Friday 29 November 2019

Tentang Sukmawati Soekarnoputri


oleh Tom Finaldin


Bandung Putera Sang Surya
Puteri Presiden Pertama RI Ir. Soekarno ini kalimat-kalimatnya kerap membikin heboh rakyat Indonesia. Dulu soal puisinya yang menyabit-sabit soal adzan, kidung, cadar, konde.

            Baru-baru ini pun bikin heboh lagi dengan pertanyaannya di depan mahasiswa, “Sekarang saya mau tanya semua, yang berjuang di abad 20 itu Yang Mulia Nabi Muhammad apa Ir. Soekarno untuk kemerdekaan?”

            Sebetulnya, penyelesaiannya tinggal dijawab saja.

            Bisa kan menjawabnya?

            Kalau mau diperdebatkan, ya berdebat saja.

            Persoalannya, Sukmawati mengeluarkan ucapan dengan hal-hal yang dianggap sensitif di tengah masyarakat Indonesia. Tidak semua orang memiliki sensitivitas yang sama. Ada yang biasa-biasa saja, ada yang langsung berpikir, ada yang langsung marah, ada juga yang seperti saya. Saya ini suka kasihan sama Sukmawati, lalu merasa lucu.

            Saya kasihan sama Sukmawati karena tidak memahami Islam dengan baik, tetapi mencoba berbicara dengan menggunakan simbol-simbol Islam. Dengan demikian, kalimatnya bisa terdengar sangat asing dan aneh di telinga masyarakat Indonesia.

            Tampak sekali keterbatasan pemahamannya tentang Islam. Sebaiknya, Sukmawati jangan dulu berbicara dengan simbol-simbol Islam jika tidak mengerti dengan benar. Ngaji dulu deh. Kalaupun mau, sebaiknya Sukmawati memiliki staf yang memahami Islam dengan lebih baik sehingga dapat memberikan masukan kepada dirinya sebelum mengucapkan hal-hal yang terkait Islam.

            Saya juga merasa pengen ketawa, lucu soalnya. Sukmawati memang geram dengan adanya kelompok-kelompok radikal, intoleran, dan mengarah teror dengan maksud mengubah Negara Indonesia menyimpang dari tujuan sebenarnya yang telah diletakkan sebagai fondasi oleh para founding fathers, termasuk ayahnya, Ir. Soekarno. Akan tetapi, lucunya, kegeramannya itu ditunjukkan dengan menyitir simbol-simbol Islam, padahal simbol-simbol itu tidak salah apa pun. Seharusnya, yang “diserang” itu adalah orang-orang atau pihak-pihak yang menggunakan simbol-simbol Islam secara tidak benar untuk melakukan kekacauan berpikir dan kesemrawutan dalam kehidupan bermasyarakat di NKRI.

            Sebaiknya, Sukmawati memang tidak perlu lagi berbicara dengan menggunakan simbol-simbol Islam jika tidak mengerti dengan benar. Hal itu disebabkan banyak masyarakat muslim yang baik, taat, dan tidak bermasalah ikut merasa aneh dan menyayangkan ucapan-ucapan Sukmawati karena mereka pun sangat menghormati simbol-simbol Islam yang diucapkan Sukmawati Soekarnoputri. Di samping itu, tidak semua orang punya pikiran dan kesiapan mental untuk berbicara dalam satu gelombang yang sama dengan Sukmawati.

            Sampurasun.

Thursday 28 November 2019

Antara Menghormat dan Menyembah


oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Permasalahan menghormat bendera itu sudah lama terjadi. Kasus ini di Indonesia sudah terjadi sejak lama pada beberapa kelompok muslim. Setahap demi setahap dalam kelompok muslim ini diselesaikan dengan baik. Penyebab tidak mau untuk menghormat bendera Merah Putih paling tidak, ada dua, yaitu pertama, tidak mengakui eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta kedua, kesalahan pemahaman dalam mengartikan kata “menghormat” yang disamakan dengan kata “menyembah”.

            Penyebab yang pertama jelas itu bisa dikategorikan pelanggaran berat karena tidak mengakui keberadaan NKRI yang bisa berujung pada hukum dengan tuduhan makar, intoleran, radikal, ataupun teror. Hal ini memang sudah ada niatan untuk memisahkan diri dari NKRI atau mengubah NKRI sesuai dengan keyakinannya. Berbeda dengan penyebab yang kedua, yaitu kesalahan dalam memahami kata menghormat dengan menyembah. Ini tidak bisa disamakan dengan yang pertama. Pelakunya tetap mengakui NKRI, tetapi memiliki kekhawatiran bahwa sikap menghormati bendera itu melanggar ajaran agamanya. Hal ini bisa diselesaikan dengan berdiskusi atau berdebat tentang kata menghormat dan menyembah.

