Sunday 25 December 2016

Polisi Harus Lebih Cerdas, Lebih Berani, dan Jangan Mati Kutu

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Dalam mengelola perkembangan masyarakat yang berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, kepolisian wajib hukumnya lebih cerdas, lebih berani, dan tidak mati kutu. Masyarakat kita banyak yang sudah demikian cepat berkembang, berpikir, dan berasa sehingga semakin cerdas yang pada akhirnya menumbuhkan pemahaman-pemahaman baru dalam hidupnya. Pemahaman-pemahaman baru ini cukup rentan menimbulkan konflik bagi masyarakat yang belum siap menerimanya.

            Sulit memang membuat kalimat pembuka dalam tulisan ini. Akan tetapi, akan lebih jelas jika kita melihat contoh yang nyata terjadi di tengah masyarakat. Kita mungkin masih ingat kasus yang melibatkan Rizieq FPI. Dia memplesetkan kalimat mulia sampurasun menjadi campur racun. Hal itu menimbulkan kemarahan yang mengakibatkan Ormas Sunda melaporkan Rizieq kepada polisi. Dalam menanggapi laporan itu, grup yang setia kepada Rizieq balik melaporkan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi sebagai telah melakukan penghinaan kepada Islam di dalam buku yang ditulis Dedi Mulyadi. Kedua laporan ini sepanjang pengetahuan saya tidak dilanjutkan prosesnya oleh pihak kepolisian. Entah apa kebijakan polisi untuk tidak meneruskannya. Tak ada berita lanjutan mengenai hal itu.

            Saya tidak ingin membahas kebijakan polisi yang tampaknya tidak meneruskan proses kedua laporan itu. Hal yang saya ingin sampaikan adalah polisi tampaknya kehilangan cara untuk menyelesaikannya dan mendiamkannya dengan harapan masyarakat melupakan kasus itu demi tetap terjaganya stabilitas keamanan masyarakat. Itu merupakan hal yang bagus, tetapi kurang bagus.

            Dari kedua laporan itu seharusnya polisi memberikan pencerahan, baik kepada para pelapor maupun kepada masyarakat luas agar menjadi pelajaran bagi semuanya. Laporan yang diajukan oleh Ormas Sunda sudah sangat jelas bisa dikategorikan laporan dugaan pelecehan terhadap orang Sunda yang dilakukan oleh Rizieq. Akan tetapi, laporan grup Rizieq tidaklah bisa disebutkan bahwa Dedi Mulyadi telah melakukan penghinaan terhadap Islam. Hal itu disebabkan beberapa poin yang dianggap penghinaan terhadap Islam oleh FPI yang dilakukan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi sebenarnya merupakan pemahaman-pemahaman baru mengenai hidup dan kehidupan yang kemudian dibukukan oleh Dedi Mulyadi. Persoalannya, Rizieq dan manusia-manusia seperti dia belum memahami dengan terang apa yang disampaikan oleh Dedi Mulyadi.

            Adalah sangat berbahaya jika pemahaman-pemahaman yang berkembang di masyarakat kemudian dianggap penghinaan dan pelecehan oleh sekelompok atau beberapa kelompok orang hanya karena kelompok-kelompok itu belum memahami pemahaman-pemahaman baru itu. Hal yang lebih berbahaya adalah jika perbedaan pemahaman yang diakibatkan oleh perbedaan pengalaman hidup dan tingkat pendidikan itu harus masuk ke ruang pengadilan.

            Polisi harus lebih cerdas memilih dan memilah, mana yang benar-benar merupakan penghinaan atau pelecehan terhadap Sara sehingga harus masuk ke wilayah hukum dan mana yang merupakan perbedaan pemahaman sehingga tidak perlu masuk wilayah hukum. Perbedaan pemahaman yang diakibatkan oleh pengalaman hidup dan tingkat pendidikan yang berbeda seharusnya tidak diselesaikan di ruang pengadilan, melainkan di ruang kelas kuliah, ruang pengkajian Islam, atau ruang-ruang yang bersifat akademis. Mengenai laporan penghinaan yang diduga dilakukan Dedi Mulyadi seharusnya diselesaikan tidak di pengadilan, melainkan di ruang ilmu pengetahuan. Misalnya, polisi bisa menyarankan Dedi Mulyadi untuk membuat acara Bedah Buku Dedi Mulyadi. Di dalam acara itulah Rizieq dan FPI-nya bisa menanyakan maksud Dedi menulis berbagai hal yang belum dipahami mereka. Kalau mau berdebat, berdebatlah dalam acara itu. Itu lebih terhormat dan terpelajar dibandingkan membuat laporan kepada polisi yang seolah-olah dirinya sudah benar, padahal sesungguhnya belum mengerti pandangan orang lain. Kalau memang dalam acara ilmiah itu terdapat secara nyata penghinaan, barulah polisi bisa mengambil tindakan. Akan tetapi,  jika justru pemahaman baru itu menambah ilmu pengetahuan bagi masyarakat secara positif, Dedi Mulyadi harus diapresiasi.

