Sunday 12 August 2012

Angkat Dua Jempol untuk Jakarta tanpa Demokrasi


oleh Tom Finaldin


Demokrasi sudah menjadi penyakit akut yang diderita banyak manusia. Orang-orang begitu tersihir hingga tertipu untuk mengikuti sistem politik demokrasi yang bejat dan memalukan kesadaran kemanusiaan itu. Meskipun sudah tampak nyata kerusakan pada berbagai bidang yang diakibatkan penggunaan sistem politik demokrasi, orang-orang masih percaya juga terhadap demokrasi. Sungguh mengherankan.
            Jakarta, Ibukota Negara Indonesia, yang kita cintai pun percaya bahwa demokrasi bisa menyelamatkan dan membangun dirinya ke arah yang lebih baik. Padahal, kenyataannya tidak seperti itu. Sejak diberlakukannya demokrasi, Jakarta tidak menjadi lebih baik. Bahkan, para koruptor kelas atas berkeliaran di kota besar itu.
            Untuk mendapatkan pemimpinnya, Jakarta kembali melakukan proses demokrasi. Padahal, dulu sudah melaksanakan demokrasi, kemudian punya pemimpin. Akan tetapi, dalam pemilihan gubernur berikutnya, pemimpin yang telah dipilihnya dulu kalah suara secara telak pada putaran pertama. Hal itu menunjukkan bahwa pemimpin yang telah dipilih dulu tidak mendapat tempat di banyak hati rakyat Jakarta. Artinya, dianggap tidak berhasil.
Kalau dianggap berhasil, mengapa jumlah pemilihnya kalah jauh dibandingkan dengan pasangan baru?
Kemudian, rakyat coba-coba pilih pemimpin baru yang berasal dari tempat jauh dari Jakarta dan menjadi pemimpin daerah yang memiliki permasalahan berbeda dengan Jakarta. Harapan rakyat tentunya akan terjadi perbaikan. Namun, besar kemungkinan harapan tinggal harapan. Kenyataan akan menunjukkan hal yang berbeda daripada harapan. Hal itu disebabkan sistem politik demokrasi memiliki tabiat merusakkan tatanan kehidupan manusia dan penuh dengan kebohongan.
            Pemimpin atau gubernur Jakarta yang terbaik justru lahir tidak melalui proses demokrasi. Adalah hal yang tak terbantahkan bahwa Gubernur Jakarta yang terhebat adalah Bang Ali Sadikin, putera Sumedang.
            Ali Sadikin mampu membangun Jakarta karena tidak mengeluarkan uang banyak-banyak, tak ada tim sukses, tak ada hutang politik, tak ada hutang budi apa pun kepada siapa pun, dan tak ada black or white campaigne. Bang Ali menjadi gubernur atas dasar perintah dari Presiden RI ke-1 Ir. Soekarno. Pada awalnya ia mendapat tentangan dari beberapa pihak karena sifatnya yang kopig (kophh), ‘keras kepala’. Akan tetapi, justru kekeraskepalaannya itu yang disukai oleh Soekarno.
            Bang Ali hadir menjadi gubernur karena diinginkan oleh Pemimpin Besar Revolusi yang sudah pasti mencintai negerinya. Ia bersedia bekerja menjadi gubernur karena ia prajurit tangguh yang siap ditempatkan di mana saja.
            Bang Ali tak gentar dimaki dan dikata-katai.
