Wednesday 18 April 2012

Menjatuhkan SBY? Percuma!

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Banyak orang sudah sangat kesal dan letih dengan kepemimpinan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Berbagai isu digunakan untuk menjelaskan kelemahan kepemimpinan SBY, mulai ketimpangan ekonomi, ketidakpastian hukum, ketidakadilan tanah, pemanfaatan sumber daya alam yang dinikmati pihak asing, dan lain sebagainya. Rencana kenaikan harga BBM menjadi pemicu atau akumulasi dari kekesalan banyak orang mengakibatkan demonstrasi dan aksi protes di hampir seluruh wilayah Indonesia. Teramat banyak orang yang gemas dan gereget ingin menjatuhkan SBY.

            Keinginan menjatuhkan SBY itu sebenarnya adalah keinginan sepele, kecil, rendah, dan tidak menyelesaikan masalah. Bahkan, akan menimbulkan masalah baru. Buat apa menjatuhkan SBY? Kalau SBY jatuh, mengundurkan diri, atau menghilang tiba-tiba, kemudian siapa penggantinya?

            Sesungguhnya, siapa pun yang menggantikan SBY akan sangat sulit dalam memimpin Indonesia. Hal itu disebabkan kita masih menggunakan sistem politik Anjing Buduk yang bernama Demokrasi. Siapa pun orangnya akan selalu tersandera berbagai kepentingan karena dalam demokrasi itu dipenuhi berbagai tawar-menawar dan hutang janji proyek, balas budi, ataupun penguasaan sektor-sektor politik dan ekonomi di Indonesia. Korupsi pun akan tetap terjadi, bahkan mungkin akan semakin semarak memperkaya para bajingan tengik. Rakyat hanya akan menonton pergantian pemimpin tanpa mengalami perubahan berarti.

            Yang harus kita lakukan adalah mengganti sistem politik kutu kupret yang sekarang ini dengan sistem politik baru sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia yang dianugerahi Allah swt dengan berbagai kelebihan. Sistem politik Indonesia yang baru harus membebaskan orang-orang hebat di negeri ini dari berbagai hutang budi, hutang balas jasa, hutang proyek, hutang politik, dan rupa-rupa hutang yang melilit mempersulit para pemimpin untuk mengabdikan diri membangun bangsa mencapai cita-cita nasionalnya.

            Sumpah demi Allah swt, upaya menjatuhkan SBY adalah kegiatan yang kurang kerjaan. Hal itu disebabkan musuh rakyat itu bukan SBY, bukan pemerintah, bahkan bukan satu orang Indonesia pun. Musuh kita itu adalah sistem politik yang penuh kejahatan seperti sekarang ini. Sungguh, orang Indonesia itu dilahirkan untuk kebaikan. Tak seorang ibu pun yang melahirkan anaknya di Indonesia ini berharap bayinya untuk melakukan keburukan kelak. Orang-orang Indonesia yang penuh kebaikan ini sesungguhnya saat ini terpenjara, tersandera, dan terikat oleh sistem politik hina  yang membuat orang-orang jadi kacau, berpikiran sempit, dan menumbuhkan pertengkaran. 

            Percuma menjatuhkan SBY! Ganti sistem politik! Mulai lagi dari awal! Kita restart Indonesia, kemudian kita install ulang dengan berbagai program-program fresh yang mampu menjalankan program untuk mencapai cita-cita nasional Indonesia sebagaimana tertera dalam Preambul UUD 1945!

            Revolusi Belum Selesai, Bung!

            Bukan revolusi fisik! Memangnya mau berantem sama siapa? Mau berkelahi sesama bangsa sendiri? Mau saling bunuh sesama  penduduk asli dari Sabang sampai Merauke? Kalau bertarung sesama bangsa sendiri, kita adalah orang-orang brengsek yang tertipu sistem politik brengsek!

            Revolusi yang harus dilakukan adalah revolusi pikiran dan sikap! Jauhi itu demokrasi, kosongkan TPS-TPS (Tempat Pemungutan Suara) di setiap tingkatan dalam pemilihan apa pun, baik itu Pileg, Pilpret, ataupun Pemilihan Kadal!

