oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Keyakinan orang-orang
atas kehebatan demokrasi sudah menjadi-jadi, keterlaluan sekali, berlebihan
sehingga orang tidak mau dan tidak mampu lagi berpikir untuk merancang atau
menggagas sistem politik yang lebih hebat daripada demokrasi. Mereka yakin
seyakin-yakinnya hingga ke dalam Qolbu bahwa demokrasi itu sistem politik
terhebat yang tak ada bandingannya.
Itu adalah keyakinan
aneh yang menggelikan. Hal itu disebabkan demokrasi sudah menunjukkan jati
dirinya membuat manusia menjadi keruh lahirnya dan sumpek batinnya. Demokrasi
itu cuma alat yang sudah rusak parah, barang rongsokan yang harus segera
dibuang. Kalau tidak dibuang, kita bakalan kusut samut selama-lamanya.
Karena yakin terhadap
demokrasi yang rongsokan itu, hampir semua orang jadi bloon. Lihat saja
sekarang. Orang-orang ribut tentang sistem pemilihan kepala daerah. Ada yang
ingin langsung, ada pula yang ingin tidak langsung alias dipilih oleh DPRD. Itu
kan jadi lucu. Dulu kita pakai sistem pemilihan tidak langsung, lalu karena
banyak keburukannya, diganti pake sistem pemilihan langsung. Sekarang pengen
diganti lagi dengan pemilihan tidak langsung. Kan itu kayak setrikaan yang
bolak-balik nggak ada ujungnya. Soal alasan ataupun dalil tentang pemilihan
langsung ataupun tidak langsung, itu mah bisa dibikin dan dirancang
sebaik-baiknya. Kedua pihak yang berseteru pun punya alasan-alasan yang logis.
Akan tetapi, bagaimanapun juga kelakuan seperti itu tetap saja kayak setrikaan,
bolak-balik-blekok.
Itulah yang saya maksud
bahwa demokrasi itu bikin orang jadi bodoh. Mereka tetap kukuh menggunakan
demokrasi, tetapi ribut di dalam demokrasi itu. Alasannya adalah supaya
demokrasi menjadi maju, bermartabat, meningkat, berkembang, logis, ... bla ...
bla ... bla ... pret!
Demokrasi yang
bermartabat itu yang bagaimana? Yang berkembang, logis, dan meningkat itu yang
bagaimana?
Pernah terjadi di
negara mana?
Perrnah sih, tetapi cuma
dalam mimpi, khayalan, lamunan. Melak
sugan dina lamunan diceboran ku boa-boa nu buahna leubeut ku meureun, ‘menanam
benih coba-coba di tanah khayalan disirami air mungkin yang ranum oleh buah
siapa tahu’.
Ayah saya dulu pernah
ngajarin saya dalam bahasa Sunda, yaitu ulah
kurung batokkeun, ‘jangan terkurung dalam batok kelapa’. Nah, demokrasi itu
adalah batok kelapa. Kita terkurung atau mengurung diri dalam batok demokrasi
itu. Akibatnya, kita jadi bodoh, terpenjara oleh pikiran dan perilaku kita
sendiri. Terus saja berputar-putar di dalam batok kelapa yang gelap dan
menyulitkan itu.
Coba kita kreatif, keluar dari batok demokrasi itu, niscaya
kita akan menemukan banyak hal. Pasti kita akan menemukan jalan keluar yang
menyenangkan karena kehidupan ini berkembang dari zaman ke zaman dan setiap
zaman membawa masalah sekaligus penyelesaiannya sendiri. Coba keluar dari
perangkap demokrasi, hirup udara segar di luar batok demokrasi, ada banyak
keindahan di luar sana.
Apa? Mau bikin negara
otoriter?
Ngaco!
Mau bikin Negara Islam?
Negara Islam itu apa? Bagaimana?
Gak jelas!
Indonesia sudah dianugerahi
Pancasila dan tujuan berbangsa dengan sangat jelas, yaitu mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya. Utuh itu adalah makmur
lahirnya dan makmur batinnya.
Cari cara bagaimana
kita bisa melaksanakan Pancasila tanpa harus menggunakan demokrasi. Itu yang terpenting.
Daripada menghabiskan
energi ribut kayak setrikaan di dalam batok kelapa demokrasi yang gelap gulita,
mendingan berpikir berdasarkan sejarah dan budaya bangsa untuk membentuk sistem
politik mutakhir Indonesia.