawutan Demokrasi Masa Reformasi sejak awal sekali karena terlalu banyak kekacauan dan terjadinya gap antara harapan dan kenyataan. Kalau saya uraikan satu demi satu, pasti saya akan banyak bilang kadang-kadang rada-rada.

Yang ingin saya tulis adalah yang terjadi baru-baru ini atau sedang berlangsung. Saat ini kita menyaksikan bersama bagaimana terjadinya konflik yang tajam di antara elit yang terkesan mementingkan kepentingannya sendiri dengan mengabaikan kepentingan rakyat. Korupsi semakin menjadi-jadi. Penegakan hukum melemah karena tebang pilih dan menyeret pusaran kekuasaan. Pertarungan akibat Pemilihan Kadal tetap terjadi. Borok-borok partai lebih terbuka. Disintegrasi bangsa berlanjut secara bertahap. Penegak hukum tidak lagi memiliki wibawa, bahkan banyak yang mati ditembak secara misterius. Wuih, saya bilang juga pasti akan terlalu banyak. Kadang-kadang rada-rada. Pembaca bisa membuat daftar sendiri kekacauan yang terjadi, sekarang ini mudah kan membuatnya karena ada berbagai stasiun televisi dan inernet.

Memang belum terjatuh benar, tetapi bagaimana pun pasti jatuh. Jatuhnya pasti sakit sekali dan akan banyak orang yang merasa malu. Itu pasti.

Orang-orang yang masih percaya demokrasi pun sebenarnya menyadari kekusutsamutan yang terjadi, tetapi masih percaya juga terhadap demokrasi. Tandanya, mereka memiliki keinginan untuk mengevaluasi sistem politik demokrasi yang terjadi sekarang, kemudian melakukan berbagai perbaikan, menambal bolong-bolong yang ada. Kadang-kadang rada-rada. Kalau sistem demokrasi sekarang diperbaiki, namanya akan berubah lagi entah demokrasi apa. Sudah lima kali kita berdemokrasi, tetapi masih mau melakukan lagi demokrasi dengan nama dan sifat yang lain. Kadang-kadang rada-rada.

Halo semuanya, kalau ban motor atau mobil kita sudah lebih dari tiga kali ditambal, biasanya tukang tambal ban menyarankan untuk diganti saja dengan yang baru karena moal baleg, ‘tidak akan benar’. Masa ini demokrasi yang sudah lima kali bocor mau dipakai lagi? Kadang-kadang rada-rada.

Kalau mau selamat, cepat hentikan demokrasi, kemudian pikirkan sistem politik baru yang berasal murni dari dalam jiwa bangsa. Jangan ngikut-ngikut sistem politik orang lain.

Nggak mampu ya bikin sistem dan struktur politik sendiri? Nggak bisa ya? Kenapa atuh nggak nanya? Kalau nggak ngerti, harusnya unjuk jari. Kalau nggak unjuk jari, berarti pura-pura tahu, padahal nggak tahu, akhirnya jadi sok tahu. Nanya dong, nanya!

Tanya sama Allah swt. Dia kan yang menciptakan kita. Dia tahu jalan keluarnya. Nanya dong! Caranya, baca tulisan saya yang judulnya Teori Jam Dinding, masih di blog ini juga. Kalau masih belum ngerti juga caranya, ntar saya kasih tau.

Nanya! Jangan sok tahu! Nanya donks! Kadang-kadang rada-rada.

Demokrasi Adalah Berhala

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Demokrasi itu adalah berhala. Siapa pun yang menyembah berhala berarti musyrik. Orang-orang musyrik akan beroleh kehinaan di dunia dan jika tidak bertaubat, akan mendapatkan siksa yang mengerikan di akhirat kelak.

Berhala adalah sesuatu yang tidak patut disembah, dipuja, diagungkan, dipatuhi, dan diikuti, tetapi tetap disembah, dipuja, diagungkan, dipatuhi, dan diikuti. Berhala merupakan sesuatu yang dipentingkan, tetapi sebenarnya tidak harus dipentingkan. Bentuk berhala bisa bermacam-macam, bisa materi ataupun nonmateri.

