Friday 28 April 2023

Mulai Ramai Menolak Habib

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Sekarang ini mulai deras penolakan terhadap sebutan “habib”, sama derasnya dengan promosi “habib” waktu itu seiring dengan Pilpres 2014 dan 2019. Kini, mulai banyak keturunan Nabi saw, terutama dari jalur wali songo yang menolak disebut habib. Ini terjadi sejak pertama, diungkapkannya hasil penelitian K.H. Imaduddin Al Bantani yang menjelaskan bahwa keluarga Alawiyin tidak tersambung ke Nabi Muhammad saw. Kedua, pernyataan tegas “Naqobah Ansab Auliya Tis’ah (NAAT)”, ‘Lembaga Pencatat Nasab Wali Songo’ bahwa Bahar bin Smith telah melakukan fitnah dan NAAT tidak memerlukan pengakuan nasab sebagai keturunan Nabi Muhammad saw dari Rabithah Alawiyah. NAAT punya catatan sendiri yang lebih terjaga dan ilmiah.

            Sekarang, tambah banyak yang mencoba mengupas penelitian Kiyai Imad dengan penjelasan yang sangat sederhana dan mudah dipahami. Dalam penelitian Kiyai Imad, disebutkan bahwa silsilah yang diproduksi Rabithah Alawiyah berbeda dibandingkan kitab-kitab silsilah lama yang ada sejak abad 5 hijriyah. Dalam silsilah Rabithah Alawiyah terjadi penambahan orang yang diklaim sebagai keturunan Nabi saw, padahal dulu tidak pernah ada. Namanya Ubeidillah. Nama ini seolah-olah dicantolkan belakangan pada sekitar tahun 1800-an. Nama ini tidak dikenal dalam kitab-kitab silsilah lama. Dari Ubeidillah inilah turun generasi keluarga Alawiyah yang ada di Indonesia sekarang ini. Artinya, jika Ubeidillah adalah nama yang dicantolkan belakangan tiba-tiba dan tidak diketahui anak dari siapa, seluruh habib yang ada di Indonesia ini terputus darahnya dari Nabi saw. Mereka bukanlah keturunan Nabi Muhammad saw.

            Di samping itu, tidak ada catatan mereka di Yaman, negara asal mereka. Rabithah Alawiyah itu hanya ada di Indonesia dan berdiri pada 1928. Di Yaman tidak ada. Hal ini menimbulkan keraguan karena jika benar tersambung ke Nabi Muhammad saw, harus ada catatannya dari lembaga di Yaman atau di Irak karena Yaman itu berasal dari Irak.

            Hal yang lebih mengagetkan lagi adalah adanya tuduhan bahwa keluarga Bani Alawiyin ini adalah antek-antek dan boneka penjajah Belanda dalam menghancurkan perjuangan umat Islam di Indonesia. Catatan ini dibongkar dengan dikaitkan pada pencantolan nama Ubeidillah yang terjadi sekitar 1800-an. Sejarah mencatat bahwa kedatangan Belanda dengan perusahaan VOC terjadi mulai 1602. Sejak saat itu terjadi perlawanan pada Belanda, terutama dari kalangan umat Islam. Untuk meredam perlawanan umat Islam, atas saran Snouck Hurgronje, diangkatlah imigran dari Yaman yang bernama Habib Utsman bin Yahya dengan gaji 1.000 gulden per bulan oleh Belanda untuk menjadi Mufti Agung Batavia. Habib Utsman membuat kitab dan berfatwa “Haram Memberontak pada Penjajah Belanda”. Bahkan, Habib ini di Masjid Pekajon mendoakan Ratu Belanda Wilhelmina ketika ulang tahun pada 2 September 1898.

            Hal ini pun sama dengan catatan cendekiawan muslim Azyumardi Azra bahwa Habib Utsman yang berasal dari Yaman, Hadramaut adalah kontroversial dan bekerja sama dengan penjajah Belanda dengan mengkritik jihad petani Banten pada 1888. Inilah data yang tersebar pada berbagai Medsos dan melahirkan banyak kecaman bahwa keluarga Alawiyin ini adalah antek penjajah Belanda.

Coba lihat angka tahunnya, sekitar 1800-an bukan?

Sama dengan perkiraan tahun pencantolan Ubeidillah di silsilah keturunan Nabi saw, bukan?

