Wednesday 22 April 2020

Mudik & Pulkam

oleh Tom FInaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Jokowi memang punya daya tarik tersendiri, baik bagi para pendukungnya maupun bagi para pembencinya.

            Boleh benci Jokowi?

            Boleh.

            Boleh benci, boleh suka, boleh setuju, boleh tidak setuju, itu semua hak. Hal yang tidak diperbolehkan itu berdusta, fitnah, hoax, bikin huru-hara, dan atau mengganggu ketenangan hidup orang lain. Ada undang-undangnya, lho. Awas, jangan sampai tiba-tiba kalian dikejutkan polisi yang datang ke rumah kalian, lalu menangkap kalian di rumah kalian sendiri.

            Malu tahu!

            Orang-orang memang susah “move on” dari Jokowi. Hampir seluruh gerak-geriknya dan kata-katanya memancing perhatian orang. Dia itu bagai magnet. Buktinya, kata-kata sederhananya saja jadi perbincangan orang, baik yang suka maupun yang benci.

            Iya toh?

            Diakui atau tidak diakui, iya toh pisan pokoknya mah.

            Soal kata-katanya tentang “mudik” dan “pulang kampung” (Pulkam) memancing banyak orang untuk bereaksi. Kedua istilah itu berasal dari talk show yang dipandu Najwa Shihab. Saya juga sebetulnya ingin menonton talk show itu, cuma ngantuknya bukan main. Akhirnya, ketiduran, tidak sempet nonton.

            Sejak pagi, banyak status mengenai kedua kata itu karena pemahaman orang-orang berbeda dengan yang dijelaskan Jokowi. Seperti saya katakan tadi, saya ketiduran. Jadi, tidak mendengarkan langsung maksud kedua kata itu dari Jokowi. Akan tetapi, saya perhatikan dari dari status-status netizen tentang kedua kata itu.

            Berdasarkan status-status netizen, saya memahaminya seperti ini. Menurut Jokowi, pulang kampung itu adalah pulang ke kampung karena sudah tidak ada pekerjaan dan tidak punya uang. Adapun mudik adalah pulang menemui keluarganya di kampung untuk bersilaturahmi serta masih punya uang dan pekerjaan. Pulang kampung sifatnya lama, bahkan permanen, selamanya. Adapun mudik sifatnya sebentar atau sementara, tidak selamanya, kemudian kembali meninggalkan kampungnya untuk bekerja di kota lain. Begitu kira-kira.

            Contohnya seperti ini. Ayah tetangga saya adalah salah seorang direktur di PT Telkom. Dia memutuskan untuk berhenti menjadi direktur karena sudah tidak nyaman dan selalu ingat masa kecilnya ketika menunggang kerbau di sawah atau tegalan. Dia pun mengundurkan diri dari PT Telkom, lalu benar saja baru juga sampai di kampungnya, langsung memeloroti celana panjangnya, ganti pakai celana pendek, menyimpan jas dan dasinya, kemudian ke sawah dan kembali menunggangi kerbaunya. Nah, ini namanya pulang kampung, bukan mudik. Berbeda dengan mudik yang datang dari Jakarta atau kota lainnya, pulang bersilaturahmi ke keluarganya beberapa waktu, lalu kembali lagi ke Jakarta atau kota lainnya untuk bekerja. Nah,  ini namanya mudik.

            Jika kita klak-klik kamus, arti kata mudik adalah pulang kampung. Udik itu artinya pedalaman atau kampung. Mudik berarti “meng-udik”, ‘melakukan pulang kampung’. Kalau diterjemahkan ke bahasa Inggris mudik adalah “going home” yang kalau diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Indonesia, artinya menjadi “pulang kampung”. Bolak balik bekok blekok.

            Kalaulah Jokowi membedakan arti istilah pulang kampung dengan mudik sesuai dengan pemahamannya sendiri, tidaklah mengapa. Hal itu disebabkan Jokowi menggunakan pengertian “stipulatif”, yaitu pengertian yang tidak lazim dan berbeda dari kamus yang biasa digunakan. Orang-orang harus memahami kata itu berdasarkan pemahaman orang yang mengucapkannya jika kita ingin berinteraksi dengan orang itu.