Lakukan dengan damai penuh pengajaran dan cinta karena itu adalah hak kita untuk tidak memilih serta kewajiban kita untuk memperbaiki keadaan sekaligus bakti kita dalam mengamalkan ilmu pengetahuan!

TPS kosong, demokrasi bangkrut, ruh Pancasila pun bangkit!

Insyaallah. Demi Allah swt. Bissmillaahi Allahu Akbar!

Fastabiqul Khoirot ... Katanya

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Beragam cara dan pendapat digunakan untuk melakukan pembenaran terhadap sistem politik demokrasi yang sesungguhnya bejat dan memalukan umat manusia. Orang-orang berlelah-lelah mencari alasan untuk memperkuat dugaan bahwa demokrasi adalah sistem politik terbaik. Di samping itu, mereka menutup rapat telinga, mata, dan hati terhadap kerusakan sistem politik demokrasi. Mereka adalah orang-orang yang masih gemar mengikuti produk-produk pemikiran barat dan merasa diri sudah cerdas dengan mengekor pendapat orang-orang kapitalis.
 
            Yang lebih menyedihkan sekaligus memuakkan adalah mereka menggunakan ajaran Islam untuk mempertahankan demokrasi. Padahal, demokrasi itu adalah penghinaan terhadap manusia, pelecehan terhadap Islam, lebih jauhnya pembangkangan terhadap Allah swt. Nggak percaya? Coba pelajari lagi itu Islam dan keinginan Allah swt terhadap manusia. Dalam Islam, dalam Al Quran, banyak keterangan yang mengisyaratkan bahwa sesungguhnya manusia itu kebanyakan tidak beriman, gemar membantah, berpikiran jahil, jauh dari kebenaran, menolak kebaikan, sering melakukan keburukan, dan lain sebagainya yang menunjukkan bahwa kelompok yang tidak benar itu jumlahnya lebih banyak daripada orang-orang yang benar. Semua manusia di muka Bumi ini pasti sepakat bahwa hanya sekelompok kecil manusia yang beriman, mampu taat, cerdas, dan memiliki kualitas unggulan. Akan tetapi, dengan demokrasi, kehidupan manusia diserahkan kepada pendapat terbanyak dari manusia, padahal kebanyakan manusia itu tidak benar, tidak baik, bodoh, dan tidak beriman. Bukankah itu merupakan pembangkangan terhadap Allah swt yang diakibatkan ketololan manusia? Kemudian, kita diharuskan untuk mematuhi undang-undang atau seabrek peraturan hasil dari pendapat terbanyak manusia yang nggak jelas kualitasnya itu? Masyaallah, kekusutan pikiran ini sudah sedemikian parah.

            Salah satu ajaran Islam yang dijadikan dalil pembenaran demokrasi adalah kalimat fastabiqul khoirot, ‘berlomba-lomba dalam kebaikan’. Mereka sering mengartikannya dengan bersaing dalam kebaikan. Kata bersaing itulah yang dijadikan alasan bahwa demokrasi disahkan dalam ajaran Islam. Hanya satu kata itulah yang dijadikan pegangan mereka, bahkan juga mungkin Anda yang sedang membaca tulisan ini. Padahal, sesungguhnya bersaing dalam kebaikan tidak boleh dipotong-potong kata-katanya karena merupakan sebuah frasa. Frasa itu artinya adalah gabungan kata yang memiliki sebuah arti yang jika dipotong-potong akan memiliki arti berbeda dari gabungan kata itu. Misalnya, duh, jadi ngajarin bahasa Indonesia, nih. Misalnya, sapu tangan. Gabungan kata itu adalah frasa yang jelas memiliki arti khusus. Artinya, jika dipotong satu kata, sapu, akan berbeda artinya dengan sapu tangan. Demikian pula jika diambil hanya kata tangan, berbeda dengan sapu tangan. Hal itu terjadi pula pada bersaing dalam kebaikan. Kata bersaing atau kata kebaikan saja akan memiliki makna yang jauh dari bersaing dalam kebaikan.

