Wednesday 18 April 2012

Fastabiqul Khoirot ... Katanya

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Beragam cara dan pendapat digunakan untuk melakukan pembenaran terhadap sistem politik demokrasi yang sesungguhnya bejat dan memalukan umat manusia. Orang-orang berlelah-lelah mencari alasan untuk memperkuat dugaan bahwa demokrasi adalah sistem politik terbaik. Di samping itu, mereka menutup rapat telinga, mata, dan hati terhadap kerusakan sistem politik demokrasi. Mereka adalah orang-orang yang masih gemar mengikuti produk-produk pemikiran barat dan merasa diri sudah cerdas dengan mengekor pendapat orang-orang kapitalis.
 
            Yang lebih menyedihkan sekaligus memuakkan adalah mereka menggunakan ajaran Islam untuk mempertahankan demokrasi. Padahal, demokrasi itu adalah penghinaan terhadap manusia, pelecehan terhadap Islam, lebih jauhnya pembangkangan terhadap Allah swt. Nggak percaya? Coba pelajari lagi itu Islam dan keinginan Allah swt terhadap manusia. Dalam Islam, dalam Al Quran, banyak keterangan yang mengisyaratkan bahwa sesungguhnya manusia itu kebanyakan tidak beriman, gemar membantah, berpikiran jahil, jauh dari kebenaran, menolak kebaikan, sering melakukan keburukan, dan lain sebagainya yang menunjukkan bahwa kelompok yang tidak benar itu jumlahnya lebih banyak daripada orang-orang yang benar. Semua manusia di muka Bumi ini pasti sepakat bahwa hanya sekelompok kecil manusia yang beriman, mampu taat, cerdas, dan memiliki kualitas unggulan. Akan tetapi, dengan demokrasi, kehidupan manusia diserahkan kepada pendapat terbanyak dari manusia, padahal kebanyakan manusia itu tidak benar, tidak baik, bodoh, dan tidak beriman. Bukankah itu merupakan pembangkangan terhadap Allah swt yang diakibatkan ketololan manusia? Kemudian, kita diharuskan untuk mematuhi undang-undang atau seabrek peraturan hasil dari pendapat terbanyak manusia yang nggak jelas kualitasnya itu? Masyaallah, kekusutan pikiran ini sudah sedemikian parah.

            Salah satu ajaran Islam yang dijadikan dalil pembenaran demokrasi adalah kalimat fastabiqul khoirot, ‘berlomba-lomba dalam kebaikan’. Mereka sering mengartikannya dengan bersaing dalam kebaikan. Kata bersaing itulah yang dijadikan alasan bahwa demokrasi disahkan dalam ajaran Islam. Hanya satu kata itulah yang dijadikan pegangan mereka, bahkan juga mungkin Anda yang sedang membaca tulisan ini. Padahal, sesungguhnya bersaing dalam kebaikan tidak boleh dipotong-potong kata-katanya karena merupakan sebuah frasa. Frasa itu artinya adalah gabungan kata yang memiliki sebuah arti yang jika dipotong-potong akan memiliki arti berbeda dari gabungan kata itu. Misalnya, duh, jadi ngajarin bahasa Indonesia, nih. Misalnya, sapu tangan. Gabungan kata itu adalah frasa yang jelas memiliki arti khusus. Artinya, jika dipotong satu kata, sapu, akan berbeda artinya dengan sapu tangan. Demikian pula jika diambil hanya kata tangan, berbeda dengan sapu tangan. Hal itu terjadi pula pada bersaing dalam kebaikan. Kata bersaing atau kata kebaikan saja akan memiliki makna yang jauh dari bersaing dalam kebaikan.

            Kata bersaing memang sangat erat dan lekat dengan sistem politik demokrasi. Itu tidaklah salah. Akan tetapi, kebaikan? Kata itu sangat jauh dari demokrasi yang sesat-menyesatkan dan merupakan sumber keburukan bagi hidup manusia. Di mana baiknya demokrasi? Iyalah, okelah, baiklah, demokrasi memberikan kebebasan manusia untuk berpendapat, berorganisasi, bersikap, dan lain sebagainya. Akan tetapi, kebebasan semacam itu bukan hanya milik demokrasi. Hanya orang-orang kurang pengetahuan yang berpendapat bahwa kebebasan itu hanya milik demokrasi. Artinya, mereka berpendapat bahwa kalau tidak demokrasi, berarti tak ada kebebasan. Pendapat itu disebabkan kurangnya pengetahuan yang dimiliki, mental kerdil, dan hobi mengikuti pikiran orang-orang kapitalis. Saya kasih tahu bahwa ajaran Islam memberikan kebebasan yang sangat luas untuk berpendapat, bersikap, berorganisasi, dan menyalurkan aspirasi, bahkan protes sekalipun. Saya kasih tahu lagi bahwa ajaran leluhur kita memberikan keluasan berekspresi agar kita mampu bergotong royong, hidup harmonis, seiya-sekata untuk mencapai kemakmuran bersama. Itulah yang dijadikan dasar negeri ini, Pancasila. Ngerti kan? Kalau nggak ngerti, kalian bego!
    
