Tuesday 16 December 2014

Memlintir Musyawarah



oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Akhir-akhir ini banyak orang yang sedikit-sedikit pengen musyawarah dengan dalil Pancasila. Akan tetapi, sebenarnya mereka hanya berupaya memaksakan egonya, menjejalkan kehendaknya karena keinginan-keinginan prirbadi dan kelompoknya kurang terakomodasi. Mereka memaksakan untuk bermusyawarah dengan mengabaikan aturan yang sudah ada.

Buat apa musyawarah kalau aturannya sudah ada?

Laksanakan saja aturan itu.

Kalau ternyata sudah dilaksanakan, berakibat buruk terhadap masyarakat, baru dilakukan perbaikan terhadap peraturan tersebut dengan cara musyawarah. Dalam konteks berbangsa dan bernegara Indonesia, peraturan itu harus dievaluasi dengan bersandar pada kepentingan bangsa dan negara, bukan kepentingan diri dan kelompoknya. Kalau ternyata dengan melaksanakan peraturan yang sudah ada bangsa Indonesia sudah diuntungkan, ya hendaknya dilanjutkan meskipun kepentingan pribadi dan kelompoknya terpinggirkan. Nah, itu baru negarawan. Negarawan itu adalah orang yang mau dan bersedia ikhlas untuk meminggirkan kepentingan pribadi dan kelompoknya untuk kepentingan yang lebih besar, yaitu bangsa Indonesia.

Sangatlah menjijikan ketika memaksa untuk mengadakan musyawarah hanya untuk memaksakan kepentingan pribadi dan kelompoknya dengan meminggirkan kepentingan yang lebih besar, yaitu bangsa Indonesia. Orang-orang yang berteriak ingin musyawarah hanya untuk diri dan kelompoknya nilainya sama dengan para penjahat zaman Orde Baru yang menggunakan Pancasila untuk menjadi topeng bagi kepentingan-kepentingan rendahnya. Apalagi dengan berteriak menuduh orang lain yang tidak setuju musyawarah sebagai tidak melaksanakan Pancasila. Mereka bukanlah negarawan.

Kalau mereka mengklaim diri sebagai orang yang paling negarawan, tanya saja, “Negarawan dari mana? Dari Hongkong?”

Negarawan Hongkong kali.

Jangan memlintir-mlintir musyawarah hanya untuk kepentingan pribadi, kelompok yang berjangka pendek dan bernilai rendah. Musyawarah mutlak dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan yang belum ada aturan mainnya dan atau peraturan yang sudah ada berdampak buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Peraturan yang dikatakan berdampak buruk itu adalah jika peraturan itu sudah dilaksanakan sehingga tampak jelas keburukannya.

Berbahaya sekali jika sedikit-sedikit ingin musyawarah hanya karena hawa nafsu pribadi dan kelompoknya.

Hati-hati menggunakan Pancasila. Jangan sampai menjadi kedok bagi kepentingan remeh.

Jangan sok Pancasilais kalau tidak mengerti Pancasila. Jangan menuduh orang lain tidak Pancasilais sebelum dirinya sendiri mengamalkan Pancasila.

Bagaimana mau jadi Pancasilais, ngerti juga nggak tentang Pancasila.

Patuhi Aturan



oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Peraturan apa pun namanya dibuat untuk ketertiban dan keamanan. Di samping itu, peraturan dibentuk agar dapat mencapai tujuan bersama di antara pihak-pihak yang memiliki kesamaan keinginan. Peraturan yang sudah disepakati itu harus dipatuhi karena jika tidak dipatuhi, akan terjadi ketidaktertiban dan ketidakamanan yang berujung pada terhambatnya pencapaian tujuan yang dicita-citakan.