            Kata bersaing memang sangat erat dan lekat dengan sistem politik demokrasi. Itu tidaklah salah. Akan tetapi, kebaikan? Kata itu sangat jauh dari demokrasi yang sesat-menyesatkan dan merupakan sumber keburukan bagi hidup manusia. Di mana baiknya demokrasi? Iyalah, okelah, baiklah, demokrasi memberikan kebebasan manusia untuk berpendapat, berorganisasi, bersikap, dan lain sebagainya. Akan tetapi, kebebasan semacam itu bukan hanya milik demokrasi. Hanya orang-orang kurang pengetahuan yang berpendapat bahwa kebebasan itu hanya milik demokrasi. Artinya, mereka berpendapat bahwa kalau tidak demokrasi, berarti tak ada kebebasan. Pendapat itu disebabkan kurangnya pengetahuan yang dimiliki, mental kerdil, dan hobi mengikuti pikiran orang-orang kapitalis. Saya kasih tahu bahwa ajaran Islam memberikan kebebasan yang sangat luas untuk berpendapat, bersikap, berorganisasi, dan menyalurkan aspirasi, bahkan protes sekalipun. Saya kasih tahu lagi bahwa ajaran leluhur kita memberikan keluasan berekspresi agar kita mampu bergotong royong, hidup harmonis, seiya-sekata untuk mencapai kemakmuran bersama. Itulah yang dijadikan dasar negeri ini, Pancasila. Ngerti kan? Kalau nggak ngerti, kalian bego!
    
            Kalaulah ada orang yang mengatakan jika tidak demokratis berarti tirani, itu benar. Akan tetapi, itu bukan pengalaman hidup bangsa Indonesia. Itu adalah pengalaman hidup orang-orang Eropa, barat. Mereka ingin demokrasi karena terkekang para raja dan pendeta yang sewenang-wenang menyakiti rakyat. Di Indonesia tak ada raja dan ulama yang menyakiti dan membuat keburukan terhadap rakyat. Coba baca sejarah. Di negeri ini para raja dan ahli agama bahu-membahu membangun masyarakat agar hidup seimbang dalam kemakmuran duniawi dan kemewahan ukhrowi. Perhatikan sejarah masa lalu yang penuh keemasan itu, masa sebelum VOC datang ke negeri ini. Kalaulah para raja dan ahli agama di negeri ini melakukan kejahatan, itu benar terjadi, tetapi setelah kehadiran VOC, setelah bergaul dengan para penjajah rakus itu. Artinya, kejahatan dan kekisruhan mulai terjadi sejak adanya interaksi dengan orang-orang yang pikirannya disibukkan oleh hal-hal materialistis.

            Kembali ke soal fastabiqul khoirot. Berlomba-lomba atau bersaing yang dimaksud Islam itu adalah dalam hal kebaikan. Misalnya, mengapa orang lain bisa bersedekah 10.000 rupiah setiap jumat, sedangkan kita hanya 500 rupiah? Mengapa orang lain bersedih hati karena terlambat shalat tahajud satu malam, sedangkan kita bangga baru bisa shalat tahajud satu kali? Mengapa orang lain bisa memelihara banyak anak yatim hingga dianggap sebagai anak sendiri, sedangkan kita selalu ketakutan kekurangan harta benda? Mengapa orang lain bisa memberikan pengajaran secara cuma-cuma, sedangkan kita harus selalu ingin dibayar? Mengapa orang lain bisa menyantuni fakir miskin, sedangkan kita selalu berpura-pura banyak urusan? Mengapa orang lain mampu menyisihkan hartanya untuk orang banyak tanpa ingin dipuji, sedangkan kita memberikan sumbangan dengan harapan dipuji dan disanjung orang? Mengapa orang lain bisa mempermudah urusan orang lain, sedangkan kita sering mempersulit orang lain? Mengapa orang lain mampu berbahasa manis, bertutur kata lembut, sedangkan lidah kita sering menyakiti orang lain? Mengapa orang lain mampu memberikan bantuan kepada sesama agar orang yang dibantunya mampu hidup mandiri, sedangkan kita membantu orang hanya agar orang itu hidupnya selalu tergantung kepada kita? Mengapa orang lain luas hatinya sepulang dari Mekah menunaikan ibadat haji tidak ingin menggunakan gelar haji atau hajjah, sedangkan kita selalu ingin disebut haji atau hajjah? Mengapa orang lain mampu melakukan ribuan kebaikan tanpa diketahui orang lain, sedangkan kita baru melakukan kebaikan tak seberapa saja selalu ingin diumumkan? Mengapa orang lain mampu memberikan jalan keluar bagi orang banyak tanpa ingin diangkat menjadi pejabat, sedangkan kita berupaya baik kepada orang lain dengan uang hasil ngutang sana-ngutang sini berharap menjadi pejabat? Mengapa orang lain berbuat baik tanpa ingin wajahnya dipampang di spanduk, poster, atau baligo, sedangkan kita belum berbuat baik saja wajahnya sudah ditempel pada berbagai kertas dan kain dengan janji yang muluk-muluk di setiap tikungan jalan, bahkan di kuburan? Pendek kata, bersaing dalam kebaikan itu adalah berlomba-lomba untuk berbuat baik dengan tujuan mendekatkan diri dan menggapai rasa senang Allah swt.