Kembali ke soal penolakan NAAT untuk konfirmasi terhadap Rabithah Alawiyah. NAAT tidak memerlukan pengakuan Rabithah Alawiyah karena keturunan Wali Songo bukan dari keluarga Alawiyin. Mereka punya keluarga sendiri yang dicatat oleh banyak lembaga keluarga masing-masing. Malah NAAT itu punya catatan yang lebih lengkap, ketat karena harus ada catatan dari negara asal mereka sebagai keturunan Nabi saw, misalnya, Maroko, Irak, Iran, Mesir, dan lain sebagainya. Kalaupun catatan itu tidak ada, mereka tidak takut untuk tes DNA.

Dengan demikian, kita bisa paham mengapa sekarang mulai banyak yang menolak disebut habib. Itu karena data silsilahnya diragukan dan tidak jelas sumbernya serta sebutan “habib” itu hanya klaim dari keluarga Alawiyin. Mereka yang bukan dari Baalawi lebih suka dipanggil “sayid, sayidah, syarif, syarifah”, bahkan ada juga yang hanya senang dipanggil ‘Ustadz” karena merasa lebih dekat dengan masyarakat dan murid-muridnya.

Rabithah Alawiyah harus menjelaskan ini semua dengan riset atau penelitian modern sebagaimana yang dilakukan Kiyai Imad agar semuanya clear. Kalau bisa, lebih hebat dibandingkan Kiyai Imad, misalnya, datanya bersumber dari kitab silsilah yang ditulis pada tahun ketika orang-orang yang ada dalam kitab itu masih hidup. Itu jauh lebih akurat. Paling tidak, kitab yang ditulis tidak jauh jaraknya dari waktu hidup orang-orang yang dicatat dalam kitab itu.

Kalau kita semua mencintai Nabi Muhammad saw dan berharap berlimpahnya  rahmat bagi umat Muhammad saw, buka data yang benar, berdebat yang akademis agar semuanya menjadi lurus. Hasil penelitian hanya bisa dibantah atau digugat oleh penelitian lain yang lebih akurat.  Memang banyak sekarang dari pendukung Rabithah Alawiyah yang menjawab balik Kiyai Imad, tetapi isinya cuma bantahan-bantahan murahan yang kalau enggak marah-marah, cengengesan, atau hal bodoh lainnya. Kalau dijawab dengan hal seperti itu atau sekedar pod cast, mau ribuan tayangan pun, nilainya hanya “nol”, omong kosong. Bikin satu saja penelitian seperti Kiyai Imad, itu sangat jauh lebih bermakna dan penuh ilmu pengetahuan. Itu namanya cerdas. Malu dong sama Nabi Muhammad saw yang “fathonah”, ‘cerdas’. Saya dukung penuh Rabithah Alawiyah untuk melakukan penelitian. Kalau tidak, penelitian Kiyai Imad adalah “kebenaran” sebelum ada penelitian lain yang menjatuhkannya. Begitu cara kerja ilmu pengetahuan.

Buka dengan jujur, apalagi soal sejarah. Jika sejarah keluarga imigran Yaman digunakan sebagai boneka Belanda, akui saja. Tinggal kita bekerja sama di Negara Indonesia yang telah merdeka ini. Kalau tidak dijelaskan, ini bakal menjadi bola liar karena menganggap bahwa wali songo tidak punya keturunan. Padahal, keturunan wali songo itu menyembunyikan dirinya supaya tidak ditangkap penjajah Belanda. Itulah salah satu alasan kenapa keturunan wali songo yang juga keturunan Nabi saw tidak pernah koar-koar soal nasabnya. Mereka semuanya adalah pejuang, pemberontak, prajurit yang melawan penjajahan. Jangan sampai ada pikiran di masyarakat kita bahwa ketika keturunan wali songo sedang berperang, keluarga Yaman malah enak-enak kerja sama dengan Belanda untuk meredam perjuangan keturunan wali songo. Itu sangat berbahaya.

Satu lagi yang mesti dicatat. Jangan takut tes DNA untuk meyakinkan nasab kalau memang keturunan Nabi saw. Reporter Najwa Shihab, anak dari Quraish Shihab, berani untuk melakukan tes DNA. Hasilnya, mengagetkan. Hasil dari tes DNA menunjukkan bahwa komposisi DNA Najwa Shihab jangankan mendekati DNA Nabi Muhammad saw, dekat ke gen Arab saja tidak, hanya 3,48% untuk “Middle Eastern”. Malah, komposisi Najwa Shihab lebih dekat ke gen India, 48,54% untuk “South Asian”. Itu yang ada di kompas com. Hasil ilmu pengetahuan.