            Polisi pun harus lebih berani menolak untuk meneruskan proses hukum sebuah laporan apabila ternyata yang dilaporkan hanya merupakan perbedaan pemahaman terhadap Islam yang diakibatkan oleh pengalaman hidup dan tingkat pendidikan yang berbeda. Polisi harus berani menyarankan kepada mereka yang terlibat untuk membuat jelas semuanya dalam acara-acara ilmiah.

            Polisi pun harus lebih tegas terhadap sikapnya dan mampu mempertahankan sikapnya jika memang sudah yakin dengan keputusannya. Siapa pun yang memaksa dan mendesak kepolisian untuk mengikuti kehendak mereka, harus dilawan dengan tegas. Presiden Jokowi telah mengingatkan bahwa polisi itu jumlahnya 450 ribu dan memiliki tugas yang jelas. Presiden menegaskan bahwa polisi tidak boleh takut atau kalah oleh kelompok-kelompok kecil ataupun tokoh-tokoh masyarakat. Berapa pun jumlah massa yang digunakan untuk mendesak kepolisian, asal polisi yakin sudah bertindak dengan benar dan berdasarkan keputusan yang masuk akal, tidak perlu takut untuk bertindak tegas. Jangan mati kutu.


            Kalau pihak kepolisian masih belum mampu memilih dan memilah mana yang benar-benar penghinaan dan mana yang merupakan perbedaan pemahaman yang diakibatkan oleh pengalaman hidup dan tingkat pendidikan yang berbeda, akan ada banyak laporan yang kemudian diiringi oleh desakan massa karena sangat banyak orang yang belum mampu menerima pemahaman-pemahaman baru dalam hidup mereka. Itu sungguh berbahaya dan mematikan perkembangan cara berpikir kritis generasi muda serta menghambat perkembangan ilmu pengetahuan.

Saturday 24 December 2016

Menyelesaikan Kasus Ahok dengan Cara Sunda

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Saya berandai-andai bahwa kasus Ahok mengenai dugaan penistaan agama dapat diselesaikan dengan cara Sunda. Berandai-andai itu berarti berkhayal. Oleh sebab itu, tulisan ini hanya berupa khayalan saya karena sudah sulit dilaksanakan. Seandainya, kasus Ahok belum masuk ke pengadilan, cara Sunda ini masih dapat digunakan. Akan tetapi, kasusnya sudah masuk ke pengadilan dan hukum jalan terus sampai mendapatkan keputusan yang pasti.

            Karena tulisan ini hanya berupa khayalan, saya sarankan Saudara yang tidak menyukai khayalan saya untuk tidak membacanya. Sebaiknya, Saudara segera tutup halaman ini, lalu cari tulisan saya yang lain yang bukan khayalan atau beralih ke situs lain. Saya tidak apa-apa kok kalau tulisan ini tidak dibaca oleh Saudara. Akan tetapi, Saudara tampaknya bandel sehingga terus saja membaca tulisan ini.

            Iya kan?

            Saudara memang bandel dan terus bertahan membaca tulisan saya.

            Saya benar, kan?

            Saudara tidak beralih ke tulisan lain atau ke situs lain. Saudara di sini terus bersama saya.

            Cobalah ikuti saran saya untuk segera meninggalkan halaman ini. Silakan pergi.

            Tuh, kan Saudara terus di sini dan tidak mau pergi.

            Ya, sudah kalau tidak mau dikasih tahu. Disaranin jangan membaca tulisan ini, malah terus-terusan membaca. Saudara memang manusia yang bandel.

            Harus dengan kalimat apalagi saya menyarankan Saudara untuk pergi dari halaman ini?

            Saya harus mencoba untuk mengusir Saudara, “Pergi! Cepat pergi ke situs lain! Jangan baca tulisan ini!”

