oleh
Tom FInaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Program MBG adalah rencana
kerja yang sangat baik bagi rakyat Indonesia. Adalah hal yang aneh jika ada
yang tidak menyetujui rakyat Indonesia diberi makan gratis.
Hal yang menjadi masalah adalah dalam pelaksanaan program
tersebut. Sejak awal sudah banyak kritikan yang dipicu oleh para siswa yang
mengonsumsi MBG. Ada yang mengatakan tidak enak, lama datangnya, dan lain
sebagainya. Kritikan-kritikan itu mendapat tanggapan dari pendukung pemerintah
atau dari pemerintahnya sendiri. Seolah-olah mereka yang mengkritik adalah
orang-orang yang tidak berterima kasih. Istilahnya, sudah dikasih makan, belagu
tidak bersyukur.
![]() |
Makan Bergizi Gratis (Foto: ANTARA News) |
“Kalian ini kenapa? Saya saja makan nasi kotak murah
sudah bersyukur. Kalian dikasih makan gratis tidak bersyukur!”
Ada pendukung pemerintah yang berbicara seperti itu, bahkan
lebih kasar. Seharusnya, kritikan-kritikan itu diperhatikan, lalu dievaluasi
sehingga ada perbaikan ke depannya.
Saya sendiri mendengar langsung dari siswa sekolah
tertentu yang mengatakan, “Sayurnya masam. Cuma jeruk dan susu aja yang enak.”
Malahan ada siswa yang memilih tidak makan MBG. Mereka
lebih baik jajan atau memakan bekalnya yang dibawa dari rumah.
Sekarang malahan semakin parah, banyak yang keracunan
setelah mengonsumsi MBG. Bahkan, orangtua siswa di Kabupaten Bandung Barat
meminta agar program MBG dihentikan karena membahayakan. Miris memang program
yang sangat baik menjadi program yang dianggap berbahaya. Ini sudah menurunkan
kepercayaan rakyat terhadap program itu.
Bupati Bandung Barat Jeje menjelaskan bahwa dapur untuk
memasaknya tidak higienis. Hal ini bisa dipahami, tetapi kurang masuk akal juga.
Sangat banyak dapur yang tidak higienis yang dimiliki rakyat untuk membuat
jajanan seperti seblak, bajigur, bala-bala, mie, ataupun pisang goreng, tetapi
tidak menimbulkan keracunan masal sampai ada yang kejang-kejang.
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menjelaskan bahwa
keracunan itu ditimbulkan oleh jarak waktu dari memasak makanannya sampai dengan
dibagikannya terlalu lama sehingga makanan bisa basi. Itu juga bisa dipahami,
tetapi harus diteliti lebih jauh. Banyak siswa yang membawa bekal dari rumah
subuh, dimakan siang hari, baik-baik saja, tidak keracunan.
Saya sendiri bertanya-tanya dari mana bahan-bahan makanan
itu berasal?
Kapan dibelinya?
Apakah masih segar?
Bagaimana prosesnya? Siapa yang masak? Di mana? Bagaimana
pengemasannya?
Saya sering melihat mobil pikup di jalan tol yang dikemudikan
seperti kesetanan, ngebut luar biasa. Saya kenal beberapa sopir kesetanan seperti
itu. Mereka sangat ngebut karena mengejar waktu agar sayuran yang dijual di
pasar tetap segar, tidak layu, dan tidak busuk sehingga masih punya nilai jual
tinggi. Hal ini berarti ada bahan makanan yang hanya dalam waktu beberapa jam sejak
dipanen bisa langsung busuk dan membahayakan untuk dikonsumsi.
Sebaiknya untuk daerah-daerah kabupaten yang masih banyak
kebun, dapur MBG membeli bahan-bahan dari masyarakat sekitar. Misalnya, tempat
tinggal saya masih dikelilingi kebun penduduk, ada kebun sosin, mentimun, cabe,
tomat, ada juga yang punya kolam ikan. Saya juga punya kolam ikan kecil yang
cukup untuk menampung seribu ikan. Dengan demikian, bahan makanan lebih segar,
lebih murah, masyarakat lebih meningkat ekonominya, dan anak-anak muda punya
kegiatan ekonomi sebagai pekerjaannya. Tidak perlu mencari kontraktor pengadaan
bahan makanan dari tempat yang jauh.
Untuk daerah perkotaan, beli bahan makanan dari kabupaten
terdekat. Di samping lebih cepat, juga makanannya akan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat setempat.
Untuk tenaga pemasak, libatkan orangtua siswa, ibu-ibu
yang tidak memiliki aktivitas pekerjaan di luar rumah. Dengan demikian, mereka
akan memasak untuk anak-anaknya sendiri dan lingkungannya. Mereka akan punya lebih
banyak cinta ketika memasak dan bukan didorong oleh motif bisnis semata.
Pemerintah dan pendukungnya jangan marah kalau program
MBG dikritik, jangan lagi bilang tidak bersyukur dikasih makan.
Memangnya, siapa yang akan bersyukur jika anak-anaknya
keracunan?
Sebaiknya kritikan itu dianggap masukan untuk mendorong program
MBG semakin baik dan berhasil mewujudkan generasi muda yang sehat dan cerdas
berpikir.
Ilustrasi makanan dalam MBG saya dapatkan dar ANTARA
News.
Sampurasun.