Wednesday, 24 September 2025

Jangan Marah Kalau MBG Dikritik

 


oleh Tom FInaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Program MBG adalah rencana kerja yang sangat baik bagi rakyat Indonesia. Adalah hal yang aneh jika ada yang tidak menyetujui rakyat Indonesia diberi makan gratis.

            Hal yang menjadi masalah adalah dalam pelaksanaan program tersebut. Sejak awal sudah banyak kritikan yang dipicu oleh para siswa yang mengonsumsi MBG. Ada yang mengatakan tidak enak, lama datangnya, dan lain sebagainya. Kritikan-kritikan itu mendapat tanggapan dari pendukung pemerintah atau dari pemerintahnya sendiri. Seolah-olah mereka yang mengkritik adalah orang-orang yang tidak berterima kasih. Istilahnya, sudah dikasih makan, belagu tidak bersyukur.


Makan Bergizi Gratis (Foto: ANTARA News)

            “Kalian ini kenapa? Saya saja makan nasi kotak murah sudah bersyukur. Kalian dikasih makan gratis tidak bersyukur!”

            Ada pendukung pemerintah yang berbicara seperti itu, bahkan lebih kasar. Seharusnya, kritikan-kritikan itu diperhatikan, lalu dievaluasi sehingga ada perbaikan ke depannya.

            Saya sendiri mendengar langsung dari siswa sekolah tertentu yang mengatakan, “Sayurnya masam. Cuma jeruk dan susu aja yang enak.”

            Malahan ada siswa yang memilih tidak makan MBG. Mereka lebih baik jajan atau memakan bekalnya yang dibawa dari rumah.

            Sekarang malahan semakin parah, banyak yang keracunan setelah mengonsumsi MBG. Bahkan, orangtua siswa di Kabupaten Bandung Barat meminta agar program MBG dihentikan karena membahayakan. Miris memang program yang sangat baik menjadi program yang dianggap berbahaya. Ini sudah menurunkan kepercayaan rakyat terhadap program itu.

            Bupati Bandung Barat Jeje menjelaskan bahwa dapur untuk memasaknya tidak higienis. Hal ini bisa dipahami, tetapi kurang masuk akal juga. Sangat banyak dapur yang tidak higienis yang dimiliki rakyat untuk membuat jajanan seperti seblak, bajigur, bala-bala, mie, ataupun pisang goreng, tetapi tidak menimbulkan keracunan masal sampai ada yang kejang-kejang.

            Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menjelaskan bahwa keracunan itu ditimbulkan oleh jarak waktu dari memasak makanannya sampai dengan dibagikannya terlalu lama sehingga makanan bisa basi. Itu juga bisa dipahami, tetapi harus diteliti lebih jauh. Banyak siswa yang membawa bekal dari rumah subuh, dimakan siang hari, baik-baik saja, tidak keracunan.

            Saya sendiri bertanya-tanya dari mana bahan-bahan makanan itu berasal?

            Kapan dibelinya?

            Apakah masih segar?

            Bagaimana prosesnya? Siapa yang masak? Di mana? Bagaimana pengemasannya?

            Saya sering melihat mobil pikup di jalan tol yang dikemudikan seperti kesetanan, ngebut luar biasa. Saya kenal beberapa sopir kesetanan seperti itu. Mereka sangat ngebut karena mengejar waktu agar sayuran yang dijual di pasar tetap segar, tidak layu, dan tidak busuk sehingga masih punya nilai jual tinggi. Hal ini berarti ada bahan makanan yang hanya dalam waktu beberapa jam sejak dipanen bisa langsung busuk dan membahayakan untuk dikonsumsi.

            Sebaiknya untuk daerah-daerah kabupaten yang masih banyak kebun, dapur MBG membeli bahan-bahan dari masyarakat sekitar. Misalnya, tempat tinggal saya masih dikelilingi kebun penduduk, ada kebun sosin, mentimun, cabe, tomat, ada juga yang punya kolam ikan. Saya juga punya kolam ikan kecil yang cukup untuk menampung seribu ikan. Dengan demikian, bahan makanan lebih segar, lebih murah, masyarakat lebih meningkat ekonominya, dan anak-anak muda punya kegiatan ekonomi sebagai pekerjaannya. Tidak perlu mencari kontraktor pengadaan bahan makanan dari tempat yang jauh.

            Untuk daerah perkotaan, beli bahan makanan dari kabupaten terdekat. Di samping lebih cepat, juga makanannya akan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.

            Untuk tenaga pemasak, libatkan orangtua siswa, ibu-ibu yang tidak memiliki aktivitas pekerjaan di luar rumah. Dengan demikian, mereka akan memasak untuk anak-anaknya sendiri dan lingkungannya. Mereka akan punya lebih banyak cinta ketika memasak dan bukan didorong oleh motif bisnis semata.

            Pemerintah dan pendukungnya jangan marah kalau program MBG dikritik, jangan lagi bilang tidak bersyukur dikasih makan.

            Memangnya, siapa yang akan bersyukur jika anak-anaknya keracunan?

            Sebaiknya kritikan itu dianggap masukan untuk mendorong program MBG semakin baik dan berhasil mewujudkan generasi muda yang sehat dan cerdas berpikir.

            Ilustrasi makanan dalam MBG saya dapatkan dar ANTARA News.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment