Friday 7 September 2012

Dua Kali Lipat Lebih Baik tanpa Demokrasi



oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Berkali-kali sudah saya terangkan bahwa demokrasi itu sistem politik yang merusak dan menjadi alat syetan untuk merusakkan keharmonisan umat manusia. Sesungguhnya, jika Indonesia tidak menggunakan demokrasi, akan lebih cepat dua kali lipat untuk mencapai keinginan nasionalnya.
            Demokrasi itu boros, menghamburkan biaya. Boros itu adalah sifatnya syetan.
Sudah berapa ribu triliun uang yang digunakan untuk menyelenggarakan demokrasi di negeri ini?
Jika kita tidak menggunakan demokrasi, akan memiliki banyak sekali dana untuk membangun negeri. Tanpa demokrasi, kita akan memiliki jumlah tentara lebih banyak dua kali lipat dari sekarang ini. Teknologi dan peralatannya akan dua kali lebih banyak dan lebih canggih sehingga mampu menjaga batas-batas terluar Negara Indonesia dan mampu menangani lebih cepat ancaman dari dalam. Kita bisa memiliki jumlah polisi dua kali lipat daripada saat ini. Kita sering mengeluhkan jumlah polisi yang terbatas. Tanpa demokrasi kita akan punya dana untuk menambah jumlah polisi, meningkatkan kemampuannya, serta memodernisasi peralatan yang diperlukan untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Teroris  dan gerakan separatis pun akan tereliminasi dua kali lebih cepat dan lebih lembut dibandingkan saat ini. Hal itu disebabkan jumlah aparat yang bertambah sangat banyak dengan kemampuan lebih hebat serta tokoh-tokoh masyarakat akan lebih konsentrasi membangun umat sebagai pemimpin nonformal. Saat ini tokoh-tokoh masyarakat tidak berfungsi maksimal karena tergoda juga untuk nyaleg yang akhirnya mengalami penurunan kepercayaan dari masyarakat. Pendekatan pendidikan, keadilan, dan kemakmuran pun bisa terlaksana untuk mencegah kekerasan tanpa ada hambatan yang berarti karena punya banyak anggaran.
Korupsi akan tertangani dan berkurang dua kali lebih cepat karena demokrasi tidak ada. Tanpa demokrasi, orang-orang nggak perlu uang untuk kampanye, money politics, atau membangun partai untuk menipu rakyat. Jadi, alasan melakukan korupsi untuk biaya demokrasi tak ada lagi karena memang tidak diperlukan.
Kalau memiliki keinginan untuk berpolitik dan mengurusi hajat hidup orang banyak, nggak perlu berdusta atau mengumbar janji, cukup membuktikan diri menjadi orang yang bermanfaat di hadapan Tuhan, para pemimpin bangsa, serta masyarakat luas. Jika memang benar-benar bermanfaat, tak perlu keluar uang banyak untuk baligo, spanduk, atau mengundang artis dangdut yang seksi-seksi itu, orang-orang pasti menuju orang yang paling banyak memberikan manfaat bagi orang lain dan Tuhan pun akan meridhoi dengan penuh persetujuan.
Tanpa demokrasi, di negeri ini tak akan ada orang kaya yang terlalu kaya dan orang miskin yang terlalu miskin. Kaya boleh, tapi jangan keterlaluan. Miskin tak bisa dihindari, tetapi jangan teramat melarat. Orang miskin di  Indonesia tanpa demokrasi bisa sama dengan kategori mustahik zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yaitu orang yang punya rumah, punya kendaraan, punya pembantu, tetapi punya hutang.
Tanpa demokrasi, gotong royong dan hidup harmonis akan tercipta dua kali lebih cepat dan terasa dua kali lebih indah karena tidak akan ada lagi orang-orang busuk yang menggunakan perbedaan-perbedaan di negeri ini untuk kepentingan politiknya. Semua ingin hidup tenang, damai, tenteram, dan saling menghargai. Demokrasi tidak mengajarkan keagungan-keagungan itu, tetapi mendorong terjadinya perdebatan, pertengkaran, saling fitnah, dan bersaing merebut kepercayaan orang, baik halal maupun haram.
