Thursday 23 April 2020

5,6 T


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Uang sejumlah 5,6 triliun ini sedang diributkan orang, terutama setelah ada keterlibatan perusahaan unicorn Ruangguru ikut menjadi mitra kartu prakerja. Banyak orang selalu mengaitkan bahwa Ruangguru mendapatkan dana 5,6 T untuk berperan serta dalam program kartu prakerja. Itu adalah jumlah uang yang sangat besar.

            Karena banyak orang yang meributkannya, saya jadi penasaran tentang apa sih sebenarnya itu kartu prakerja. Klik sana klik sini, ternyata banyak yang menerangkan tentang hal ini secara rasional, tidak emosional. Beberapa web menjelaskan dengan sama dan baik meskipun sudut pandangnya berbeda-beda. Tentu saja, penjelasan lebih lengkap harus bertanya kepada pemerintah dan atau mereka yang telah resmi menjadi pengguna kartu prakerja.

            Sebenarnya, kartu prakerja ini merupakan salah satu janji kampanye Jokowi yang selalu ditagih oleh masyarakat. Saat ini pemerintah mempercepat realisasi kartu itu untuk membantu masyarakat, terutama yang terkena PHK akibat dampak Covid-19 di samping mereka yang belum bekerja.

            Kartu ini bermanfaat bagi siapa saja yang telah memenuhi syarat, ketentuan, dan lolos tes. Bagi yang tidak memenuhi syarat, ketentuan, dan tidak lolos tes, ya tidak akan bermanfaat. Paling ikut lagi agar mendapatkan kesempatan pada gelombang berikutnya.

            Seorang pengguna kartu prakerja mendapatkan dana Rp3.555.000,-. Dari dana itu, 1 juta rupiah berbentuk pelatihan. Angka 5,6 triliun itu berasal dari 1 juta rupiah dikali 5,6 juta pengguna kartu prakerja. Uang itu hanya berlaku 30 hari. Jika tidak digunakan dalam 30 hari, uang itu hangus. Pemilik kartu harus menggunakannya untuk pelatihan. Bisa satu kali, dua kali, atau beberapa kali dengan batas maksimal satu juta rupiah.

            Pelatihan online yang diikuti bisa di mana saja. Ada delapan perusahaan unicorn yang dipercaya pemerintah untuk menjadi mitra kartu prakerja, yaitu: “Tokopedia, Bukalapak, Ruangguru, Kemnaker, Pintaria, Pijar, Sekolahmu,” dan “MauBelajarApa”. Jadi, uang yang 5,6 T itu tidak hanya untuk Ruangguru, melainkan untuk perusahaan lain juga. Hal itu bergantung pada pemilik kartu prakerja, mau menggunakan pelatihan online di perusahaan yang mana. Tentu saja, perusahaan itu harus membayar para pelatih atau pengajar materi online serta jelas mendapatkan keuntungan sebagai penyelenggara.

            Setiap perusahaan itu memiliki beragam jenis materi pelatihan online dengan harga yang juga berbeda-beda. Ada yang Rp30 ribu, 250 ribu, 400 ribu, bahkan Rp1.250.000,-. Materi pelatihan online yang mana yang akan diambil, terserah pemilik kartu. Pokoknya batas paling mahal adalah satu juta rupiah. Kalau mengambil materi online yang murah-murah, bisa berkali-kali mengikuti pelatihan online. Perusahaan yang mana yang akan diambil, terserah pemilik kartu juga. Jadi, bukan hanya ke Ruangguru, bisa ke mana saja.

            Tadi kan sudah disebutkan bahwa setiap pemilik kartu mendapatkan uang Rp3.555.000,-. Satu juta sudah digunakan untuk biaya pelatihan. Sisanya, akan diberikan kepada setiap pemegang kartu sejumlah Rp600 ribu per bulan selama empat bulan ke depan untuk keperluan mereka dan Rp150 ribu untuk biaya survey ke tempat kerja.

            Begitulah yang saya baca dari berbagai artikel pada beberapa web. Hal yang lebih lengkap tentunya ada di pemerintah dan pemilik kartu prakerja. Kalau ada informasi yang lebih lengkap, akurat, dan benar, saya berterima kasih jika diberi tahu.

            Ruangguru dijadikan persoalan karena ada kesalahan etika di sana. Tak ada kesalahan hukum dan tak ada pelanggaran undang-undang. Masalahnya, etika. Direktur Ruangguru adalah staf khusus presiden. Masyarakat percaya terhadap Ruangguru dan banyak penggunanya. Akan tetapi, karena dimiliki oleh staf khusus presiden, dianggap tidak pantas serta dicurigai ada konflik kepentingan di sana. Orang bisa menduga bahwa di sana ada “abuse of power”, ‘penyalahgunaan kekuasaan’.

            Kecurigaan dan dugaan itu bisa benar atau bisa salah karena harus dibuktikan dahulu. Namanya juga curiga dan dugaan. Kalau tak ada bukti, kecurigaan itu salah. Kalau ada bukti, dugaan itu benar. Akan tetapi, dari sisi etika, itu jelas salah. Oleh sebab itu, permohonan maaf dan mundur dari jabatan adalah hal yang dapat dipahami untuk menebus kesalahan etika itu.

            Sampurasun.

Wednesday 22 April 2020

Mudik & Pulkam

oleh Tom FInaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Jokowi memang punya daya tarik tersendiri, baik bagi para pendukungnya maupun bagi para pembencinya.

            Boleh benci Jokowi?

            Boleh.

            Boleh benci, boleh suka, boleh setuju, boleh tidak setuju, itu semua hak. Hal yang tidak diperbolehkan itu berdusta, fitnah, hoax, bikin huru-hara, dan atau mengganggu ketenangan hidup orang lain. Ada undang-undangnya, lho. Awas, jangan sampai tiba-tiba kalian dikejutkan polisi yang datang ke rumah kalian, lalu menangkap kalian di rumah kalian sendiri.

