oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Kalau tak pintar
menahan diri dan cerdas berlapang dada, Indonesia sebentar lagi benar-benar
hancur. Saya sebenarnya tak suka jika negeri ini hancur berantakan sebagaimana
yang disebutkan dalam berbagai ramalan, baik ramalan Sunda maupun Jawa.
Meskipun demikian, ada banyak yang senang dengan berbagai kekisruhan yang
terjadi di Indonesia. Mereka sangat senang dengan adanya bencana alam yang
terus-menerus terjadi tanpa henti pada berbagai belahan tanah air Indonesia.
Mereka tertawa-tawa dengan jungkir-baliknya hukum di Indonesia. Mereka pun
bergembira dengan konfllik-konflik politik yang terjadi.
Mereka yang selalu merasa senang ketika Indonesia
mengalami kesulitan bukanlah orang-orang bodoh. Mereka itu pintar-pintar.
Saya banyak kenal dengan mereka. Mereka pun bukan para penjahat atau pengacau. Mereka bahkan orang-orang yang
mencintai Indonesia. Mereka merasa gembira dengan berbagai kekusutan yang
terjadi di Indonesia disebabkan segala yang mereka prediksi berdasarkan
ramalan-ramalan satu demi satu terbukti. Mereka malahan ingin segera melihat
Indonesia berantakan karena setelah itu Indonesia akan semacam di-restart ulang untuk kemudian menemukan
jati dirinya dalam kejayaan dan menjadi sinar bagi dunia.
Memang kehancuran Indonesia itu sudah diramalkan terjadi
dengan diawali ciri-ciri yang tegas dan terbukti, misalnya, bencana gempa bumi,
gunung berapi meletus, banjir besar, perempuan hilang rasa malu, laki-laki
mulai malas, nyawa tidak ada harganya, para pemimpin sering berkata bohong dan
ingkar janji, hukum dijalankan dengan berbelit-belit, banyak anak muda menjadi
pemimpin, orang jujur tersisihkan, banyak wabah penyakit, para elit bertengkar
yang merembes ke tingkat grass root, dan
lain sebagainya. Hal-hal itu sudah
diramalkan sejak lama.
Memang
terbukti bukan?
Para
pembaca bisa menelusuri berbagai artikel dalam blog ini yang sudah saya tulis
sejak lama tentang ramalan-ramalan itu, baik Uga Wangsit Siliwangi, Darmagandul, Joyoboyo, maupun Ronggowarsito.
Sekarang
semenjak Pilpres 2014, berbagai kejadian dan kekisruhan politik menguatkan
bahwa ramalan tentang hancurnya Indonesia bakal terjadi. Harus diingat bahwa
yang hancur adalah Negara Indonesia, bukan bangsa Indonesia. Indonesia sebagai
bangsa malahan akan semakin kuat, tetapi sebagai state akan mengalami kerusakan parah. Kita bisa lihat bahwa hasil
Pilpres 2014 menghasilkan dua kubu yang relatif seimbang dalam berbagai hal,
baik jumlah maupun intelektual. Diakui ataupun tidak, kedua kubu itu terus
berseteru dan setiap kubu mengklaim dirinya paling benar apapun alasannya.
Seimbangnya kekuatan kedua kubu tersebut menimbulkan rasa percaya diri dari
setiap kubu yang ujungnya dikhawatirkan akan memunculkan huru-hara.
Untuk
jatuh ke dalam situasi huru-hara mudah saja. Hal itu disebabkan keduanya
mengatasnamakan kepentingan rakyat dan membela rakyat. Setiap kubu menuduh kubu
lawannya sebagai arogan dan mementingkan kelompoknya serta ingin menunjukkan
kekuasaan yang dimilikinya. Apabila situasi ini meruncing semakin tajam, akan
membuat negara berjalan tidak mulus. Akan ada pihak yang merasa terzalimi dan
teraniaya, kemudian mengerahkan seluruh sumber daya yang dimilikinya untuk
memberikan perlawanan.