Tanpa demokrasi kita akan lebih berbangga diri sebagai bangsa Indonesia karena segalan urusan bisa lebih cepat tertangani. Para pegawai negeri akan bekerja dua kali lipat lebih efektif dan efisien dalam melayani masyarakat. Tidak seperti saat ini yang masih dalam jam kerja saja sudah pada nongkrong di tukang bakso, kantin, atau ngobrol di tempat parkir.
Tanpa demokrasi, penyusunan undang-undang, pembuatan kebijakan, dan eksekusi politik akan berjalan dua kali lebih cepat dan dua kali lebih bermanfaat. Hal itu disebabkan demokrasi membuat segalanya terhambat, terlambat, dan bertele-tele karena banyak kepentingan yang bermain. Ir. Soekarno, Presiden RI ke-1, menjalankan Demokrasi Terpimpin salah satunya karena kesal terhadap kinerja-kinerja DPR hasil demokrasi itu yang terlalu lama menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan sehingga mengakibatkan program-program pembangunan terhambat pula.
Kita akan menjadi negara yang dua kali lipat lebih kuat dan lebih makmur dibandingkan sekarang ini dalam waktu dua kali lebih cepat dibandingkan rencana pencapaian target. Hal itu disebabkan pengaruh-pengaruh buruk dari luar akan sangat kesulitan untuk mengendalikan negeri ini. Tak ada lagi orang-orang yang bisa dibeli untuk keuntungan pihak-pihak asing secara tidak sah. Kalaupun ada, akan dicap sebagai musuh negara.
Segala sesuatu yang positif akan lebih cepat terwujud dan terasa jika tidak menggunakan demokrasi. Akan tetapi, segala sesuatu yang negatif akan terbasmi dua kali lipat lebih cepat dibandingkan saat ini yang selalu tertunda-tunda dan sangat menjengkelkan. Pokoknya, tanpa demokrasi segalanya akan lebih mudah dua kali lipat.
Terlalu banyak hal jika ditulis, bayangkan saja manfaat kita hidup tanpa demokrasi, segalanya akan lebih indah karena akan lebih Pancasilais. Sungguh.
Oh ya, bagi mereka yang berpikiran jika tak ada demokrasi, tak ada kebebasan berekspresi, saya jelaskan bahwa pikiran itu adalah pikiran keliru yang kuno nggak ketulungan karatannya. Pemikiran seperti itu hanya salah satu senjata para pendukung demokrasi agar rakyat tetap tertipu untuk selalu menjalankan demokrasi, sementara itu mereka menarik keuntungan dari ketertipuan rakyat. Bagi orang Islam, jelas bahwa hidup untuk saling koreksi, saling menasihati, dan saling mengingatkan itu merupakan perilaku yang sangat bermanfaat dan menambah pahala. Bagi pecinta Pancasila, terang sekali bahwa hidup berdasarkan musyawarah untuk mufakat itu sudah menjadi janji yang harus dilaksanakan dalam berbangsa dan bernegara di Indonesia ini. Jadi, salah itu yang berpendapat bahwa tanpa demokrasi tidak akan ada kebebasan berekspresi. Berpegang saja pada Pancasila, hak-hak manusia Indonesia pun akan terjamin, terlindungi, dan dua kali lebih indah dibandingkan saat ini.

The Best among The Worst


oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Yang terbaik di antara yang terburuk. Begitulah yang diucapkan banyak tokoh nasional mengenai demokrasi. Kata-kata itu banyak meluncur dari mulut para elit politik, sedangkan dari akademisi tidak begitu banyak meskipun tetap ada.