            Masyaallah, Anda tidak juga mau pergi.

            Apa menariknya tulisan ini?

            Saya kan sudah bilang isinya hanya khayalan, tetapi Saudara tetap saja penasaran. Okelah kalau begitu, terserah Anda saja.

            Jangan salahkan saya kalau Saudara terus membaca, lalu tersinggung. Kemudian, menuduh saya sebagai pelanggar Sara. Salah Saudara sendiri. Jangan melaporkan saya ke polisi dengan menggunakan UU ITE atau UU tentang Sara karena saya sudah mengusir Saudara, tetapi Saudara tidak mau pergi juga.

            Salah siapa kalau begitu, hayo?

            Salah Saudara sendiri atuh.

            Saya bilang jangan baca, eh … terus membaca juga.

            Saudara salah parah banget. Kacau.

            Tuh, kan masih terus membaca juga.

            Oke, saya menyerah, silakan baca tulisan ini bersama saya sampai dengan selesai. Salah sendiri.

            Indonesia harus belajar dari urang Sunda ketika mendapatkan penghinaan. Suku Sunda pernah dilecehkan dan dihina.

            Masih ingat ucapan pelecehan yang dilakukan Rizieq Shihab?

            Dia memplesetkan salam orang Sunda sampurasun dengan mengubahnya menjadi campur racun!

            Ingat sekarang?

            Kejadiannya masih belum lama kok.

            Itu benar-benar mutlak pelecehan yang dilakukan Rizieq terhadap orang Sunda. Tak ada penafsiran yang berbeda mengenai pelecehan itu. Dibandingkan QS Al Maidaah : 51, pelecehan yang dilakukan Rizieq sangat akurat dan terang-benderang. Kasus dugaan penghinaan yang dilakukan Ahok masih debatable. Saya sendiri tidak melihat ada kata-kata Ahok yang menunjukkan penghinaan, baik secara kata-kata dalam bahasa Indonesia maupun dari tafsir Ibnu Katsir dan dari Sejarah Muhammad karya Mohamad Haekal. Berbeda dengan pelecehan yang dilakukan Rizieq yang jelas-jelas memplesetkan sampurasun dengan mengubahnya secara sengaja menjadi campur racun. Plesetan itu sangat jelas dan tidak mungkin debatable.

            Pelecehan Rizieq yang angkuh dan arogan itu tentu saja membuat marah orang Sunda. Rizieq pun dilaporkan Ormas Sunda kepada pihak kepolisian. Orang Sunda yang mencintai sukunya menuntut Rizieq memohon maaf kepada masyarakat Sunda, bahkan mungkin sebagian ada yang menginginkan Rizieq dipenjara karena melakukan penghinaan kepada orang Sunda.

            Sampurasun itu kata yang teramat mulia bagi orang Sunda karena memiliki makna mendoakan keselamatan bagi manusia, melembutkan hati, meluweskan perilaku, mengungkapkan rasa persaudaraan, dan melapangkan dada untuk senantiasa mampu memberikan maaf kepada orang lain. Kata itu memiliki makna yang sama dengan assalaamualaikum wr. wb.. Orang Sunda sudah memiliki anugerah yang besar bahwa sebelum bahasa Arab hadir di tanah Sunda, Sang Cipta Rasa, yaitu Sang Hyang Kersa, yaitu Allah swt sudah memberikan kata salam dalam bahasa Sunda untuk digunakan sehari-hari sebagai doa, sebagaimana ajaran keluhuran Islam yang dibawa oleh Nabi Prabu Siliwangi as.

            Coba bayangkan betapa tidak sopannya Rizieq memplesetkan doa untuk keselamatan menjadi campur racun?

            Tak heran jika banyak orang Sunda marah. Jika saja orang Sunda mau, Jakarta bisa dipenuhi orang Sunda. Demo kemarin-kemarin yang diklaim sebagai demonstrasi umat Islam itu mah sangat sedikit. Demo itu kan hanya klaim merupakan demonstrasi umat Islam, padahal hanya beberapa kelompok umat Islam. Sebagian besar umat Islam kan tidak ikutan demo. Sebagian besar umat Islam tetap dengan aktivitasnya masing-masing. Kalau saja orang Sunda mau demonstrasi untuk menuntut Rizieq memohon maaf, bahkan menuntut agar Rizieq dimasukkan dalam jeruji besi, luas Jakarta tidak akan mampu menampung orang Sunda yang berdemo karena orang Sunda akan memenuhi Jakarta sampai ke gang-gang terkecil.

