Saturday 19 May 2012

Macet



oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Jadi lucu dan menggelikan. Dulu ketika saya masih SD atau SMP, bahkan SMA, Bandung-Jakarta itu harus ditempuh sampai enam jam perjalanan, bahkan bisa delapan jam perjalanan karena jalan yang memutar dan kualitas kendaraan yang tidak sehebat sekarang. Untuk lebih mempercepat perjalanan, dibangunlah jalan tol. Dengan keberadaan jalan tol dan kualitas kendaraan yang jauh lebih baik, mestinya perjalanan bertambah cepat dan nyaman. Akan tetapi, ternyata sekarang ini tidak beda-beda amat dengan zaman dulu. Memang iya sih Bandung-Jakarta sekarang hanya bisa ditempuh dalam dua jam perjalanan, tetapi itu kan cuma dari pintu tol Bandung sampai pintu tol Jakarta. Di luar itu, waktu tempuhnya tidak bisa diprediksikan. Sebelum masuk tol di Bandung, kita sudah mengalami kemacetan yang sama sekali tidak membuat nyaman. Setelah keluar tol di Jakarta apalagi, berdesak-desakan dengan hutan rimba mobil dan sepeda motor yang bisa-bisa membuat stress. Akibatnya, waktu tempuh dari Bandung sampai dengan tujuan di Jakarta bisa sangat lama. Waktunya bisa mencapai enam jam, bahkan lebih. Jadi, sebetulnya hampir tak ada perubahan berarti dari masa lalu. Dulu enam jam, sekarang juga enam jam, malahan bisa lebih kalau lagi ada demonstrasi. Meskipun sekarang harga kendaraan bisa mencapai ratusan juta rupiah dengan kondisi teramat baik, tetap saja tidak lebih cepat dengan harga mobil yang sepuluh jutaan karena sama-sama terjebak dalam macet. Malahan, zaman dulu ada situasi yang lebih menyenangkan. Meskipun waktu tempuh lama, jalanan tidak macet dan kita bisa menikmati kondisi alam di berbagai daerah yang dilewati sambil beristirahat dengan kesahajaan masa lalu. Sekarang ini pengalaman seperti itu tidak bisa lagi dinikmati. Kalau menggunakan jalan lama lagi, bisa lebih buruk karena di jalan lama juga saat ini sudah macet. Bisa tambah ngaco.
            Kemacetan itu diakibatkan oleh berbagai masalah, di antaranya, tatakota, fasilitas jalan, perdagangan kendaraan, baik roda empat, tiga, atau dua, serta masalah pendapatan daerah. Tatakota seperti sekarang ini sangat menyulitkan karena membutuhkan biaya teramat mahal dan akibat sosial yang tak bisa dihindari. Soal fasilitas jalan juga jelas masalah. Jalan yang ada tidak bertambah, kalaupun bertambah hanya sedikit, seadanya, sedangkan penjualan kendaraan tambah semarak. Kalau jual-beli kendaraan ditahan atau dikurangi, bisa berakibat pada pendapatan daerah karena dari setiap penjualan, daerah mendapatkan keuntungan ekonomi dan selanjutnya dari pajak kendaraan.
            Kalau ingin tidak macet, harus ada kebijakan pemerintah pusat untuk menyebarkan penduduk ke wilayah-wilayah lain, jangan terus menumpuk di dalam kota. Kemudian, di wilayah-wilayah baru itu digairahkan pertumbuhan-pertumbuhan ekonomi sehingga masyarakat lebih tersebar secara lebih merata. Kemacetan pun bisa mulai teratasi. Kata Muhaimin Iskandar yang Menteri Transmigrasi itu, memindahkan penduduk ke wilayah lain itu mahal biayanya. Ya mahal atuh kalau memindahkan orang Solo ke Sulawesi atau ke Kalimantan.  Jangan jauh-jauh atuh, di Pulau Jawa juga masih banyak yang kosong tidak termanfaatkan. Salah satu syaratnya adalah tanah harus dibagikan gratis. Tanah atau bangunan yang tidak dimanfaatkan selama tiga tahun atau lebih harus diambil alih oleh pemerintah untuk kemudian dimanfaatkan dengan baik. Tanah-tanah kosong harus dikelola dengan baik agar lebih subur. Hutan-hutan dan rawa-rawa harus dibuka kembali dengan catatan dipertimbangkan keseimbangan alamnya, jangan merusak. Dengan demikian, penduduk tersebar lebih merata, kendaraan pun tidak menumpuk di kota-kota besar. Malahan, orang-orang di kota besar akan pindah ke wilayah lain yang lebih luas dengan kesempatan berhasil yang menjanjikan dalam hal ekonomi.