            Jika kita lihat kasus yang terjadi di SMPN 21 Batam, kedua siswa yang tidak mau menghormat bendera itu disebabkan kesalahan pemahaman dalam mengartikan kata menghormat dengan menyembah.

            Hal ini sebagaimana yang disampaikan salah seorang orangtua siswa tersebut, “Dalam iman kami, menghormat itu sama dengan menyembah.”

            Mereka ngotot tidak mau mengangkat tangan untuk menghormati bendera meskipun tetap menghormati bendera dan seluruh rangkaian upacara dengan cara berdiri tegap.

            Tampak sekali kesalahan pemahaman itu. Hal ini bisa diselesaikan dengan diskusi, perdebatan, dan pencerahan. Dari beberapa berita yang beredar, pihak sekolah sudah berulang-ulang memberikan pengertian dan pemahaman, bahkan dengan mendatangkan ahli agama, tetapi tidak dicapai kata sepakat. Lebih jauh, terjadi perselisihan dan perdebatan yang tidak berujung. Akhirnya, kedua siswa kelas 8 dan 9 SMPN 21 Batam itu dikembalikan kepada orangtuanya karena dianggap melanggar peraturan sekolah dan dikhawatirkan berpengaruh pada siswa yang lainnya.

            Dalam menyelesaikan masalah itu, memang pihak sekolah mendatangkan ahli agama, tetapi ahli agama apa?

            Kalau mau lebih terang, seharusnya yang didatangkan itu adalah pendeta dari agama yang mereka anut dan sekeyakinan dengan mereka. Mereka penganut sekte “Saksi Yehowa” (Jehovah’s Witnesses). Jadi, Pendeta Saksi Yehowa yang menjadi pemimpin di gereja mereka yang harus didatangkan. Sebelumnya, pendeta itu pun harus diselidiki dulu tentang benar-tidaknya mengajarkan bahwa menghormat bendera itu sama dengan menyembah bendera. Kalau benar, pendeta itu dulu yang harus diberikan pembinaan. Kalau tidak, berarti keluarga itu yang menafsirkan sendiri tentang agamanya di luar pemahaman pendeta. Hal itu harus diperbaiki oleh pendeta mereka sendiri.

            Hal yang menjadi pertanyaan saya, berapa banyak jumlah penganut Saksi Yehowa di Indonesia?

            Apakah mereka juga sama semua sikapnya untuk tidak menghormati bendera karena dianggap menyembah bendera?

            Kalau semua sama, pembinaan harus dilakukan kepada para pendetanya secara massal. Kalau tidak, pembinaan dapat dilakukan di tempat-tempat yang bermasalah saja.

            Saya juga  punya tetangga penganut Saksi Yehowa yang punya anak SMP, kadang saya bantu dia jika membutuhkan pakaian, bahkan makanan. Dia berteman dengan anak saya. Dia sekolahnya baik-baik saja, tak ada kisah bermasalah soal penghormatan terhadap bendera.

            Memang akan menjadi masalah jika menghormat bendera disamakan dengan menyembah bendera. Kita menghormati bendera itu karena dalam penghormatan itu terkandung sikap menghormat kepada para pahlawan, tanah air, korban-korban revolusi, anugerah Allah swt berupa kemerdekaan, dan lain sebagainya. Kita pun pasti tidak akan mau menghormat bendera jika harus disamakan dengan menyembah Tuhan yang menciptakan, memelihara, mengatur, dan memberikan rezeki buat kita.

            Menghormat bendera itu bukan menyembah bendera. Bendera Merah Putih adalah lambang, ciri sebagai bangsa dan Negara Indonesia tempat kita dihidupkan, diperjalankan, bahkan mungkin dimatikan.

            Sampurasun.

Friday 22 November 2019

Jihad Ala SM Kartosuwiryo


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Namanya Sekarmadji Maridjan Kartosoerwirjo. Kalau dalam ejaan bahasa Indonesia sekarang Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo. Kita singkat saja SM Kartosuwiryo. Dia adalah Presiden Negara Islam Indonesia (NII) yang diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 di wilayah Garut, Jawa Barat.

            Proklamasi NII ini dipicu oleh situasi politik saat itu di Indonesia pasca-Perjanjian Renville. Kekuasaan NII sudah dilemahkan oleh NKRI dan sekarang tidak memiliki pengaruh politik apa pun. Akan tetapi, saya tidak ingin menulis hal itu. Itu sudah menjadi sejarah, masa lalu.

            Hal yang membuat saya tertarik adalah tulisan SM Kartosuwiryo mengenai pengertian “jihad kecil” dan “jihad besar”. Istilah jihad kecil dan jihad besar sendiri memang berasal dari Nabi Muhammad saw dalam sebuah hadits.

            Para pendakwah biasanya mengartikan jihad kecil sebagai perang fisik atau pertempuran bersenjata. Adapun jihad besar diartikan sebagai perang melawan diri sendiri atau melawan hawa nafsu. Dilihat dari kata “kecil” dan “besar”. Jihad kecil memang lebih mudah karena musuhnya nyata dan risikonya adalah membunuh atau dibunuh. Jihad besar itu lebih berat karena melawan hawa nafsu sendiri yang tidak nyata dan berasal dari keburukan diri sendiri. Perlu ketangguhan setiap hari untuk menang dalam jihad besar dan itu tidak mudah.

            Kita sendiri merasakan susahnya, bukan?

            Bangun untuk shalat Shubuh saja banyak yang sempoyongan dan gagal karena kembali berakhir di tempat tidur lagi. Untuk disiplin belajar dan bekerja saja, terseok-seok dan banyak alasan yang kemudian berakhir dalam masalah.

            Iya, kan?

            SM Kartosuwiryo memberikan pemahaman yang lebih luas soal ini. Menurutnya, jihad kecil itu selalu menimbulkan hal negatif, seperti, kerusakan, kehancuran, kesakitan, kematian, kemusnahan, keporakporandaan, dan kekalutan negara. Berbeda dengan jihad besar yang mengarah pada hal positif seperti  pembangunan bangsa dengan beragam pembangunan fisik semacam gedung pemerintahan, jalan, jembatan, lembaga pendidikan, tempat ibadat, dan infrastruktur lainnya. Di samping itu, jihad besar memiliki arah pula pada peningkatan sumber daya manusia, pemanfaatan sumber daya alam untuk kepentingan rakyat, serta penguatan terhadap keimanan beragama.

            Berdasarkan pendapat dari SM Kartosuwiryo tersebut, kita, bangsa Indonesia yang saat ini hidup damai, tidak dalam situasi perang, seharusnya memilih untuk melakukan jihad besar dengan cara membangun diri, keluarga, masyarakat, dan bangsa sesuai dengan kemampuan dan kapasitas masing-masing diri. Tidak perlu melakukan jihad kecil yang arahnya pada pertarungan fisik dan penghilangan nyawa karena hasilnya bakal negatif serta termasuk aksi makar, huru-hara, terorisme yang jelas merusakkan perkembangan hidup rakyat Indonesia, baik materil maupun spiritual.

            Saat ini adalah masanya untuk jihad besar, bukan jihad kecil.

            Sampurasun.

Thursday 14 November 2019

Jangan Berlebihan


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Sudah manusiawi jika kita membenci perilaku-perilaku jahat semacam korupsi, penipuan, pemerkosaan, perzinahan, fitnah, kecurangan, dan kedustaan. Akan tetapi, tidak boleh pula membenci berlebihan hingga tidak masuk akal. Misalnya, kita mengatakan bahwa koruptor adalah anti-Pancasila, penipu penerimaan pegawai negeri adalah anti-NKRI, atau pelaku pemerasan pada instansi adalah anti-pemerintah.

            Kebencian seperti itu adalah berlebihan. Rasa tidak suka hendaknya ditampakkan secara proporsional, seimbang terhadap perilakunya. Jika kita memvonis orang sebagai anti-Pancasila, anti-NKRI, atau anti-pemerintah, haruslah ada bukti nyata, baik tertulis ataupun lisan yang menyatakan dengan tegas bahwa orang itu anti terhadap pilar-pilar bangsa. Kalau tidak ada, mereka, para pelaku kejahatan itu sesungguhnya pendukung pilar-pilar bangsa, tetapi sedang bermasalah dengan hukum. Hal itu memang harus dijatuhi hukuman sesuai dengan jenis kesalahannya dan sesuai dengan hukum yang telah diberlakukan.

            Hal yang sama juga kita tidak bisa mengatakan bahwa seorang ustadz telah murtad karena melakukan pelecehan seksual terhadap santriwatinya. Tak bisa kita mengatakan murtad terhadap seorang muslim yang berzinah, mabuk-mabukan, mengonsumsi Narkoba, atau bahkan mengorupsi uang zakat, sedekah, maupun infak. Mereka tetap muslim, tetapi sedang melakukan pelanggaran terhadap ajaran Islam. Mereka adalah muslim yang khilaf sehingga melakukan penyimpangan. Perilaku mereka harus dikenai sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku, kemudian disadarkan kembali pada jalan yang seharusnya.

            Jangan berlebihan dalam membenci kejahatan. Berperilakulah adil dan seimbang. Sungguh, melatih diri untuk berperilaku adil dan seimbang tanpa sikap berlebihan akan melembutkan hati kita sehingga pikiran, perasaan, dan tindakan kita akan terasa lebih terang dan tampak jauh lebih jernih dibandingkan mereka yang selalu memelihara sikap berlebihan yang cenderung kasar.

            Sampurasun.

Saturday 9 November 2019

Semua Bisa Klaim Paling Kaffah


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Semua organisasi, komunitas, kelompok, grup, boleh dan bisa mengklaim diri sebagai manusia-manusia paling kaffah dalam menjalankan ajaran Islam. Semua tidak dilarang menganggap dirinya paling benar, paling menyeluruh dalam menjalankan Islam, paling total, atau setidaknya paling paham tentang “memasuki Islam secara kaffah”.

            Akan tetapi, benarkah klaimnya itu? Benarkah anggapan dirinya itu? Benarkah cara-cara yang dilakukannya itu?

            Kalaulah memang benar, benar menurut versi siapa? Menurut organisasi yang mana?

            Kalau ditanya pada NU, mungkin jawabannya adalah kaffah menurut cara dan versi NU. Kalau ditanya pada Muhammadiyah, jawabannya mungkin menurut cara dan versi Muhammadiyah. Kaffah dalam cara dan versi Persis mungkin berbeda dengan NU dan Muhammadiyah. Demikian pula jika ditanyakan pada organisasi-organisasi yang muncul belakangan ini, seperti, FPI atau HTI yang telah dibubarkan, mereka punya pemahaman dan cara sendiri. Hal yang sama akan terjadi jika ditanyakan pada Isis, Al Qaeda, Ash Shabab, atau Boko Haram, mereka punya pemahaman sendiri juga.

            Kalau pemahaman Islam Kaffah itu sama, kenapa tidak bersatu dalam satu organisasi saja untuk memperjuangkan yang sama?

            Kenyataannya, mereka tetap pada organisasinya masing-masing karena memiliki keyakinan bahwa apa yang dilakukan organisasinya adalah paling tepat dan cocok dengan diri mereka.

            Jadi, Islam Kaffah menurut cara dan versi siapa yang benar?

            Untuk menemukan pandangan Islam Kaffah yang paling benar, ada tiga cara, yaitu pertama, berdebat hingga lelah dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan akal, bukan dengan emosi rendahan. Kedua, menunggu Allah swt memberitakan kebenaran dengan cara-Nya sendiri di dunia ini. Ketiga, membiarkan semuanya sebagaimana adanya, lalu menyerahkannya kepada Allah swt agar diberitahukan kebenaran-Nya di akhirat nanti di pengadilan Illahi, siapa yang benar dan salah, siapa yang masuk surga dan neraka, bergantung nanti setelah kiamat.

            Berhati-hatilah menganggap diri paling benar sambil menunjuk yang lain adalah salah karena pengetahuan itu berkembang, para ahli ilmu terus meneliti, dan bacaan pun bisa bertambah. Bisa jadi apa yang kita anggap benar hari ini, ternyata salah pada hari lainnya.

            Bukankah sudah banyak contohnya?

            Mereka yang dulunya bergabung Isis atau melakukan aksi-aksi melawan negara yang sah, justru berbalik menjadi warga negara yang sangat baik. Bahkan, bekerja sama dengan pemerintah untuk menyadarkan saudara-saudaranya agar melaksanakan Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dalam koridor NKRI. Keyakinan bisa berubah.

            Sering-seringlah membaca Surat Al Fatihah karena di sana ada doa “Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus (benar)”. Semoga Allah swt mengantarkan kita ke jalan yang lurus itu.

            Bersikaplah bijak. Jangan mengklaim diri paling benar dan pasti masuk surga, kemudian menyalahkan orang lain sebagai calon penghuni neraka. Hal itu akan menyebabkan kita mudah mengafirkan orang lain. Itulah takfiri. Sikap itu akan mengacaukan perkembangan kehidupan dan ilmu pengetahuan kaum muslimin.

            Sampurasun.

Friday 8 November 2019

Saat Kerongkongan Tercekat, Doa Tak Bisa Terucap



oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Di Madinah, Arab Saudi, banyak tempat bersejarah yang dijejak dan dilangkahi Nabi Muhammad saw. Ketika kita ke tempat-tempat itu, maka kaki kita pun menjejak jalan-jalan yang sempat dijejak Sang Rasul saw. Namun, tempat atau spot yang paling utama, paling mengikat hati adalah Raudhoh, area antara mimbar tempat Nabi saw berkhutbah hingga rumah Nabi saw yang kini ada makam Nabi Muhammad saw.

            Raudhoh adalah salah satu tempat mudahnya dikabulkan doa-doa kita. Tak heran jutaan orang mengantri untuk bisa ke tempat itu. Kalaupun sampai di spot itu, orang berjubel dan berdesak-desakan. Kita harus pandai mencari waktu tepat untuk mendapatkan ruang dan situasi yang nyaman untuk beribadat, berdoa, dan menyapa Nabi Muhammad saw dengan segala kalimat salam yang kita tahu dan kita bisa. Oleh sebab itu, saya selama di Madinah sesering mungkin ke tempat itu. Rugi rasanya jika tidak menggunakan kesempatan yang baik itu untuk berdekatan dengan Sang Nabi. Saya lebih suka sendirian dibandingkan banyak orang bersama rombongan karena sendirian merasa lebih khusyuk, lebih privasi, lebih leluasa berdoa, lebih nyambung kepada Nabi Muhammad saw, dan lebih bebas bercakap-cakap dengan Allah swt dengan menggunakan bahasa sendiri.


            Pagi, siang, malam, tengah malam, shubuh, selalu saya intai Raudhoh untuk menemukan suasana yang tepat, nyaman, dan lebih pribadi. Dari hotel, sudah saya siapkan banyak doa, banyak kalimat, nama-nama orang yang menitipkan salam kepada Nabi Muhammad, serta nama mereka yang saya cintai yang juga mencintai saya untuk selalu saling mencintai.

            Akan tetapi, ketika waktu dan suasana yang tepat itu didapatkan pertama kali dan bisa duduk teramat dekat dengan makam Muhammad Rasulullah saw, tahukah apa yang terjadi?

            Kerongkongan tercekat, lidah kelu, semua doa tak bisa terucap, seluruhnya hilang dari ingatan. Saya hanya bisa duduk tertunduk dan menangis. Terisak dan terus terisak, air mata pun tak bisa ditahan. Ada perasaan berdosa, ada ucapan terima kasih kepada Sang Nabi, ada keinginan, ada rasa malu dan takut kepada Allah swt, dan berbagai rasa lainnya. Tak ada kata yang bisa terucap sebelum mampu mengendalikan diri.

            Lambat, perlahan, ketika berbagai rasa itu mulai terkendali, masih belum ada kalimat yang bisa diucapkan kecuali shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad saw. Hal itu berlangsung lama. Hanya shalawat dan salam.

            Perasaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Saya terbiasa setiap hari mengucapkan shalawat dan salam di Bandung, Garut, Jakarta, Purworejo, Bali, atau di bagian mana pun di Indonesia ini yang pernah saya datangi. Akan tetapi, ketika mengucapkan shalawat dan salam kepada Nabi dan Nabi Muhammad saw berada di samping saya, sungguh pengalaman rasa yang luar biasa. Wajar jika seorang pecinta menangis ketika didekatkan dengan yang dicintainya.

            Bagaimana tidak bersyukur jika didekatkan Allah swt kepada manusia mulia penuh cinta yang selalu mengajarkan kemuliaan dan cinta?

            Setelah beberapa lama hanya bershalawat dan bersalam, barulah sedikit demi sedikit teringat lagi doa-doa, kalimat-kalimat, dan nama-nama orang yang sebelumnya telah disusun di hotel untuk dipanjatkan kepada Allah swt.  Berbagai keinginan, sejumlah titipan salam, rupa-rupa harapan, dan kehendak cinta pun diucapkan perlahan dengan diselingi shalat sunat dua rakaat berulang-ulang. Berdoa, shalat, berdoa, shalat, begitu seterusnya hingga adzan shubuh berkumandang di Masjid Nabawi.