            Malu tahu!

            Orang-orang memang susah “move on” dari Jokowi. Hampir seluruh gerak-geriknya dan kata-katanya memancing perhatian orang. Dia itu bagai magnet. Buktinya, kata-kata sederhananya saja jadi perbincangan orang, baik yang suka maupun yang benci.

            Iya toh?

            Diakui atau tidak diakui, iya toh pisan pokoknya mah.

            Soal kata-katanya tentang “mudik” dan “pulang kampung” (Pulkam) memancing banyak orang untuk bereaksi. Kedua istilah itu berasal dari talk show yang dipandu Najwa Shihab. Saya juga sebetulnya ingin menonton talk show itu, cuma ngantuknya bukan main. Akhirnya, ketiduran, tidak sempet nonton.

            Sejak pagi, banyak status mengenai kedua kata itu karena pemahaman orang-orang berbeda dengan yang dijelaskan Jokowi. Seperti saya katakan tadi, saya ketiduran. Jadi, tidak mendengarkan langsung maksud kedua kata itu dari Jokowi. Akan tetapi, saya perhatikan dari dari status-status netizen tentang kedua kata itu.

            Berdasarkan status-status netizen, saya memahaminya seperti ini. Menurut Jokowi, pulang kampung itu adalah pulang ke kampung karena sudah tidak ada pekerjaan dan tidak punya uang. Adapun mudik adalah pulang menemui keluarganya di kampung untuk bersilaturahmi serta masih punya uang dan pekerjaan. Pulang kampung sifatnya lama, bahkan permanen, selamanya. Adapun mudik sifatnya sebentar atau sementara, tidak selamanya, kemudian kembali meninggalkan kampungnya untuk bekerja di kota lain. Begitu kira-kira.

            Contohnya seperti ini. Ayah tetangga saya adalah salah seorang direktur di PT Telkom. Dia memutuskan untuk berhenti menjadi direktur karena sudah tidak nyaman dan selalu ingat masa kecilnya ketika menunggang kerbau di sawah atau tegalan. Dia pun mengundurkan diri dari PT Telkom, lalu benar saja baru juga sampai di kampungnya, langsung memeloroti celana panjangnya, ganti pakai celana pendek, menyimpan jas dan dasinya, kemudian ke sawah dan kembali menunggangi kerbaunya. Nah, ini namanya pulang kampung, bukan mudik. Berbeda dengan mudik yang datang dari Jakarta atau kota lainnya, pulang bersilaturahmi ke keluarganya beberapa waktu, lalu kembali lagi ke Jakarta atau kota lainnya untuk bekerja. Nah,  ini namanya mudik.

            Jika kita klak-klik kamus, arti kata mudik adalah pulang kampung. Udik itu artinya pedalaman atau kampung. Mudik berarti “meng-udik”, ‘melakukan pulang kampung’. Kalau diterjemahkan ke bahasa Inggris mudik adalah “going home” yang kalau diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Indonesia, artinya menjadi “pulang kampung”. Bolak balik bekok blekok.

            Kalaulah Jokowi membedakan arti istilah pulang kampung dengan mudik sesuai dengan pemahamannya sendiri, tidaklah mengapa. Hal itu disebabkan Jokowi menggunakan pengertian “stipulatif”, yaitu pengertian yang tidak lazim dan berbeda dari kamus yang biasa digunakan. Orang-orang harus memahami kata itu berdasarkan pemahaman orang yang mengucapkannya jika kita ingin berinteraksi dengan orang itu.

            Hal yang sama juga dilakukan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia (Menkopolhukam RI) Mahfud M.D. yang membagi tiga pengertian stipulatif “radikal”, yaitu pertama, “takfiri”, ‘mengafirkan orang lain yang memiliki pemahaman agama berbeda’; kedua, “jihadi”, ‘pembunuhan dan pengeboman terhadap pihak lain karena perbedaan pemahaman agama’; ketiga, “ideologi dan pemikiran untuk selalu mengubah sistem negara”. Ketiga arti radikal ini tidak ada di kamus, tetapi hanya ada dalam pemahaman Mahfud M.D..

            Hal yang sama juga dilakukan oleh Rocky Gerung yang mengatakan bahwa “isi dari semua kitab suci adalah fiktif”.  Jika kita buka kamus, fiktif atau fiksi itu bisa disamakan dengan “khayalan”. Tentu saja banyak orang yang marah karena Al Quran adalah kitab suci umat Islam yang diyakini isinya bukanlah khayalan. Oleh sebab itu, Rocky Gerung pun dilaporkan ke kepolisian, tetapi tidak ditahan.

            Iya, kan? Rocky Gerung tidak ditangkap? Dia hanya dipanggil polisi untuk memberikan penjelasan.

            Fiktif dalam pemahaman Rocky Gerung adalah kisah atau ajaran atau penuturan atau apa pun yang mendorong orang untuk memiliki imajinasi. Sorga, neraka itu adalah imajinasi. Setiap orang memiliki imajinasi berbeda tentang sorga dan neraka. Gambaran tentang sorga dan neraka bisa berbeda dalam pikiran setiap orang. Termasuk malaikat Rokib dan Atid yang mencatat amal baik dan amal buruk. Mungkin ada orang yang membayangkan kedua malaikat ini membawa pulpen dan kertas catatan, mungkin  pula anak sekarang ada yang membayangkan kedua malaikat ini membawa laptop atau gadget, bahkan mungkin pula ada yang membayangkan bahwa keduanya duduk di tempat dengan memperhatikan gerak-gerik semua orang melalui kamera CCTV seperti yang dilakukan petugas Dishub yang duduk saja di ruangan dengan memperhatikan puluhan video dalam satu layar yang sama tentang situasi lalu lintas di seluruh provinsi. Kita tidak pernah tahu isi bayangan semua orang. Mungkin begitu yang dipahami Rocky Gerung tentang fiksi. Kalau pengen lebih jelas, tanya saja Rocky Gerung.