            Akan tetapi, pemerataan penduduk, pembagian dan pengolahan tanah, serta pembangunan ekonomi yang prorakyat seperti itu teramat sulit dalam sistem politik demokrasi sekarang ini karena teramat banyak elit yang punya banyak hutang janji sama pihak-pihak lain yang berkepentingan dalam penguasaan ekonomi serta sumber daya alam. Mereka nggak akan ada pikiran untuk membagikan tanah secara gratis agar kemacetan berkurang. Malahan mungkin merasa rugi melakukan hal itu karena tanah harus tetap diperjualbelikan sehingga menguntungkan mereka untuk bayar hutang janji sama konco-konconya. Di samping itu, penjualan kendaraan terus digenjot agar mendapatkan uang juga, peduli amat dengan kemacetan. Mereka lebih memilih membangun jalan atau sarana transportasi lain di wilayah yang sudah sesak dan sempit. Dari pembangunan itu pun mereka punya keuntungan bisnis lainnya lagi. Jadi, semuanya sudah sangat kusut dan membingungkan.
            Jika semuanya diarahkan pada kekuasaan untuk kepentingan kekuasaan, rusaklah negara dan masyarakat. Mestinya, kekuasaan itu diarahkan pada kesejahteraan dan kemakmuran bersama dalam rangka mengabdikan diri kepada Allah swt.
            Politik demokrasi itu ngaco, sumpah ngaco! Banyak sekali kepala daerah yang terpilih merasa dendam kepada kelompok-kelompok yang dulu menjadi saingannya. Akibatnya, dia berusaha menahan hak-hak kelompok-kelompok saingannya itu, tetapi mempermudah urusan kroni-kroninya. Mau memeratakan kemakmuran bagaimana kalau sudah begitu.
            Sudahi saja demokrasi, nggak bakalan masuk neraka kok, malahan bisa masuk sorga. Ratakan pembangunan, sebarkan penduduk, kemacetan pun teratasi, dan kemakmuran pun akan dinikmati bersama. Insyaallah.

Penganggur Mestinya Dihukum Berat


oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Saya tidak habis mengerti mengapa di Indonesia yang begitu besar dan kaya raya ini masih banyak orang miskin gara-gara tidak punya pekerjaan alias menganggur. Negeri ini punya tanah yang teramat luas dari Sabang sampai Merauke, lautnya juga sangat luas di antara ribuan pulau, langitnya pun sangat luas luar biasa. Tanahnya bukan hanya bisa ditanami, melainkan pula bisa digali potensi mineralnya yang sangat banyak.
            Okelah ada beberapa orang atau pakar yang mengatakan bahwa Indonesia bukanlah negara kaya karena ternyata cadangan minyaknya hanya tinggal beberapa belas tahun lagi untuk kemudian habis jika tidak ditemukan sumber minyak terbukti lainnya. Akan tetapi, itu kan cuma minyak, sedangkan kekayaan alam itu bukan hanya minyak, masih banyak yang lainnya. Saya sangat senang dengan pernyataan almarhum Wakil Menteri ESDM Widjajono Partowidagdo bahwa Indonesia itu bukan kaya sumber mineral yang berasal dari fosil (minyak), melainkan kaya dengan sumber daya mineral lainnya. Di samping itu, Indonesia pun kaya dengan sumber daya energi. Contohnya, Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber panas bumi (geothermal) No. 1 terbesar dan terbanyak di dunia dan itu merupakan kekayaan yang luar biasa.
            Kekayaan alam di dalam perut Bumi Indonesia itu bisa membuka lapangan kerja yang luar biasa bagi rakyat Indonesia jika dikelola dengan benar, baik, dan jujur. Kalau tidak dimenej dengan lurus, ya hasilnya hanya memberikan kekayaan pada perusahaan asing dan segelintir orang-orang licik Indonesia, bukan menciptakan kemakmuran bagi rakyat Indonesia.
            Jangankan kekayaan yang berada di dalam perut Bumi, kekayaan yang tampak jelas terlihat di permukaan bumi saja sudah bisa memakmurkan negara. Tanah di Indonesia itu luas luar biasa dan masih banyak yang kosong serta tidak termanfaatkan. Kalau kita tinggal di kota, memang sangat sulit untuk melihat banyaknya tanah kosong karena sudah sangat sempit, rumit, dan sibuk. Akan tetapi, jika tinggal di luar kota, kita akan melihat bahwa masih sangat banyak tanah yang tidak dimanfaatkan dengan baik. Saya tinggal di dekat kaki bukit, sering sekali melihat tanah-tanah kosong yang sebetulnya bisa berguna bagi kehidupan orang banyak, terutama untuk pertanian, perladangan, peternakan, perkebunan, dan lain sebagainya.
            Sesungguhnya, jika tanah dari Sabang sampai Merauke ini bisa dibagikan secara gratis kepada rakyat—karena dulunya juga kan tanah ini gratis dari Sang Pencipta--, persoalan pengangguran bisa teratasi karena semua orang punya lahan untuk dikelola. Belum lagi kita memiliki wilayah laut yang sangat luas, potensinya bisa menghapus pengangguran.
