oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Banjir di Kabupaten Bandung
selalu terjadi setiap tahun di situ-situ saja. Artinya, semua orang tahu bahwa
di wilayah itu kerap terjadi banjir. Anehnya, seperti dinikmati terus-menerus, tak
ada perbaikan. Cirinya, tahun-tahun lalu banjir, sekarang masih banjir lagi. Semestinya,
kalau sudah terjadi banjir satu kali, tahun berikutnya saat musim penghujan
tiba, tak perlu lagi ada banjir karena sudah ada perhatian dan perbaikan. Akan
tetapi, di area itu selalu terjadi banjir berulang-ulang.
Kalau Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi “Bapak Aing”, mengomentari
dan merencanakan hal-hal besar untuk ukuran provinsi dalam menangani banjir di
Kabupaten Bandung, saya sebagai pengguna jalan melihat hal-hal kecil yang
berakibat fatal. Semua warga Kabupaten Bandung yang tinggal di seputar atau
dekat dengan pusat pemerintahan Kabupaten Bandung pasti tahu dan merasakan
banjir yang sangat mengganggu itu. Lalu lintas macet, mobil tidak bisa bergerak
hingga mengular tembus ke wilayah Kota Bandung, motor banyak yang mogok, polisi
ikut-ikutan repot mengurusi lalu lintas akibat banjir yang sebetulnya sudah
harus tidak terjadi lagi itu. Berjam-jam waktu terbuang berada di jalanan yang
akibatnya menguras energi yang seharusnya tidak perlu.
Saya melihat banjir itu banyak disebabkan saluran air
yang tidak berfungsi maksimal. Saluran air sudah banyak sampah, ditumbuhi
rumput dan tanaman liar, bahkan tidak mengalirkan air, air hanya menggenang
tidak bergerak. Gorong-gorong tampaknya macet karena tidak tampak air yang
mengalir, air hujan justru mengalir di jalanan. Bahkan, ada selokan yang hanya
mengalirkan air sedikit, sementara air besar tumpah di jalanan yang bisa
menenggelamkan kendaraan bermotor. Itu artinya tidak ada pemeliharan dan
perbaikan saluran air untuk pembuangan. Jelas terjadi penyumbatan saluran air,
baik oleh sampah, tanaman liar, atau bangunan liar tak berizin.
Di samping itu, bangunan-bangunan di pinggir jalan, baik
itu pertokoan, kantor, maupun rumah pribadi menggunakan beton untuk menutupi
saluran air sebagai jembatan. Hal itu membuat orang tidak bisa mengontrol
saluran air. Bisa saja di bawah beton itu dipenuhi sampah atau lumpur hingga
membuat air macet dan pasti kotor karena setelah jejeran beton itu,tidak tampak
air mengalir. Ada juga saluran air yang sudah tidak berfungsi karena tertimbun
tanah yang kemudian ditumbuhi rumput liar. Bagusnya, dikeluarkan Perda ataupun
Perbup atau apa pun itu untuk melarang warga dan siapa pun menggunakan beton sebagai
jembatan untuk menutupi selokan. Semua orang hanya diperbolehkan menggunakan
jembatan besi mirip pagar yang bisa diangkat agar selokan bisa dikontrol dan dibersihkan.
Tampaknya konsep pentahelix sekedar omon-omon dalam
urusan banjir di Kabupaten Bandung ini. Seharusnya, pemerintah, masyarakat,
dunia usaha, akademisi, dan media berupaya keras mengatasi banjir ini sehingga
tidak perlu lagi terjadi dan hidup masyarakat lebih berkualitas.
Masih mau dinikmati banjir langganan tahunan ini di dekat
pemerintahan Kabupaten Bandung?
Saya sengaja tidak menampilkan ilustrasi dalam tulisan ini
karena para netizen Kabupaten Bandung sudah banyak yang menguploadnya, baik
berupa foto maupun video. Semakin banyak warga yang menyuarakan dan menayangkan
konten-konten hasil karyanya terkait banjir di Kabupaten Bandung ini, mudah-mudahan
pihak terkait lebih cepat mengambil tindakan untuk mengatasinya.
Sampurasun.