Islam mengajarkan jika di antara umat Islam ada perbedaan pandangan, penyelesaiannya adalah harus kembali kepada Allah swt dan Rasul-Nya. Artinya, harus kembali pada Al Quran dan sunnah Rasul. Baik Al Quran maupun sunnah, adalah aturan atau koridor yang harus dipatuhi agar terjadi kesepahaman dan penyelesaian mengenai segala sesuatu perselisihan paham. Jika tidak mengembalikan permasalahan pada Al Quran dan sunnah, kekacauan pun terjadi dan kita sering menyaksikannya. Orang-orang yang tidak kembali pada Al Quran dan sunnah selalu berdasarkan pada dugaan dan hawa nafsu belaka yang ujung-ujungnya permasalahan dan konflik tidak pernah terselesaikan.

Berkaca dari sana, dalam proses berbangsa dan bernegara dalam lingkungan Negara Kesatuan Republik Indonesia, jika terjadi permasalahan atau konflik di antara elemen bangsa, hendaknya dikembalikan pada aturan yang sudah disepakati agar terjadi penyelesaian. Jika tidak mengikuti aturan, yang terjadi adalah anarkisme. Memang bisa terjadi ada yang tidak puas terhadap aturan-aturan yang sudah disepakati tersebut, tetapi hal itu tidak serta-merta aturan tersebut tidak harus dipatuhi. Puas atau tidak merupakan risiko yang harus diambil sebagai bangsa yang menjunjung tinggi hukum.

Jika merasa ada aturan yang mengakibatkan ketidakadilan, hendaknya aturan tersebut dilaksanakan terlebih dahulu, kemudian lakukan evaluasi. Evaluasi terhadap aturan tersebut mutlak harus dilakukan setelah aturan tersebut dilaksanakan. Dengan pelaksanaan terhadap aturan, akan diketahui dengan jelas apakah aturan itu baik, bermutu, atau bahkan membuat banyak kerusakan. Jangan mengubah aturan yang disepakati sebelum aturan tersebut dilaksanakan karena keinginan pengubahan tersebut hanya berdasarkan dugaan dan hawa nafsu yang sama sekali kurang berdasar.

Bagaimana mungkin sebuah aturan disebut buruk jika belum dilaksanakan?

Bukankah peraturan tersebut merupakan kesepakatan yang terjadi sebelumnya?

Sangat mungkin terjadi mengubah peraturan yang belum dilaksanakan akan menghasilkan peraturan baru yang kemudian justru ketika dilaksanakan ternyata sangat buruk bagi kehidupan bangsa Indonesia. Jika sudah begitu, baru sadar bahwa aturan yang sebelumnya adalah lebih baik, hanya belum dilaksanakan. Kemudian, berupaya kembali pada peraturan yang sebelumnya itu. Upaya kembali itu adalah sesuatu yang konyol dan memalukan.

Cobalah untuk bijaksana dalam menghadapi permasalahan. Patuhi peraturan yang sudah dibuat, lalu evaluasi dan perbaiki. Jangan menyepakati aturan, kemudian diubah-ubah lagi sebelum jelas manfaat dan mudharatnya peraturan tersebut.

Thursday 11 December 2014

Ilmuwan Partisan


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Akhir-akhir ini sering sekali kita disuguhi berbagai berita politik dan ekonomi yang sedang hangat menjadi perhatian masyarakat Indonesia. Dalam membahas berbagai isu tersebut sering sekali media-media massa mengadakan acara-acara, seperti, talk show, dialog, atau kupas isu. Dalam acara-acara tersebut, kerap diundang orang-orang yang katanya expert dalam bidangnya. Orang-orang undangan itu sering dijuluki ahli, pakar, pemerhati, pengamat, atau julukan lain sesuai keinginan penguasa media.