Baik Najwa Shihab, maupun ayahnya, Quraish Shihab, tenang-tenang saja. Tidak ada masalah. Dari dulu juga tidak mau disebut habib. Biasa saja. Mereka orang-orang cerdas yang terbuka pikirannya. Saya sangat menghormati Quraish Shihab karena ceramahnya padat ilmu dan menulis tafsir Al Misbah. Tak akan berkurang rasa hormat saya dan para penuntut ilmu kepada Qurasih Shihab hanya karena hasil tes DNA. Demikian pula para pengagum, pengikut, pendukung, atau umat Habib Luthfi bin Yahya, Habib Husein Baagil, Habib Zen Asegaf, Habib Jindan, Habib Husein Jafar, dan habib-habib lainnya, tidak akan berkurang rasa hormat mereka. Rasa hormat itu berasal dari manfaat yang dirasakan, ilmu yang bertambah, masalah yang terpecahkan, ketenteraman dan ketenangan yang terasa, keamanan yang terjamin agar NKRI tetap utuh, kehidupan yang harmonis, dan lain sebagainya.

Hiruk  pikuk soal perhabiban ini terus terjadi karena memang merupakan akibat hiruk pikuk yang mereka lakukan sendiri pada waktu yang lalu. Tenang, selesaikan dengan baik, gunakan ilmu pengetahuan karena Allah swt telah melengkapi kita dengan akal untuk menjadi penengah dalam kehidupan beragama.

Sampurasun.

Wednesday 26 April 2023

Habib Vs Kiyai

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Ngeri ya judulnya?

            Kalau dibahasaindonesiakan artinya menjadi “habib lawan kiyai”. Saya tidak begitu paham mengapa orang-orang membanding-bandingkan mereka.

            Untuk apa?

            Untuk mengejar kehormatan?

            Rendah sekali keinginan itu.

Akan tetapi, ini terjadi. Gilang Al-Ghifary yang katanya ustadz dan mengakui sebagai murid Bahar bin Smith dalam ceramahnya lantang mengatakan bahwa “belajar kepada 1 habib bodoh ukurannya sama dengan belajar kepada 70 kiyai yang berilmu”. Ini aneh dan tidak masuk akal.

            Saya tidak tahu mereka mendapat dalil dari mana. Saya pikir mereka cuma mengarang sendiri.

Setelah saya coba cari tahu, memang katanya dulu ada orang yang disebut ulama berpendapat seperti itu, namanya Ibnu Hajar Al Haytami. Maaf kalau saya salah eja namanya, telinga saya kurang jelas mendengar namanya. Meskipun demikian, saya tidak yakin dengan redaksinya, soalnya saya tidak tahu Ibnu Hajar itu hidup tahun berapa, orang mana, dan di mana dia berkata seperti itu.

            Apakah ketika dia hidup, sudah ada gelar habib dan gelar kiyai?

Gelar habib itu kan mulai dipromosikan Rabithah Alawiyah yang berdiri pada 1928 dan hanya di Indonesia, tidak ada di negara lain, iya kan?

Tahun berapa Ibnu Hajar hidup? Sudah ada gelar habib ketika dia hidup?

Gelar kiyai itu kan hanya ada di Indonesia. Tidak ada di negara lain.

Di mana Ibnu Hajar hidup? Di mana dia berkata seperti itu? Adakah gelar kiyai di Arab atau di Timur Tengah?

Kalaupun Ibnu Hajar pernah berkata mirip dengan kalimat Gilang atau Bahar, itu cuma pendapat. Semua orang bisa berpendapat berdasarkan pemahamannya masing-masing. Pendapatnya bisa sama, bisa berbeda, bisa diterima, bisa pula ditolak.

Pendapat itu sudah tertolak sejak lama oleh ulama besar dunia asal Indonesia, Syekh Nawawi Al Bantani, ‘Syekh Nawawi dari Banten, Indonesia’. Syekh Nawawi adalah ulama rujukan dunia pada masanya. Beliau imam di Mekah dan Madinah. Namanya tercantum dalam kamus Arab. Ada dua orang Indonesia yang namanya tercantum dalam kamus Arab, yaitu Presiden Soekarno dan Syekh Nawawi. Jelas dia adalah ulama besar dunia. Syekh Nawawi punya keturunan yang menjadi pejabat sangat tinggi di Indonesia, yaitu Wakil Presiden RI K.H. Maruf Amin.