Dengan keras kepalanya ia mengatakan, “Saya akan masuk neraka!”
Kata-kata kerasnya itu ditujukan bagi  pihak-pihak yang  mengkritiknya karena menggunakan uang hasil perjudian untuk membangun Jakarta. Ia sesungguhnya mengerti judi itu haram, tetapi pada saat tertentu ketika keadaan mendesak, uang hasil perjudian itu diperlukan untuk pembangunan. Jika saja saat itu anggaran pembangunan yang bersumber bukan dari perjudian sudah mencukupi, niscaya Bang Ali tidak akan menggunakan uang dari hasil perjudian.
Ia mengatakan, “Tuhan pasti mengerti.”
Hasilnya, ia dapat membangun sarana kesehatan, pendidikan, dan kegiatan pembangunan lainnya yang bisa dinikmati rakyat Jakarta.        
Adalah hal yang tak terbantahkan pula bahwa Bang Ali adalah satu-satunya gubernur yang mendapatkan penghargaan dari mahasiswa. Padahal, gubernur lain sering sekali mendapatkan protes dari mahasiswa.
Tulisan ini mengingatkan kita bahwa gubernur terbaik Jakarta adalah tidak lahir dari demokrasi. Ia lahir dari keinginan dan pertimbangan matang seorang presiden yang mencintai rakyatnya. Ia mampu bekerja secara bersih karena dirinya merupakan prajurit tangguh yang juga mencintai negerinya. Adalah sungguh pantas jika kita mengangkat dua jempol untuk Jakarta pada masa Ali Sadikin yang tidak lahir dari demokrasi itu.
Demokrasi hanya menghasilkan pemimpin yang terlalu banyak berhitung ini tidak bisa dan itu tidak bisa karena tersandera banyak kepentingan. Akibatnya, rakyat-rakyat juga yang merasakan penderitaan dan kebingungan berkepanjangan.
Ada satu lagi contoh hebat kepemimpinan yang tidak lahir dari demokrasi. Khalifah Umar bin Abdul Aziz mampu mengubah kondisi yang dipenuhi ketimpangan ekonomi menjadi kemakmuran berlimpah hanya dalam waktu 29 bulan. Saking makmurnya, orang yang disebut miskin dalam masa pemerintahannya adalah orang yang sudah memiliki rumah, kendaraan, dan pembantu, tetapi punya hutang. Orang dengan keadaan ekonomi seperti itu diklasifikasikan sebagai mustahik, ‘orang yang berhak menerima zakat’.
Berbeda jauh kan dengan klasifikasi orang miskin di Indonesia?
Orang yang miskin di Indonesia adalah orang yang benar-benar melarat, tidak punya ini-itu. Padahal, katanya sudah menjadi negara modern karena menggunakan demokrasi.
Cape deh ….
Jadi, ngapain masih memelihara demokrasi kutu kupret itu?
Nggak bisa ya bikin sistem politik dari pengalaman dan nilai-nilai luhur budaya bangsa sendiri?
Kalau nggak bisa, percuma juga di negeri ini banyak profesor botak, setengah botak, belum botak, dan tidak akan botak. Mikir dong, mikiiir …!
Sebentar saja berpikir untuk itu akan mendapat banyak pahala dari Allah swt.
Bukankah orang yang berpikir sebentar untuk kemaslahatan bangsa dan negara itu lebih banyak pahalanya dibandingkan orang yang melakukan shalat puluhan tahun?