            Ini soal cinta. Ini soal rasa. Ini soal rasa syukur. Ini soal harapan. Ini soal pengakuan dosa. Ini soal taubat. Ini soal kepasrahan.

            Ini soal ketidakpedulian terhadap penilaian orang lain. Manusia boleh berbicara apa pun tentang ini. Akan tetapi, rasa takut dan pasrah kepada Allah swt, rasa cinta kepada Sang Rasul, keinginan untuk mendekat kepada Pemilik Cinta dan Pengajar Cinta, serta harapan untuk memperbaiki diri tak bisa ditahan oleh siapa pun.

            Kelahiran Muhammad saw, 12 Rabiul Awwal, Tahun Gajah yang bertepatan dengan 09 November 2019 ini adalah jalan cinta yang Allah swt anugerahkan kepada manusia.

            Apalagi yang lebih membahagiakan ketika hati kita tersambung dengan Muhammad saw dan dilindungi Allah swt?

            Sampurasun

Monday 4 November 2019

Ibadat Boleh Terang-Terangan


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Melakukan ibadat atau amal kebaikan, terutama yang sunnah memang sebaiknya dilakukan sembunyi-sembunyi supaya menghindari riya atau pamer yang bisa menghilangkan pahala kita. Akan tetapi, sama sekali tidak dilarang untuk melakukannya secara terang-terangan agar dilihat orang lain. Persoalannya adalah sekuat apa hati kita melakukan amal kebaikan jika dilakukan dengan terang-terangan. Kita mudah sekali terjebak pada sikap riya, pamer, sombong, dan itu berbahaya karena akan membuat amal kita sia-sia. Meskipun demikian, jika hati kita kuat menahan rasa pamer, sombong, atau riya, bolehlah amal kebaikan kita ditunjukkan dengan terang-terangan agar dicontoh oleh orang lain. Hal itu akan menambah pahala bagi kita.

            Terkait hal itu pun kita tidak perlu menilai orang lain yang melakukan amal kebaikan atau ibadat secara terang-terangan. Kita tidak perlu nyinyir ataupun sinis dengan menudingnya sebagai pencitraan. Hal itu disebabkan kita sama sekali tidak memiliki ilmu untuk melihat kedalaman hati orang lain. Orang yang suka nyinyir atau menuding pencitraan biasanya orang yang mudah iri atau dengki pada orang lain, apalagi jika orang lain itu adalah lawannya, baik lawan politik atau saingan dalam kehidupannya.

            Kita sulit mengetahui apakah orang yang berbuat kebaikan atau ibadat dengan terang-terangan dilihat orang lain itu berupaya untuk pamer, riya, sombong, ingin dipuji, atau memang berupaya memberikan contoh agar diikuti orang lain. Seorang pemimpin masyarakat, pemimpin agama, guru, dosen, ustadz, ulama, mubaligh boleh jadi melakukan kebaikan dengan terang-terangan dan sengaja melakukannya seperti itu sebagai contoh bagi rakyatnya atau murid-muridnya.

            Kita sulit mengetahui isi hati orang, kecuali diberi ilmu linuwih yang dapat melihat isi hati orang lain. Orang yang benar-benar memahami isi hati adalah orang itu sendiri dan Allah swt. Nabi Muhammad saw sendiri pernah menegur sahabatnya dalam suatu perang ketika sahabatnya membunuh orang kafir.

            Ketika hendak dibunuh, orang kafir itu mengucapkan syahadat, tetapi Sahabat Nabi saw tetap membunuhnya dengan alasan, “Itu hanya cara dia agar tidak dibunuh.”

            Nabi Muhammad saw menegurnya, “Apakah telah kamu belah dadanya sehingga kamu tahu isi hatinya yang sebenarnya?”

            Teguran Nabi saw itu jelas bahwa Sang Sahabat tidak boleh gegabah menuding orang lain sebagai mengada-ada mengucapkan syahadat agar tidak dibunuh. Itu Sahabat Nabi saw, apalagi kita yang tidak tergolong sahabat Nabi saw, harus lebih berhati-hati menilai orang karena penilaian kita bisa sangat salah, menimbulkan dosa, dan memicu murka Allah swt.