            Fastabiqul khoirot itu bertentangan dengan demokrasi. Bagaimana mungkin disebut bersaing dalam kebaikan jika kampanye penuh dusta, money politics, black campaigne, janji palsu, korupsi, ngutang sana-sini, jual janji sama perusahaan asing, menggadaikan bangsa, mempermainkan hukum, bersitegang sesama bangsa sendiri, bertengkar rebutan jabatan, curang, sandera-menyandera kepentingan, manipulasi data dan fakta, menggerakkan massa untuk membuat dan memperluas huru-hara, menjual murah sumber daya alam pada pihak kapitalis, menggunakan agama sebagai kedok, saling menyombongkan diri, membela teman yang salah karena satu partai, menipu rakyat kecil, memeras orang miskin, dan rupa-rupa keburukan demokrasi lainnya. Bagaimana bisa hal-hal serupa itu disebut kebaikan?

            Goblok itu orang yang menyandarkan demokrasi pada kalimat fastabiqul khoirot. Sebentar lagi jika tidak segera sadar, pikiran orang seperti itu akan dipenuhi oleh berbagai hal jahat yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Pasti.

Rakyat Tidak Perlu Marah Jika Tanahnya Diambil

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Kenapa mesti marah dan sedih jika tanah rakyat diambil paksa tanpa hak oleh mereka yang berkuasa dan banyak uang?

            Tidak seharusnya marah atau kecewa atas penggusuran dan pengambilalihan tanah rakyat, baik legal maupun tidak. Toh, kita, penduduk negeri ini, sudah sepakat menggunakan sistem politik yang korup, hina, rendahan, dan kacau ini? Bukankah kita senang menggunakan sistem politik demokrasi?

            Kalau senang dengan demokrasi, ya jangan marah kayak kebakaran semua bulu jika tanah rakyat diambil paksa. Wajar saja ada penggusuran dan perampokan hak atas tanah karena kita sudah teken kontrak untuk dipermainkan dalam sistem politik demokrasi.

            Saudara-saudara sekalian, melaksanakan sistem demokrasi yang penuh penipuan ini sangat mahal, perlu biaya banyak, boros, serta membutuhkan para investor untuk dijadikan partner dalam menguasai negara. Oleh sebab itulah, terjadi perkawinan haram antara pengusaha dan politisi dan itu wajar dalam demokrasi. Para pengusaha, baik asing maupun dalam negeri akan jor-joran dan habis-habisan membela dan mendukung jagonya untuk berada dalam penyelenggaraan negara, baik itu di eksekutif maupun di legislatif, bahkan di yudikatif. Di mana-mana juga begitu kok. Di seluruh dunia terjadi seperti itu jika menggunakan demokrasi. Bahkan, bukan hanya dengan penguasa para politisi melakukan perzinahan, melainkan pula dengan para penjahat dan preman kudisan.

            Para pengusaha kapitalis yang telah membantu menyukseskan jagonya untuk menang dalam Pemilu, baik Pileg, Pilpret, maupun Pemilihan Kadal, jelas meminta balas jasa kepada para penguasa yang sudah manggung. Wajar toh terjadi seperti itu? Ya wajar atuh. Seseorang yang telah banyak membantu, kemudian meminta upah atas bantuannya itu adalah normal sekali.