            Memang mengasyikan sih kehadiran mereka dalam acara banyak omong  di media tersebut. Tak bisa dibantah bahwa pandangan mereka banyak juga manfaatnya serta memberikan informasi dan pengetahuan yang sebelumnya tidak diketahui masyarakat. Akan tetapi, sayangnya banyak di antara mereka yang disebut pakar tersebut ternyata partisan. Mereka berbicara sudah tidak lagi bersandar pada kesucian ilmu pengetahuan, tetapi sangat bergantung pesanan. Mereka berbicara seolah-olah akademisi ulung, ilmuwan kelas atas, tetapi sesungguhnya sedang menggiring opini masyarakat untuk mendukung kepentingan-kepentingan kelompok tertentu. Kelompok-kelompok kekuasaan inilah yang menjadi dalang para pakar tersebut untuk membuat pernyataan-pernyataan menyesatkan. Tentunya, dalang politik dan atau ekonomi itu mengucurkan banyak fasilitas untuk orang-orang yang disebut ilmuwan oleh media itu.

            Yang namanya pakar, akademisi, ahli, atau apalah sesungguhnya kalau berbicara, harus terbebas dari kepentingan tertentu, termasuk kecenderungan dirinya sendiri dalam mendukung kelompok tertentu. Para ilmuwan itu kalau mengeluarkan pendapat, haruslah selalu bersandar pada ilmu pengetahuan dan dengan itulah mereka mengukur sesuatu itu salah atau benar. Di samping itu, mereka pun harus menyiasati agar pengetahuan yang dimiliki mereka itu adalah untuk kebaikan manusia, bukan untuk menjerumuskan manusia sehingga mendukung kekuatan temporer tertentu.

            Sangat menyedihkan memang kondisi seperti ini ketika orang-orang kuliahan yang dianggap dapat menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk memecahkan banyak masalah dengan sinar terang yang menyenangkan, malahan ikut-ikutan berantem, adu bacot, adu bekok, adu mulut hanya karena berbeda dukungan politis atau ekonomi. Masyarakat bukannya menjadi tambah terang dan tenang, tetapi malah menjadi makin bingung, gelap, dan tersesat.

            Tak heran jika pada zaman ini di negeri Indonesia oleh Ronggowarsito disebut zaman ketika Sarjana Tidak Ada. Zaman tidak ada sarjana itu bukan berarti tidak ada orang yang bergelar sarjana, melainkan tidak ada orang yang menggunakan ilmu pengetahuan yang dimilikinya untuk kemaslahatan umat manusia. Yang ada hanyalah gelar-gelar D1, D2, D3, S1, S2, S3, Prof., dsb. lulusan dari perguruan tinggi. Adapun yang sarjana hati dan pikirannya tidak ada. Semua kepandaiannya hanya digunakan sebagaimana tukang rongsokan, tukang jamu gendong, bahkan maling, yaitu sekedar cari uang buat makan dan beli benda-benda.

Memang apa bedanya para sarjana yang ada sekarang dengan profesi lain kalau cuma cari uang buat makanan dan membeli aneka benda?

Sama saja kan?

Sarjana itu harus berbeda. Ia harus menjadi cahaya manusia ketika manusia berada dalam kekusutan, bukan ikut-ikutan mengusutkan situasi.

Pokoknya, sekarang itu jangan terlalu percaya kepada orang yang disebut oleh media sebagai pakar, ahli, pengamat, pemerhati, dsb.. Soalnya mereka cuma cari recehan dengan cara menggiring pikiran masyarakat agar mendukung pihak yang telah memberinya makanan.

Mirip anjing mereka itu. Membela orang yang telah memberinya makanan. Anjing itu terkenal dengan sikap menyerang dulu, urusan belakangan. Anjing itu menggonggong aja dulu, soal yang digonggongnya itu orang baik atau orang jahat, itu urusan nanti, yang penting senangkan dulu Sang Majikan dengan gonggonggannya, soal salah-benar, urusan berikutnya. Bahkan, anjing penjilat itu bisa langsung menggigit orang tanpa berpikir panjang yang ujung-ujungnya akan menyusahkan banyak orang.