            Pada dasarnya melakukan kebaikan itu bisa sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan dan kita tidak boleh sembarangan menuding orang lain sebagai pencitraan atau riya, bahkan pamer. Dalamnya laut bisa diseberangi, dalamnya hati, siapa yang tahu.

            Hal itu pun sudah diajarkan oleh Allah swt dalam QS Al Baqarah 2 : 271. Para ahli suka menggunakan ayat ini untuk menerangkan boleh-tidaknya melakukan kebaikan dengan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi.

            “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Allâh akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu, dan Allâh mengetahui apa yang kamu kerjakan.

            Jika kita kuat hati untuk tidak pamer, riya, menampakkan kebaikan yang kita lakukan adalah bagus agar dicontoh orang lain. Akan tetapi, jika hati kita masih sangat lemah, sebaiknya lakukanlah secara sembunyi-sembunyi agar pahala kita tidak rusak. Di samping itu, jangan terlalu mudah menilai orang lain pamer, riya, atau sombong karena kita tidak tahu isi hati orang lain. Bisa-bisa kita yang terkena dosa dan azab karena menuding orang lain tidak baik, padahal sangat mulia dalam pandangan Allah swt.

            Sampurasun

Anies-Joker & Jokowi-Pinokio


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Beberapa waktu lalu hingga saat ini orang tahu bahwa beredar secara viral gambar yang disebut Anies Baswedan dengan wajah Joker. Kita tahu bahwa Joker adalah tokoh penjahat yang ada dalam film Batman, malah sekarang Joker menjadi tokoh sentral dalam film terbarunya. Gambar Anies berwajah Joker ini diposting oleh Ade Armando.

            Anies Baswedan yang dipuja-puji sebagai Gubernur Indonesia ini dianggap pahlawan dan pemimpin hebat oleh para pendukung dan pecintanya. Oleh sebab itu, ketika wajahnya ditampilkan sebagai Joker yang penjahat itu, para pendukungnya sedih, marah, kesal, jengkel, dan campuran perasaan lainnya.

            Sungguh, ketika melihat postingan Ade Armando itu, saya langsung teringat kepada Jokowi yang digambar sebagai Pinokio atau disertai gambar bayangan Pinokio, bahkan pernah  pula digambar sebagai drakula pada tahun-tahun yang lalu. Para pendukung dan pecinta Jokowi pasti marah, kesal, jengkel, sedih, dan entah perasaan apa lagi yang ada dalam diri mereka.

            Pelajaran apa yang bisa diambil dari hal ini?

            Perilaku membuat gambar Jokowi sebagai Pinokio itu buruk dan menyakiti perasaan para pendukung serta pecinta Jokowi. Demikian pula membuat wajah Anies Baswedan sebagai Joker adalah buruk dan menyakiti perasaan pendukung dan pecinta Anies.

            Apa yang dirasakan oleh para penggemar Anies adalah kurang lebih sama dengan apa yang dirasakan penggemar Jokowi.

            Benar kan?

            Paham kan?

            Oleh sebab itu, perilaku itu bukanlah perilaku yang bagus dan terpuji. Itu adalah perilaku buruk bagi kita. Jika di Amerika Serikat, Inggris, dan Australia melakukan pelecehan terhadap pemimpin seperti itu dianggap biasa, sadarilah, kita bukan mereka. Kita punya nilai sendiri, tatakrama sendiri, etika sendiri. Mungkin dalam dunia demokrasi mereka hal itu biasa, tetapi itu mereka dan bukan kita. Kita adalah manusia timur yang punya etika dan nilai rasa yang lebih luhur dan harus dijaga.

            Semoga tak ada lagi pelecehan terhadap pemimpin seperti itu. Kalau kritik, ya kritiklah yang positif, konstruktif, dan membangun. Perilaku menghina itu bukan kultur Indonesia. Kita harus menghentikan kebiasaan buruk itu.

            Kalau tidak, kita tercerabut dari budaya dan etika kita hingga kita kehilangan jati diri dan arah. Kita akan saling menyakiti dan terus menyakiti. Sungguh, itu bukanlah kita.

            Sampurasun.