            Itulah pengertian stipulatif.

            Hal yang sama juga pernah saya lihat sendiri. Teman saya pernah mengadakan suatu acara dengan mengundang “Ustadz Jujun Junaedi”. Iya ustadz yang itu. Ustadz yang itu tuh yang dari Cileunyi. Ustadz yang sering ada di tvOne.

            Selepas Ustadz Jujun berceramah, pembawa acara (MC) berbicara keras di atas panggung dengan menggunakan pengeras suara, “Gelo! Edan euy Ustadz Jujun!”

            Itu juga stipulatif karena kata “gelo” dan “edan” dalam pemahaman Si MC itu adalah “hebat, menarik, luar biasa”.

            Meskipun Ustadz Jujun ketawa-ketawa mendengar kata-kata Si MC dan tidak sedikit pun tersinggung, teman yang berada di samping Si MC berkata keras yang juga menggunakan pengeras suara, “Sia nu gelo jeung edan mah! Lain Ustadz Jujun!”

            Jadi, setiap kata, setiap kalimat bisa memiliki arti sesuai kamus dan dipahami semua orang, bisa juga berbeda dengan yang dipahami orang  lain. Oleh sebab itu, jangan tergesa-gesa menilai seseorang dengan kata-katanya karena pemahaman yang dimilikinya bisa berbeda dengan pemahaman kita. Jika kita menilai kata-kata orang lain tanpa memahaminya secara utuh, itu namanya tidak nyambung.

            Yuk ah, mari puasa, shaum Ramadhan. Mari saling memaafkan karena kita manusia yang jelas punya salah dan kekhilafan. Nggak ada gunanya terus-terusan berselisih. Sekarang mah bersih-bersih diri saja.

            Jangan lupa bagi yang mau kuliah di Universitas Al-Ghifari, klik http://pmb.unfari.ac.id







            Sampurasun

Tuesday 21 April 2020

Gagal Koneksi dengan Wakil Rakyat


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Dalam dunia modern dengan jumlah penduduk di suatu negara sangat besar, tidak mungkin dilakukan demokrasi langsung dalam arti rakyat menyampaikan sendiri aspirasinya kepada pemerintah. Hal itu disebabkan beberapa hal, di antaranya, rakyat memiliki keterbatasan dalam menyampaikan aspirasinya, baik itu keterbatasan pendidikan, pengalaman hidup, kemampuan berpikir runut, dan keahlian dalam berbicara. Oleh sebab itu, rakyat selalu mewakilkan dirinya kepada orang lain yang dianggap lebih mampu dibandingkan dirinya. Orang-orang inilah yang disebut dengan “wakil rakyat”.

            Kalau zaman dulu, ketika jumlah penduduk sedikit dengan wilayah suatu pemerintahan masih sempit, rakyat bisa menyampaikan segala keinginannya secara langsung kepada raja. Mereka tidak memerlukan wakil di sebuah kerajaan yang kecil-kecil. Hal ini tidak bisa lagi dilakukan di dunia modern.

            Di Indonesia dalam zaman penjajahan ada lapisan masyarakat yang disebut “jago”. Saya lebih suka mengistilahkannya sebagai “pendekar”. Mereka ini memiliki dua fungsi, yaitu pertama, menjadi alat kepanjangan pemerintah penjajah untuk menyampaikan program “company”, rakyat menyebutnya “kompeni”, orang Sunda menyebutnya “kumpeni”, artinya “perusahaan” yang dimiliki penjajah Belanda. Kedua, para pendekar pun berfungsi pula menjadi wakil rakyat untuk menyampaikan segala kebutuhan dan keluh kesahnya kepada pemerintah kolonial.

            Ketika program kompeni dengan kebutuhan masyarakat selaras, kehidupan pun berjalan aman. Akan tetapi, ketika terjadi perbedaan, terjadilah banyak konflik. Para pendekar ini pun terlibat. Sebagian ada yang propenjajah, sebagian lagi ada yang prorakyat. Terjadilah pertarungan di antara mereka. Dari sinilah segala asal muasal kisah dunia persilatan dimulai yang menginspirasi berbagai kisah komik silat di Indonesia. Di dalam komik-komik silat itu, kerap muncul para kompeni yang terlibat dalam pertarungan.

            Bagi penjajah, para pendekar ini adalah alat yang menjadi Humas-nya. Akan tetapi, bagi rakyat, para pendekar adalah wakil rakyat.

            Dalam zaman sekarang para pendekar ini tersisihkan dan tidak lagi banyak berperan dalam dunia politik. Kesaktian, kekuatan otot, kemahiran bertarung, dan kegagahan pendekar sudah semakin  tidak lagi berarti. Kalaupun masih ada pendekar, peran mereka hanya digunakan ketika terjadi ancaman-ancaman yang bersifat fisik dan itu sudah sangat jarang. Bahkan, penyelesaian masalah dengan melibatkan para pendekar dianggap sudah kuno, ketinggalan zaman, dan tidak beradab. Hal itu disebabkan penyelesaian masalah secara beradab adalah melalui jalur hukum.

            Peran para pendekar ini sekarang diambil oleh para anggota dewan perwakilan rakyat, baik di daerah maupun di pusat, nasional. Merekalah yang harus bertarung pada berbagai tingkatan pemerintahan, baik untuk menyukseskan program pemerintah maupun untuk memperjuangkan kepentingan rakyat.

