Thursday 20 November 2014

Indonesia Sebentar Lagi Hancur



oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Kalau tak pintar menahan diri dan cerdas berlapang dada, Indonesia sebentar lagi benar-benar hancur. Saya sebenarnya tak suka jika negeri ini hancur berantakan sebagaimana yang disebutkan dalam berbagai ramalan, baik ramalan Sunda maupun Jawa. Meskipun demikian, ada banyak yang senang dengan berbagai kekisruhan yang terjadi di Indonesia. Mereka sangat senang dengan adanya bencana alam yang terus-menerus terjadi tanpa henti pada berbagai belahan tanah air Indonesia. Mereka tertawa-tawa dengan jungkir-baliknya hukum di Indonesia. Mereka pun bergembira dengan konfllik-konflik politik yang terjadi.

            Mereka yang selalu merasa senang ketika Indonesia mengalami kesulitan bukanlah orang-orang bodoh. Mereka itu pintar-pintar. Saya banyak kenal dengan mereka. Mereka pun bukan para penjahat atau pengacau. Mereka bahkan orang-orang yang mencintai Indonesia. Mereka merasa gembira dengan berbagai kekusutan yang terjadi di Indonesia disebabkan segala yang mereka prediksi berdasarkan ramalan-ramalan satu demi satu terbukti. Mereka malahan ingin segera melihat Indonesia berantakan karena setelah itu Indonesia akan semacam di-restart ulang untuk kemudian menemukan jati dirinya dalam kejayaan dan menjadi sinar bagi dunia.

            Memang kehancuran Indonesia itu sudah diramalkan terjadi dengan diawali ciri-ciri yang tegas dan terbukti, misalnya, bencana gempa bumi, gunung berapi meletus, banjir besar, perempuan hilang rasa malu, laki-laki mulai malas, nyawa tidak ada harganya, para pemimpin sering berkata bohong dan ingkar janji, hukum dijalankan dengan berbelit-belit, banyak anak muda menjadi pemimpin, orang jujur tersisihkan, banyak wabah penyakit, para elit bertengkar yang merembes ke tingkat grass root, dan lain sebagainya. Hal-hal itu sudah diramalkan sejak lama. 

Memang terbukti bukan?

Para pembaca bisa menelusuri berbagai artikel dalam blog ini yang sudah saya tulis sejak lama tentang ramalan-ramalan itu, baik Uga Wangsit Siliwangi, Darmagandul, Joyoboyo, maupun Ronggowarsito.

Sekarang semenjak Pilpres 2014, berbagai kejadian dan kekisruhan politik menguatkan bahwa ramalan tentang hancurnya Indonesia bakal terjadi. Harus diingat bahwa yang hancur adalah Negara Indonesia, bukan bangsa Indonesia. Indonesia sebagai bangsa malahan akan semakin kuat, tetapi sebagai state akan mengalami kerusakan parah. Kita bisa lihat bahwa hasil Pilpres 2014 menghasilkan dua kubu yang relatif seimbang dalam berbagai hal, baik jumlah maupun intelektual. Diakui ataupun tidak, kedua kubu itu terus berseteru dan setiap kubu mengklaim dirinya paling benar apapun alasannya. Seimbangnya kekuatan kedua kubu tersebut menimbulkan rasa percaya diri dari setiap kubu yang ujungnya dikhawatirkan akan memunculkan huru-hara.

Untuk jatuh ke dalam situasi huru-hara mudah saja. Hal itu disebabkan keduanya mengatasnamakan kepentingan rakyat dan membela rakyat. Setiap kubu menuduh kubu lawannya sebagai arogan dan mementingkan kelompoknya serta ingin menunjukkan kekuasaan yang dimilikinya. Apabila situasi ini meruncing semakin tajam, akan membuat negara berjalan tidak mulus. Akan ada pihak yang merasa terzalimi dan teraniaya, kemudian mengerahkan seluruh sumber daya yang dimilikinya untuk memberikan perlawanan.

Huru-hara yang terjadi akan dimulai oleh para elit, bukan oleh rakyat. Para elitlah yang akan memulai pertarungan yang kemudian mengajak serta rakyat untuk berpihak padanya sehingga pertarungan meluas dan memperparah keadaan.

Ramalan tentang huru hara tersebut bisa kita lihat dari Uga Wangsit Siliwangi:

Dalam bahasa Sunda:

Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi gélo marantuan nu garelut, dikokolotan ku budak buncireung! Matakna garelut? Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang loba. Nu boga hak marénta bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarérang.

Nu garelut laju rareureuh. Laju kakara arengeuh. Kabéh gé taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara. 

            Dalam bahasa Indonesia:

Mulai saat itu akan terjadi keributan, huru-hara, dari rumah menjadi sekampung, dari sekampung menjadi senegara! Orang-orang bodoh pada jadi gila ikut-ikutan membantu mereka yang sedang berkelahi yang dipimpin oleh Pemuda Buncit! Penyebabnya berkelahi? Memperebutkan warisan. Mereka yang serakah ingin mendapatkan lebih banyak lagi. Mereka yang memiliki hak meminta haknya diberikan. Mereka yang sadar berdiam diri. Mereka hanya menonton, tetapi tetap terimbas juga.