Akan tetapi, masih banyak juga sih para pakar yang waras pikiran dan sehat otak. Mereka berupaya memberikan penyadaran kepada pihak-pihak yang memiliki kekuasaan dan penerangan kepada masyarakat dengan harapan bangsa Indonesia menjadi tercerahkan dan tercerdaskan. Mereka tak peduli dengan uang dan kekuasaan. Merekalah orang-orang yang setia kepada ilmu pengetahuan dan mencintai manusia sehingga menggunakan kepandaiannya untuk kemaslahatan penduduk Bumi.
           

Thursday 20 November 2014

Indonesia Sebentar Lagi Hancur



oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Kalau tak pintar menahan diri dan cerdas berlapang dada, Indonesia sebentar lagi benar-benar hancur. Saya sebenarnya tak suka jika negeri ini hancur berantakan sebagaimana yang disebutkan dalam berbagai ramalan, baik ramalan Sunda maupun Jawa. Meskipun demikian, ada banyak yang senang dengan berbagai kekisruhan yang terjadi di Indonesia. Mereka sangat senang dengan adanya bencana alam yang terus-menerus terjadi tanpa henti pada berbagai belahan tanah air Indonesia. Mereka tertawa-tawa dengan jungkir-baliknya hukum di Indonesia. Mereka pun bergembira dengan konfllik-konflik politik yang terjadi.

            Mereka yang selalu merasa senang ketika Indonesia mengalami kesulitan bukanlah orang-orang bodoh. Mereka itu pintar-pintar. Saya banyak kenal dengan mereka. Mereka pun bukan para penjahat atau pengacau. Mereka bahkan orang-orang yang mencintai Indonesia. Mereka merasa gembira dengan berbagai kekusutan yang terjadi di Indonesia disebabkan segala yang mereka prediksi berdasarkan ramalan-ramalan satu demi satu terbukti. Mereka malahan ingin segera melihat Indonesia berantakan karena setelah itu Indonesia akan semacam di-restart ulang untuk kemudian menemukan jati dirinya dalam kejayaan dan menjadi sinar bagi dunia.

            Memang kehancuran Indonesia itu sudah diramalkan terjadi dengan diawali ciri-ciri yang tegas dan terbukti, misalnya, bencana gempa bumi, gunung berapi meletus, banjir besar, perempuan hilang rasa malu, laki-laki mulai malas, nyawa tidak ada harganya, para pemimpin sering berkata bohong dan ingkar janji, hukum dijalankan dengan berbelit-belit, banyak anak muda menjadi pemimpin, orang jujur tersisihkan, banyak wabah penyakit, para elit bertengkar yang merembes ke tingkat grass root, dan lain sebagainya. Hal-hal itu sudah diramalkan sejak lama. 

Memang terbukti bukan?

Para pembaca bisa menelusuri berbagai artikel dalam blog ini yang sudah saya tulis sejak lama tentang ramalan-ramalan itu, baik Uga Wangsit Siliwangi, Darmagandul, Joyoboyo, maupun Ronggowarsito.

Sekarang semenjak Pilpres 2014, berbagai kejadian dan kekisruhan politik menguatkan bahwa ramalan tentang hancurnya Indonesia bakal terjadi. Harus diingat bahwa yang hancur adalah Negara Indonesia, bukan bangsa Indonesia. Indonesia sebagai bangsa malahan akan semakin kuat, tetapi sebagai state akan mengalami kerusakan parah. Kita bisa lihat bahwa hasil Pilpres 2014 menghasilkan dua kubu yang relatif seimbang dalam berbagai hal, baik jumlah maupun intelektual. Diakui ataupun tidak, kedua kubu itu terus berseteru dan setiap kubu mengklaim dirinya paling benar apapun alasannya. Seimbangnya kekuatan kedua kubu tersebut menimbulkan rasa percaya diri dari setiap kubu yang ujungnya dikhawatirkan akan memunculkan huru-hara.