            Di seluruh dunia, tugas utama wakil rakyat ini ada tiga, yaitu: controlling (pengawasan), legislasi (membuat undang-undang), dan budgeting (menyusun anggaran pemerintahan). Pengawasan berarti mereka bertugas untuk mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan agar sesuai dengan harapan yang telah disepakati sebelumnya. Pembuatan undang-undang pun wajib dilakukan wakil rakyat agar segala peraturan dapat menyejahterakan, melindungi, dan menjamin kehidupan rakyat untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Di samping itu, penyusunan anggaran pun harus dilakukan wakil rakyat agar keuangan dapat dibelanjakan dan digunakan untuk kepentingan bersama, baik pemerintah maupun rakyat secara keseluruhan.

            Dengan ketiga tugas utama tersebut, apabila dijalankan dengan baik, sebetulnya rakyat tidak harus terlalu letih dan capek untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Hal itu disebabkan pengawasan itu adalah tugasnya wakil rakyat. Mereka yang dipercaya untuk melakukan hal itu, digaji untuk itu, difasilitasi untuk itu, dan diberikan kekuasaan untuk melakukan pengawasan tersebut. Apabila ada penyelewengan atau kesalahan yang dilakukan pemerintah, merekalah yang pertama kali harus bergerak, protes keras, bahkan memanggil pemerintah untuk menjelaskan berbagai kerjanya yang dianggap suatu penyalahgunaan kekuasaan. Hal itu bukanlah tugas rakyat. Rakyat seharusnya sudah diwakili berbagai keresahan, kegalauan, kepentingan, dan kebutuhannya. Semestinya, rakyat tenang saja beraktivitas sesuai dengan potensinya masing-masing dalam kehidupannya.

            Apabila rakyat masih harus protes sendiri, demonstrasi sendiri, marah-marah sendiri, mikir sendiri, untuk apa rakyat memiliki wakil rakyat?

            Di mana para wakil rakyat itu?

            Idealnya, para wakil rakyat itu memahami keinginan rakyat, lalu memperjuangkannya melalui parlemen untuk mendesak pemerintah, kemudian bekerja sama dengan pemerintah agar kepentingan rakyat terpenuhi. Kalau masih sangat banyak rakyat yang berteriak sendiri, terlalu seringnya aksi-aksi demonstrasi, koar-koar di Medsos, itu artinya ada hubungan yang terputus antara rakyat dengan wakil rakyat. Itulah yang saya sebut “gagal koneksi dengan wakil rakyat”.

            Rakyat kurang atau tidak merasa terwakili kebutuhannya oleh para wakil rakyat. Mereka bergerak sendiri, bicara sendiri, teriak sendiri, ngoceh sendiri di Medsos.  Seharusnya, partai politik menyerap keresahan masyarakat, lalu menyampaikannya pada anggota wakil rakyat untuk diperjuangkan melalui jalur resmi wakil rakyat.

            Jika begini keadaannya, rakyat juga mungkin tidak tahu siapa sebetulnya wakil mereka. Semestinya, rakyat mendatangi para wakil rakyat yang telah mereka pilih untuk menyampaikan keinginannya, lalu diperjuangkan dan didesakkan sesuai dengan tugas dan kewenangan wakil rakyat terhadap pemerintah.

            Hal yang lebih parah adalah jika justru para wakil rakyat memposting hal-hal yang kontroversial di media sosial mereka yang justru memprovokasi masyarakat untuk marah dan bergerak anarkis. Para aktivis Parpol dan wakil rakyat yang seperti ini justru mendorong masyarakat untuk capek bergerak. Padahal, seharusnya mereka yang bergerak karena itu sudah tugasnya. Rakyat itu jangan diajak-ajak untuk bergerak lagi karena rakyat tidak digaji dan tidak difasilitasi untuk itu. Para wakil rakyatnya yang seharusnya cepat bergerak atas dorongan rakyat, bukan sebaliknya rakyat didorong untuk bergerak. Sementara itu, wakil rakyat menghilang dari peredaran dan muncul lagi ketika masa-masa kampanye dengan segala janji-janjinya.

            Jika masyarakat teriak-teriak sendiri, baik di Medsos maupun di dunia nyata tanpa melibatkan wakil rakyat, terlalu banyak aksi demonstrasi yang digelar rakyat, adanya polarisasi yang tajam di antara masyarakat terkait negara dan pemerintahan, itu menandakan “gagal koneksi dengan wakil rakyat”.

            Memang rakyat boleh protes, demonstrasi, menyatakan pendapat. Itu adalah hak masyarakat dan dilindungi oleh undang-undang. Rakyat tidak perlu takut. Akan tetapi, jika rakyat terlalu banyak protes sendirian, wakil rakyat tidak tampak perannya dalam mewakili rakyat. Apalagi jika justru memprovokasi masyarakat untuk selalu marah-marah, itu berarti melimpahkan tugasnya kepada masyarakat, padahal para wakil rakyatlah yang digaji untuk itu.

            Saya yakin banyak rakyat yang tidak tahu siapa yang mewakili mereka berdasarkan daerah-daerah pemilihannya. Semestinya mereka paham sehingga menggunakan wakil rakyat itu untuk memperjuangkan keinginannya.

            Mari kita tanya diri sendiri, apakah kita terhubung dan merasa terwakili oleh para wakil rakyat itu?

            Kalau tidak merasa terwakili dan tidak merasa ada hubungan, berarti rakyat “gagal koneksi dengan wakil rakyat”.

            Sampurasun.



Sumber:

S. Ekadjati, Edi, 1995, Kebudayaan Sunda: (Suatu Pendekatan Sejarah), PT Dunia Pustaka Jaya: Jakarta

Syafiie, Inu Kencana; Azhari, 2005, Sistem Politik Indonesia, Cet. 2, PT Refika Aditama: Bandung

Monday 20 April 2020

Tidak Shaum Ramadhan

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Kaget dengan usul tidak puasa saat Ramadhan?

