Thursday 20 November 2014

Indonesia Sebentar Lagi Hancur



oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Kalau tak pintar menahan diri dan cerdas berlapang dada, Indonesia sebentar lagi benar-benar hancur. Saya sebenarnya tak suka jika negeri ini hancur berantakan sebagaimana yang disebutkan dalam berbagai ramalan, baik ramalan Sunda maupun Jawa. Meskipun demikian, ada banyak yang senang dengan berbagai kekisruhan yang terjadi di Indonesia. Mereka sangat senang dengan adanya bencana alam yang terus-menerus terjadi tanpa henti pada berbagai belahan tanah air Indonesia. Mereka tertawa-tawa dengan jungkir-baliknya hukum di Indonesia. Mereka pun bergembira dengan konfllik-konflik politik yang terjadi.

            Mereka yang selalu merasa senang ketika Indonesia mengalami kesulitan bukanlah orang-orang bodoh. Mereka itu pintar-pintar. Saya banyak kenal dengan mereka. Mereka pun bukan para penjahat atau pengacau. Mereka bahkan orang-orang yang mencintai Indonesia. Mereka merasa gembira dengan berbagai kekusutan yang terjadi di Indonesia disebabkan segala yang mereka prediksi berdasarkan ramalan-ramalan satu demi satu terbukti. Mereka malahan ingin segera melihat Indonesia berantakan karena setelah itu Indonesia akan semacam di-restart ulang untuk kemudian menemukan jati dirinya dalam kejayaan dan menjadi sinar bagi dunia.

            Memang kehancuran Indonesia itu sudah diramalkan terjadi dengan diawali ciri-ciri yang tegas dan terbukti, misalnya, bencana gempa bumi, gunung berapi meletus, banjir besar, perempuan hilang rasa malu, laki-laki mulai malas, nyawa tidak ada harganya, para pemimpin sering berkata bohong dan ingkar janji, hukum dijalankan dengan berbelit-belit, banyak anak muda menjadi pemimpin, orang jujur tersisihkan, banyak wabah penyakit, para elit bertengkar yang merembes ke tingkat grass root, dan lain sebagainya. Hal-hal itu sudah diramalkan sejak lama. 

Memang terbukti bukan?

Para pembaca bisa menelusuri berbagai artikel dalam blog ini yang sudah saya tulis sejak lama tentang ramalan-ramalan itu, baik Uga Wangsit Siliwangi, Darmagandul, Joyoboyo, maupun Ronggowarsito.

Sekarang semenjak Pilpres 2014, berbagai kejadian dan kekisruhan politik menguatkan bahwa ramalan tentang hancurnya Indonesia bakal terjadi. Harus diingat bahwa yang hancur adalah Negara Indonesia, bukan bangsa Indonesia. Indonesia sebagai bangsa malahan akan semakin kuat, tetapi sebagai state akan mengalami kerusakan parah. Kita bisa lihat bahwa hasil Pilpres 2014 menghasilkan dua kubu yang relatif seimbang dalam berbagai hal, baik jumlah maupun intelektual. Diakui ataupun tidak, kedua kubu itu terus berseteru dan setiap kubu mengklaim dirinya paling benar apapun alasannya. Seimbangnya kekuatan kedua kubu tersebut menimbulkan rasa percaya diri dari setiap kubu yang ujungnya dikhawatirkan akan memunculkan huru-hara.

Untuk jatuh ke dalam situasi huru-hara mudah saja. Hal itu disebabkan keduanya mengatasnamakan kepentingan rakyat dan membela rakyat. Setiap kubu menuduh kubu lawannya sebagai arogan dan mementingkan kelompoknya serta ingin menunjukkan kekuasaan yang dimilikinya. Apabila situasi ini meruncing semakin tajam, akan membuat negara berjalan tidak mulus. Akan ada pihak yang merasa terzalimi dan teraniaya, kemudian mengerahkan seluruh sumber daya yang dimilikinya untuk memberikan perlawanan.

Huru-hara yang terjadi akan dimulai oleh para elit, bukan oleh rakyat. Para elitlah yang akan memulai pertarungan yang kemudian mengajak serta rakyat untuk berpihak padanya sehingga pertarungan meluas dan memperparah keadaan.

Ramalan tentang huru hara tersebut bisa kita lihat dari Uga Wangsit Siliwangi:

Dalam bahasa Sunda:

Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi gélo marantuan nu garelut, dikokolotan ku budak buncireung! Matakna garelut? Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang loba. Nu boga hak marénta bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarérang.