Untuk jatuh ke dalam situasi huru-hara mudah saja. Hal itu disebabkan keduanya mengatasnamakan kepentingan rakyat dan membela rakyat. Setiap kubu menuduh kubu lawannya sebagai arogan dan mementingkan kelompoknya serta ingin menunjukkan kekuasaan yang dimilikinya. Apabila situasi ini meruncing semakin tajam, akan membuat negara berjalan tidak mulus. Akan ada pihak yang merasa terzalimi dan teraniaya, kemudian mengerahkan seluruh sumber daya yang dimilikinya untuk memberikan perlawanan.

Huru-hara yang terjadi akan dimulai oleh para elit, bukan oleh rakyat. Para elitlah yang akan memulai pertarungan yang kemudian mengajak serta rakyat untuk berpihak padanya sehingga pertarungan meluas dan memperparah keadaan.

Ramalan tentang huru hara tersebut bisa kita lihat dari Uga Wangsit Siliwangi:

Dalam bahasa Sunda:

Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi gélo marantuan nu garelut, dikokolotan ku budak buncireung! Matakna garelut? Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang loba. Nu boga hak marénta bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarérang.

Nu garelut laju rareureuh. Laju kakara arengeuh. Kabéh gé taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara. 

            Dalam bahasa Indonesia:

Mulai saat itu akan terjadi keributan, huru-hara, dari rumah menjadi sekampung, dari sekampung menjadi senegara! Orang-orang bodoh pada jadi gila ikut-ikutan membantu mereka yang sedang berkelahi yang dipimpin oleh Pemuda Buncit! Penyebabnya berkelahi? Memperebutkan warisan. Mereka yang serakah ingin mendapatkan lebih banyak lagi. Mereka yang memiliki hak meminta haknya diberikan. Mereka yang sadar berdiam diri. Mereka hanya menonton, tetapi tetap terimbas juga.

Mereka yang berkelahi akhirnya kelelahan. Mereka baru tersadar. Ternyata, semuanya tidak ada yang mendapatkan bagian. Hal itu disebabkan tanah dan kekayaan alam seluruhnya habis, habis oleh mereka yang memegang banyak uang. Para raksasa lalu menyusup curang ke berbagai kelompok. Mereka yang berkelahi jadi ketakutan sendiri, takut dipersalahkan atas kerusakan dan kehilangan tanah serta kekayaan negara.

            Kapan terjadinya keributan itu?

            Keributan itu akan terjadi setelah para elit yang berkuasa, baik elit ekonomi maupun politik semakin pongah, angkuh, brutal, dan sering membohongi rakyat atau mengelabui perasaan rakyat. Hal itu disebabkan mereka menginginkan dukungan rakyat untuk sependapat atau berpihak padanya.

            Mereka berkelahi disebabkan memperebutkan warisan.

            Apa itu warisan?

            Warisan itu berupa kekuasaan politik dan ekonomi yang berasal dari keserakahan atas penguasaan negara dan sumber daya alam Indonesia.

            Perebutan warisan itu terus berlanjut hingga melibatkan rakyat. Hal itu bisa diperhatikan bahwa kubu-kubu yang sekarang sedang berseteru sama-sama mengatasnamakan rakyat. Bahkan, parahnya ada yang memanas-manasi rakyat sehingga rakyat ikut terlibat secara emosional terhadap pertarungan di tingkat elit. Rakyat yang hanya mendapatkan informasi sepotong-sepotong dan tidak utuh itu pun benar-benar terpengaruhi sehingga betul-betul bergerak atas dasar hasutan pihak-pihak yang berseteru. Pihak-pihak yang menghasut ini saya pastikan bakal masuk neraka jika tidak segera sadar.