Kualitas Artis


oleh Tom Finaldin


Saya merasa perlu menulis mengenai kualitas artis untuk lebih memahamkan pembaca sekalian tentang maksud saya dalam tulisan yang lalu. Saya sungguh prihatin dengan perilaku media yang mencari pendapat imbangan untuk mengimbangi pendapat orang-orang yang tidak setuju terhadap kehadiran Lady Gaga. Beberapa media mencari pendapat dari artis-artis yang berkualitas rendah. Hasilnya, tentu saja bertentangan dengan orang-orang yang tidak setuju terhadap kehadiran Lady Gaga. Para artis berkualitas rendah itu sudah sangat pasti mendukung kehadiran Lady Gaga karena kurang rasa dan kurang paham terhadap nilai-nilai budaya bangsa.
            Saya secara pribadi membedakan kualitas artis itu dari penampilan dan hasil karyanya. Jika penampilan dan hasil karyanya hanya bertahan dalam hitungan hari, atau beberapa bulan, paling lama dalam hitungan tahun yang singkat untuk kemudian dilupakan, artis itu berkualitas rendah. Jika penampilan dan hasil karyanya bertahan sangat lama, bahkan bernilai abadi, artis itu berkualitas tinggi. Karena kualitasnya yang tinggi, penampilan dan karyanya bisa memberikan dorongan positif bagi penggemarnya.
            Tinggi-rendahnya kualitas artis lebih banyak dipengaruhi oleh niat mereka untuk tampil dan berkarya. Seluruhnya terkait erat dengan uang.  Jika penampilan dan karyanya hanya untuk mencari uang, artis itu pasti berkualitas rendah. Pendek kata, dia menjadi artis rendahan. Tinggi-rendahnya kualitas artis berbanding lurus dengan niatnya. Kalau niatnya untuk mencurahkan perasaan dan memberikan pengaruh positif bagi penggemarnya dengan menomorsekiankan uang, dia pasti berkualitas tinggi, apalagi sama sekali bukan uang yang menjadi niatnya.
            Hal tersebut sebagaimana yang dikemukakan pencipta lagu AT Mahmud (alm.) bahwa artis-artis sekarang menciptakan lagu dan membawakan lagu hanya untuk dijual dalam kata lain untuk mencari uang. Berbeda dengan dirinya bersama pencipta lagu seangkatannya yang menciptakan lagu bukan untuk uang, melainkan karena dorongan cinta terhadap anak-anak. Oleh sebab itu, karya-karya AT Mahmud bernilai abadi hingga kini, selalu dinyanyikan banyak anak. Demikian pula karya-karya pencinta anak lainnya yang berkualitas tinggi, seperti, Ibu Sud, Ibu Kasur, dan Ibu Fat. 
              Orang tak bisa membantah bahwa karya-karya berkualitas tinggi berasal dari orang-orang ini: Ebiet G. Ade, Bimbo, Slamet Rahardjo, Iwan Fals, Doel Soembang, Vina Pandu Winata, Rafika Duri, Koes Plus, Rhoma Irama, Ibing Kusumayatna, Taufiq Ismail, Broery Marantika, Chrisye, dan masih banyak lagi. Penampilan dan karyanya tetap bertahan hingga hari ini. Tak mudah dilupakan. Orang masih ingat bagaimana mereka beraksi di panggung dengan karyanya. Bahkan, ada karya seni atau lagu yang sama sekali tidak berurusan dengan uang, tetapi berupaya membuat orang-orang ingat terhadap kebenaran sejati, misalnya, Sunan Ampel dengan syair Lir Ilir yang tak pernah mati, bahkan tak akan mati sampai ribuan tahun mendatang.
            Seharusnya, mereka itulah yang dimintai pendapat atau komentar jika terjadi suatu goncangan terkait dengan seni dan seniman di negeri ini, baik dalam maupun luar negeri. Tentunya, mereka yang masih hidup. Kalau yang sudah meninggal, kita bisa mengira-ngira pendapatnya dari perjalanan karir dan isi karya-karyanya. Pendapat mereka adalah lebih layak didengar dan dipertimbangkan dibandingkan dengan artis-artis yang cepat dilupakan orang itu.
           