            Biasa saja ah. Kan banyak orang Islam yang tidak perlu puasa ketika Ramadhan. Bahkan, saya juga pernah melarang isteri untuk puasa karena sedang hamil dan kondisinya luar biasa lemah. Dia kesal ingin tubuhnya segar bugar dan beraktivitas seperti biasa.

            Saya bilang, “Jangan puasa.”

            Setelah menghentikan puasanya, isteri saya kembali bugar. Itu kenyataan. Artinya, ada orang-orang yang tidak usah puasa dan menggantinya dengan puasa pada bulan lain atau membayar fidyah. Ketentuannya sudah ada.

            Beberapa waktu ini kita dikejutkan oleh adanya usul untuk tidak melakukan shaum atau puasa pada bulan Ramadhan karena situasi berada dalam keadaan dilanda pandemi Covid-19. Pertama kali mengetahuinya, saya langsung merasa lucu, pengen ketawa.

           Kan memang sudah ada aturannya, siapa yang tidak perlu puasa dan siapa yang tetap wajib puasa?

            Tidak ada usulan pun, keadaannya sudah seperti itu. Kalaupun ada usulan, ya biarin saja. Dia yang punya usul tidak mengerti tentang hal itu. Cuekin saja.

            Usulan itu menjadi viral karena warganet juga yang membuatnya menjadi terkenal melalui Medsos. Demikian pula media main stream ikut semakin menghebohkannya.

            Yang mengajukan usul untuk tidak puasa pada Ramadhan itu namanya “Rudi Valinka” melalui akun twitter-nya.

            Siapa sih Rudi Valinka itu?

            Ahli syariat Islam, fikih, atau ahli kesehatan?

            Dia kan bukan siapa-siapa.

            Terus, mengapa harus dihebohkan?

            Dia diviralkan karena disebut-sebut sebagai “relawan Jokowi” dan penulis “A Man Called Ahok”. Artinya, ada dimensi politis di sana. Orang-orang menyeret Jokowi dan Ahok pada diri Rudi Valinka. Padahal, Jokowi dan Ahok tidak ada urusannya dengan usulan Rudi Valinka.

            Ingat, Pilpres 2019 sudah usai. Tidak ada gunanya menjatuhkan Jokowi dan Ahok juga sudah dihukum.

            Hey, wake up!

            Sadar!

            Jangan biarkan Rudi Valinka menjadi semakin terkenal. Diemin saja.

            Masih banyak yang harus dipikirkan dan dikerjakan dibandingkan hal-hal yang ecek-ecek seperti itu. Misalnya, kita harus mengurus keluarga kita, terutama mempersiapkan anak-anak kita, baik anak kandung maupun anak didik supaya lebih hebat dibandingkan kita.

            Rudi Valinka itu saya duga nyontek usulan dari politisi Aljazair, namanya  “Noureddine Boukrouh”. Dia memang sebelumnya mengusulkan menunda puasa Ramadhan di Aljazair untuk menghadapi penyebaran virus corona. Katanya, orang yang berpuasa rentan untuk sakit. Padahal, dia cuma politisi, bukan dokter dan bukan ahli syariat Islam. Usulannya itu membuat publik Aljazair heboh. Itu menguntungkan bagi dia dari sisi popularitas. Makanya, seharusnya diemin saja, aturannya sudah ada kok tentang siapa yang wajib berpuasa dan tidak perlu berpuasa. Pegang saja aturan itu, beres semuanya.

            Dalam kondisi “physicall distancing” ini, anggap saja kita seperti ulat jelek menakutkan yang sedang berada dalam kempompong, tidak bisa kesana-kemari. Diam di tempat sambil membina dan mempersiapkan diri hingga waktunya tiba keluar dari kepompong dan menjadi kupu-kupu yang indah menawan hati. Banyak introspeksi diri, mendekatkan diri pada Illahi. Apalagi jika sudah masuk Ramadhan, lebih banyak kesempatan dan anugerah untuk memperbaiki diri. Mari kita sama-sama manfaatkan kesempatan itu.

            Kalau Allah swt mengangkat wabah Covid-19 dari Indonesia pada akhir Ramadhan ini, berarti kita memiliki “tiga kemenangan”. Ingat, kita sering menyebut “Idul Fitri” sebagai “Hari  Kemenangan” disebabkan sejarahnya kita memiliki “dua kemenangan”, yaitu “menang menyelesaikan puasa sebulan penuh” dan “menang mengusir penjajah” dengan Proklamasi 17 Agustus 1945 yang bertepatan dengan “Jumat, 9 Ramadhan 1364”. Jika wabah ini diangkat Allah swt pada Ramadhan, kita punya tiga kemenangan karena ditambah satu kemenangan, yaitu “menang dengan kesabaran menghadapi ujian berupa wabah penyakit”.

            Hayu ah, mari, daripada ngomongin usulan Si Rudi Valinka yang bukan ahli syariat Islam dan bukan pula ahli kesehatan, lebih baik persiapkan diri hingga selepas wabah ini kita menjadi pribadi-pribadi yang lebih baik lagi. Bagi yang ingin membina dan mempersiapkan diri dan atau keluarga untuk menjadi lebih baik lagi bersama kami, klik http://pmb.unfari.ac.id




           Sampurasun.

Saturday 18 April 2020

Kran Pahala

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Ada banyak judul buku tentang “langit”. Misalnya, membuka pintu langit, mengetuk pintu langit, menjadi penduduk langit, atau terkenal di kalangan penduduk langit. Jika berbicara tentang langit, selalu tentang kebaikan, pahala, kemuliaan, keagungan, keluhuran, kedekatan dengan Allah swt, dan lain sebagainya.