Menurut Syekh Nawawi, “1 orang berilmu itu derajatnya lebih tinggi dibandingkan 60 habib yang bodoh”.

Itu juga pendapat. Tinggal kita sebagai umat mencerna, menganalisa, dan mengikuti pendapat mana yang masuk akal dan bisa bermanfaat bagi kehidupan ini. Kalau orang seperti saya ini, tidak akan pernah mau belajar kepada orang yang bodoh, apapun gelarnya, keturunan siapa pun dia.

Sudah mah saya teh bodoh, belajarnya ke orang bodoh, makin bodoh atuh saya.

Kalau belajar sama orang bodoh, kapan mau pintarnya kita?

Malah kepintaran kita bisa jadi rusak karena mengikuti orang bodoh.

Kalau mau belajar kedokteran, ya belajarlah ke dokter yang pintar, jelas pendidikannya, bukan ke dokter-dokteran. Bahaya atuh bisa rusak manusia kalau begitu mah.

Secara logika, tidak mungkin deh belajar ke orang yang bodoh. Bahkan, kalau kita ketemu dengan orang bodoh, kewajiban kita adalah membuatnya pintar sehingga dia bisa hidup lebih baik lagi, keturunan siapa pun dia. Itu juga kalau dia mau jadi lebih pintar. Kalau memilih untuk tetap menjadi orang bodoh, terserah dia.

Ini juga sesuai dengan pengalaman saya pribadi. Pernah ada keturunan Nabi Muhammad saw yang berkonsultasi tentang studinya kepada saya. Saya tidak akan sebut namanya untuk melindungi nama baiknya. Pokoknya sebutan di depan namanya ada ciri keturunan Nabi saw. Kalau keturunan dari cucu Nabi saw Imam Husein, di depannya ada sebutan “sayid” untuk laki-laki dan “sayidah” untuk perempuan. Kalau keturunan dari Imam Hasan ada sebutan “syarif” untuk laki-laki dan “syarifah” untuk perempuan.

Sebelum saya teruskan kisah pengalaman ini, saya minta teman-teman saya yang tahu kejadiannya, tahu peristiwanya, tidak perlu berkomentar, apalagi menyebutkan seluruh nama lengkap orang yang saya ceriterakan ini. Ini untuk melindungi keluarganya.

Dia mengeluh tentang studinya dan berniat untuk berhenti menuntut ilmu di perguruan tinggi. Hal itu disebabkan setelah dia mengalami cedera benturan di kepala akibat kecelakaan motor, jadi mudah lelah berpikir. Berpikir sebentar saja, butuh waktu istirahat atau tidur cukup lama untuk pulih kembali.

Setelah mendengar keluhannya, saya bilang, “Jangan berhenti kuliah.”

Dia tahu saya benar, tetapi dia sudah sangat letih dan merasa tidak sanggup meneruskannya. Beberapa hari kemudian, dia datang lagi bersama ibunya. Mereka menjelaskan kesulitan-kesulitan untuk meneruskan kuliah dan meminta saran saya.

Saya tetap bilang, “Jangan berhenti kuliah.”

Setelah ibunya banyak berbicara, saya malah tambah yakin untuk tetap menyarankan jangan berhenti kuliah. Soalnya, ibunya bilang hanya akan melunasi semua hutangnya ke kampus selama dua tahun lalu karena anaknya tidak bayar lagi biaya kuliah selama sakit dua tahun itu. Dia tidak mau meninggalkan hutang ke kampus sebelum anaknya benar-benar menghentikan studinya. Selain itu, ibunya bilang agak aneh juga terhadap anaknya. Kalau untuk meneruskan belajar di perguruan tinggi, anaknya tampak lelah, tetapi ketika mengajar di pesantren, semangatnya sangat tinggi. Memang keluarga itu punya pesantren besar dengan ribuan santri dan di dalamnya ada MI, MTs, dan Aliyah.

Saya bilang, “Kalau semangat mengajar, justru harus diteruskan kuliah karena syarat menjadi guru itu kan harus minimal selesai pendidikan S1.”