Huru-hara
yang terjadi akan dimulai oleh para elit, bukan oleh rakyat. Para elitlah yang
akan memulai pertarungan yang kemudian mengajak serta rakyat untuk berpihak
padanya sehingga pertarungan meluas dan memperparah keadaan.
Ramalan
tentang huru hara tersebut bisa kita lihat dari Uga Wangsit Siliwangi:
Dalam
bahasa Sunda:
Ti dinya loba nu ribut, ti dapur
laju salembur, ti lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi gélo marantuan nu
garelut, dikokolotan ku budak buncireung! Matakna garelut? Marebutkeun warisan.
Nu hawek hayang loba. Nu boga hak marénta bagianana. Ngan nu aréling caricing.
Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarérang.
Nu garelut laju rareureuh. Laju
kakara arengeuh. Kabéh gé taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak,
béakna ku nu nyarekel gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi
kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara.
Dalam bahasa Indonesia:
Mulai saat itu akan terjadi
keributan, huru-hara, dari rumah menjadi sekampung, dari sekampung menjadi senegara!
Orang-orang bodoh pada jadi gila ikut-ikutan membantu mereka yang sedang
berkelahi yang dipimpin oleh Pemuda Buncit! Penyebabnya berkelahi?
Memperebutkan warisan. Mereka yang serakah ingin mendapatkan lebih
banyak lagi. Mereka yang memiliki hak meminta haknya diberikan. Mereka yang
sadar berdiam diri. Mereka hanya menonton, tetapi tetap terimbas juga.
Mereka yang berkelahi akhirnya
kelelahan. Mereka baru tersadar. Ternyata, semuanya tidak ada yang mendapatkan
bagian. Hal itu disebabkan tanah dan kekayaan alam seluruhnya habis, habis oleh
mereka yang memegang banyak uang. Para raksasa lalu menyusup curang ke
berbagai kelompok. Mereka yang berkelahi jadi ketakutan sendiri, takut
dipersalahkan atas kerusakan dan kehilangan tanah serta kekayaan negara.
Kapan terjadinya keributan itu?
Keributan itu akan terjadi setelah para elit yang
berkuasa, baik elit ekonomi maupun politik semakin pongah, angkuh, brutal, dan
sering membohongi rakyat atau mengelabui perasaan rakyat. Hal itu disebabkan
mereka menginginkan dukungan rakyat untuk sependapat atau berpihak padanya.
Mereka berkelahi disebabkan memperebutkan warisan.
Apa itu warisan?
Warisan itu berupa kekuasaan politik dan ekonomi yang
berasal dari keserakahan atas penguasaan negara dan sumber daya alam Indonesia.
Perebutan warisan itu terus berlanjut hingga melibatkan
rakyat. Hal itu bisa diperhatikan bahwa kubu-kubu yang sekarang sedang
berseteru sama-sama mengatasnamakan rakyat. Bahkan, parahnya ada yang
memanas-manasi rakyat sehingga rakyat ikut terlibat secara emosional terhadap
pertarungan di tingkat elit. Rakyat yang hanya mendapatkan informasi
sepotong-sepotong dan tidak utuh itu pun benar-benar terpengaruhi sehingga
betul-betul bergerak atas dasar hasutan pihak-pihak yang berseteru. Pihak-pihak
yang menghasut ini saya pastikan bakal masuk neraka jika tidak segera sadar.
Dalam ramalan tadi rakyat disebut sebagai orang bodoh
yang jadi gila ikut berkelahi. Disebut rakyat bodoh karena bergerak atas dasar
informasi yang tidak lengkap dari para penghasut. Rakyat menjadi gila karena
benar-benar meyakini bahwa informasi samar dan sumir itu merupakan kebenaran
dan perlu diperjuangkan. Perhatikan ramalan berikut:
Orang-orang bodoh pada jadi gila ikut-ikutan membantu mereka
yang sedang berkelahi yang dipimpin oleh Pemuda Buncit! Penyebabnya berkelahi?