Mari Kita Budayakan Kekerasan


oleh Tom Finaldin


Kekerasan?
Why not?
Kekerasan adalah jalan terakhir untuk menyadarkan sekaligus mengalahkan orang-orang bodoh yang sok tahu dan sok pintar. Kita membutuhkan kekerasan untuk menggetarkan hati dan pikiran orang-orang yang sudah kelewat batas.
Kita mungkin masih ingat kontroversi konser Lady Gaga yang gagal itu. Sungguh untuk masalah seperti itu diperlukan kekerasan yang nyata agar tak terjadi lagi hal-hal serupa itu.
Adalah suatu keanehan yang amat sangat orang-orang sibuk berdebat mengenai kehadiran Lady Gaga di Indonesia. Malahan, anehnya, banyak orang yang berpendapat Lady Gaga diperbolehkan saja datang untuk mengadakan aksi panggungnya di Indonesia. Mereka ini berpendapat pula bahwa orang-orang yang tidak setuju terhadap kehadiran Lady Gaga adalah orang-orang yang memaksakan kehendak golongan dan agamanya kepada orang lain serta tidak sesuai dengan Pancasila. Karena kebetulan yang paling keras menolak adalah golongan yang beragama Islam, dengan bodohnya mereka mempertentangkan Islam dengan Pancasila. Seolah-olah yang tidak setuju Lady Gaga itu bertentangan dengan Pancasila. Keliru berat mereka itu.
Sudahlah tak perlu mempertentangkan lagi antara Islam dengan Pancasila. Pancasila itu hanya seberkas cahaya yang ditampakkan Allah swt dari ajaran Islam untuk menyelamatkan negeri ini dari berbagai kesesatan. Tak ada pertentangan di antara keduanya.
Kesetujuan terhadap kehadiran Lady Gaga merupakan tanda yang jelas bahwa negeri ini masih harus ditatar mengenai Pancasila. Sila pertama dalam Pancasila jelas sekali adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita semua wajib berketuhanan. Siapa pun serta apa pun yang bisa mempengaruhi warga bangsa untuk tidak bertuhan, tidak menjalankan perintah Tuhan, dan mencederai ajaran Tuhan adalah harus disingkirkan dan dicegah sebisa mungkin. Jika perlu, dengan menggunakan kekerasan. Itu adalah kewajiban setiap warga Negara Indonesia yang ber-Pancasila.
Ada beberapa dari kalangan media yang sama bodohnya dengan orang-orang yang tidak mengerti Pancasila. Mereka mencari pendapat imbangan dari para artis yang rendah kualitasnya. Hasilnya, jelas sekali para artis itu membela kehadiran Lady Gaga karena tidak mengerti Pancasila dan jauh dari pemahaman terhadap nilai-nilai budaya bangsa. Mestinya, media mewawancarai para artis yang berkualitas tinggi.
Membedakan kualitas artis itu tidak terlalu sulit. Lihat saja penampilan dan karyanya. Kalau penampilan dan karyanya bertahan sangat lama, bahkan bernilai abadi, itu artinya berkualitas tinggi. Kalau penampilan dan karyanya bertahan hanya dalam hitungan hari atau bulan, itu artinya berkualitas rendah.
Jika saja media mau mewawancarai para artis yang berkualitas tinggi, pasti akan mendapatkan pendapat penolakan terhadap Lady Gaga karena bertentangan dengan nurani mereka yang juga bernilai tinggi.
Kita memang perlu membudayakan kekerasan untuk membela Pancasila, nilai-nilai luhur bangsa, dan hukum-hukum yang menjadi rambu-rambu dalam berbangsa dan bernegara. Jika hukum positif kurang lengkap dan atau beradu dengan budaya bangsa serta bertentangan dengan Pancasila, hukum-hukum itu mesti dikoreksi karena aturannya adalah hukum di Indonesia itu tidak boleh bertentangan dengan Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.
Kita perlu orang-orang yang gemar memaksakan kehendak agar orang-orang di negeri ini sadar terhadap dirinya sendiri. Kita harus memaksakan kehendak agar negeri ini kembali pada jalurnya, sebagaimana yang diinginkan para pejuang dan pendiri bangsa.
Di samping itu, penduduk Jakarta, baik asli maupun pendatang, harus ingat di luar kepala bahwa mereka itu hidup di kota yang dimenangkan oleh Fatahilah. Fatahilah menamakan kota itu Jayakarta yang kini bernama Jakarta yang artinya adalah Kota Kemenangan.
Kemenangan dari apa?
Pelajari itu sejarah Jakarta dan sejarah Fatahilah sendiri.
Kehidupan yang bagaimana yang Fatahilah inginkan dari wilayah yang disebutnya Kota Kemenangan itu?
Berterimakasihlah kepada Fatahilah yang telah berdarah-darah dan membuat pengikutnya bertaruh nyawa untuk kemenangan kota itu. Cara berterimakasihnya adalah dengan berperilaku dan bertindak yang benar sesuai dengan cita-cita Fatahilah. Siapa pun yang mengadakan kegiatan atau aktivitas yang bertentangan dengan keinginan Fatahilah, mereka itu adalah pengkhianat Jakarta dan manusia-manusia tolol yang tidak tahu terima kasih.