            Orang Sunda itu akan gampang tersulut emosi jika para pemimpin dan tokoh-tokohnya menyerukan bergerak dengan kalimat ajakan, “Demi Eyang Prabu Siliwangi!”

            Akan tetapi, orang Sunda tidak melakukannya, padahal jelas-jelas tanpa penafsiran berbeda bahwa Rizieq telah melakukan pelecehan.

            Inilah yang saya bilang bahwa bangsa Indonesia harus belajar dari urang Sunda. Ketika orang Sunda marah, Ormas Sunda melaporkan Rizieq ke polisi, dan mulai ada konflik-konflik fisik antara massa Ormas Sunda dan massa FPI, para pemimpin dan tokoh Sunda berupaya segera meredam kemarahan orang-orang Sunda. Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan segera tampil dengan sejuk. Ia menjelaskan bahwa sampurasun itu sama dengan assalaamualaikum. Ia pun mencoba menenangkan orang Sunda bahwa Rizieq memplesetkan sampurasun menjadi campur racun itu secara tidak sengaja. Kemudian, mengisyaratkan bahwa sebaiknya Rizieq dimaafkan oleh orang Sunda. Demikian pula Walikota Bandung Ridwan Kamil menenangkan masyarakat dengan penjelasan yang mirip sebagaimana yang diungkapkan Gubernur Jabar Aher. Demikian pula, para tokoh-tokoh Sunda yang menganggap bahwa perilaku bodoh Rizieq itu sebagai sesuatu hal yang tidak perlu dibesar-besarkan.

            Coba bayangkan, bagaimana bijaksananya para pemimpin resmi di tanah Sunda itu dalam meredam kemarahan orang Sunda?

            Rizieq yang sepanjang pengetahuan saya tidak pernah meminta maaf atas kebodohan dan kesombongan dirinya itu, sudah dimaafkan oleh orang Sunda. Rizieq tidak meminta maaf pun, orang Sunda sudah memaafkan.

            Coba bayangkan kalau para pemimpin pemerintahan dan tokoh-tokoh di tanah Sunda menggerakkan rakyatnya untuk menuntut Rizieq masuk penjara dan meminta maaf kepada rakyat Sunda, kemudian demonstrasi di Monas, depan Istana, dan gedung MPR/DPR, Jakarta pasti habis. Jakarta pasti heurin ku tangtung wargi Sunda. Jakarta tidak akan bergerak sama sekali karena akan terlalu penuh oleh puluhan juta orang Sunda. Polri dan TNI akan lebih sibuk, lebih letih, dan lebih kelabakan.

            Tidak terjadinya demonstrasi besar-besaran oleh orang Sunda itu disebabkan oleh para pemimpin Sunda, baik formal maupun nonformal, akademisi Sunda, aktivis kesundaan, dan rakyat Sunda cepat memahami bahwa demonstrasi untuk hal itu sangatlah tidak produktif dan bisa memicu disintegrasi bangsa. Bahkan, berpotensi menghambat laju pembangunan nasional. Di samping itu, rakyat Sunda sudah merasa cukup dengan tindakan Ormas Sunda yang melaporkan Rizieq ke polisi sebagai warning  bahwa orang Sunda tidak menyukai perilaku tidak sopan Rizieq. Rakyat Sunda berharap bahwa Rizieq tidak mengulanginya lagi.

            Berbeda halnya jika Rizieq mengulangi kebodohannya lagi, situasinya bisa lain. Kalau dia mengulangi lagi kecerobohannya dan nyaman atau merasa senang karena orang Sunda tidak meneruskan kemarahannya, saya menyerukan kepada seluruh pemimpin formal dan nonformal di tanah Sunda untuk menggerakkan rakyat Sunda mendesak Polri, TNI, dan Presiden untuk memenjarakan Rizieq FPI karena orang ini benar-benar berpotensi memecah-belah persatuan dan kesatuan Indonesia. Jika dia mengulanginya lagi, dia benar-benar orang yang berbahaya. Pasukan TNI Siliwangi harus benar-benar berdiri bersama orang Sunda. Kalau Rizieq paham dan tidak mengulangi perilakunya lagi yang bisa menyakitkan hati orang lain, itulah hal yang sangat diharapkan orang Sunda sehingga kita bisa hidup bersama berdampingan saling menghormati, saling menghargai, dan saling melindungi.