            Kalaulah pahala dan segala keistimewaan itu kita ibaratkan air, lalu langit adalah reservoir, untuk mengalirkan air itu, kita memerlukan pipa dan kran. Dengan pipa dan kran, air itu dapat mengalir ke rumah-rumah kita. Demikian pula dengan pahala dan segala keagungan langit, untuk mengalirkannya, kita membutuhkan kran agar sampai ke diri kita. Banyak sekali kran yang diberikan Allah swt untuk mengalirkan pahala itu dari langit. Salah satunya adalah dipegang oleh kita semua, yaitu “handphone” (Hp).

            Saya sudah menulis ini berulang-ulang dan selalu teringat Prof. Mohamad Surya (Alm.). Kalau akan mengusulkan undang-undang untuk memperbaiki negara, selalu berkeliling dulu ke masyarakat, pejabat, dan perusahaan, baik milik swasta maupun milik pemerintah. Dari merekalah, kita mendapatkan masukan tentang berbagai hal untuk diperbaiki, kemudian dibuat naskah akademik untuk mempertajam kebutuhan-kebutuhan masyarakat itu sehingga DPR RI dan pemerintah paham serta tidak menolak usulan kita. Begitu caranya untuk membuat undang-undang, bukan dengan makian, kata-kata kasar, apalagi tindakan anarkis yang nggak ada ujung-pangkalnya.

            Dalam suatu perjalanan untuk mendengar aspirasi masyarakat itu, di dalam mobil Prof. Surya mengajak ngobrol.

            “Tom, saya bikin buku itu agar bermanfaat bagi orang lain. Tidak perlu terjual habis saat ini. Siapa tahu 5,10, atau 20 tahun lagi ada anak-anak muda yang membaca buku saya. Lalu, mereka mendapatkan manfaat dan dipraktikan ilmunya untuk masyarakat. Mudah-mudahan, ilmu dari buku itu pahalanya terus mengalir kepada saya, bahkan sampai ke kuburan saya,” katanya.

            “Insyaalllah, Prof.,”  jawab saya.

Di Gedung Kura-Kura yang diperebutkan orang itu

            Buku-bukunya sampai sekarang ada dan digunakan, terutama oleh mereka yang berkecimpung dalam bidang psikologi, bimbingan siswa, bimbingan keluarga, dan bimbingan anak. Dia Guru Besar dari Universitas Pendidikan Indonesia (Upi).

            Bagi Prof. Surya, buku adalah kran untuk mengalirkan pahala dari langit. Saya yakin selama ilmu dari buku-bukunya yang kemudian diamalkan atau dipraktikan untuk kebaikan masyarakat, selama itu pula kran pahala itu terbuka dan mengalir kepadanya, baik selama hidup maupun sampai sekarang meskipun sudah wafat. Pahala itu tidak berhenti untuknya.

            Tidak semua orang bisa bikin buku. Akan tetapi, kita punya kran untuk mengalirkan pahala, yaitu Hp yang sering kita pegang. Jika kita menulis atau memposting hal-hal baik yang bermanfaat dan mendorong masyarakat untuk selalu sadar berbuat baik, lalu banyak orang yang melakukan kebaikan karena diingatkan oleh kita, pahala dari langit pun akan mengalir kepada kita selama kita hidup, bahkan hingga ke kuburan kita. Postingan yang bermanfaat dari kita dilaksanakan orang lain, lalu diajarkan atau disampaikan ke orang lain lagi, kemudian disampaikan ke orang lain lagi, bahkan disampaikan ke anak dan cucunya, begitu seterusnya. Pahala kita pun tidak akan pernah berhenti mengalir untuk kita terus dan terus. Insyaallah, hidup kita akan terang di dunia dan terang pula di akhirat.

            Sebaliknya, jika kita gemar memposting keburukan, hal-hal terlarang, fitnah, berita dusta, hoax, kekejian, penghinaan, makian yang tidak berdasar, lalu ada orang yang percaya terhadap postingan buruk kita, lalu disebarkan kepada orang lain lagi, disebarkan lagi ke orang lain, begitu seterusnya, apa yang akan mengalir kepada kita?

            Semakin banyak orang yang terpengaruh oleh kezaliman kita, semakin banyak dosa yang menempel di tubuh kita hingga hidup kita berat dengan memikul dosa. Aura kita menghitam dan gelap. Tak ada ketenangan yang kita rasakan karena gelombang dosa terlalu banyak. Segala dosa itu mengalir hingga ke kuburan kita terus dan terus selama ada orang yang melakukan keburukan karena terpengaruh postingan kita yang buruk.

            Pikirkan hal itu.

            Cek postingan-postingan kita, apakah banyak manfaatnya atau banyak buruknya. Bersihkan segala keburukan itu, mulailah dengan kebaikan.

            Jangankan di akhirat nanti, sekarang saja kita sudah bisa melihat sendiri baik dan buruknya kita melalui postingan-postingan kita. Banyak orang ditangkap dan dipenjara gara-gara postingan atau komentar buruknya.

            Coba ukur sendiri berat kebaikankah atau keburukankah?

            Kemudian, perkirakan di mana tempat kita sebetulnya kini dan nanti.

            Jangan bicarakan orang lain. Bicarakan saja diri kita sendiri karena  pada akhirnya kita bertanggung jawab atas diri kita sendiri dan bukan mempertanggungjawabkan hidup orang lain.

            Yuk, sama-sama bersihkan Medsos kita dari postingan-postingan buruk. Kita hitung sama-sama diri masing-masing. Gunakan Hp sebagai kran untuk mengalirkan pahala dari langit, bukan menarik segala dosa ke tubuh kita.