            Saya bersyukur mereka mengatakan hal seperti itu. Hal tersebut menunjukkan bahwa mereka mulai paham bahwa demokrasi itu bukanlah sistem politik terhebat, terbaik, atau teragung. Mereka sadar bahwa demokrasi merupakan sistem politik yang buruk, tetapi harus tetap dilakukan. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa demokrasi adalah necessary evil artinya kejahatan yang diperlukan.
            Kalau yang mengatakan hal-hal seperti itu dari kalangan politisi atau pejabat, cukup wajar karena mereka adalah orang-orang yang terlalu disibukkan dengan kekuasaan yang kerap mengkhianati ilmu pengetahuan. Akan tetapi, jika yang mengatakan hal-hal seperti itu adalah akademisi, namanya keterlaluan, kebangetan. Akademisi tidak boleh mengatakan hal seperti itu. Mereka harus berupaya keras mencari jalan keluar dengan menggunakan metode-metode ilmiah agar didapat hal-hal yang terbaik di antara yang paling baik, bukan yang terbaik di antara yang paling buruk. Haram hukumnya bagi mereka untuk mengatakan kejahatan yang diperlukan,  seharusnya mereka mencari dan mendapatkan kebaikan yang harus dilakukan.
            Kalimat semacam the best among the worst atau neccesarry evil sepertinya sudah merupakan kalimat yang dimaklumi banyak orang untuk diucapkan. Orang bersikap biasa-biasa saja. Malahan, begonya, ada yang bangga bisa tahu ada pemeo seperti itu. Akan tetapi, kalimat-kalimat seperti itu sesungguhnya menunjukkan bahwa orang yang mengucapkannya mengakui dengan tegas bahwa dirinya teramat bodoh.
            Sungguh disayangkan jika para tokoh kita di tanah Ibu Pertiwi itu mengucapkan hal-hal yang menunjukkan pengakuan tentang kelemahan dirinya. Dengan mengatakan bahwa demokrasi merupakan sistem yang terbaik di antara sistem-sistem yang paling buruk jelas menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki pilihan lain, kecuali demokrasi. Hal tersebut pun menggambarkan dengan tegas bahwa mereka bisanya hanya  memilih  yang sudah ada. Mereka pandainya cuma mencari lalu menggunakan  yang sudah ada. Kuliah lama-lama, mahal-mahal, baik di dalam maupun di luar negeri, gelarnya profesor doktor ditambah Phd., tetapi hasilnya cuma bisa memilih, mencari, dan mengekor pendapat orang, orangnya orang asing kapitalis lagi, yang punya catatan pengalaman hidup yang buruk terhadap kemanusiaan.
Ah, masa sih mereka bisanya cuma segitu?
Atau mereka yang punya banyak gelar dengan kuliah lama-lama dan mahal-mahal itu tujuannya cuma cari uang?
Ah, masa sih serendah itu kualitas mereka?
Kalau cuma cari uang mah nggak perlu pintar-pintar kuliah atuh euy, nggak perlu banyak melakukan penelitian. Saya bisa menebak bahwa yang namanya Ayu Tingting, Sule, apalagi Tukul Arwana lebih kaya raya dibandingkan orang yang kuliahnya habis-habisan itu. Padahal, para artis itu tidak tinggi-tinggi amat sekolahnya, biasa saja, ranking sepuluh besar  di kelasnya aja mungkin nggak. Jadi, salah tuh kalau belajar atau kuliah tujuannya cuma cari uang.
Nih, saya kasih tahu bahwa tujuan belajar atau kuliah itu adalah agar menjadi orang yang mampu beradaptasi dengan lingkungannya, lalu bermanfaat, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Begitu bro. Jangan dihubung-hubungkan dengan uang atau kekayaan karena rezeki itu sudah diatur dari sononya, sebelum kita gubrak lahir ke dunia.
Kalau dalam ajaran Islam, belajar itu hukumnya wajib. Jadi, sekolah atau kuliah itu harus dalam rangka mengabdikan diri kepada Allah swt, bukan untuk cari uang atau ketenaran. Karena kita belajar itu dalam rangka mengabdikan diri kepada Allah swt, maka Allah swt akan memberikan kemuliaan bagi kita sesuai dengan kehendak-Nya. Kan gitu mestinya.