            Nah, kaitannya dengan penggusuran tanah sudah mulai jelas terlihat. Para pengusaha yang menguasai tanah sengketa dan berbagai sumber daya alam Indonesia secara berlebihan itu mungkin adalah mereka yang telah melakukan pelacuran dengan para politisi. Bisa jadi tanah-tanah sengketa yang mereka kuasai itu merupakan semacam balas jasa dari penguasa yang sedang manggung karena dulu telah dibantu dalam proses kampanye serta pemilihan. Kelambanan aparat dalam membela rakyat yang sesungguhnya pemilik sah negeri ini pun patut diduga karena besar sekali bantuan yang diberikan para pengusaha pada masa-masa para penguasa sebelum berkuasa. Demikian pula terjadinya kesan aparat lebih membela kepentingan pengusaha dibandingkan rakyat adalah besar kemungkinan karena itu, balas budi atau pembayaran atas pelacuran yang dulu dilakukan mereka. 

     Para politisi dalam dunia demokrasi memerlukan banyak bantuan keuangan untuk berbagai kepentingannya, termasuk untuk money politics yang ditebarkan kepada rakyat-rakyat juga. Mereka jelas akan merayu-rayu atau dirayu-rayu para pengusaha untuk berzinah. Karena memiliki kesamaan kepentingan, yaitu berkuasa dan kaya raya, mereka pun esek-esek di tempat-tempat gelap, bahkan ada yang terang-terangan.

            Kita semua telah sangat setuju dengan sistem politik yang melahirkan perzinahan tersebut. Jadi, tidak perlu marah, sedih, kecewa, ataupun dendam dengan penggusuran atau perampokan tanah sengketa. Tenang-tenang saja. Bahkan, bergembira rialah karena telah berhasil menjadi negara demokratis. Normal saja toh, para politisi ingin menang dibantu oleh pengusaha, lalu para pengusaha itu meminta bagian atas jasanya untuk menguasai tanah dan sektor-sektor ekonomi lainnya di negeri ini. Soal rakyat itu kan hanya soal angka statistik yang hanya digunakan untuk perhitungan suara dan kalkulasi politik. Rakyat itu nggak masuk hitungan dalam kue pembagian kekuasaan. Bahkan, dalam masa berkuasa rakyat hanyalah manusia-manusia kelas rendah yang menyusahkan.

            Kalau mau pembagian tanah dan kepemilikan tanah yang lebih tertib dan memakmurkan rakyat secara keseluruhan, ya harus ada kebijakan untuk mengembalikan seluruh tanah ini kepada rakyat. Kemudian, segala potensi negeri ini bergerak bersama mengelola sumber daya alam untuk kepentingan bersama. Akan tetapi, kebijakan itu tidak akan pernah lahir dari sistem politik demokrasi. Mustahil sistem politik demokrasi melahirkan keadilan dan kemakmuran. Bukti nyata yang terjadi di seluruh muka Bumi ini adalah demokrasi telah melahirkan kekalutan dan kekacauan luar biasa yang menjerumuskan manusia ke lembah berbagai penderitaan.

            Jangan marah dong kalau tanahnya diambil, wajar saja, kan demokrasi. Kalau mau makmur bersama, hancurkan dulu demokrasi. Kemudian, mulai menata sistem politik sesuai dengan jiwa bangsa sendiri. Malu dong sama orangtua kita dulu sebelum masa kolonial yang mampu makmur, kuat, dan sejahtera dalam masa kejayaan dan keemasan Indonesia. Hanya orang-orang bego dan tolol yang menganggap orangtua kita itu kuno dan tidak beradab. Orang-orang yang berpendapat seperti itu adalah orang sombong yang pikirannya telah digelapkan karena cinta pada perilaku dan pikiran orang-orang barat kapitalis yang jauh sekali watak dan kulturnya dengan Indonesia.

            Mau semua orang punya tanah? Ingin semua punya rumah? Ingin semua punya pekerjaan? Mau semuanya layak?

            Bunuh dulu demokrasi, lalu kuburkan ke dalam septictank tempat tinja perpolitikan. Kemudian, bergerak dan bekerja bersama dalam suasana gotong royong. Niscaya kita akan menjadi barometer dan mercusuar dunia. Insyaallah.