            Bagaimana dengan Ahok?

            Begini Saudara … eh, tadi sudah saya bilang kan jangan membaca tulisan ini?

            Akan tetapi, Saudara terus membacanya. Jadi, mari kita selesaikan.

            Saya berkhayal bahwa kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok bisa diselesaikan dengan cara Sunda mirip dengan kasus campur racun  Rizieq. Demonstrasi besar yang telah dilakukan beberapa kelompok umat Islam sesungguhnya sudah masuk ke hati Ahok bahwa kelompok-kelompok itu tidak menyukai Ahok dan nonmuslim lainnya membahas atau membicarakan ayat-ayat suci Al Quran karena itu adalah domain umat Islam. Sudah cukup Ahok mendapatkan peringatan. Dengan sedikit keyakinan, kita bisa berharap bahwa dia tidak mengulanginya lagi. Akan tetapi, sebagai hukuman atas pelanggaran etika yang dilakukan Ahok, kita bisa menuntut Ahok untuk setiap hari meminta maaf kepada umat Islam di media massa selama setahun penuh.

            Mengenai adanya penghinaan dalam kata-kata Ahok, baik secara bahasa Indonesia maupun tafsir, sebenarnya debatable. Di antara ahli Islam sendiri terdapat perbedaan pandangan mengenai QS Al Maidaah : 51 sebagaimana yang disampaikan Kapolri Tito Karnavian. Sebaiknya, perbedaan pemahaman terhadap ayat ini diselesaikan di kelas-kelas kuliah atau di ruang-ruang pengkajian Islam dan bukan di pengadilan. Dengan masuknya kasus dugaan penistaan ini ke ruang pengadilan, sesungguhnya, saya sebagai orang Islam merasa malu sekaligus marah. Hal itu disebabkan dengan masuknya kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok ke ruang pengadilan ini sama artinya dengan menyerahkan kebenaran pemahaman mengenai QS Al Maidaah : 51 ke tangan hakim dan bukan ke tangan para ahli Islam yang jujur. Keputusan hakim bisa menentukan arah pemahaman QS Al Maidaah : 51. Artinya, jika Ahok dinyatakan tidak bersalah, QS Al Maidaah : 51 secara hukum dinyatakan “sama sekali tidak terkait dengan pemilihan pemimpin” dan setiap orang yang pernah menggunakan ayat ini untuk pemilihan pemimpin dinyatakan salah secara hukum. Sebaliknya, jika Ahok dinyatakan bersalah, QS Al Maidaah : 51 akan berpotensi untuk terus digunakan dalam meraih kepemimpinan di Indonesia ini, berkualitas atau tidak calon pemimpin, yang penting Islam. Hal ini pun akan membuat kebingungan umat Islam pada wilayah-wilayah tempat umat Islam sebagai minoritas dan tidak memiliki calon pemimpin yang siap memimpin. Jadi, penafsiran dan pemahaman mengenai QS Al Maidaah : 51 akan sangat dipengaruhi oleh hakim. Keputusan hakimlah yang menentukan arah pemahaman QS Al Maidaah : 51 dan bukan hasil diskusi, penelitian, penelaahan, dan pengkajian para ahli Islam yang jujur dan jernih hati.  Para ahli Islam dari pihak Jaksa Penuntut Umum mungkin akan mengatakan bahwa QS Al Maidaah : 51 adalah memang ayat yang harus digunakan umat Islam dalam memilih pemimpin sehingga Ahok memang bersalah. Akan tetapi, para ahli Islam dari pihak pembela mungkin akan bersikeras bahwa ayat itu tidak berkaitan dengan pemilihan pemimpin sehingga Ahok tidak bersalah. Pada akhirnya, kedua pandangan yang berbeda itu harus tunduk kepada keputusan hakim. Artinya, salah satu pandangan dari kedua kubu para ahli itu harus dinyatakan salah oleh hakim.

            Sungguh, saya pribadi merasa malu dengan hal itu. Para ahli Islam harus tunduk kepada hakim mengenai penafsiran ayat-ayat Al Quran. Padahal, seharusnya para hakimlah yang harus belajar banyak dari para ahli Islam.