            Kalaulah ada orang yang mengatakan jika tidak demokratis berarti tirani, itu benar. Akan tetapi, itu bukan pengalaman hidup bangsa Indonesia. Itu adalah pengalaman hidup orang-orang Eropa, barat. Mereka ingin demokrasi karena terkekang para raja dan pendeta yang sewenang-wenang menyakiti rakyat. Di Indonesia tak ada raja dan ulama yang menyakiti dan membuat keburukan terhadap rakyat. Coba baca sejarah. Di negeri ini para raja dan ahli agama bahu-membahu membangun masyarakat agar hidup seimbang dalam kemakmuran duniawi dan kemewahan ukhrowi. Perhatikan sejarah masa lalu yang penuh keemasan itu, masa sebelum VOC datang ke negeri ini. Kalaulah para raja dan ahli agama di negeri ini melakukan kejahatan, itu benar terjadi, tetapi setelah kehadiran VOC, setelah bergaul dengan para penjajah rakus itu. Artinya, kejahatan dan kekisruhan mulai terjadi sejak adanya interaksi dengan orang-orang yang pikirannya disibukkan oleh hal-hal materialistis.

            Kembali ke soal fastabiqul khoirot. Berlomba-lomba atau bersaing yang dimaksud Islam itu adalah dalam hal kebaikan. Misalnya, mengapa orang lain bisa bersedekah 10.000 rupiah setiap jumat, sedangkan kita hanya 500 rupiah? Mengapa orang lain bersedih hati karena terlambat shalat tahajud satu malam, sedangkan kita bangga baru bisa shalat tahajud satu kali? Mengapa orang lain bisa memelihara banyak anak yatim hingga dianggap sebagai anak sendiri, sedangkan kita selalu ketakutan kekurangan harta benda? Mengapa orang lain bisa memberikan pengajaran secara cuma-cuma, sedangkan kita harus selalu ingin dibayar? Mengapa orang lain bisa menyantuni fakir miskin, sedangkan kita selalu berpura-pura banyak urusan? Mengapa orang lain mampu menyisihkan hartanya untuk orang banyak tanpa ingin dipuji, sedangkan kita memberikan sumbangan dengan harapan dipuji dan disanjung orang? Mengapa orang lain bisa mempermudah urusan orang lain, sedangkan kita sering mempersulit orang lain? Mengapa orang lain mampu berbahasa manis, bertutur kata lembut, sedangkan lidah kita sering menyakiti orang lain? Mengapa orang lain mampu memberikan bantuan kepada sesama agar orang yang dibantunya mampu hidup mandiri, sedangkan kita membantu orang hanya agar orang itu hidupnya selalu tergantung kepada kita? Mengapa orang lain luas hatinya sepulang dari Mekah menunaikan ibadat haji tidak ingin menggunakan gelar haji atau hajjah, sedangkan kita selalu ingin disebut haji atau hajjah? Mengapa orang lain mampu melakukan ribuan kebaikan tanpa diketahui orang lain, sedangkan kita baru melakukan kebaikan tak seberapa saja selalu ingin diumumkan? Mengapa orang lain mampu memberikan jalan keluar bagi orang banyak tanpa ingin diangkat menjadi pejabat, sedangkan kita berupaya baik kepada orang lain dengan uang hasil ngutang sana-ngutang sini berharap menjadi pejabat? Mengapa orang lain berbuat baik tanpa ingin wajahnya dipampang di spanduk, poster, atau baligo, sedangkan kita belum berbuat baik saja wajahnya sudah ditempel pada berbagai kertas dan kain dengan janji yang muluk-muluk di setiap tikungan jalan, bahkan di kuburan? Pendek kata, bersaing dalam kebaikan itu adalah berlomba-lomba untuk berbuat baik dengan tujuan mendekatkan diri dan menggapai rasa senang Allah swt.

            Fastabiqul khoirot itu bertentangan dengan demokrasi. Bagaimana mungkin disebut bersaing dalam kebaikan jika kampanye penuh dusta, money politics, black campaigne, janji palsu, korupsi, ngutang sana-sini, jual janji sama perusahaan asing, menggadaikan bangsa, mempermainkan hukum, bersitegang sesama bangsa sendiri, bertengkar rebutan jabatan, curang, sandera-menyandera kepentingan, manipulasi data dan fakta, menggerakkan massa untuk membuat dan memperluas huru-hara, menjual murah sumber daya alam pada pihak kapitalis, menggunakan agama sebagai kedok, saling menyombongkan diri, membela teman yang salah karena satu partai, menipu rakyat kecil, memeras orang miskin, dan rupa-rupa keburukan demokrasi lainnya. Bagaimana bisa hal-hal serupa itu disebut kebaikan?

            Goblok itu orang yang menyandarkan demokrasi pada kalimat fastabiqul khoirot. Sebentar lagi jika tidak segera sadar, pikiran orang seperti itu akan dipenuhi oleh berbagai hal jahat yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Pasti.

No comments:

Post a Comment