Penipu & Tertipu

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Demokrasi itu sistem politik penuh dusta, curang, menjijikan, dan jauh dari kebaikan. Mereka yang masih mencintai dan melaksanakan demokrasi hanyalah para penipu dan tertipu. Para penipu tahu benar cara membohongi rakyat yang sedang hidup dalam kesusahan. Mereka akan mengelabui mata dan perasaan rakyat untuk memilihnya dengan menggunakan janji-janji kosong memuakkan serta menebar uang recehan yang nilainya tidak seberapa. Lihat saja slogan-slogan para penipu yang tertera dalam spanduk, baligo, poster, ataupun berbagai media lainnya. Seluruhnya tak memiliki makna, kerjaannya para tukang bahasa slogan. Kalimat-kalimatnya hampa, tidak memiliki ruh. Para penipu itu sesungguhnya hanya ingin menggali dan merampok uang serta energi rakyat untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Mereka tahu benar bahwa rakyat masih terabui matanya dengan pengetahuan tak berdasar bahwa demokrasi itu adalah sistem politik yang terbaik. Mereka akan berupaya keras menggunakan sumber daya yang dimilikinya untuk melakukan penipuan terhadap rakyat. Hal itu disebabkan mereka sangat paham bahwa rakyat dari kelas bawah sampai kelas atas, termasuk akademisi masih bloon dengan menganggap bahwa demokrasi itu adalah sistem politik yang paling mulia.

           Kalau bukan penipu, mereka yang masih mencintai dan melaksanakan demokrasi adalah orang-orang yang tertipu. Tertipu dari apa? Tertipu dari pemahaman bahwa demokrasi itu adalah sistem politik yang terbaik. Mereka terus saja berputar-putar memusingkan diri mengikuti sistem politik Syetan Laknatullah ini, padahal sejarah dan ilmu pengetahuan, bahkan agama Islam menolak keras demokrasi.  

Ketertipuan orang-orang yang tertipu ini dinikmati terus karena kebodohan yang tertutup kegelapan ketololan. Mereka tahu dan merasakan benar bahwa demokrasi tidak bisa menyelesaikan masalah, malahan menumbuhkan masalah dan penderitaan baru, tetapi tak memiliki jalan lain untuk mengubah demokrasi karena tidak memiliki kepercayaan kepada diri sendiri bahwa Allah swt telah memberinya petunjuk untuk keluar dari kejahatan demokrasi menuju keadilan, keagungan, dan kemuliaan kehidupan.

           Pendeka kata, mereka yang mencintai dan melaksanakan demokrasi itu adalah kalau bukan penipu, pasti orang-orang yang tertipu. Apa ada jenis manusia lain di luar penipu dan tertipu? Pilih saja di antara keduanya, Saudara termasuk yang mana?

            Mungkin ada orang yang menyangka dirinya cerdas dengan mengamini dan mengagungkan demokrasi. Ia menganggap dirinya pintar dan hebat. Sesungguhnya, orang jenis ini adalah orang-orang yang benar-benar telah tertipu secara ganda. Pertama, ia tertipu dengan pemahaman bahwa demokrasi adalah sistem politik yang paling hebat. Kedua, ia tertipu mengira dirinya cerdas atau pintar, padahal sesungguhnya bego nggak ketulungan.

            Kalau saya, tidak mau jadi orang yang tertipu atau penipu. Saya ingin menjadi orang yang tercerahkan. Demokrasi itu mainannya Dajjal Laknatullah. Demi Allah swt.

Pengamat Politik Pendusta

oleh Tom Finaldin

Kondisi dan situasi sosial, politik, ekonomi di Indonesia yang carut marut ini menumbuhkan dengan subur orang-orang yang disebut pengamat, pemerhati, pegiat, atau apapun namanya yang sering dimintai pendapat sebagai narasumber dalam media massa, seminar, atau diskusi-diskusi soal politik. Berulang-ulang atau berkali-kali nama dan wajahnya muncul dalam media massa dengan seabrek pendapatnya. Celakanya, mereka ini sering dianggap sebagai sumber kebenaran alternatif yang dijadikan sandaran karena rakyat sudah tidak memiliki kepercayaan kepada pemerintah. Mereka inilah yang dijadikan rujukan orang-orang untuk berpikir, bertindak, bahkan menulis sebuah karya ilmiah.