            Belajarlah dan terus belajar tanpa henti karena belajar itu wajib dari buaian hingga liang lahat. Bagi yang mau belajar di Universitas Al-Ghifari, klik http://pmb.unfari.ac.id


            Sampurasun

Thursday 16 April 2020

Harunya Cinta

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Sangatlah menyenangkan dan mengharukan melihat masyarakat memberikan bunga, minuman dan makanan sehat, semangat, sikap ramah, bahkan mengelu-elukan para dokter dan perawat yang menangani virus corona. Masyarakat menunggu mereka keluar dari rumahnya atau pulang dari tempat tugasnya hanya untuk memberikan segala hal yang dapat menumbuhkan semangat para dokter dan perawat itu. Masyarakat pun menerima dengan hati gembira para tenaga medis yang dikarantina untuk memastikan kesehatannya. Bahkan, bukan hanya dokter dan perawat yang diberikan apresiasi atau penghargaan, melainkan pula sopir ambulans, cleaning service, dan penggali kubur.

            Itulah masyarakat yang tercerahkan, cerdas otaknya, cerdas hatinya, dan cerdas pula tindakannya. Mereka punya banyak cinta di dalam hatinya. Masyarakat seperti inilah yang bertindak sebagaimana yang disampaikan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil bahwa dalam menangani korban Covid-19 haruslah “ilmu yang dijadikan panduan untuk bertindak”.

            Ilmu yang harus dijadikan standar bukan hoax atau provokasi dari informasi-informasi Medsos yang kalang kabut dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Hoax dan provokasi Medsos hanya membuat kita bodoh dan berhati kasar, jauh dari cinta.

            Hal seperti ini pernah saya alami ketika masih menjadi Asisten Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) membantu Prof. Mohamad Surya (Alm.). Sering tiba-tiba ada yang mengajak salaman ketika saya makan di restoran, padahal tidak kenal; sering pula ada yang memberikan madu, keripik, sayuran, membelikan kopi, membayarin saya makan, menghadiahi makanan ringan atau cemilan, tiba-tiba memberikan senyuman dengan hormat, dan lain sebagainya. Perasaan yang ada dalam diri saya sangat tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata, tetapi yang jelas ada cinta dan rasa hormat di sana.



            Meskipun saya tidak mengenal mereka, saya langsung tahu bahwa mereka itu adalah guru atau keluarga guru. Padahal, saya tidak berjasa apa pun terhadap mereka. Saya hanya asisten atau pembantu. Mereka berterima kasih atas perjuangan Prof. Surya yang telah bersusah payah mencairkan dana sertifikasi bagi para guru dan dosen di seluruh Indonesia. Prof. Surya itu berjuang melewati empat presiden, yaitu sejak Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati, dan baru berhasil cair di era Susilo Bambang Yudhoyono.

            Dana sertifikasi itu berlanjut hingga hari  ini. Sementara itu, Prof. Surya sendiri tidak kebagian dana sertifikasi itu. Saya apalagi tidak kebagian karena saya saat itu bukan guru dan bukan dosen. Baru setelah berhenti bekerja di gedung dewan perwakilan rakyat itu, saya ikut mengajar sebagai guru ataupun dosen.

            Sungguh, rasa terima kasih dan penghormatan masyarakat itu menimbulkan rasa haru dan semangat yang luar biasa. Saya sendiri menjadi seperti keluarga mereka. Saya kira mungkin mirip-mirip perasaan yang ada di dalam diri para dokter, perawat, sopir ambulans, penggali kubur, dan mereka yang menangani pasien virus corona dengan perasaan yang ada dalam diri saya saat itu. Saat ini mereka membutuhkan semangat, dorongan, dan  dukungan masyarakat, bukan fitnah, hoax, penolakan, atau informasi-informasi menyesatkan yang menyudutkan mereka.

            Kita semua membutuhkan cinta, rasa hormat, dan kebersamaan. Oleh sebab itu, mereka yang kasar, tidak memiliki rasa hormat, dan pemecah belah adalah musuh dan sampah masyarakat.

            Hal yang juga membanggakan adalah mahasiswa-mahasiswa saya di Universitas Al-Ghifari pun melakukan banyak aksi positif, misalnya, memberikan pelayanan cek kesehatan gratis, menyosialisasikan perlindungan diri dari virus corona, dan menampung sumbangan dana dari masyarakat untuk digunakan membantu para petugas kesehatan. Saya sering melihat status-status mereka di berbagai media sosial. Itu jauh lebih baik daripada menyebarkan berita yang tidak karu-karuan.

            Yuk, mari saling menghormati, mencintai, saling peduli, dan saling mengingatkan agar kita menjadi harmonis dan terlindungi dari segala macam keburukan. Semua masalah bisa diselesaikan baik-baik jika kita memilih dengan cara yang baik. Sebaliknya, kita bisa menyelesaikan dengan cara yang buruk jika kita ingin menggunakan cara yang buruk. Jika memilih baik-baik, kita akan baik-baik saja. Jika memilih buruk, ada penjara yang menunggu.

            Yuk, berbuat baik dengan disiplin menuntut ilmu di Universitas Al-Ghifari. Klik http://pmb.unfari.ac.id











            Sampurasun  

Wednesday 15 April 2020

Move On


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Hari ini mulai terasa berkurang orang yang membicarakan Jokowi. Syukurlah karena nggak ada  untungnya juga terus-terusan membicarakan Jokowi, ngabisin waktu, ngabisin energi. Kita tinggal bantu saja dia dengan dukungan dan kritikan.

            Yang sudah mampu “move on” dari Jokowi, sebaiknya menggunakan waktu dan energinya untuk lebih berkonsentrasi pada hal-hal yang lebih penting. Dalam masa “physicall  distancing”  ini, kita memiliki lebih banyak waktu luang untuk melakukan introspeksi dan evaluasi diri. Banyak hal yang dapat kita evaluasi.