Nu garelut laju rareureuh. Laju kakara arengeuh. Kabéh gé taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara. 

            Dalam bahasa Indonesia:

Mulai saat itu akan terjadi keributan, huru-hara, dari rumah menjadi sekampung, dari sekampung menjadi senegara! Orang-orang bodoh pada jadi gila ikut-ikutan membantu mereka yang sedang berkelahi yang dipimpin oleh Pemuda Buncit! Penyebabnya berkelahi? Memperebutkan warisan. Mereka yang serakah ingin mendapatkan lebih banyak lagi. Mereka yang memiliki hak meminta haknya diberikan. Mereka yang sadar berdiam diri. Mereka hanya menonton, tetapi tetap terimbas juga.

Mereka yang berkelahi akhirnya kelelahan. Mereka baru tersadar. Ternyata, semuanya tidak ada yang mendapatkan bagian. Hal itu disebabkan tanah dan kekayaan alam seluruhnya habis, habis oleh mereka yang memegang banyak uang. Para raksasa lalu menyusup curang ke berbagai kelompok. Mereka yang berkelahi jadi ketakutan sendiri, takut dipersalahkan atas kerusakan dan kehilangan tanah serta kekayaan negara.

            Kapan terjadinya keributan itu?

            Keributan itu akan terjadi setelah para elit yang berkuasa, baik elit ekonomi maupun politik semakin pongah, angkuh, brutal, dan sering membohongi rakyat atau mengelabui perasaan rakyat. Hal itu disebabkan mereka menginginkan dukungan rakyat untuk sependapat atau berpihak padanya.

            Mereka berkelahi disebabkan memperebutkan warisan.

            Apa itu warisan?

            Warisan itu berupa kekuasaan politik dan ekonomi yang berasal dari keserakahan atas penguasaan negara dan sumber daya alam Indonesia.

            Perebutan warisan itu terus berlanjut hingga melibatkan rakyat. Hal itu bisa diperhatikan bahwa kubu-kubu yang sekarang sedang berseteru sama-sama mengatasnamakan rakyat. Bahkan, parahnya ada yang memanas-manasi rakyat sehingga rakyat ikut terlibat secara emosional terhadap pertarungan di tingkat elit. Rakyat yang hanya mendapatkan informasi sepotong-sepotong dan tidak utuh itu pun benar-benar terpengaruhi sehingga betul-betul bergerak atas dasar hasutan pihak-pihak yang berseteru. Pihak-pihak yang menghasut ini saya pastikan bakal masuk neraka jika tidak segera sadar.

            Dalam ramalan tadi rakyat disebut sebagai orang bodoh yang jadi gila ikut berkelahi. Disebut rakyat bodoh karena bergerak atas dasar informasi yang tidak lengkap dari para penghasut. Rakyat menjadi gila karena benar-benar meyakini bahwa informasi samar dan sumir itu merupakan kebenaran dan perlu diperjuangkan. Perhatikan ramalan berikut:

Orang-orang bodoh pada jadi gila ikut-ikutan membantu mereka yang sedang berkelahi yang dipimpin oleh Pemuda Buncit! Penyebabnya berkelahi? Memperebutkan warisan, tanah. Mereka yang serakah ingin mendapatkan lebih banyak lagi. Mereka yang memiliki hak meminta haknya diberikan. Mereka yang sadar berdiam diri. Mereka hanya menonton, tetapi tetap terimbas juga.

            Huru-hara itu dikendalikan oleh Pemuda Buncit.

            Siapa dia?

            Dia adalah provokator utama. Disebut buncit karena dia punya banyak uang, kekuasaan yang besar, dan serakah tak peduli halal atau haram, tak peduli banyak nyawa melayang asal dia bisa senang.

            Kita bisa lihat bukan saat ini mereka yang sudah punya kekuasaan terus berjuang hingga kekuasaannya semakin besar?

            Kita juga bisa menyaksikan bukan bagaimana mereka menguatkan kekuasaannya dengan berupaya keras mengokohkan kekuasaan teman-temannya?

            Kita juga bisa lihat bahwa aturan-aturan bernegara sepertinya pabeulit dina cacadan, ‘berbelit-belit’ dan berputar-putar dalam berbagai penafsiran yang berbeda-beda, iya kan?