Beberapa minggu kemudian, ibunya datang lagi bersama ayahnya. Mereka minta saran apa yang harus dilakukan agar anaknya selesai kuliahnya. Saya menyarankan agar kakak iparnya yang sedang kuliah S2 membantunya, selesaikan soal hutang ke kampusnya, dan kalau sangat diperlukan, saya pun bisa membantunya kapan saja.

Alhamdulillah, kini studinya sudah selesai dan sah menjadi sarjana. Dia pun dapat terus syiar Islam di pesantrennya dengan disiplin ilmu yang dimilikinya. Mereka sekeluarga mengucapkan terima kasih. Saya pun bersyukur bisa membantu orang, apalagi dzuriyat Rasulullah saw.

Saya mengisahkan ini bukan berarti mengatakan orang yang saya bantu dan keturunan Nabi saw itu lebih bodoh dibandingkan saya, melainkan keturunan Nabi saw pun tetap harus mendapatkan bantuan jika berada dalam kondisi down, kebingungan, ataupun letih. Mereka juga manusia seperti kita yang bisa sakit, terjatuh, tersisih, berjuang, berhasil, dan mulia. Tidak mungkin saya mengatakan dia bodoh.

Masa orang bodoh punya pesantren yang jumlah santrinya ribuan?

Jadi orang berilmu itu penting untuk memberikan jalan dan bantuan kepada mereka yang sedang membutuhkan saran dan jalan untuk memecahkan masalahnya. Soal urusan darah atau nasab, keturunan Nabi saw sudah memiliki kemuliaan tersendiri. Akan tetapi soal ilmu, itu tidak berhubungan dengan darah. Ilmu itu harus dipelajari dan dialami agar dapat memberikan manfaat kepada mereka yang ilmunya berada di bawah ilmu yang kita miliki.

Keturunan Nabi Muhammad saw yang memiliki ilmu tinggi adalah jauh lebih baik daripada orang-orang bodoh, keturunan siapa pun dia.

Sampurasun.

Monday 24 April 2023

Takbir Menyenangkan Mendunia

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Kalimat takbir itu adalah “Allahu Akbar”, ‘Allah Mahabesar’. Ada takbir mengesalkan, membuat marah, ada juga takbir yang menyenangkan dan menarik hati.

            Kalimat takbir ini sudah mendunia sejak lama. Banyak orang yang tahu dan hapal, baik orang Islam maupun nonmuslim, baik pendukung Islam maupun anti-Islam.

            Pada puluhan tahun lalu, pasca-keruntuhan Ottoman, takbir ini terkesan mengesalkan, membuat marah, dan mengerikan. Hal ini disebabkan kalimat takbir ini selalu digunakan untuk berperang dan semangat membunuh manusia, padahal dunia sudah berubah. Kekuasaan menjadi lebih tersebar, tidak lagi di tangan satu atau dua penguasa, seperti, kekhalifahan, kekaisaran Romawi, atau Mongolia. Hal ini terus berlanjut hingga tahun-tahun belakangan ini, terutama takbir digunakan oleh para teroris, semacam Isis, Al Qaeda, FSA, Boko Haram, dan lain sebagainya, serta gerakan-gerakan pengacau masyarakat, baik di luar negeri maupun di dalam negeri Indonesia. Penggunaan takbir semacam ini membuat Islam dan kaum muslimin dibuli oleh para anti-Islam sebagai agama pengacau dan terbelakang. Bahkan, beberapa pengamat, habib, gus, dan kiyai mensinyalir bahwa orang-orang yang kerap bertakbir keras-keras tanpa tujuan yang benar, perilakunya kasar dan menyebabkan banyak kaum muslimin murtad karena merasa terintimidasi dan terkekang dalam menjalankan agamanya.