Kembali ke soal demokrasi yang kampungan itu. Dengan munculnya kalimat-kalimat semacam the best among the worst, necessary evil, atau yang sejenisnya, kita bisa mengukur bahwa kualitas para tokoh, baik politisi maupun akademisi kita masih pengecut untuk menciptakan atau melahirkan pemikiran sendiri. Bisanya baru menjiplak cara-cara hidup orang lain, padahal Allah swt menganugerahkan Indonesia dengan kekayaan nilai-nilai luhur yang luar biasa agung. Kita bisa membuat konstruksi sistem politik kita dengan cara-cara kita sendiri dengan nilai-nilai luhur yang dianugerahkan Allah swt sejak dalam kandungan itu.
Sungguh nggak masuk di akal jika Allah swt hanya memberikan petunjuk bagi kita tentang sistem politik itu yang buruk-buruk tanpa ada yang terbaik di antara yang paling baik. Adalah penghinaan kepada Allah swt jika kita berpandangan bahwa tak ada lagi sistem politik, kecuali yang paling baik di antara yang terburuk.
Masa sih Allah swt hanya memberikan petunjuk-petunjuk yang buruk tanpa ada yang terbaik?
Sungguh tidak masuk akal, tidak nyambung dengan ilmu pengetahuan, dan tidak bisa dipahami dengan keimanan.
Sudah tinggalkan saja kebiasaan memuji-muji pikiran-pikiran atau teori-teori barat, nggak ada gunanya diteruskan. Gali-gali dalam diri sendiri, jalan itu pasti ada, asal serius mencari. Insyaallah, Allah swt akan memberikan petunjuk.
Para profesor, doktor, sarjana, budayawan, rohaniwan, dan para pemikir lainnya harus berada di depan untuk memikirkan jalan yang terbaik mewujudkan sistem politik yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia.
Masa sih tidak bisa?
Kalau tidak bisa, berarti di dalam diri kita masih banyak kekotoran diri akibat dari kecintaan kepada pemikiran orang lain dan pandangan-pandang hidup yang pragmatis-materialistis.
Kita mesti serius dan sungguh-sungguh berpikir jika ingin menyelamatkan Indonesia yang kusut samut ini. Teladani Pemimpin Besar Revolusi Ir. Soekarno yang berpikir keras untuk mencari dasar negeri ini. Soekarno pada malam-malam buta yang dingin berjalan sendirian menuju kebun di belakang rumahnya. Ia menggali dan terus menggali di dalam ciptanya untuk menyusun Dasar Negara Republik Indonesia sambil terus berdoa kepada Allah swt. Akhirnya, Allah swt memberinya petunjuk berupa Pancasila yang kita kenal sekarang ini.
Nggak percaya jika Soekarno mendapatkan pengalaman spiritual hingga lahir Pancasila?
Baca saja sendiri pidato Soekarno 1 Juni 1945. Ia menceriterakan bagaimana mendapatkan keyakinan bahwa Allah swt memberinya petunjuk berupa Pancasila pada malam buta di kebun belakang rumahnya.
Jika seluruh elemen bangsa ini serius, sebagaimana Ir. Soekarno serius mencari jalan keluar untuk kebaikan bangsa ini tanpa ada kepentingan pragmatis-materialistis, kita akan mendapatkan bahwa Allah swt sangat menyayangi negeri ini, kemudian memberikan petunjuk berupa sistem politik terbaik bagi negeri ini. Sistem politik yang jauh lebih hebat dan lebih mulia dibandingkan sistem politik demokrasi yang kotor hasil pikiran orang-orang Yunani bingung pada enam ratus tahun sebelum Yesus lahir itu. Kekotoran dan kejahatan demokrasi semakin menjadi-jadi seiring dengan berjalannya waktu hingga menghina serta merusakkan manusia dan kemanusiaan.