            Tanah yang luas dan potensi laut yang juga melimpah akan sangat menolong rakyat yang tidak memiliki keahlian di bidang jasa dan teknologi. Bagi mereka yang punya keahlian di bidang jasa dan teknologi, tidak memerlukan tanah atau laut yang luas  untuk mempertahankan dan meningkatkan taraf hidupnya. Mereka memiliki modal lain untuk dijual. Bagi yang tidak memiliki keahlian seperti itu kan bisa dididik, dilatih, dan dibina untuk bisa mengelola tanah dan laut. Kemudian, pemerintah menggairahkan bisnis yang berkaitan dengan hasil bumi dan hasil laut. Kan bisa seperti itu dengan catatan tanpa korupsi.
            Saya yakin jika tanah dan laut bisa digratiskan kepada rakyat, ribuan tenaga kerja Indonesia (TKI) akan pulang ke Indonesia untuk membangun diri dan negerinya. Indonesia pun akan terbebas dari cap sebagai negara kuli.
            Persoalannya sekarang adalah sistem politik kita tidak membuat banyak petinggi negeri berpikir ke arah sana. Teramat banyak elit yang hanya memikirkan soal kekuasaan dan suksesi-suksesi pada setiap periode plus mencari dana tambahan untuk melanggengkan kekuasaannya, entah halal entah haram. Jangan harap tanah di seluruh nusantara ini bisa dibagikan secara gratis oleh mereka yang berkuasa dari hasil politik demokrasi.
            Kalau ingin tanah dibagikan gratis dan kekayaan alam Indonesia bisa dinikmati oleh seluruh bangsa, ya harus mengenyahkan demokrasi. Demokrasi itu merusakkan hidup manusia dan membuat bangsa ini miskin serta menderita.
            Begini Saudara sebangsa setanah air. Jangan dikira tanah-tanah yang tersebar di Indonesia ini tidak ada pemiliknya. Ada banyak yang menguasainya Saudara. Mereka adalah orang-orang kuat yang dekat dengan kekuatan-kekuatan politik di negeri ini. Sayangnya, tanah yang mereka kuasai itu tidak digunakan dengan baik untuk kepentingan bersama, melainkan untuk kepentingan dirinya sendiri dan kelompoknya, bahkan tidak untuk kepentingan siapa-siapa alias dibiarkan kosong tidak bermanfaat.
            Saya sempat dibuat bingung oleh bupati yang ketakutan dan tidak bisa membuat jembatan untuk menghubungkan dua desa karena tanah itu dimiliki oleh “orang tertentu”.  Masa ada tanah yang dimiliki secara pribadi sampai di bibir sungai? Bahkan, anehnya, ada tanah yang dikuasai pihak tertentu sampai tepi laut. Pusing saya.
            Orang-orang yang menguasai tanah itu dekat dengan banyak penguasa politik. Dengan demikian, tidak akan mungkin penguasa politik itu bisa membuat tanah-tanah itu untuk kepentingan rakyat. Mereka terpenjara hubungan yang telah terjalin sejak lama, sejak masa kampanye, dan sebelum-sebelumnya.
            Seandainya kita bisa mengenyahkan demokrasi, lalu menjadikan tanah-tanah yang luas yang tidak termanfaatkan itu untuk kepentingan rakyat, kita bisa membuat undang-undang atau hukum untuk menghukum para penganggur. Hal itu disebabkan sudah tidak ada alasan lagi untuk menganggur karena di negeri ini akan sangat banyak pekerjaan, bahkan mungkin memerlukan tenaga kerja kasar dari luar negeri untuk mengelola kekayaan alam Indonesia.
            Sekarang ini kita tidak bisa membuat aturan untuk menghukum penganggur karena tidak memiliki hal untuk dikerjakan. Orang-orang Indonesia ini bukan pemalas. Siapa bilang orang Indonesia itu pemalas? Kita semua ingin bekerja kok, ingin punya penghasilan, ingin hidup layak. Masalahnya, Indonesia belum memiliki lapangan kerja yang cukup untuk rakyatnya. Padahal, sumber daya alam yang begitu besar ini dianugerahkan Allah swt untuk rakyat Indonesia agar dapat bermanfaat bagi seluruh manusia.
            Maukah kita kembali pada jalan yang mulia?
            Singkirkan demokrasi sehingga kita memiliki pemimpin yang tidak punya banyak hutang politik, hutang ekonomi, hutang bisnis, hutang budi, dan rupa-rupa hutang lainnya. Pemimpin yang tidak punya banyak hutang seperti itu tidak akan terjerat dan tidak akan tersandera kepentingan-kepentingan tertentu sehingga mampu membuat sumber daya alam Indonesia bermanfaat bagi sumber daya manusia Indonesia.
            Sumpah demi Allah swt,  Sang Maha Pencipta tanah memberikan tanah ini untuk kita. Hanya kebodohan dan kerakusan manusialah yang membuat tanah-tanah yang seharusnya gratis ini diperjualbelikan, bahkan dikuasai secara tidak sah oleh orang-orang busuk.