            Sekarang, situasinya mulai berubah, terbalik. Banyak orang yang menyukai takbir, baik muslim maupun nonmuslim. Ramadhan tahun ini telah menggerakkan para santri, aktivis muslim yang menjadi youtuber atau influencer Indonesia membuat konten-konten kreatif dalam menyambut Ramadhan dan Idul Fitri di Indonesia. Mereka mengupload kegiatan dan kreativitas mereka dalam media sosial dengan lagu-lagu rohani yang menghentak dan menyenangkan; kehidupan keluarga yang saling menghormati; budaya sahur, ngabuburit, takjil, buka bersama (iftar), tarawih, hingga hal-hal lucu selama Ramadhan; kebersatuan para pejabat dan masyarakat. Hal ini membuat penduduk dunia ingin tahu Indonesia dengan lebih baik, termasuk pelaksanaan ajaran Islam di Indonesia. Perhatian mereka mulai teralihkan yang biasanya Islam itu identik dengan Arab dan Timur Tengah, kini perhatian mereka mulai terfokus pada Indonesia. Bahkan, orang-orang Timur Tengah pun terheran-heran dan tertarik dengan kehidupan kaum muslimin di Indonesia.

            Selama Ramadhan ini, banyak orang dari berbagai negara yang datang ke Indonesia hanya untuk merasakan atmosfir, getaran, resonansi, atau sensasi menjalankan ibadat shaum dan idul fitri di Indonesia. Ini terjadi bukan hanya pada orang-orang Islam, melainkan pula nonmuslim. Bagi orang Indonesia, aktivitas Ramadhan seperti ini sudah biasa dan memang biasanya begitu. Akan tetapi, bagi orang-orang dari Timur Tengah, Eropa, dan Asia lainnya merupakan hal yang baru. Banyak dari mereka yang mengatakan bahwa di negara mereka “kehilangan” momen-momen menyenangkan seperti di Indonesia.

            Hal ini membuat saya bertanya-tanya, memangnya Ramadhan di negara mereka suasananya bagaimana?

            Sepanjang yang dapat saya ingat, orang-orang asing yang berdatangan ke Indonesia sepanjang Ramadhan ini berasal dari Malaysia, Pakistan, Kanada, Italia, Amerika Serikat, Belanda, Rusia, Inggris, Perancis, Cekoslowakia, Iran, Palestina, Australia, Korea Selatan, Cina, Jepang, dan beberapa negara lainnya. Mereka bukan hanya muslim, melainkan pula nonmuslim. Mereka ikutan membangunkan sahur sambil bernyanyi, mencoba berpuasa, ikutan shalat, berburu takjil, ikut shalawatan, takbiran keliling, ngabuburit, dan lain sebagainya. Orang-orang Islam Indonesia pun tidak mempermasalahkan agama mereka apa, sama-sama saja bergembira. Hal ini bisa dilihat dari chanel-chanel youtube dan instagram mereka. Coba saja cek sendiri.

            Orang-orang nonmuslim dari berbagai negara pun ikut mengucapkan takbir karena mereka merasa senang. Hal ini membuat saya semakin mengerti bahwa para wali di Indonesia itu orang-orang cerdas menggunakan seni dan syair-syair yang menyenangkan untuk mendakwahkan Islam. Orang-orang asing tak lagi memandang bahwa takbir adalah teriakan untuk perang dan membunuh, tetapi untuk mengagungkan Tuhan dan mempererat hubungan di antara manusia.

            Takbir memang bisa digunakan untuk berperang agar mengukuhkan tauhid, menambah semangat, dan menggetarkan musuh. Akan tetapi, itu jika kita sedang terlibat perang.

            Kalau tidak sedang berperang, tidak perlu bertakbir untuk menakuti orang, iya kan?

            Bertakbirlah untuk hal-hal yang menyenangkan sehingga orang lain pun ikut senang.

            Sampurasun.

Thursday 20 April 2023

Kalau Pake Pikiran Bahar, Cucu Nabi Muhammad saw Itu Tidak Ada

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Masih ingatkan tulisan saya yang lalu, Bahar bin Smith mengatakan bahwa keturunan wali songo itu tidak ada? Kalaupun ada, itu dari pihak perempuan yang artinya terputus?

            Ucapannya itu jelas menimbulkan kemarahan keturunan para wali di Indonesia. Mereka yang biasanya tenang dan adem bersama masyarakat, tiba-tiba marah dan menunjukkan berbagai bukti bahwa mereka adalah keturunan wali songo dan tidak terputus hanya karena berasal dari pihak ibu atau perempuan. Ada yang mengajak Bahar berkelahi, tes DNA, bahkan memakinya sebagai keturunan Nabi palsu. Jika keributan ini tidak berhenti, Bahar bisa masuk penjara lagi untuk yang ketiga kalinya setelah menganiaya bocah santri dan isi ceramahnya yang mengganggu banyak orang. Dia nggak kapok-kapok kayaknya, malah banyak yang meminta Bahar supaya dites kejiwaannya. Paling tidak, penjaga keturunan Kesultanan Banten sudah mulai berniat untuk membawanya ke ranah hukum.