Cari dan gali bersama dari nilai-nilai sendiri, Insyaallah, kita akan mendapatkan banyak petunjuk kebaikan. Dari beragam kebaikan itu, kita akan mendapatkan yang terbaik di antara yang paling baik.
Tinggalkan itu kalimat the best among the worst atau necessary evil, karena itu menunjukkan kepengecutan diri untuk menciptakan yang terbaik sekaligus memperlihatkan kepandiran kita dalam menunjukkan kehebatan diri sebagai orang yang banyak diberi anugerah oleh Allah swt.  
Do the best, then say this is my way.

Tak Adil


oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Terlalu sering kita berbuat tidak adil. Jangankan bertindak, berpikir saja sudah sering sangat tidak adil. Karena sering berpikir dan berpendapat tidak adil, kita sering pula kehilangan banyak keuntungan atau manfaat dari sesuatu yang menjadi perhatian kita.
Supaya tidak pusing, saya berikan contoh bagaimana seringnya kita berpikir tidak adil. Begini Saudara sekalian, ada banyak penceramah, ustadz, ahli bimbingan konseling yang memiliki ilmu bermanfaat bagi banyak orang menjadi tidak bermanfaat. Hal itu disebabkan kita menginginkan orang-orang yang kita perhatikan itu merupakan sosok yang sangat sempurna. Dalam arti sangat sempurna menurut ukuran kita, bukan menurut ukuran Allah swt. Banyak sekali cibiran kepada para penyampai kebenaran, baik itu ahli agama, ahli ilmu jiwa, atau ahli kemasyarakatan. Kita tidak bisa menerima ilmu pengetahuan atau nasihat dengan baik jika ada ustadz, kiyai, atau konselor yang memiliki keluarga tidak beres, tidak berperilaku sesuai dengan nasihat-nasihatnya sendiri. Misalnya, saya merasa prihatin atas cibiran masyarakat kepada seorang penceramah agama Islam hanya karena memiliki anak perempuan perawan yang gemar menggunakan celana pendek, seksi. Saya pun amat menyayangkan ketidakpercayaan masyarakat kepada seorang ahli konseling hanya karena istrinya sering menyakiti hati orang lain. Padahal, antara dia dengan keluarganya adalah merupakan sosok berbeda yang memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing di hadapan Allah swt. Memang di antara mereka memiliki keterkaitan yang tidak terpisahkan, tetapi mereka adalah individu yang berbeda. Akibat dari cibiran dan ketidakpercayaan kita, kita tidak dapat mengambil manfaat dari para ahli itu.
Kita tidak bisa menimpakan kesalahan keluarga atau orang terdekat Sang Ahli kepada Sang Ahli tersebut karena mereka memiliki jalan hidup masing-masing. Allah swt saja dalam dalam Al Quran teramat sering mengisahkan para anggota keluarga nabi dan rasul yang mendapatkan hukuman karena tidak sejalan dengan perilaku suaminya. Bahkan, ada yang mendapatkan tindakan keras dari Allah swt secara langsung. Hal itu menunjukkan bahwa banyak anggota keluarga para nabi yang tidak sesuai dengan ajaran Sang Nabi tersebut. Artinya, kita tidak bisa mencibir atau tidak meyakini ajaran para nabi tersebut hanya karena memiliki anggota keluarga yang menyimpang dari ajaran Sang Nabi. Misalnya, kita tidak bisa mendustakan kenabian Luth as hanya karena memiliki istri yang tidak patuh kepadanya dengan alasan “bisa aja menasihati orang lain, mengurus rumah tangga sendiri saja tidak bisa”. Kita tahu bahwa istri Nabi Luth as dihukum Allah swt secara langsung di dunia ini menjadi batu dan batu itu bisa dilihat siapa saja sampai sekarang.
Dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara pun, kita sangat sering tidak adil. Celakanya, perilaku berpikir dan bertindak tidak adil ini bukan saja dilakukan oleh kalangan rakyat yang memiliki informasi dan kewenangan pas-pasan, melainkan pula dilakukan oleh mereka yang menduduki jabatan-jabatan tinggi dalam pemerintahan. Misalnya, ini benar-benar terjadi yang membuat saya merasa aneh sekaligus ingin tertawa terbahak-bahak. Bupati Bandung Dadang Naser pernah mengeluh karena orang-orang pemerintah pusat mendatangkan pejabat tinggi dari sebuah kabupaten di Sulawesi ke Kabupaten Bandung. Orang-orang pusat itu meminta Kabupaten Bandung belajar dari keberhasilan sebuah kabupaten di Sulawesi tersebut soal e-KTP.  Wilayah itu sudah secara sempurna berhasil 100% melaksanakan e-KTP. Awalnya sih, Bupati Bandung gembira karena bisa belajar dari keberhasilan kabupaten lain. Akan tetapi, ia merasa kecewa karena ternyata keberhasilan kabupaten lain itu sangat tidak berimbang dengan kondisi Kabupaten Bandung. Wajar saja kabupaten di Sulawesi itu berhasil karena ternyata hanya memiliki penduduk sejumlah 67 ribu jiwa, sedangkan Kabupaten Bandung memiliki rakyat 3,2 juta jiwa. Jelas hal itu menunjukkan ketidakadilan berpikir orang-orang pusat.
Bagaimana bisa mereka mengatakan bahwa kabupaten yang hanya berpenduduk puluhan ribu lebih berhasil dibandingkan kabupaten yang berpenduduk jutaan jiwa?
Kalau diukur dari jumlah penduduk, Kabupaten Bandung lebih berhasil karena telah menyelesaikan ratusan ribu e-KTP. Nggak perlu belajar dari yang penduduknya di bawah seratus ribu. Kalau mau belajar, ya   harus dari wilayah-wilayah yang berjumlah penduduk setara dengan Kabupaten Bandung.
Hal yang sama pula terjadi dengan pembangunan pasar. Bupati Bandung Dadang Naser ingin belajar bagaimana caranya Jokowi mampu membangun pasar di Solo dengan biaya teramat murah, yaitu 10 miliar. Dadang Naser pun melakukan studi banding ke wilayah yang dipimpin Jokowi. Akan tetapi, Dadang Naser lumayan kecewa karena pasar yang dibangun Jokowi kecil-kecil, jadi bisa sangat murah. Hal seperti itu tidak bisa dilakukan di Kabupaten Bandung yang memiliki wilayah teramat luas dan penduduk sangat banyak, jutaan. Biaya yang diperlukan Kabupaten Bandung untuk membangun sebuah pasar mencapai 120 miliar. Artinya, Kabupaten Bandung tidak bisa belajar dari Jokowi karena kondisinya berbeda. Cara Jokowi di Solo tidak bisa digunakan untuk di Kabupaten Bandung.
Hal itu menunjukkan bahwa setiap daerah memiliki masalah dan karakteristik berbeda. Demikian pula dengan sebuah kepemimpinan. Pemimpin yang berhasil di suatu daerah tidak bisa dikatakan mampu bisa berhasil memimpin daerah lain. Belum tentu, coy.
Saya sama sekali tidak mengecilkan Jokowi dan Ahok untuk memimpin Jakarta atau mengarahkan para pembaca untuk mendukung Fauzi Bowo dan Nara. Saya tidak ada urusan dengan itu. Yang saya harapkan dengan tulisan ini, kita, rakyat, mampu berpikir adil. Sama sekali tidak ada keuntungan bagi saya dengan dukung-mendukung salah satu pasangan calon. Toh, Fauzi Bowo jumlah suaranya jauh lebih jeblok dibandingkan Jokowi pada putaran pertama. Artinya, kepemimpinannya kemarin-kemarin menggusarkan banyak orang.