            Dalam ramalan tadi rakyat disebut sebagai orang bodoh yang jadi gila ikut berkelahi. Disebut rakyat bodoh karena bergerak atas dasar informasi yang tidak lengkap dari para penghasut. Rakyat menjadi gila karena benar-benar meyakini bahwa informasi samar dan sumir itu merupakan kebenaran dan perlu diperjuangkan. Perhatikan ramalan berikut:

Orang-orang bodoh pada jadi gila ikut-ikutan membantu mereka yang sedang berkelahi yang dipimpin oleh Pemuda Buncit! Penyebabnya berkelahi? Memperebutkan warisan, tanah. Mereka yang serakah ingin mendapatkan lebih banyak lagi. Mereka yang memiliki hak meminta haknya diberikan. Mereka yang sadar berdiam diri. Mereka hanya menonton, tetapi tetap terimbas juga.

            Huru-hara itu dikendalikan oleh Pemuda Buncit.

            Siapa dia?

            Dia adalah provokator utama. Disebut buncit karena dia punya banyak uang, kekuasaan yang besar, dan serakah tak peduli halal atau haram, tak peduli banyak nyawa melayang asal dia bisa senang.

            Kita bisa lihat bukan saat ini mereka yang sudah punya kekuasaan terus berjuang hingga kekuasaannya semakin besar?

            Kita juga bisa menyaksikan bukan bagaimana mereka menguatkan kekuasaannya dengan berupaya keras mengokohkan kekuasaan teman-temannya?

            Kita juga bisa lihat bahwa aturan-aturan bernegara sepertinya pabeulit dina cacadan, ‘berbelit-belit’ dan berputar-putar dalam berbagai penafsiran yang berbeda-beda, iya kan?

            Prabu Siliwangi sudah mewanti-wanti bahwa hukum bernegara kita itu akan berbelit-belit dan sulit sekali untuk diaplikasikan. Padahal, dia mengatakan itu ribuan tahun yang lalu.

            Jika yang berseteru dan bertempur rebutan warisan itu berhenti, mereka merasakan kelelahan luar biasa. Di samping itu, akan terbuka lebarlah kondisi warisan yang mereka perebutkan itu. Artinya, terbukalah dengan terang bahwa kekuasaan politik, ekonomi, dan sumber daya alam Indonesia itu sudah dikendalikan oleh orang lain, yaitu orang-orang kaya yang punya banyak uang dan kekuasaan. Mereka yang berkelahi itu sebenarnya tidak mendapatkan apa-apa, kecuali sedikit, apalagi rakyat yang biasanya paling menderita.

            Setelah sadar dan terbuka semuanya, atas izin Allah swt, para elit pun merasa malu. Mereka mulai berlepas tangan dan menyusup ke ketiak orang-orang lain, para penguasa baru, untuk mendapatkan perlindungan. Mereka ketakutan disalahkan telah menggadaikan asset bangsa ini kepada para pemilik modal besar, entah asing, entah dalam negeri, sebagaimana prediksi Prabu Silwangi:

Mereka yang berkelahi akhirnya kelelahan. Mereka baru tersadar. Ternyata, semuanya tidak ada yang mendapatkan bagian. Hal itu disebabkan tanah dan kekayaan alam seluruhnya habis, habis oleh mereka yang memegang banyak uang. Para raksasa lalu menyusup curang ke berbagai kelompok. Mereka yang berkelahi jadi ketakutan sendiri, takut dipersalahkan atas kerusakan dan kehilangan tanah serta kekayaan negara.

            Tanda-tandanya sudah jelas bukan?

Bukankah sedikit demi sedikit kita menyadari bahwa sudah sangat banyak harta kekayaan Negara Indonesia hanya dimiliki dan dikendalikan segelintir orang, bahkan dinikmati pihak asing, bukan oleh rakyat sebagai pemiliki sah negeri ini?

Pada masa depan akan lebih terbuka lagi semuanya sekaligus siapa saja orang-orang yang telah menggadaikan bangsa ini untuk kepentingan para kapitalis.
        