            Meskipun demikian, ada sisi positifnya celoteh Bahar ini, yaitu mendorong terbukanya penelitian mengenai nasab atau garis keturunan Nabi Muhammad saw di Indonesia. K.H. Imaduddin Utsman Al Bantani sudah memulainya dan menegaskan bahwa mereka yang mengaku-ngaku keturunan Nabi saw belum terbukti secara ilmiah nasabnya, alias hanya mengaku-aku. Kalau mau mempelajari hasil penelitiannya, bisa pelajari sendiri. Tidak mungkin saya menulisnya di sini. Dia bahkan mengatakan bahwa Bani Alawiyin tempat keluarga Bahar tidak terhubung kepada Nabi Muhammad saw, alias terputus.

            Kalau ingin membantah hasil penelitian, bantah lagi dengan penelitian baru yang menggunakan metode-metode ilmiah yang berlaku di seluruh dunia, bukan dengan ceramah-ceramah kasar yang ujung-ujungnya mengkafir-kafirkan orang, menuduh dzalim, memastikan masuk neraka, dan lain sebagainya. Ceramah-ceramah seperti itu hanya membela diri dengan suara keras dan menunjukkan lemahnya ilmu yang dimiliki. Mereka hanya berlindung di balik kekasaran, ilmunya sendiri sangat rendah.

            Sekarang semakin banyak yang bersuara serta mengungkapkan data dan fakta-fakta yang ada. Dalam tulisan kali ini, saya hanya ingin ikut satu saja membantah juga pendapat bodoh Bahar yang mengatakan bahwa keturunan dari pihak ibu itu terputus. Dengan pendapatnya itu, Bahar mengungkapkan bahwa keturunan para wali songo itu tidak ada. Kalaupun ada, itu berasal dari pihak ibu, artinya terputus. Keturunan yang berlanjut itu adalah berasal dari pihak laki-laki atau ayah. Padahal, generasi keturunan wali songo banyak yang berasal dari pihak ayah. Kalaupun hanya dari pihak ibu, itu juga tidak terputus. Keturunan dari ayah dan dari ibu sama saja melanjutkan keturunan ke generasi-generasi berikutnya.


Wali Songo (Foto: kompas.com)

            Menurut Habib Luthfi bin Yahya, pendapat terputusnya keturunan karena berasal dari jalur atau pihak ibu adalah pendapat orang-orang Arab bodoh, makanya disebut Arab Jahiliyah. Arab bodoh yang hidup dalam kebodohan. Kebodohan mereka itu karena selalu mengagungkan laki-laki dibandingkan perempuan. Bahkan, anak perempuan dikubur hingga mati itu salah satunya akibat dari  rasa malu karena tidak bisa diajak perang dan tidak dapat melanjutkan keturunan. Jadi, jelas pendapat itu berasal dari keangkuhan laki-laki yang menganggap kehidupan ini termasuk agama itu diperuntukkan bagi kaum laki-laki. Itu kebodohan yang akut.

            Nabi Muhammad saw sendiri sempat menjadi korban pelecehan, penghinaan, atau pembulian dengan disebut sebagai nabi yang tidak punya keturunan. Hal itu disebabkan keturunannya itu atau cucunya berasal dari anak perempuannya, Siti Fatimah ra. Jelas hal itu menjadi bahan bulian orang-orang Arab bahwa Muhammad saw keturunannya terputus karena berasal dari anak perempuannya, Fatimah ra. Hasan dan Husen adalah berasal dari Fatimah ra yang jelas perempuan dan berasal dari jalur ibu. Kalau mengikuti pendapat Bahar, terputuslah keturunan Nabi saw karena generasi setelahnya berasal dari Fatimah ra yang perempuan itu.

            Aneh bukan?

            Bahar mengaku-aku sebagai keturunan atau cucu Nabi saw, tetapi berpendapat bahwa jalur keturunan dari perempuan atau pihak ibu itu terputus, padahal keturunan Nabi saw itu berasal dari Hasan dan Husen yang merupakan anak dari perempuan, Fatimah ra?

            Kalau dari perempuan terputus, tidak perlu ngaku-ngaku keturunan Nabi saw, kan terputus, iya kan?