Demokrasi adalah berhala yang berbentuk nonmateri. Ia adalah sebentuk konsep atau gagasan yang disembah, dipuja, diagungkan, dipatuhi, dan diikuti dengan segenap jiwa raga. Orang-orang menganggap bahwa demokrasi adalah sistem terbaik dan terunggul yang dapat menyelamatkan manusia. Mereka, para pemujanya, menutup diri dari sistem mana pun di luar demokrasi. Bagi mereka, demokrasi adalah segala-galanya, sedangkan sistem lain adalah salah atau rendah.

Wajar, karena di dalam isi kepala mereka cuma ada demokrasi, otoriter-totaliter, atau Negara Islam. Mereka berpikiran seperti itu karena buku-buku yang dijadikan rujukan di tempat kuliahnya berasal dari barat. Jadi, cuma ada pemikiran produk barat yang ada di kepala mereka. Padahal, barat sendiri dari dulu sampai sekarang menderita penyakit tidak enak tidur, sering gelisah, cemas, khawatir terhadap masa depan, curang, iri, dengki, dan seabrek penyakit lainnya. Karena kita juga diarahkan oleh orang-orang yang berpikiran barat, kita pun menjadi punya penyakit yang sama dengan orang-orang barat itu.

Sesungguhnya, ada sistem lain yang belum pernah diajarkan di muka Bumi ini yang tidak demokratis sekaligus tidak otoriter-totaliter. Sistem ini sungguh menghindarkan manusia dari bahaya demokrasi plus kekejaman otoriter. Cobalah selami diri sendiri dalam arti berkaca pada keluhuran nilai-nilai bangsa yang merupakan anugerah besar dari Allah swt, kita akan menemukan sistem yang teramat tepat bagi kita sendiri. Demi Allah swt yang setiap hari tangan-Nya memegang nyawa saya.

Demokrasi sudah menjadi berhala bagi sebagian masyarakat Indonesia. Bagi sebagian masyarakat lain, demokrasi bukanlah berhala karena tidak menganggap sistem itu adalah yang terbaik dan terunggul. Saya contohnya, bukanlah penggemar demokrasi, melainkan penghina berat demokrasi.

Burhanudin Muhtadi, pengamat politik, memperjelas penyembahan berhala itu oleh masyarakat Indonesia. Ia mengatakan bahwa demokrasi itu sudah menjadi iman. Maksudnya, masyarakat tetap mempertahankan demokrasi walaupun banyak kerusakan yang terjadi. Masyarakat tidak menyalahkan demokrasi, tetapi menyalahkan praktik-praktik tidak terpuji yang terjadi dalam rangka melaksanakan demokrasi. Padahal, perbuatan-perbuatan tidak terpuji tersebut bersumber dari Dewa Demokrasi.

Hal tersebut sudah dijelaskan oleh Prabu Siliwangi ratusan tahun silam, yaitu dengan kata-kata naritah deui nyembah berhala, ‘menyuruh lagi menyembah berhala’. Berhala yang dimaksud adalah kultus pemikiran terhadap sistem politik demokrasi. Prabu Siliwangi tahu benar bahwa mereka yang menjadi elit, penguasa, birokrat, politisi, akademisi, sampai ahli agama pada masa sekarang kita hidup ini menyuruh rakyat untuk menyembah berhala yang namanya demokrasi. Mereka yang sekarang sedang manggung di berbagai bidang terus menggembar-gemborkan bahwa demokrasi itu sistem politik yang terhebat tak ada yang mengalahkan meskipun tahu benar bahwa sistem ini telah rusak luar-dalam.

Apa akibat dari penggunaan demokrasi?

Prabu Siliwangi menegaskan akibat buruk dari penggunaan sistem politik demokrasi, yaitu:

Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan; da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. Nya karuhan: taraté hépé sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah paré loba nu teu asup kana aseupan……………………….. Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger.

Artinya:

Pergaulan anak muda salah jalan. Kesalahan pergaulan itu diakibatkan oleh salahnya aturan dari pemerintah. Undang-undang dan hukum hanya ada di mulut dan dalam diskusi-diskusi kosong tanpa bisa ditegakkan dengan benar. Hal itu disebabkan para pejabatnya bukan ahlinya. Ya pasti atuh, bunga teratai kosong sebagian, bunga kapas hampa buahnya, buah padi banyak yang tidak masuk ke dapur rakyat. ........................ Salah sendiri mempercayakan kebun kepada orang yang gemar berdusta, petaninya suka mengumbar janji palsu, orang-orang pintar terlalu banyak, tetapi pinternya keblinger.