            Prabu Siliwangi sudah mewanti-wanti bahwa hukum bernegara kita itu akan berbelit-belit dan sulit sekali untuk diaplikasikan. Padahal, dia mengatakan itu ribuan tahun yang lalu.

            Jika yang berseteru dan bertempur rebutan warisan itu berhenti, mereka merasakan kelelahan luar biasa. Di samping itu, akan terbuka lebarlah kondisi warisan yang mereka perebutkan itu. Artinya, terbukalah dengan terang bahwa kekuasaan politik, ekonomi, dan sumber daya alam Indonesia itu sudah dikendalikan oleh orang lain, yaitu orang-orang kaya yang punya banyak uang dan kekuasaan. Mereka yang berkelahi itu sebenarnya tidak mendapatkan apa-apa, kecuali sedikit, apalagi rakyat yang biasanya paling menderita.

            Setelah sadar dan terbuka semuanya, atas izin Allah swt, para elit pun merasa malu. Mereka mulai berlepas tangan dan menyusup ke ketiak orang-orang lain, para penguasa baru, untuk mendapatkan perlindungan. Mereka ketakutan disalahkan telah menggadaikan asset bangsa ini kepada para pemilik modal besar, entah asing, entah dalam negeri, sebagaimana prediksi Prabu Silwangi:

Mereka yang berkelahi akhirnya kelelahan. Mereka baru tersadar. Ternyata, semuanya tidak ada yang mendapatkan bagian. Hal itu disebabkan tanah dan kekayaan alam seluruhnya habis, habis oleh mereka yang memegang banyak uang. Para raksasa lalu menyusup curang ke berbagai kelompok. Mereka yang berkelahi jadi ketakutan sendiri, takut dipersalahkan atas kerusakan dan kehilangan tanah serta kekayaan negara.

            Tanda-tandanya sudah jelas bukan?

Bukankah sedikit demi sedikit kita menyadari bahwa sudah sangat banyak harta kekayaan Negara Indonesia hanya dimiliki dan dikendalikan segelintir orang, bahkan dinikmati pihak asing, bukan oleh rakyat sebagai pemiliki sah negeri ini?

Pada masa depan akan lebih terbuka lagi semuanya sekaligus siapa saja orang-orang yang telah menggadaikan bangsa ini untuk kepentingan para kapitalis.
        
        Huru-hara ini mudah dipahami penyebabnya, yaitu karena kita menggunakan sistem politik kampungan hina dina yang bernama demokrasi. Sistem politik demokrasi itu sudah terbukti nyata membuat kerusakan di muka Bumi dan menjadi ibu lahirnya berbagai kecurangan dan kerusuhan di antara umat manusia. Demokrasi memang tabiatnya merusakkan banyak hal.
           
          Prabu Siliwangi sudah mengingatkan akibat-akibat dari dilaksanakannya sistem politik kotor yang namanya demokrasi ini. Perhatikan:

            Dalam bahasa Sunda: 

Mingkin hareup mingkin hareup, loba buta nu baruta, naritah deui nyembah berhala. Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan; da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. Nya karuhan: taraté hépé sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah paré loba nu teu asup kana aseupan……………………….. Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger.

Dalam bahasa Indonesia:

Makin lama makin lama, banyak raksasa yang jahat. Mereka menyuruh menyembah lagi berhala. Pergaulan anak muda salah jalan. Kesalahan pergaulan itu diakibatkan oleh salahnya aturan dari pemerintah. Undang-undang dan hukum hanya ada di mulut dan dalam diskusi-diskusi kosong tanpa bisa ditegakkan dengan benar. Hal itu disebabkan para pejabatnya bukan ahlinya, buah padi banyak yang tidak masuk ke dapur rakyat. ........................ Salah sendiri mempercayakan kebun kepada orang yang gemar berdusta, petaninya suka mengumbar janji palsu, orang-orang pintar terlalu banyak, tetapi pinternya keblinger.

            Raksasa yang jahat itu adalah para elit, baik politik maupun ekonomi yang suka menipu, berbohong, ingkar janji, mengumbar fitnah, memanas-manasi situasi, dan serakah.

Berhala yang harus disembah adalah berhala demokrasi. Mereka terus memuja dan menyembah demokrasi. Menurut mereka, sistem demokrasi adalah yang terbaik, padahal terburuk dari yang pernah ada. Plato pun yang filsuf barat mencela demokrasi. Mereka selalu menolak tanpa pengetahuan jika demokrasi disebut buruk. Mereka mengagungkan demokrasi dan menganggap diri cerdas, maju, brilian karena telah menggunakan sistem politik sampah yang disebut demokrasi.