        Huru-hara ini mudah dipahami penyebabnya, yaitu karena kita menggunakan sistem politik kampungan hina dina yang bernama demokrasi. Sistem politik demokrasi itu sudah terbukti nyata membuat kerusakan di muka Bumi dan menjadi ibu lahirnya berbagai kecurangan dan kerusuhan di antara umat manusia. Demokrasi memang tabiatnya merusakkan banyak hal.
           
          Prabu Siliwangi sudah mengingatkan akibat-akibat dari dilaksanakannya sistem politik kotor yang namanya demokrasi ini. Perhatikan:

            Dalam bahasa Sunda: 

Mingkin hareup mingkin hareup, loba buta nu baruta, naritah deui nyembah berhala. Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan; da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. Nya karuhan: taraté hépé sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah paré loba nu teu asup kana aseupan……………………….. Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger.

Dalam bahasa Indonesia:

Makin lama makin lama, banyak raksasa yang jahat. Mereka menyuruh menyembah lagi berhala. Pergaulan anak muda salah jalan. Kesalahan pergaulan itu diakibatkan oleh salahnya aturan dari pemerintah. Undang-undang dan hukum hanya ada di mulut dan dalam diskusi-diskusi kosong tanpa bisa ditegakkan dengan benar. Hal itu disebabkan para pejabatnya bukan ahlinya, buah padi banyak yang tidak masuk ke dapur rakyat. ........................ Salah sendiri mempercayakan kebun kepada orang yang gemar berdusta, petaninya suka mengumbar janji palsu, orang-orang pintar terlalu banyak, tetapi pinternya keblinger.

            Raksasa yang jahat itu adalah para elit, baik politik maupun ekonomi yang suka menipu, berbohong, ingkar janji, mengumbar fitnah, memanas-manasi situasi, dan serakah.

Berhala yang harus disembah adalah berhala demokrasi. Mereka terus memuja dan menyembah demokrasi. Menurut mereka, sistem demokrasi adalah yang terbaik, padahal terburuk dari yang pernah ada. Plato pun yang filsuf barat mencela demokrasi. Mereka selalu menolak tanpa pengetahuan jika demokrasi disebut buruk. Mereka mengagungkan demokrasi dan menganggap diri cerdas, maju, brilian karena telah menggunakan sistem politik sampah yang disebut demokrasi.

Undang-undang dan hukum sering sekali terdistorsi oleh kekuatan kekuasaan dan uang sehingga sering mengalami penyimpangan. Tak aneh jika banyak penegak hukum yang malah melanggar hukum.

Para pejabat dalam sistem demokrasi kerap didasari pada kepentingan politik atau pragmatis, bukan integritas dan kecakapan. Hal itu disebabkan dalam sistem demokrasi selalu ada kepentingan yang bermain di belakang layar yang harus dilayani oleh penguasa karena kekuasaan yang didapatkan dalam sistem demokrasi selalu harus bermitra dengan pemegang uang banyak dan orang-orang yang punya pengaruh kuat untuk mempengaruhi rakyat agar memilih dirinya. Akibatnya, cita-cita besar untuk mewujudkan kemakmuran rakyat pun terpaksa harus terhambat karena berbagai kepentingan yang melilitnya. Akhirnya, rakyat-rakyat juga yang rugi. Negara juga yang sengsara. Oleh sebab itu, Prabu Siliwangi menyindir:

Salah sendiri mempercayakan kebun kepada orang yang gemar berdusta, petaninya suka mengumbar janji palsu, orang-orang pintar terlalu banyak, tetapi pinternya keblinger.

Sekali lagi, saya tidak suka kalau ramalan huru-hara ini terjadi. Akan tetapi, jika semua pihak tak mampu kembali kepada jati diri yang suci dan murni, yaitu Pancasila, ramalan itu memang inevitable, ‘tak bisa dihindari’.

Silakan berdemokrasi dan nikmati huru-hara.