            Sayangnya, tidak sedikit di antara mereka yang sering sekali berdusta sehingga menimbulkan kekacauan informasi di kalangan rakyat. Rakyat tidak mendapatkan informasi dan data yang benar sehingga menciptakan kebodohan yang akut dan semakin parah.

           Mestinya, jika mereka tidak menguasai sesuatu masalah, jujur saja katakan tidak tahu. Jangan terus nyerocos sok tahu yang disebabkan rasa malu jika dianggap tidak mengerti.

            Yang paling membuat saya pusing dan muak adalah mereka sering sekali membandingkan keadaan di Indonesia dengan di luar negeri. Mereka berbicara seolah-olah keadaan di luar negeri lebih baik daripada Indonesia. Kedustaan pertama adalah dalam mengomentari soal politik di luar negeri. Mereka mengatakan bahwa tatanan politik luar negeri lebih bagus dibandingkan Indonesia, misalnya, dalam hal money politics. Menurut mereka, di negara-negara itu aturan tentang dana partai, kampanye, atau sejenisnya lebih baik dan lebih ketat sehingga kondisi demokrasi lebih baik. Bloon mereka itu! Hal itu disebabkan Indonesia telah memiliki aturan yang teramat sangat ketat dan hebat soal dana partai tersebut, bahkan lebih tertata dibandingkan luar negeri. Soal money politics tetap terjadi mewabah di Indonesia meskipun sudah ada aturan yang bagus, sebetulnya terjadi pula di berbagai negara di dunia ini yang menggunakan sistem politik demokrasi. Money politics adalah kutukan yang lahir dari demokrasi. Bohong besar jika ada yang mengatakan bahwa suatu negara bisa berdemokrasi tanpa money politics.

            Kedustaan kedua adalah menurut mereka demokrasi di luar negeri lebih sehat dibandingkan di Indonesia. Padahal, kenyataannya di negara-negara itu demokrasi telah membuat kebingungan luar biasa yang membuat rakyatnya hidup dalam ketegangan, ketakutan, ketidakamanan, kemaksiatan, dan kehilangan pegangan moral yang kuat. Kehambaran dan kehampaan hidup mereka pun mulai menghinggapi Indonesia karena Indonesia mengikuti cara-cara hidup mereka. Artinya, di mana-mana demokrasi sesungguhnya menumbuhkan persoalan baru dalam kehidupan manusia.

            Kedustaan ketiga, mereka menyebut negara-negara luar yang dibandingkan dengan Indonesia itu sebagai “negara maju”. Maju darimana, Coy? Akan tetapi, saya paham bahwa mereka mengatakan negara maju itu adalah maju dari segi ekonomi dan teknologi meskipun kita tidak pernah berupaya memahami mengapa mereka maju dalam ekonomi. Apakah mereka melakukan bisnis yang halal atau haram? Apakah usahanya mendatangkan manfaat bagi manusia dan alam sekitar atau melakukan perampokan dan penipuan terhadap negara-negara lemah?

            Perlu diketahui bahwa istilah “maju” yang disandarkan pada kekuatan ekonomi adalah pemikirannya Anjing-anjing Kapitalis. Indonesia memiliki standar sendiri tentang istilah “maju” tersebut, yaitu sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang intinya adalah terwujudnya manusia Indonesia seutuhnya yang seimbang lahir dan batin. Jika Indonesia atau negara mana pun telah mampu mewujudkan keseimbangan lahir dan batin, kita wajib mengatakan negara itu dan atau Indonesia sendiri adalah negara maju. Artinya, dengan konsep keindonesiaan, kita tidak bisa mengatakan bahwa suatu negara maju jika hanya tinggi tingkat ekonomi, teknologi, atau hanya tinggi tingkat spritualitas religinya. Dalam konsep keindonesiaan, salah satu tinggi, baik lahir ataupun batin, sama sekali tidak maju. Artinya, timpang karena tidak seimbang. Maju lahir saja adalah manusia serakah yang memiliki kegilaan materialistis. Maju batin saja adalah pertapa yang terhinakan dari kehidupan manusia seumur hidup. Maju adalah seimbang lahir dan batin. Artinya, terciptanya kemakmuran duniawi dan teraihnya kemewahan spiritual dalam waktu yang berbarengan.