Undang-undang dan hukum sering sekali terdistorsi oleh kekuatan kekuasaan dan uang sehingga sering mengalami penyimpangan. Tak aneh jika banyak penegak hukum yang malah melanggar hukum.

Para pejabat dalam sistem demokrasi kerap didasari pada kepentingan politik atau pragmatis, bukan integritas dan kecakapan. Hal itu disebabkan dalam sistem demokrasi selalu ada kepentingan yang bermain di belakang layar yang harus dilayani oleh penguasa karena kekuasaan yang didapatkan dalam sistem demokrasi selalu harus bermitra dengan pemegang uang banyak dan orang-orang yang punya pengaruh kuat untuk mempengaruhi rakyat agar memilih dirinya. Akibatnya, cita-cita besar untuk mewujudkan kemakmuran rakyat pun terpaksa harus terhambat karena berbagai kepentingan yang melilitnya. Akhirnya, rakyat-rakyat juga yang rugi. Negara juga yang sengsara. Oleh sebab itu, Prabu Siliwangi menyindir:

Salah sendiri mempercayakan kebun kepada orang yang gemar berdusta, petaninya suka mengumbar janji palsu, orang-orang pintar terlalu banyak, tetapi pinternya keblinger.

Sekali lagi, saya tidak suka kalau ramalan huru-hara ini terjadi. Akan tetapi, jika semua pihak tak mampu kembali kepada jati diri yang suci dan murni, yaitu Pancasila, ramalan itu memang inevitable, ‘tak bisa dihindari’.

Silakan berdemokrasi dan nikmati huru-hara.

Friday 14 November 2014

Politisi Cengeng Bersenjatakan Cengeng



 oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Anak cengeng mengesalkan memang. Lebih mengesalkan lagi jika dia gunakan kecengengannya itu sebagai senjata untuk mendapatkan keinginannya.

            Pernah suatu kali saya menjemput anak saya yang masih di sekolah dasar melihat bagaimana kesalnya seorang ibu yang juga sedang menjemput anaknya. Ia menunggu bubar sekolah anaknya sambil membawa anak satunya lagi yang masih kecil, seusia anak TK. Anak yang masih kecil ini merengek-rengek minta dibeliin mainan, tetapi Sang Ibu tidak memberikannya. Si Anak terus merengek sambil memukul-mukul ibunya. Lama-lama anak itu menangis. Semakin lama tangisan anak itu semakin keras hingga membuat ibu-ibu yang lain di sana “menasihati” Sang Ibu. Mereka menasihati Sang Ibu agar memberikan apa yang diminta anaknya itu karena anak itu memang menangis sambil terus memukul-mukul meminta mainan yang harganya hanya dua ribu rupiah. Mungkin ibu-ibu yang memberi nasihat itu kasihan kepada anak yang menangis itu. Mungkin mereka berpikir kok Sang Ibu begitu sulitnya memberi anak mainan yang harganya sangat murah itu, padahal Si Anak sudah menangis keras tanda sangat ingin dan ketika capek menangis keras, berlanjut ke menangis tersedu-sedu, membuat orang iba. Akhirnya, Sang Ibu mengalah. Ia memberikan apa yang dinginkan anaknya meskipun sambil marah-marah.

            Setelah membeli mainan itu, kebetulan Sang Ibu dan anaknya itu berpindah tempat duduk ke samping saya. Asalnya, ia berada di kerumunan ibu-ibu. Saya memang duduk agak jauh dari kerumunan itu, saya kan laki-laki. Sungguh, saya tidak mengajak Sang Ibu mengobrol, tetapi ia Curhat sendiri secara Curcor. Ia masih kesal dengan kelakuan anaknya itu. Ia mulai Curhat ngomongin anaknya yang kecil itu. Ia mengatakan bahwa anaknya memang ngeselin, menjengkelkan, setiap keinginannya selalu ingin dipenuhi, padahal sudah sangat banyak keinginannya yang dipenuhi. Dia selalu ingin lebih.

            Ia bilang sambil menunjuk anaknya, “Menangis itu senjata dia. Dia akan cengeng di depan orang banyak.”

            Menurutnya, kalau tidak di depan orang banyak, ia tidak akan berperilaku cengeng seperti itu.