Mereka yang berkelahi akhirnya kelelahan. Mereka baru tersadar. Ternyata, semuanya tidak ada yang mendapatkan bagian. Hal itu disebabkan tanah dan kekayaan alam seluruhnya habis, habis oleh mereka yang memegang banyak uang. Para raksasa lalu menyusup curang ke berbagai kelompok. Mereka yang berkelahi jadi ketakutan sendiri, takut dipersalahkan atas kerusakan dan kehilangan tanah serta kekayaan negara.

            Kapan terjadinya keributan itu?

            Keributan itu akan terjadi setelah para elit yang berkuasa, baik elit ekonomi maupun politik semakin pongah, angkuh, brutal, dan sering membohongi rakyat atau mengelabui perasaan rakyat. Hal itu disebabkan mereka menginginkan dukungan rakyat untuk sependapat atau berpihak padanya.

            Mereka berkelahi disebabkan memperebutkan warisan.

            Apa itu warisan?

            Warisan itu berupa kekuasaan politik dan ekonomi yang berasal dari keserakahan atas penguasaan negara dan sumber daya alam Indonesia.

            Perebutan warisan itu terus berlanjut hingga melibatkan rakyat. Hal itu bisa diperhatikan bahwa kubu-kubu yang sekarang sedang berseteru sama-sama mengatasnamakan rakyat. Bahkan, parahnya ada yang memanas-manasi rakyat sehingga rakyat ikut terlibat secara emosional terhadap pertarungan di tingkat elit. Rakyat yang hanya mendapatkan informasi sepotong-sepotong dan tidak utuh itu pun benar-benar terpengaruhi sehingga betul-betul bergerak atas dasar hasutan pihak-pihak yang berseteru. Pihak-pihak yang menghasut ini saya pastikan bakal masuk neraka jika tidak segera sadar.

            Dalam ramalan tadi rakyat disebut sebagai orang bodoh yang jadi gila ikut berkelahi. Disebut rakyat bodoh karena bergerak atas dasar informasi yang tidak lengkap dari para penghasut. Rakyat menjadi gila karena benar-benar meyakini bahwa informasi samar dan sumir itu merupakan kebenaran dan perlu diperjuangkan. Perhatikan ramalan berikut:

Orang-orang bodoh pada jadi gila ikut-ikutan membantu mereka yang sedang berkelahi yang dipimpin oleh Pemuda Buncit! Penyebabnya berkelahi? Memperebutkan warisan, tanah. Mereka yang serakah ingin mendapatkan lebih banyak lagi. Mereka yang memiliki hak meminta haknya diberikan. Mereka yang sadar berdiam diri. Mereka hanya menonton, tetapi tetap terimbas juga.

            Huru-hara itu dikendalikan oleh Pemuda Buncit.

            Siapa dia?

            Dia adalah provokator utama. Disebut buncit karena dia punya banyak uang, kekuasaan yang besar, dan serakah tak peduli halal atau haram, tak peduli banyak nyawa melayang asal dia bisa senang.

            Kita bisa lihat bukan saat ini mereka yang sudah punya kekuasaan terus berjuang hingga kekuasaannya semakin besar?

            Kita juga bisa menyaksikan bukan bagaimana mereka menguatkan kekuasaannya dengan berupaya keras mengokohkan kekuasaan teman-temannya?

            Kita juga bisa lihat bahwa aturan-aturan bernegara sepertinya pabeulit dina cacadan, ‘berbelit-belit’ dan berputar-putar dalam berbagai penafsiran yang berbeda-beda, iya kan?

            Prabu Siliwangi sudah mewanti-wanti bahwa hukum bernegara kita itu akan berbelit-belit dan sulit sekali untuk diaplikasikan. Padahal, dia mengatakan itu ribuan tahun yang lalu.

            Jika yang berseteru dan bertempur rebutan warisan itu berhenti, mereka merasakan kelelahan luar biasa. Di samping itu, akan terbuka lebarlah kondisi warisan yang mereka perebutkan itu. Artinya, terbukalah dengan terang bahwa kekuasaan politik, ekonomi, dan sumber daya alam Indonesia itu sudah dikendalikan oleh orang lain, yaitu orang-orang kaya yang punya banyak uang dan kekuasaan. Mereka yang berkelahi itu sebenarnya tidak mendapatkan apa-apa, kecuali sedikit, apalagi rakyat yang biasanya paling menderita.