Manuk Dadali


oleh Tom Finaldin  

Bandung, Putera Sang Surya
Burung garuda adalah lambang Negara Indonesia. Ia menjadi lambang karena memiliki kegagahan yang luar biasa di antara para burung, bahkan di antara para binatang. Sikap, sifat, dan tingkahnya melambangkan keperkasaan, baik di angkasa, di darat, maupun di air. Burung garuda menjadi inspirasi dan motivasi para pejuang bangsa untuk memerdekakan Negara Indonesia dari penjajahan sekaligus pertahanan jiwa para penerusnya untuk tetap berada pada koridor yang benar dalam mengisi kemerdekaan Indonesia.

            Karena keperkasaan dan kegagahannya, penyair Sambas Mangundikarta menggubah lagu yang terinspirasi dari burung garuda untuk memberikan semangat berjuang setiap anak bangsa Indonesia. Lagu yang dibuatnya menggunakan bahasa Sunda dengan judul Manuk Dadali.

            Berikut syair Manuk Dadali dalam bahasa Sunda.


Mesat ngapung luhur jauh di awang-awang
Meberkeun jangjangna bangun taya karingrang
Kukuna ranggoas reujeung pamatukna ngeluk
Ngapak mega bari hiberna tarik nyuruwuk

Saha anu bisa nyusul kana tandangna?
Tandang jeung pertentang taya bandingannana
Dipikagimir dipikaserab ku sasama
Taya karempan kasieun leber wawanenna

Refrain:
Manuk dadali manuk panggagahna
Perlambang sakti Indonesia Jaya
Manuk dadali pangkakoncarana
Resep ngahiji rukun sakabehna

Hirup sauyunan tara pahiri-hiri
Silih pikanyaah teu inggis bela pati
Manuk dadali ngandung siloka sinatria
Keur sakumna bangsa di Nagara Indonesia  



Dalam bahasa Indonesia.


Terbang melesat tinggi, jauh di angkasa
Merentangkan sayapnya, tegak tanpa ragu
Kukunya panjang tajam dan paruhnya melengkung
Menyongsong langit dengan cergas terbangnya

Siapa yang bisa menyaingi keberaniannya?
Gagah perkasa tanpa tandingan
Dihormati dan disegani oleh sesama
Tanpa ragu tanpa takut, besar nyalinya

Refrain :
Burung garuda, burung paling gagah
Lambang sakti Indonesia jaya
Burung garuda yang paling tersohor
Senang bersatu, rukun semuanya

Hidup berhimpun tanpa saling iri
Saling menyayangi, tak sungkan membela
Burung garuda adalah lambang kesatriaan
Untuk seluruh bangsa di Negara Indonesia

GAGAH PERKASA. Sumber Foto: www.rpp-silabus.com

Di dalam syair tersebut terasa sekali kegagahan dan wibawa burung garuda yang kemudian menjadi nafas dan gerak bangsa Indonesia untuk selalu bersama-sama membangun negeri dengan sekuat tenaga. Akan tetapi, itu dulu, burung garuda yang dulu, manuk dadali tempo dulu. Sekarang burung garuda itu sudah sangat lelah, manuk dadali kini sangat letih karena ditinggalkan bangsanya. Bisa jadi benar kata orang-orang Malaysia bahwa burung garuda telah “patah sayap”.  Orang-orang Indonesia telah lupa dirinya sendiri, melupakan teman seperjuangannya, meninggalkan sejarahnya, memutuskan hubungan dengan para pendahulunya, serta serakah dan gemar mencuri dari sesama saudaranya sendiri. Memang suatu kondisi yang sangat memprihatinkan, menyedihkan, dan memalukan.

Beberapa waktu lalu saya menemukan syair yang sangat menyakitkan tentang burung garuda kita. Syair itu berbentuk lagu yang berjudul Dadali Manting ti Peuting, ‘Garuda Melayang di Tengah Malam’. Lagu ini diciptakan Uko H. pada 2007 yang kemudian dipopulerkan penyanyi Sunda legendaris Darso (alm.).