            “Dia tahu, saya bakalan malu sama ibu-ibu yang lain kalau membiarkan dia menangis minta jajan. Dia tahu pasti saya memberikan apa yang dia minta,” katanya.

            Saya cuma tersenyum sambil bilang, “Ooh ….”

            “Mereka itu nggak tahu kalau hari ini anak ini sudah jajan lebih dari dua puluh ribu,” katanya lagi.

            Yang dimaksud Sang Ibu “mereka” itu adalah kerumunan ibu-ibu yang tadi menasihatinya agar memberi apa yang diinginkan anaknya karena harganya murah.

            Kita sudahi cerita Si Anak Cengeng dan Sang Ibu. Sekarang mari berbicara tentang politisi cengeng yang punya senjata cengeng. 

            Politisi cengeng itu karena cengengnya, pasti akan merengek-rengek minta posisi pada pihak yang dianggap memiliki posisi lebih besar dengan harapan mendapatkan posisi juga. Jika keinginannya itu ditolak, ia akan merengek lebih keras. Bahkan, akan memukul-mukul apa saja yang bisa dia pukul, ia bisa pukul meja, gelas, genting, kaca, piring, tempat sampah, atau kaleng bekas. Teriakan rengekannya akan lebih keras bernada mengancam. Mulailah ia meminta perhatian orang-orang agar orang banyak iba padanya, agar orang-orang terkelabui perasaannya. Ia tampil sebagai orang yang sedang dianiaya, diperlakukan tidak adil, dizholimi oleh yang lebih berkuasa. Di samping itu, ia pun menebar kisah-kisah yang tidak utuh sehingga membingungkan orang banyak. Ia gunakan sumber daya yang dimilikinya untuk mengganggu ketenangan orang banyak dengan Curhat-Curhat murahannya hingga orang-orang terpengaruh dan energinya tersedot untuk memperhatikan dia.

            Akibat dari perilakunya yang kacangan itu, orang-orang mulai terpengaruhi. Kisah-kisah yang diumbarnya secara tidak utuh membuat orang-orang terkelabui hingga menyalahkan orang yang lebih berkuasa daripada dirinya. Mirip anak cengeng yang minta perhatian orang banyak agar ibunya merasa malu hingga keinginannya terpenuhi.

            Senjata politisi cengeng itu adalah kecengengannya. Ia akan bersikap sama jika ada masalah yang tidak sesuai dengan keinginannya. Dia bakalan cengeng lagi, lalu minta perhatian rakyat bahwa ia sedang diperlakukan tidak adil.

            Kalau senjata cengengnya itu berhasil membuat pihak yang berkuasa menjadi lemah seperti Sang Ibu yang tadi ceriterakan, ia akan menggunakan kecengengannya itu pada masa-masa berikutnya. Ia akan memukul-mukul pihak yang lebih besar lewat media, konferensi pers, tim sukses, dan lain sebagainya sambil menunjukkan bahwa dirinya sedang disakiti sehingga menimbulkan iba orang lain sekaligus menumbuhkan kebencian kepada pihak yang lebih berkuasa.

            Politisi cengeng itu akan membawa senjata cengengnya seumur hidupnya karena memang pada dasarnya dia orang yang cengeng. Lebih parah lagi kalau sampai mengajak berkelahi secara fisik. Kontrol dirinya menjadi sangat lemah ketika jalan beradab tidak bisa memenuhi keinginannya, jalan tidak beradab pun menjadi pilihannya. Kayak anak kecil yang tidak bisa menyelesaikan masalah dengan tertib, kemudian menggunakan fisik sebagai pemecahan masalah. Anak kecil biasanya berkelahi sambil matanya berkaca-kaca karena cengeng. Kalau anak kecil memang wajar cengeng. Mereka kan generasi yang harus dibina. Kalau politisi cengeng, kan lucu, memalukan.

            Siapa hayo yang cengeng?

            Hidup Cengeng!

            Teruskanlah kecengenganmu hingga negeri berantakan!

            Halo cengeng?

            Kalian lagi ngapain?    