            Orang biasanya selalu memikirkan uang, kedudukan, cinta, dan hubungan manusia. Hal-hal itu dapat kita evaluasi. Kita bisa mulai dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana yang kita tujukan pada diri sendiri.

            Mengapa orang lain uangnya lebih banyak?

            Mengapa kedudukan orang lain lebih tinggi?

            Mengapa orang lain mudah mendapatkan cinta?

            Mengapa orang lain lebih dihormati dan diperlukan dibandingkan diri kita?

            Mengapa sih kita selalu menderita dan kekurangan terus?

            Banyak pertanyaan yang dapat kita tujukan kepada diri kita untuk menjadi bahan introspeksi dan evaluasi diri. Tujuannya, tak lain untuk membuat hidup kita lebih baik lagi pada masa depan.

            Untuk menjawab hal itu, tidak perlu kita menuding orang lain sebagai penyebab segala kesusahan kita karena hal itu sama sekali tidak memperbaiki diri kita. Kalau kita selalu menyalahkan orang lain, kita akan selalu tenggelam dalam kesusahan, penderitaan, kegelisahan, dan kebingungan. Hal itu disebabkan kita tidak bisa mengatur hidup orang lain. Satu-satunya manusia yang bisa kita atur adalah diri kita sendiri. Jawablah dengan jujur bahwa penyebab kesusahan kita itu adalah diri kita sendiri.

            Kita harus memegang adagium “hal yang terjadi hari ini kepada kita disebabkan perilaku kita pada masa lalu dan perilaku kita hari ini menentukan masa depan kita sendiri”. Masa lalu, masa kini, dan masa depan saling terhubung dan saling mempengaruhi. Untuk memahami hari ini, kita bisa mengingat masa lalu.

            Apakah dulu ketika zaman sekolah atau kuliah kita rajin, disiplin, dan serius?

            Apakah ketika memiliki pekerjaan kita berusaha maksimal dan bekerja keras?

            Apakah kita jujur atau curang terhadap orang lain dalam bisnis kita?

            Apakah kita disiplin dan selalu menghormati atasan kita?

            Apakah kita menggunakan penghasilan kita untuk hal-hal yang penting atau sama sekali tidak penting?

            Apakah banyak orang yang merasa nyaman dengan kita atau malah banyak yang terlukai oleh kita, baik fisik maupun hatinya?

            Banyak hal yang bisa kita evaluasi. Jika kita jujur, insyaallah kita punya kekuatan untuk menjadi orang yang lebih baik lagi dalam segala hal dibandingkan hari ini.

            Yuk sama-sama introspeksi dan evaluasi diri, jangan banyak ngomongin Jokowi. Jangan menggantungkan hidup kita kepada pemimpin. Orang yang masih berharap hidupnya diurus oleh pemimpinnya adalah orang-orang lemah yang hidup pada zaman kerajaan atau negara yang baru merdeka. Kita harus “move on” dari masa itu. Kita harus kuat hidup dengan kemampuan diri kita. Diri kita harus punya daya jual yang tinggi dalam kehidupan ekonomi. Kalau daya jualnya masih rendah, tingkatkan kualitas diri dengan mengikuti berbagai pendidikan, pelatihan, dan mencontoh pengalaman hidup orang lain yang lebih sukses.

            Orang lain bisa bikin pesawat terbang, handphone, roket, motor, mobil, mengatur ekonomi orang banyak, mengatur kehidupan orang lain, mempengaruhi negara, bisnis antarnegara, ahli kedokteran, masa kita tidak bisa meningkatkan kualitas hidup diri kita sendiri. Move on dari masa lalu, ke masa yang lebih baik.

            Begitu juga saya bersama teman-teman di Program Studi Hubungan Internasional (HI), Fisip, Universitas Al-Ghifari berusaha mengevaluasi diri agar lebih meningkat pada masa depan. Bukan hanya universitas yang harus maju, melainkan pula para mahasiswa harus mendapat jalan untuk mendapatkan pekerjaan yang berhubungan dengan aktivitas internasional dalam rangka mewakili Indonesia dalam kancah percaturan internasional. Oleh sebab itu, saya dan teman-teman berusaha berhubungan dengan Prodi HI dari universitas lain, mengajak mahasiswa untuk memahami organisasi internasional seperti Asean, memperkenalkan bagaimana kepentingan nasional Indonesia diperjuangkan melalui jalur wakil rakyat di tingkat internasional, mempererat pergaulan dengan komunitas-komunitas Korea Selatan dan Amerika Serikat, mendorong mahasiswa untuk meneliti perusahaan-perusahaan Indonesia yang berskala internasional, mengajak mahasiswa untuk mengunjungi negara-negara luar, minimal yang dekat-dekat dulu, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Dengan demikian, jalur-jalur untuk mengimplementasikan ilmu pengetahuan dalam dunia kerja internasional dapat lebih terbuka dan mahasiswa dapat memanfaatkannya dengan baik.





            Untuk kunjungan ke luar negeri, sebenarnya sudah direncanakan dalam waktu dekat ini, namun karena ada pandemi Covid-19, ditunda dulu hingga wabah ini diangkat Allah swt. Insyaallah, jika semua sudah memungkinkan, semua program kunjungan ke luar negeri atau menerima tamu dari luar negeri dapat berjalan normal sebagaimana yang diharapkan.

            Sekali lagi, yuk move on dari situasi lama ke situasi yang baru dengan kemampuan diri sendiri. Dengan mengevaluasi diri serta meningkatkan pengetahuan dan keterampilan diri, setelah pandemi corona ini selesai, kita dapat lebih kuat dan lebih sukses dalam hidup dan kehidupan.

            Bagi yang ingin meningkatkan kualitas diri di Universitas Al-Ghifari, klik http://pmb.unfari.ac.id

            Sampurasun