            Sungguh, Allah swt memperhatikan kita. Allah swt akan sangat marah dan pasti menghukum dengan keras orang-orang yang secara salah memberikan arti terhadap firman-Nya yang sangat luhur dan mulia. Apalagi jika mengartikan ayat tersebut hanya untuk mendapatkan kepentingan politik dan ekonomi dan bukan untuk mendapatkan keridhoan Allah swt dengan cara memuliakan manusia dan kemanusiaan serta menebarkan cinta, kasih, dan perdamaian. Allah swt sangat mampu menjatuhkan bencana kepada seseorang, sekelompok orang, bahkan sebuah bangsa jika sudah marah karena petunjuk-Nya yang suci dijadikan bahan persengketaan.

            Sebagaimana yang tadi saya sampaikan bahwa saya berkhayal bahwa kasus seperti ini bisa diselesaikan sebagaimana orang Sunda meredam kemarahan terhadap Rizieq. Beri peringatan Ahok untuk tidak mengulanginya lagi. Suruh dia meminta maaf setiap hari selama satu tahun. Selesaikan perbedaan pemahaman mengenai QS Al Maidaah : 51 oleh para ahli Islam. Biarkan para ahli Islam berdebat dan berlelah-lelah hingga mendapatkan pemahaman yang sama karena ayat itu diucapkan oleh Zat Yang Sama, Allah swt.

            Saya sangat setuju dengan apa yang dikatakan Boy Rafli Amar bahwa setiap permasalahan yang terjadi di masyarakat tidak harus semuanya berakhir di kepolisian. Masyarakat bisa menyelesaikannya sendiri dengan cara-cara yang bijak dan mencerahkan.

            Indonesia harus belajar dari urang Sunda yang telah mengerem kemarahan sehingga situasi tetap damai, tenang, bersatu, dan tidak menimbulkan potensi konflik di tengah masyarakat. Sungguh, Allah swt menginginkan kasih sayang dan perdamaian di muka Bumi ini. Kitalah yang harus menjadi wakil-Nya dalam menebar cinta kasih damai di seluruh penjuru muka Bumi. Demi Allah swt.

Friday 23 December 2016

Membuat Wacana dengan Sumber yang Jelas

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Pada pertemuan ketiga belas, baik dengan mahasiswa regular maupun nonreguler Fisip, Universitas Al Ghifari, Bandung, saya merasa berkewajiban memberikan arahan kepada mereka mengenai cara-cara membuat kerangka karangan untuk memudahkan mereka menyusun wacana dalam rangka mencurahkkan gagasan-gagasan mereka ke dalam bentuk tulisan. Di samping memberikan arahan mengenai teknik-teknik membuat kerangka karangan, juga memberikan kesadaran agar mahasiswa dapat menulis sesuatu dengan data-data yang akurat, benar, dan bisa dipertanggungjawabkan. Mereka harus belajar menulis yang benar dan jelas berdasarkan fakta dan bukti, bukan berdasarkan dugaan atau perkiraan yang kemudian diklaim sebagai kebenaran

            Hal-hal tersebut saya ajarkan karena generasi muda sekarang sangat akrab dengan media sosial. Mereka akan sangat mudah menuliskan gagasan ke dalam media sosial. Itu sangat bagus, tetapi harus diarahkan untuk menulis sesuatu yang benar dan tidak menyesatkan, baik menyesatkan diri sendiri maupun menyesatkan orang lain. Demikian pula ketika mereka membaca tulisan orang lain. Mereka harus pandai menilai apakah tulisan-tulisan yang beredar di Medsos itu memiliki dasar yang benar, data yang jelas, dan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan atau hanya sekedar tulisan-tulisan tak bernilai yang hanya didasarkan pada kebencian terhadap seseorang atau sekelompok orang, bahkan didasarkan pada keinginan untuk membuat kebingungan di tengah masyarakat.

            Sebagai mahasiswa, mereka harus kritis dan mampu menilai segala sesuatu hal. Akan tetapi, mereka tidak boleh melakukan fitnah, kebohongan, dan kerusakan pikiran di tengah masyarakat.

            Saya mencontohkan bahwa saya sendiri pernah diajak berdiskusi oleh seorang calon doktor. Saya sungguh bingung dengan kandidat doktor tersebut karena  berbicara berdasarkan khayalannya saja tanpa ada dasar pijakan yang jelas dalam arti tidak memiliki data dan fakta. Dia hanya menduga-duga berdasarkan imajinasinya sendiri. Saya menganggap pandangan dia sangat berbahaya jika dipercaya oleh masyarakat.