            Setelah sadar dan terbuka semuanya, atas izin Allah swt, para elit pun merasa malu. Mereka mulai berlepas tangan dan menyusup ke ketiak orang-orang lain, para penguasa baru, untuk mendapatkan perlindungan. Mereka ketakutan disalahkan telah menggadaikan asset bangsa ini kepada para pemilik modal besar, entah asing, entah dalam negeri, sebagaimana prediksi Prabu Silwangi:

Mereka yang berkelahi akhirnya kelelahan. Mereka baru tersadar. Ternyata, semuanya tidak ada yang mendapatkan bagian. Hal itu disebabkan tanah dan kekayaan alam seluruhnya habis, habis oleh mereka yang memegang banyak uang. Para raksasa lalu menyusup curang ke berbagai kelompok. Mereka yang berkelahi jadi ketakutan sendiri, takut dipersalahkan atas kerusakan dan kehilangan tanah serta kekayaan negara.

            Tanda-tandanya sudah jelas bukan?

Bukankah sedikit demi sedikit kita menyadari bahwa sudah sangat banyak harta kekayaan Negara Indonesia hanya dimiliki dan dikendalikan segelintir orang, bahkan dinikmati pihak asing, bukan oleh rakyat sebagai pemiliki sah negeri ini?

Pada masa depan akan lebih terbuka lagi semuanya sekaligus siapa saja orang-orang yang telah menggadaikan bangsa ini untuk kepentingan para kapitalis.
        
        Huru-hara ini mudah dipahami penyebabnya, yaitu karena kita menggunakan sistem politik kampungan hina dina yang bernama demokrasi. Sistem politik demokrasi itu sudah terbukti nyata membuat kerusakan di muka Bumi dan menjadi ibu lahirnya berbagai kecurangan dan kerusuhan di antara umat manusia. Demokrasi memang tabiatnya merusakkan banyak hal.
           
          Prabu Siliwangi sudah mengingatkan akibat-akibat dari dilaksanakannya sistem politik kotor yang namanya demokrasi ini. Perhatikan:

            Dalam bahasa Sunda: 

Mingkin hareup mingkin hareup, loba buta nu baruta, naritah deui nyembah berhala. Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan; da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. Nya karuhan: taraté hépé sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah paré loba nu teu asup kana aseupan……………………….. Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger.

Dalam bahasa Indonesia:

Makin lama makin lama, banyak raksasa yang jahat. Mereka menyuruh menyembah lagi berhala. Pergaulan anak muda salah jalan. Kesalahan pergaulan itu diakibatkan oleh salahnya aturan dari pemerintah. Undang-undang dan hukum hanya ada di mulut dan dalam diskusi-diskusi kosong tanpa bisa ditegakkan dengan benar. Hal itu disebabkan para pejabatnya bukan ahlinya, buah padi banyak yang tidak masuk ke dapur rakyat. ........................ Salah sendiri mempercayakan kebun kepada orang yang gemar berdusta, petaninya suka mengumbar janji palsu, orang-orang pintar terlalu banyak, tetapi pinternya keblinger.

            Raksasa yang jahat itu adalah para elit, baik politik maupun ekonomi yang suka menipu, berbohong, ingkar janji, mengumbar fitnah, memanas-manasi situasi, dan serakah.

Berhala yang harus disembah adalah berhala demokrasi. Mereka terus memuja dan menyembah demokrasi. Menurut mereka, sistem demokrasi adalah yang terbaik, padahal terburuk dari yang pernah ada. Plato pun yang filsuf barat mencela demokrasi. Mereka selalu menolak tanpa pengetahuan jika demokrasi disebut buruk. Mereka mengagungkan demokrasi dan menganggap diri cerdas, maju, brilian karena telah menggunakan sistem politik sampah yang disebut demokrasi.

Undang-undang dan hukum sering sekali terdistorsi oleh kekuatan kekuasaan dan uang sehingga sering mengalami penyimpangan. Tak aneh jika banyak penegak hukum yang malah melanggar hukum.

Para pejabat dalam sistem demokrasi kerap didasari pada kepentingan politik atau pragmatis, bukan integritas dan kecakapan. Hal itu disebabkan dalam sistem demokrasi selalu ada kepentingan yang bermain di belakang layar yang harus dilayani oleh penguasa karena kekuasaan yang didapatkan dalam sistem demokrasi selalu harus bermitra dengan pemegang uang banyak dan orang-orang yang punya pengaruh kuat untuk mempengaruhi rakyat agar memilih dirinya. Akibatnya, cita-cita besar untuk mewujudkan kemakmuran rakyat pun terpaksa harus terhambat karena berbagai kepentingan yang melilitnya. Akhirnya, rakyat-rakyat juga yang rugi. Negara juga yang sengsara. Oleh sebab itu, Prabu Siliwangi menyindir:

Salah sendiri mempercayakan kebun kepada orang yang gemar berdusta, petaninya suka mengumbar janji palsu, orang-orang pintar terlalu banyak, tetapi pinternya keblinger.

Sekali lagi, saya tidak suka kalau ramalan huru-hara ini terjadi. Akan tetapi, jika semua pihak tak mampu kembali kepada jati diri yang suci dan murni, yaitu Pancasila, ramalan itu memang inevitable, ‘tak bisa dihindari’.

Silakan berdemokrasi dan nikmati huru-hara.

No comments:

Post a Comment