Memperebutkan warisan, tanah. Mereka yang serakah ingin mendapatkan lebih
banyak lagi. Mereka yang memiliki hak meminta haknya diberikan. Mereka yang
sadar berdiam diri. Mereka hanya menonton, tetapi tetap terimbas juga.
Huru-hara itu dikendalikan oleh Pemuda Buncit.
Siapa dia?
Dia adalah provokator utama. Disebut buncit karena dia
punya banyak uang, kekuasaan yang besar, dan serakah tak peduli halal atau
haram, tak peduli banyak nyawa melayang asal dia bisa senang.
Kita bisa lihat bukan saat ini mereka yang sudah punya
kekuasaan terus berjuang hingga kekuasaannya semakin besar?
Kita juga bisa menyaksikan bukan bagaimana mereka
menguatkan kekuasaannya dengan berupaya keras mengokohkan kekuasaan
teman-temannya?
Kita juga bisa lihat bahwa aturan-aturan bernegara
sepertinya pabeulit dina cacadan, ‘berbelit-belit’
dan berputar-putar dalam berbagai penafsiran yang berbeda-beda, iya kan?
Prabu Siliwangi sudah mewanti-wanti bahwa hukum bernegara
kita itu akan berbelit-belit dan sulit sekali untuk diaplikasikan. Padahal, dia
mengatakan itu ribuan tahun yang lalu.
Jika yang berseteru dan bertempur rebutan warisan itu
berhenti, mereka merasakan kelelahan luar biasa. Di samping itu, akan terbuka
lebarlah kondisi warisan yang mereka perebutkan itu. Artinya, terbukalah dengan
terang bahwa kekuasaan politik, ekonomi, dan sumber daya alam Indonesia itu
sudah dikendalikan oleh orang lain, yaitu orang-orang kaya yang punya banyak
uang dan kekuasaan. Mereka yang berkelahi itu sebenarnya tidak mendapatkan
apa-apa, kecuali sedikit, apalagi rakyat yang biasanya paling menderita.
Setelah sadar dan terbuka semuanya, atas izin Allah swt,
para elit pun merasa malu. Mereka mulai berlepas tangan dan menyusup ke ketiak
orang-orang lain, para penguasa baru, untuk mendapatkan perlindungan. Mereka
ketakutan disalahkan telah menggadaikan asset bangsa ini kepada para pemilik
modal besar, entah asing, entah dalam negeri, sebagaimana prediksi Prabu
Silwangi:
Mereka yang berkelahi akhirnya
kelelahan. Mereka baru tersadar. Ternyata, semuanya tidak ada yang mendapatkan
bagian. Hal itu disebabkan tanah dan kekayaan alam seluruhnya habis, habis oleh
mereka yang memegang banyak uang. Para raksasa lalu menyusup curang ke
berbagai kelompok. Mereka yang berkelahi jadi ketakutan sendiri, takut
dipersalahkan atas kerusakan dan kehilangan tanah serta kekayaan negara.
Tanda-tandanya sudah jelas bukan?
Bukankah sedikit demi sedikit kita menyadari bahwa sudah sangat banyak
harta kekayaan Negara Indonesia hanya dimiliki dan dikendalikan segelintir
orang, bahkan dinikmati pihak asing, bukan oleh rakyat sebagai pemiliki sah
negeri ini?
Pada masa depan akan lebih terbuka lagi semuanya sekaligus siapa saja
orang-orang yang telah menggadaikan bangsa ini untuk kepentingan para
kapitalis.
Huru-hara ini mudah dipahami
penyebabnya, yaitu karena kita menggunakan sistem politik kampungan hina dina
yang bernama demokrasi. Sistem politik demokrasi itu sudah terbukti nyata
membuat kerusakan di muka Bumi dan menjadi ibu lahirnya berbagai kecurangan dan
kerusuhan di antara umat manusia. Demokrasi memang tabiatnya merusakkan banyak
hal.