            Hal yang sama juga dilakukan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia (Menkopolhukam RI) Mahfud M.D. yang membagi tiga pengertian stipulatif “radikal”, yaitu pertama, “takfiri”, ‘mengafirkan orang lain yang memiliki pemahaman agama berbeda’; kedua, “jihadi”, ‘pembunuhan dan pengeboman terhadap pihak lain karena perbedaan pemahaman agama’; ketiga, “ideologi dan pemikiran untuk selalu mengubah sistem negara”. Ketiga arti radikal ini tidak ada di kamus, tetapi hanya ada dalam pemahaman Mahfud M.D..

            Hal yang sama juga dilakukan oleh Rocky Gerung yang mengatakan bahwa “isi dari semua kitab suci adalah fiktif”.  Jika kita buka kamus, fiktif atau fiksi itu bisa disamakan dengan “khayalan”. Tentu saja banyak orang yang marah karena Al Quran adalah kitab suci umat Islam yang diyakini isinya bukanlah khayalan. Oleh sebab itu, Rocky Gerung pun dilaporkan ke kepolisian, tetapi tidak ditahan.

            Iya, kan? Rocky Gerung tidak ditangkap? Dia hanya dipanggil polisi untuk memberikan penjelasan.

            Fiktif dalam pemahaman Rocky Gerung adalah kisah atau ajaran atau penuturan atau apa pun yang mendorong orang untuk memiliki imajinasi. Sorga, neraka itu adalah imajinasi. Setiap orang memiliki imajinasi berbeda tentang sorga dan neraka. Gambaran tentang sorga dan neraka bisa berbeda dalam pikiran setiap orang. Termasuk malaikat Rokib dan Atid yang mencatat amal baik dan amal buruk. Mungkin ada orang yang membayangkan kedua malaikat ini membawa pulpen dan kertas catatan, mungkin  pula anak sekarang ada yang membayangkan kedua malaikat ini membawa laptop atau gadget, bahkan mungkin pula ada yang membayangkan bahwa keduanya duduk di tempat dengan memperhatikan gerak-gerik semua orang melalui kamera CCTV seperti yang dilakukan petugas Dishub yang duduk saja di ruangan dengan memperhatikan puluhan video dalam satu layar yang sama tentang situasi lalu lintas di seluruh provinsi. Kita tidak pernah tahu isi bayangan semua orang. Mungkin begitu yang dipahami Rocky Gerung tentang fiksi. Kalau pengen lebih jelas, tanya saja Rocky Gerung.

            Itulah pengertian stipulatif.

            Hal yang sama juga pernah saya lihat sendiri. Teman saya pernah mengadakan suatu acara dengan mengundang “Ustadz Jujun Junaedi”. Iya ustadz yang itu. Ustadz yang itu tuh yang dari Cileunyi. Ustadz yang sering ada di tvOne.

            Selepas Ustadz Jujun berceramah, pembawa acara (MC) berbicara keras di atas panggung dengan menggunakan pengeras suara, “Gelo! Edan euy Ustadz Jujun!”

            Itu juga stipulatif karena kata “gelo” dan “edan” dalam pemahaman Si MC itu adalah “hebat, menarik, luar biasa”.

            Meskipun Ustadz Jujun ketawa-ketawa mendengar kata-kata Si MC dan tidak sedikit pun tersinggung, teman yang berada di samping Si MC berkata keras yang juga menggunakan pengeras suara, “Sia nu gelo jeung edan mah! Lain Ustadz Jujun!”

            Jadi, setiap kata, setiap kalimat bisa memiliki arti sesuai kamus dan dipahami semua orang, bisa juga berbeda dengan yang dipahami orang  lain. Oleh sebab itu, jangan tergesa-gesa menilai seseorang dengan kata-katanya karena pemahaman yang dimilikinya bisa berbeda dengan pemahaman kita. Jika kita menilai kata-kata orang lain tanpa memahaminya secara utuh, itu namanya tidak nyambung.

            Yuk ah, mari puasa, shaum Ramadhan. Mari saling memaafkan karena kita manusia yang jelas punya salah dan kekhilafan. Nggak ada gunanya terus-terusan berselisih. Sekarang mah bersih-bersih diri saja.

            Jangan lupa bagi yang mau kuliah di Universitas Al-Ghifari, klik http://pmb.unfari.ac.id







            Sampurasun

No comments:

Post a Comment