Berikut syair yang mengiris hati itu.



Dadali manting ti peuting
Ngoleang kakalayangan
Neangan nu lawas ilang
Baturna duka ka mana

Dadali manting ti peuting
Ngalayang ka pilemburan
Hate bingung kapigandrung
Nu ilang kawas nu pundung

Memang bonganna manehna
Kacida rasa mokaha
Kaduhung sagede gunung
Kumaha nya pilampaheun?

Refrain:
Dadali kabawa angin
Teu wasa nandangan lara
Tos teu kadenge deui sorana
Boa … boa ….
Boa … boa ….
Tapi palias teuing


Dalam bahasa Indonesia.


Garuda melayang di tengah malam
Melayang tak tentu arah
Mencari yang telah lama hilang
Para sahabatnya dulu yang kini hilang entah ke mana

Garuda melayang di tengah malam
Melayang ke kampung-kampung
Hatinya bingung penuh rasa rindu dendam
Sahabat-sahabatnya yang hilang sepertinya tak ingin kembali

Memang salah dia sendiri
Terlalu merasa perkasa, sombong, dan angkuh
Kini tinggal rasa penyesalan sebesar gunung
Bagaimana sekarang harus melangkah?

Garuda melayang terbawa angin
Tak kuasa lagi menanggung rasa sesal dan sedih di hati
Kini suaranya sudah tak terdengar lagi, sayapnya pun tak terdengar mengepak lagi
Jangan-jangan ... jangan-jangan ….
Jangan-jangan … jangan-jangan ….
Akan tetapi, mudah-mudahan jangan  terjadi



Lagu yang menyedihkan itu menggambarkan burung garuda yang sudah kehilangan semangat, sedih, dan menderita. Hal itu disebabkan rakyat dan para pejuang yang dulu bersama-sama bersatu berkarya untuk kejayaan Indonesia kini tak ada lagi. Tak tampak lagi pejuang bangsa, tak terlihat lagi rakyat yang penuh heroisme. Kini warga bangsa sudah sangat tersihir dengan kegandrungan terhadap kekayaan, kekuasaan, dan gemar sekali bertengkar. Celakanya, banyak warga bangsa yang berteman mesra dengan musuh-musuh garuda.

Kekacauan dan kesemrawutan hidup perjalanan bangsa membuat bangsa ini kehilangan arah, kehilangan dirinya, kehilangan semangat garuda yang teramat perkasa itu. Hampir seluruhnya telah tertipu. Tertipu karena cinta pada pemikiran dan kebiasaan hidup bangsa lain yang sama sekali tidak mendidik dan penuh kebohongan. Tertipu karena merasa bangsa Indonesia adalah bangsa yang selalu harus mengikuti hidup orang lain yang sama sekali berbeda jauh watak dan kulturnya dengan kita.

Sang Garuda kini letih dan sedih karena kebodohan yang diakibatkan kesombongan anak-anak negeri ini. Hampir seluruhnya tertipu dalam berbangsa dan bernegara. Semuanya hampir tertarik untuk berperilaku dan berpikir sebagaimana perilaku dan cara berpikir musuh-musuh garuda. Beginilah kita saat ini, telah meninggalkan garuda, manuk dadali, teman setia kita. Berjalan tak tentu arah yang sekali-kali ditarik hidungnya oleh orang-orang yang sama sekali tidak menginginkan Indonesia menjadi besar dan kuat.

MUDAH-MUDAHAN TIDAK JATUH MATI DAN DIMAKAN AYAM. Sumber Foto: ukisaja.blogspot.co.id
Sungguh, kerusakan negeri ini akan semakin parah jika tidak bersama-sama lagi Sang Garuda. Negeri ini akan runtuh bebarengan dengan matinya Sang Garuda yang suara dan kepakan sayapnya tak terdengar lagi, melayang di angkasa terbawa angin untuk kemudian terhempas remuk di kerasnya tanah yang penuh batu keras dan menyakitkan.

         Tapi, palias teuing, ‘janganlah hal itu sampai terjadi’.