Sunday 3 November 2019

Antara Radikal dan Manipulator Agama


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Istilah “radikal” sudah lebih dulu terkenal dibandingkan “manipulator agama”.  Kedua istilah ini saat ini di Indonesia ditujukan pada mereka yang dianggap membuat kesesatan berpikir dengan menggunakan agama. Agama apapun. Akan tetapi, karena di Indonesia ini mayoritas Islam dan ada kelompok-kelompok kecil yang dianggap mengacaukan kehidupan beragama, sangat terasa bahwa kedua istilah itu menyasar pada kelompok-kelompok Islam. Sesungguhnya, pada seluruh agama dan keyakinan terdapat kelompok-kelompok radikal dan memanipulasi agama untuk kepentingan kelompoknya sendiri, baik politik maupun ekonomi. Contohnya, di Myanmar ada Budha radikal, di India ada Hindu Radikal, di Irlandia ada Kristen Radikal, di Jepang ada agama radikal, di Israel ada sekte Yahudi radikal, di Eropa juga ada radikalisme yang berasal dari keyakinan-keyakinan tertentu.

            Istilah radikal sendiri sebetulnya tidak selalu memiliki arti negatif, bahkan awalnya kebanyakan positif. Radikal berasal dari bahasa latin, “radix”, artinya ‘akar’. Dengan demikian, radikal adalah sikap yang selalu ingin menyelesaikan masalah secara tuntas hingga ke akar-akarnya. Orang yang radikal tidak ingin menyelesaikan masalah setengah-setengah, tetapi ingin tuntas hingga akarnya meskipun harus mengeluarkan energi habis-habisan. Akan tetapi, saat ini arti kata radikal mengalami penyempitan makna menjadi sebuah sikap yang ingin benar sendiri, intoleran, tidak mau berdiskusi, keras kepala, tidak mau mendengar pendapat orang lain, selalu menyalahkan orang lain, dan menyelesaikan masalah dengan kekerasan.

            Memang sikap radikal akan menjadi positif jika didasari hal-hal positif, misalnya, Presiden Pertama RI Ir. Soekarno, Jenderal Soedirman, Gatot Soebroto, Moh. Natsir, Jos Soedarso, dan pahlawan-pahlawan Indonesia lainnya adalah orang-orang radikal yang tidak mau setengah-setengah berjuang. Mereka tidak mau tanggung bertarung. Mereka hanya menginginkan kemerdekaan, bukan yang lain. Oleh sebab itu, timbul slogan “Merdeka atoe Mati!”. Itu radikalisme. Akan tetapi, sikap radikal akan menjadi negatif jika didasari oleh hal-hal negatif. Contohnya, di Jerman keyakinan Nazi adalah radikal dan menimbulkan kekacauan di antara umat manusia. Demikian pula dalam hal keagamaan jika tidak mau mendengar pendapat orang lain, keras kepala, dan melakukan manipulasi dengan menggunakan sentimen-sentimen dan emosi keagamaan, radikalisme menjadi negatif. Misalnya, kalau mendukung calon A, masuk neraka; kalau mendukung calon B masuk surga.

            Karena radikal memiliki makna positif pula, sepertinya pemerintah merasa perlu untuk mempertegas istilah untuk mereka yang  dianggap mengganggu dengan memanipulasi agama untuk kepentingan politik maupun ekonomi mereka. Muncullah istilah “manipulator agama”.

            Manipulasi sendiri memiliki arti tindakan melakukan rekayasa, penambahan, pengurangan, penghilangan, penyembunyian, pengaburan, pemutarbalikkan fakta, penyesatan, pendustaan, pengacauan dari kenyataan yang sebenarnya. Orang yang melakukannya disebut manipulator. Jika norma-norma, nilai-nilai, dan keyakinan keagamaan dimanipulasi untuk melakukan kekacauan, kerusakkan, keributan, dan mendapatkan keuntungan politik serta ekonomi, pelakunya pantas disebut manipulator agama.

            Para manipulator ini biasanya hanya berbicara satu arah, enggan berdebat, enggan berdiskusi, enggan untuk menerima pendapat orang lain. Mereka hanya mengumbar pendapatnya sendiri dan secara langsung menyalahkan pihak lain tanpa periksa. Mereka menginginkan kekacauan dan kesesatan berpikir untuk mendapatkan keuntungan politik dan ekonomi.

            Berbeda dengan mereka yang berbeda pemahaman, pendapat, tetapi tetap menjaga keharmonisan hubungan dan ketertiban. Para manipulator tidak berusaha menjaga keharmonisan, melainkan terus mengampanyekan manipulasinya. Adapun mereka yang bukan manipulator akan tetap menjaga hubungan baik meskipun memiliki perbedaan paham.

            Seperti itu kira-kira.

            Kalau enggak mengerti, ngacung!

            Sampurasun.