Apa ada yang salah dari kata-kata Sang Prabu, Raja Sunda, ratusan tahun silam itu? Kalau ada yang salah, coba tunjukkan di mana.

Perhatikan kalimat terkakhir:

Salah sendiri mempercayakan kebun kepada orang yang gemar berdusta, petaninya suka mengumbar janji palsu, orang-orang pintar terlalu banyak, tetapi pinternya keblinger.

Menurut Prabu Siliwangi, yang bersalah adalah rakyat karena telah memilih orang-orang yang tidak beres. Artinya, sistem politik demokrasi telah menipu rakyat sehingga digiring untuk memilih orang-orang brengsek. Adapun orang-orang yang pintar kesalahannya adalah tidak menggunakan kepintarannya untuk kemuliaan manusia dan kemanusiaan. Mereka hanya menggunakan kepintarannya sekedar untuk mencari makan, uang, dan kesenangan. Jadi, tidak ada bedanya antara orang pintar dengan tukang kue serabi, tukang jamu, atau tukang rongsokan. Mereka semua cuma cari makan. Itulah yang dinamakan pinter keblinger yang biasanya pengen menang sendiri, padahal tahu bahwa dirinya bersalah.

Hal senada diucapkan pula oleh Jayabaya. Jayabaya dan Prabu Siliwangi berbeda masa, berbeda suku, dan berbeda tempat. Mereka berdua tidak pernah bertemu, tetapi mengatakan hal yang sama tentang Indonesia saat ini. Padahal, mereka hidup ratusan tahun yang lalu.

Jayabaya mengatakan bahwa rakyat Indonesia akan menjadi penyembah arca terlentang. Maksudnya, rakyat Indonesia sebagian besar adalah memuja cara-cara hidup orang lain yang rapuh. Para penyembah berhala zaman dahulu menyembah arca-arca yang berdiri tegak, tetapi rakyat Indonesia saat ini menyembah arca yang terlentang. Artinya, arca/patung yang tidak tegak berdiri alias rapuh.

Cara-cara hidup orang lain itu adalah demokrasi. Arca terlentang itu adalah demokrasi. Patung yang rapuh itu adalah demokrasi.

Kata Jayabaya, “Bergelar pangeran perang. Kelihatan berpakaian kurang pantas, namun dapat mengatasi keruwetan orang banyak yang menyembah arca terlentang.

Demokrasi membuat hidup orang-orang menjadi ruwet. Keruwetan-keruwetan yang menggoncangkan seluruh bangsa ini akan diselesaikan atau diatasi oleh “seseorang” yang punya gelar Pangeran Perang. Pangeran ini berasal dari golongan ekonomi menengah-bawah karena berpakaian pun tidak pantas, hidup dalam keadaan susah. Ia yang dimaksud Jayabaya dan Prabu Siliwangi sebagai Ratu Adil kelak.

Bagi saya, demokrasi itu adalah sistem politik yang sangat rapuh mirip dengan rumah laba-laba yang kelihatannya canggih, rumit, njelimet, tetapi lemah. Dalam Al Quran, Allah swt menegaskan bahwa bangunan yang paling lemah dan rapuh di muka Bumi ini adalah bangunan rumah laba-laba.

Jadi, sudahi saja menyembah berhala yang namanya demokrasi. Tak ada gunanya diteruskan. Kembalilah pada nilai-nilai luhur yang telah dianugerahkan Allah swt kepada kita.

Jawadah tutung biritna sacarana-sacarana, ‘setiap bangsa memiliki cara hidup yang berbeda-beda’.

Masih ingat teori civilization crash, ‘benturan budaya’?

Mari kita benturkan saja sekalian mulai saat ini, mulai dari diri sendiri, dan mulai dari yang paling kecil. Kita yakini bahwa Indonesia adalah sangat kaya raya dengan keluhuran budi pekerti manusia dan jika dibenturkan dengan barat pasti, pasti, pasti menang. Jangan takut, kita ini keturunan para pemenang perang.