Saya tidak mendukung siapa pun karena pertama, saya bukan penduduk Jakarta, jadi tidak akan memilih mereka; kedua, kalaupun saya penduduk Jakarta, saya tidak akan memilih karena saya pembenci demokrasi; ketiga, saya sama sekali tidak yakin, baik Foke maupun Jokowi akan membuat perubahan yang berarti bagi Jakarta karena cara-cara yang dilakukan mereka adalah demokrasi, sedangkan sistem demokrasi itu adalah sistem korup yang memiliki banyak kejahatan terhadap kemanusiaan.
Sekali lagi, kita harus berpikir adil untuk segala sesuatu. Dengan berpikir adil, kita dapat bertindak dan berperilaku adil pula.
Tidak salah jika kita belajar dari pertandingan tinju dunia. Pertandingan ini lebih adil dibandingkan dengan sepak bola. Dalam tinju, ada pembagian kelas. Ada kelas bulu, kelas terbang, kelas ringan, sampai dengan kelas berat. Kita, Indonesia, punya juara dunia Daud Jordan dan Chris John. Mereka adalah juara. Akan tetapi, juara di kelasnya. Mereka tidak akan dapat berbuat banyak jika dipertandingkan di kelas berat. Hal itu disebabkan berbeda kelasnya. Adalah tidak adil jika juara kelas bulu dihadapkan dengan juara kelas berat. Chris John tak akan sebanding dengan Tyson. Demikian pula Daud Jordan tak sepadan dengan Evander Holyfield.
Mengenai kepemimpinan, adalah lebih baik kita belajar dari Orde Baru. Orde ini memang sangat memuakkan. Saya membencinya dan sangat tidak menyukainya. Akan tetapi, sekali lagi, kita harus adil. Meskipun Orde Baru memiliki banyak kekejian, sesungguhnya ada pula hal baik yang bisa kita kembangkan. Adalah tidak adil jika menganggap Orde Baru seluruhnya buruk. Memang buruk sih, tetapi kan tidak semuanya buruk. Misalnya, Soeharto jika akan mengangkat menteri dalam negeri, biasanya selalu menguji calonnya untuk menjadi gubernur di provinsi yang memiliki permasalahan hampir mirip dengan permasalahan nasional. Jika calonnya itu berhasil, Soeharto benar-benar akan menjadikannya menteri. Jika tidak, ya tidak jadi. Memang itu tidak ada dalam aturan tertulis, artinya tidak dipersyaratkan bahwa untuk menjadi menteri dalam negeri harus berhasil menjadi gubernur di provinsi yang memiliki permasalahan dan penduduk yang teramat kompleks. Hal itu hanya merupakan kebiasaan yang menjadi rahasia umum. Sayangnya, pada masa Soeharto amat kental dengan korupsi, kolusi, nepotisme, pembungkaman aspirasi, dan penghilangan aktivis.
Adalah hal teramat baik jika calon gubernur di provinsi mana pun merupakan kepala daerah yang sudah memiliki pengalaman dan keberhasilan yang baik di kota atau kabupaten yang memiliki permasalahan yang mirip dengan provinsi yang akan dipimpinnya. Jangan menggunakan demokrasi karena yang terjadi adalah maraknya politics bargaining dan money bargaining. Soal adu visi, itu mah soal kabaret atau sandiwara satu babak karena visi misi itu adanya di atas kertas, di dalam kepala, dan di mulut yang berbusa saat kampanye penuh dusta. Semua visi pasti isinya baik,  segala program pasti isinya indah, sebagaimana isi platform setiap partai yang penuh dengan keagungan. Akan tetapi, dalam menjalankan pemerintahan nyata, yang terlaksana adalah penyanderaan oleh berbagai kepentingan yang sama sekali membuat kepemimpinan untuk kemuliaan masyarakat menjadi sangat merosot dan rendah. Begitulah demokrasi yang dikeramatkan orang itu. Ngaco.
Kembali pada maksud tulisan ini. Kita hendaknya adil berpikir, adil berbicara sehingga mampu adil dalam membuat kebijakan dan bertindak, baik untuk diri sendiri, keluarga, maupun orang banyak.