            Saya yakin seribu triliun persen bahwa manusia yang teramat maju di mana pun di seluruh muka Bumi ini adalah manusia yang telah seimbang lahir dan batin. Bullshit, tahi anjing, tahi monyet, tahi babi untuk mereka yang berpendapat bahwa manusia maju dan hebat itu cukup hanya tinggi tingkat materi atau tinggi tingkat batinnya saja. Begitupun dengan negara. Negara yang maju dan hebat itu adalah negara yang kehidupan rakyatnya telah memiliki keseimbangan lahir dan batin.

            Kedustaan keempat, para pengamat dan pemerhati sosial-politik pendusta membandingkan Indonesia dengan negara luar tanpa menjelaskan negara mana yang dimaksud negara luar itu. Mereka teramat sering mengatakan “negara luar”, “negara maju”, atau “luar negeri”, tetapi tidak jelas negara mana. Apakah Amerika Serikat, Inggris, Korea, Inggris, Cina, Arab, Filipina, atau yang lainnya? Para pengamat pendusta itu tampaknya membiarkan rakyat Indonesia mengira-ngira sendiri sambil tetap menanamkan pikiran bahwa Indonesia itu selalu tertinggal dan berada di bawah negara lain dalam berbagai hal. Bukankah perilaku mereka itu boloho bin sarap, ‘tolol bin gila’? Mereka pun terlihat memanfaatkan ketidaktahuan sebagian besar rakyat Indonesia mengenai berbagai hal di luar negeri. Mereka merasa aman dengan pendapat dan komentarnya yang bohong itu karena tahu dengan pasti bahwa rakyat Indonesia sangat sedikit yang memiliki pengetahuan tentang kondisi di luar negeri dan mengandalkan pengalaman para pengamat pembohong yang sebetulnya tidak terlalu jelas hasil pengamatannya. Mereka syik asyik memanfaatkan situasi rakyat Indonesia yang miskin informasi.

            Kedustaan kelima, pendapat mereka tentang luar negeri, negara luar, atau negara maju itu belum tentu benar, bahkan sama sekali salah. Mereka sesungguhnya tidak memiliki pengetahuan tentang yang dibicarakannya. Mereka hanya mengira-ngira dengan menyandarkan diri pada kebiasaan orang Indonesia yang selalu percaya bahwa negara luar itu selalu bagus dibandingkan Indonesia. Kedustaan ini adalah kedustaan yang teramat sangat gila, sok tahu, dan sama sekali tidak ilmiah. Perkiraan mereka yang sangat bisa salah besar itu diterima oleh rakyat Indonesia yang kurang memiliki daya analisis yang kuat. Akhirnya, segala yang dikatakan para pendusta itu hanyalah buang-buang waktu, bahkan menyelimuti rakyat Indonesia dengan informasi tidak benar yang mengakibatkan kebodohan berkepanjangan. Akan tetapi, kebodohan rakyat Indonesia bagi mereka adalah ladang bisnis yang teramat menggiurkan karena mereka selalu dibutuhkan untuk memberikan analisis dari data-data yang sumir dan tidak bernilai. Jika rakyat Indonesia memiliki ketinggian ilmu pengetahuan dengan daya analisis yang kuat, para pengamat itu akan bangkrut karena akan ditertawakan orang banyak.

            Sesungguhnya, teramat banyak kedustaan yang dilakukan mereka. Akan tetapi, untuk kali ini saya cukupkan sekian saja. Lain kali akan saya tambah lagi agar rakyat Indonesia tidak mudah menerima dan percaya kepada mereka yang disebut pengamat politik, pemerhati politik, atau apapun istilahnya yang selalu membanding-bandingkan Indonesia dengan “luar negeri” yang sebetulnya luar negeri itu saat ini sedang dicekam ketakutan luar biasa dengan kebangkrutan yang membayangi mereka setiap hari.