Prabu Siliwangi sudah mengingatkan
akibat-akibat dari dilaksanakannya sistem politik kotor yang namanya demokrasi
ini. Perhatikan:
Dalam bahasa Sunda:
Mingkin hareup mingkin hareup, loba buta
nu baruta, naritah deui nyembah berhala. Laju bubuntut
salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan; da nu ngawalukuna lain jalma
tukang tani. Nya karuhan: taraté hépé sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah
paré loba nu teu asup kana aseupan……………………….. Da bonganan, nu ngebonna tukang
barohong; nu tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna
kabalinger.
Dalam bahasa Indonesia:
Makin lama makin lama,
banyak raksasa yang jahat. Mereka menyuruh menyembah lagi berhala. Pergaulan
anak muda salah jalan. Kesalahan pergaulan itu diakibatkan oleh salahnya aturan
dari pemerintah. Undang-undang dan hukum hanya ada di mulut dan dalam
diskusi-diskusi kosong tanpa bisa ditegakkan dengan benar. Hal itu disebabkan
para pejabatnya bukan ahlinya, buah padi banyak yang tidak masuk ke dapur
rakyat. ........................ Salah sendiri mempercayakan kebun kepada orang
yang gemar berdusta, petaninya suka mengumbar janji palsu, orang-orang pintar
terlalu banyak, tetapi pinternya keblinger.
Raksasa yang jahat itu
adalah para elit, baik politik maupun ekonomi yang suka menipu, berbohong,
ingkar janji, mengumbar fitnah, memanas-manasi situasi, dan serakah.
Berhala yang harus disembah adalah berhala
demokrasi. Mereka terus memuja dan menyembah demokrasi. Menurut mereka, sistem
demokrasi adalah yang terbaik, padahal terburuk dari yang pernah ada. Plato pun
yang filsuf barat mencela demokrasi. Mereka selalu menolak tanpa pengetahuan
jika demokrasi disebut buruk. Mereka mengagungkan demokrasi dan menganggap diri
cerdas, maju, brilian karena telah menggunakan sistem politik sampah yang
disebut demokrasi.
Undang-undang dan hukum sering sekali terdistorsi
oleh kekuatan kekuasaan dan uang sehingga sering mengalami penyimpangan. Tak
aneh jika banyak penegak hukum yang malah melanggar hukum.
Para pejabat dalam sistem demokrasi kerap didasari
pada kepentingan politik atau pragmatis, bukan integritas dan kecakapan. Hal
itu disebabkan dalam sistem demokrasi selalu ada kepentingan yang bermain di
belakang layar yang harus dilayani oleh penguasa karena kekuasaan yang
didapatkan dalam sistem demokrasi selalu harus bermitra dengan pemegang uang
banyak dan orang-orang yang punya pengaruh kuat untuk mempengaruhi rakyat agar
memilih dirinya. Akibatnya, cita-cita besar untuk mewujudkan kemakmuran rakyat
pun terpaksa harus terhambat karena berbagai kepentingan yang melilitnya.
Akhirnya, rakyat-rakyat juga yang rugi. Negara juga yang sengsara. Oleh sebab
itu, Prabu Siliwangi menyindir:
Salah sendiri
mempercayakan kebun kepada orang yang gemar berdusta, petaninya suka mengumbar
janji palsu, orang-orang pintar terlalu banyak, tetapi pinternya keblinger.
Sekali
lagi, saya tidak suka kalau ramalan huru-hara ini terjadi. Akan tetapi, jika
semua pihak tak mampu kembali kepada jati diri yang suci dan murni, yaitu Pancasila, ramalan itu memang inevitable, ‘tak bisa dihindari’.
Silakan
berdemokrasi dan nikmati huru-hara.
No comments:
Post a Comment