Thursday 13 November 2014

Politisi Jangan Cengeng! Kayak Anak Kecil!



oleh Tom Finaldin




Bandung, Putera Sang Surya


Sikap cengeng biasanya dimiliki anak-anak kecil. Akan tetapi, tidak semua anak kecil cengeng. Yang cengeng ya memang sudah pengennya aja cengeng. Jika sikap cengengnya itu tidak berubah, akibatnya dia akan menemukan banyak masalah yang tidak bisa ia dipecahkan dalam hidupnya kelak. Bahkan, ia bisa bikin masalah dengan orang lain yang akibatnya akan merugikan dirinya sendiri. Sudah menjadi rumus kehidupan bahwa seseorang itu akan menanggung akibat dari perilaku yang ditimbulkannya sendiri.


            Saya punya ceritera tentang anak cengeng yang sering menyusahkan teman-temannya, tetapi pada akhirnya dia sendiri yang rugi karena teman-temannya perlahan enggan bermain dengannya lagi, lalu meninggalkannya. Ceritera ini tentang saya sendiri ketika masih kecil dan sering bermain dengan teman-teman. Dulu, ketika Kota Bandung tidak sepadat hari ini, masih banyak tanah kosong, lapang yang bisa digunakan bermain-main. Pemukiman warga memang sangat banyak, tetapi masih banyak ruang yang bisa digunakan. Tanah-tanah kosong yang lapang dan pemukiman warga itulah yang menjadi ruang bermain kami. Seluruhnya menjadi arena bermain. Salah satu permainan yang kami lakukan adalah polisi-polisian. Cara dan aturannya sederhana saja. Kami membagi dua kelompok. Satu kelompok menjadi polisi, satu kelompok lagi menjadi penjahat. Tugas polisi adalah menangkap penjahat, sedangkan tugas penjahat adalah melarikan diri. Itu saja dan biasanya permainan berakhir ketika seluruh penjahat tertangkap. Polisi memang harus selalu menang dan penjahat harus selalu kalah, biasanya begitu dan tidak pernah  berubah. Tak ada yang dirugikan dalam permainan itu. Kami semuanya senang bisa berlari-lari, sembunyi, mencari-cari, mengatur strategi, bekerja sama, dan lain sebagainya. Kedua kelompok, baik polisi maupun penjahat punya strategi masing-masing.


            Pada suatu saat ketika kami akan memulai bermain polisi-polisian tiba-tiba salah seorang dari kami mulai belagu. Dia ingin jadi komandan polisi. Padahal, yang jadi komandan polisi biasanya dipilih yang tubuhnya agak besar, lebih cerdas, dan larinya lebih kencang. Begitu juga komandan penjahat dipilih berdasarkan hal yang sama. Aturan itu sudah baku dan tidak pernah ada masalah. Akan tetapi, saat itu keceriaan bermain mulai berubah karena anak yang belagu itu benar-benar ingin jadi komandan polisi, padahal kelompok sudah dibagi dua dan tiap orang punya tugas masing-masing. Awalnya, kami membujuk agar dia jadi polisi saja, nggak perlu jadi komandan polisi. Akan tetapi, dia ngotot dengan wajah cemberut masam. Semua menjadi agak kurang senang, tetapi permainan harus dilakukan. Akhirnya, kami memaksakan diri untuk bermain dengan cara biasa. Akan tetapi, Si Anak Cengeng itu benar-benar menunjukkan kecengengannya dengan cara dia memboikot permainan. Ia mengancam tidak akan ikut bermain, lalu berupaya  mempengaruhi yang lain untuk tidak ikutan main. Kami mulai kesal, tetapi kami ingin bermain. Akhirnya, kami bermain tanpa dia. Permainan pun berjalan, tetapi menjadi tidak asyik lagi karena Anak Cengeng itu berdiam diri dengan muka masam campur sedih sambil mempengaruhi yang lain untuk tidak melanjutkan permainan. Akhirnya, permainan sempat terhenti karena suasana hati tidak enak lagi.


            Kami tahu, anak itu memang belagu dari dulu dan sering mengadukan teman-teman yang lain kepada orang tuanya sendiri sambil menangis bahwa dia disakiti, dijauhi, dimusuhin sama yang lainnya. Akibatnya, pernah sebelum-sebelumnya di antara kami ada yang kena marah orangtuanya gara-gara diadukan tidak mengajaknya bermain dan memusuhinya, padahal kami, teman-temannya tidak pernah melakukan seperti yang diadukannya kepada orangtuanya. Kalaupun iya, itu disebabkan dia sendiri yang sering berperilaku aneh yang membuat suasana tidak menyenangkan lagi.