            Begini diskusi saya dengan Sang Kandidat Doktor itu. Sebaiknya, saya gunakan inisial KD (Kandidat Doktor) untuk dia.

            KD      : Kang, tahu tidak bahwa harta Setya Novanto itu berdasarkan dari korupsi APBN?

            Saya   : Oh, ya? Dari mana kamu tahu Setya Novanto korupsi APBN?

            KD      : Itu pendapat saya, penilaian saya.

         Saya   : Mengapa Setya Novanto tidak ditangkap oleh KPK kalau sudah tahu korupsi?

            KD      : KPK tidak berani menangkapnya.

            Saya   : Kalau KPK tidak berani menangkap, negeri kita sudah rusak dong?

            KD      : Iya, memang kita sudah rusak.

            Saya   : Kalau begitu, siapa yang salah?

         KD      : KPK tidak berani menangkap karena Setya Novanto adalah orangnya Jokowi.

            Saya   : Jadi, Jokowi yang salah?

            KD      : Iya.

            Saya   : Bukankah KPK itu orang-orang yang sudah melalui tes di DPR? Bukankah DPR yang merekomendasikan orang-orang yang duduk di KPK?

            KD      : ……

            Saya   : Kalau kinerja KPK buruk, seharusnya yang disalahkan adalah DPR, bukan Jokowi. DPR harus bertanggung jawab karena telah merekomendasikan orang-orang yang berkinerja buruk.

           KD      : …….

         Saya   : Jangan terlalu percaya gosip yang bisa merusakkan hubungan di antara rakyat. Kita harus lihat Timur Tengah, rakyat di sana diadudomba. Ketika mereka bertengkar, pihak asing masuk untuk menguasai sumber daya alam dan sumber daya manusia di sana. Maukah kita seperti mereka? Diadudomba, bertengkar, lalu pihak asing masuk dengan dalih mengupayakan perdamaian?

            KD      : Tidak mungkin pihak asing masuk.

            Saya   : Mengapa tidak mungkin? Apa dasar ketidakmungkinan itu?

            KD      : Pokoknya, ini gara-gara Ahok. Harusnya Ahok ditahan, dihukum. Persoalan pun selesai.


            Saudara pembaca bisa menilai bagaimana percakapan saya dengan Sang Kandidat Doktor itu. Dia mengatakan bahwa Setya Novanto korupsi dana APBN berdasarkan dugaan dan kira-kira, tanpa ada data dan bukti. Diapun menyalahkan KPK yang tidak berani menangkap Setya Novanto karena Setya Novanto disebutnya orang Jokowi. Itu pun tak ada bukti. Lalu, dia menyalahkan segalanya kepada Ahok atau Basuki Tjahaya Purnama. Benar-benar pendapat yang sangat tidak bermanfaat. Calon doktor kok bicaranya seperti itu. Oleh sebab itu, saya bagi pengalaman seperti itu kepada para mahasiswa agar para mahasiswa mendapatkan banyak pelajaran dan tidak meniru Sang Kandidat Doktor itu. Para mahasiswa harus cerdas dan mampu menilai lebih baik mana yang benar dan salah, baik dan buruk.

           Sebetulnya, banyak yang dia bicarakan, termasuk Gatot Nurmantyo akan mengudeta Jokowi dan Jokowi membenci Gatot Nurmantyo. Semua yang dibicarakannya sama sekali tidak ada dasarnya dan sama sekali tidak masuk akal karena tak ada data dan buktinya. Sayang sekali akademisi berbicara tanpa dasar yang jelas seperti itu.

            Bagaimana dia bisa menjadi contoh bagi generasi muda kalau tidak bisa berbicara yang bernilai?


            Pada pertemuan ketigabelas dengan mahasiswa Fisip Universitas Al Ghifari Bandung itu, saya berusaha memberikan pengajaran di samping teknik membuat kerangka karangan untuk membuat wacana yang baik, juga menekankan agar jika membuat tulisan harus dengan data, fakta, dan bukti yang benar dan jelas, bukan menulis sesuatu yang nilainya seperti orang yang sedang menguap. Tak jelas dan tidak bermanfaat. Pada pertemuan itu perkuliahan direkam oleh seorang mahasiswa. Sayang, tidak tercover semuanya karena baterai kameranya keburu habis, tetapi lumayanlah untuk berbagi pengalaman dengan pembaca semua.