            Kami yang mayoritas dan punya hati lebih lapang mengalah di samping memang takut juga dimarahin sama orangtuanya yang kena hasutan anaknya sendiri. Kami membiarkan Si Anak Cengeng itu mendapatkan keinginannya untuk menjadi komandan polisi. Kami pun bermain lagi. Akan tetapi, Si Cengeng itu memang tidak kompeten jadi komandan. Selain tubuhnya lebih kecil daripada para penjahat, juga nggak ngerti jadi komandan sekaligus tidak paham lapangan karena ada tempat-tempat yang tidak diketahuinya dengan baik sebagai tempat persembunyian penjahat. Anehnya, dengan mengesalkannya, ia tampaknya menikmati perannya itu. Ia seperti senang memerintah orang ke sana ke mari hanya sekedar menunjukkan bahwa dia jadi komandan. Akibatnya, hasil permainan yang sudah turun-temurun itu berubah jadi aneh. Biasanya, polisi yang menang, penjahat kalah dan tertangkap semua. Akan tetapi, saat itu pertama kali dalam sejarah permainan, penjahat yang menang. Artinya, tidak semua penjahat dapat ditangkap. Saya adalah salah satu penjahatnya. Saya tidak bisa tertangkap. Saya juga merasa aneh. Sampai hampir maghrib, saya tidak tertangkap juga dan tidak bisa mereka temukan juga tempat persembunyian saya. Akan tetapi, karena adzan Maghrib sebentar lagi berkumandang, saya memperlihatkan diri, keluar dari persembunyian, dan mengingatkan semuanya untuk segera pulang ke rumah. Permainan pun diakhiri.


            Besok-besoknya semua sepakat untuk bermain di tempat yang agak jauh dari biasanya agar Si Cengeng tidak ikutan main. Permainan pun kembali dilakukan tanpa Si Cengeng.


            Nah, kalau ada politisi kelakuannya kayak Si Cengeng yang saya ceriterakan tadi, ada benarnya juga kata-kata Gus Dur (Alm), “Seperti Taman Kanak-kanak.”


            Politisi tidak boleh kayak anak kecil. Artinya, kalau tidak dapat meraih posisi yang diinginkannya, jangan lantas cemberut, bermuka masam campur kecewa sedih, mengancam nggak akan ikutan main, asyik bikin aksi sendiri sambil mempengaruhi orang lain, terus mengumbar-umbar ceritera untuk mempengaruhi emosi massa yang belum tentu benar, malah banyak bohongnya.


            Kelakuannya itu terus dilakukan sampai yang sadar, yang lebih dewasa, yang lebih mengerti mengalah, lalu memberikan apa yang dia inginkan. Politisi Cengeng namanya. Tandanya, kalau yang diinginkannya itu diberikan, dia gembira bukan main persis kayak anak kecil yang asalnya merengek minta balon, tetapi tidak dikasih oleh ibunya. Saat ibunya terpaksa membeli balon supaya rengekannya berhenti, wajah Si Cengeng itu berubah ceria penuh sukacita. Lalu, ia  memainkan balon itu sampai meledak, duarrr! Terus, nangis lagi nyalahin orang lain dan minta balon lagi. 


Dasar Cengeng!


Tapi, gak apa-apa namanya juga anak kecil. Kalau politisi cengeng, wah kebangetan deh.


Politisi itu tidak boleh cengeng. Politisi itu harus bekerja menggunakan aturan yang sudah disepakati. Kalau aturan sudah dilaksanakan, kemudian ia kalah dan tidak mendapatkan posisi, jangan lantas kayak Si Cengeng yang cemberut, lalu main sendirian. Terus, maksa-maksa agar aturannya diubah sesuai seleranya saat itu. Bahaya kalau seperti itu. Nanti-nanti, kalau seleranya berubah, aturannya juga harus diubah sesuai perubahan seleranya sambil memaksa dengan wajah masam dan tetap mempengaruhi orang lain untuk mendukung dirinya. 

Ngaco!


Politisi itu harus tegar. Dia harus yakin bahwa kalau memang dirinya ingin mengabdi kepada bangsa dan negara, posisi itu nomor dua. Nomor pertama adalah mengabdi pada bangsa dan negara di mana saja dia berada dan dalam posisi apa saja. Kalau dia merasa akan lebih baik mengabdi dengan menduduki posisi tertentu, perjuangkanlah. Kalau tidak berhasil, jangan cengeng, tetapi harus kembali pada niat awal, membangun bangsa pada posisi apa saja.


Cengeng Lu!