            Itu juga kalau memang benar Bahar adalah keturunan Nabi saw.

Ini cacat logika menurut saya.

Bulian atau ejekan orang-orang Arab bodoh itu membuat Nabi Muhammad saw sedih bukan main. Allah swt tahu kesedihan Nabi saw. Oleh sebab itu, Allah swt menurunkan QS Al Kautsar untuk menghibur Nabi Muhammad saw. Baca saja sendiri ayat dan artinya, pendek kok. Dalam surat itu Allah swt menegaskan bahwa Nabi saw sudah diberikan nikmat yang sangat besar dan garis keturunannya tidak terputus meskipun punya cucu dari Fatimah ra. Justru, orang-orang yang membuli Nabi Muhammad saw itulah yang keturunannya terputus.

Turunnya surat Al Kautsar itu merupakan penegasan Allah swt bahwa keturunan dari perempuan itu tidak membuat garis keturunan setelahnya terputus, tetap berlanjut. Jadi, keturunan Nabi saw tidak terputus dan terus berlanjut dari jalur anak perempuannya, Fatimah ra.

Zaman teknologi sekarang malah lebih mudah diterangkan. Manusia itu ada karena adanya pertemuan antara sperma laki-laki dan ovum atau sel telur dari perempuan. Tidak mungkin lahir manusia jika hanya ada sperma laki-laki kalau tanpa ada sel telur dari perempuan, kecuali untuk kasus tertentu misalnya kelahiran Nabi Isa as atau Yesus. Normalnya sih, laki-laki dan perempuan itu memiliki kontribusi yang sama untuk melahirkan seorang manusia. Anak-anaknya, ya anak mereka, bukan hanya anak atau keturunan dari pihak laki-laki atau ayahnya.

Dulu ketika saya masih SMA, sering bercanda tentang asal usul manusia. Asal manusia itu dari ibu, sedangkan ayah itu cuma usul. Kalau usul itu kan suka ngacung, kalau usulannya diterima oleh ibu, terjadilah pertemuan yang menghasilkan keturunan. Artinya, pihak ayah dan pihak ibu sama-sama punya jasa atas kelahiran anak-anaknya.

            Soal ucapan Bahar yang mengatakan keturunan para wali itu terputus adalah salah besar. Hal itu disebabkan keturunan para wali bukan hanya dari jalur ibu, melainkan pula dari jalur ayah. Kalaupun hanya dari jalur ibu, keturunan mereka juga tidak terputus sebagaimana yang ditegaskan Allah swt dan dijelaskan oleh ilmu pengetahuan.

            Kalau mau berguru atau menganggap seseorang itu guru, dari dulu sudah diberikan arahan bahwa guru itu harus pertama orang yang luas ilmunya, memiliki banyak sumber ilmu. Kedua, kalaupun ilmunya biasa-biasa saja, usianya harus yang sudah sepuh karena usianya yang sudah tua itu berarti sudah memiliki pengalaman hidup yang panjang. Dengan pengalaman hidupnya yang melewati suka, duka, asam, garam, manis, dan pahit itu akan memberikan banyak ilmu untuk generasi setelahnya. Ketiga, guru itu harus wara, bijaksana dan berhati-hati dalam berucap, berperilaku, dan memberikan pengajaran agar tidak merugikan dan mencelakakan murid-muridnya. Pilih guru yang baik dan mengajarkan untuk hidup lebih baik, bukan mengajarkan kerusakkan dan membuat kehidupan menjadi gelisah.

            Maaf kalau tulisan saya salah. Kalau ada yang berbeda pendapat dan harus ada yang dikoreksi, sampaikan saja. Kita bisa berdiskusi dengan baik tanpa harus bertengkar atau bermusuhan.

            Ilustrasi Wali Songo saya dapatkan dari kompas com.

            Sampurasun.

Sunday 16 April 2023

Bahar bin Smith Tantang Keturunan Para Wali

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Seharusnya, pada bulan Ramadhan ini seluruh umat Islam lebih banyak menahan diri, menguasai diri, mengendalikan hawa nafsu, serta menebarkan kebaikan, menciptakan perdamaian, dan menyebarkan kasih sayang. Artinya, tak perlu diikuti atau dijadikan teladan mereka yang mengumbar hawa nafsu negatif, berbicara kotor, menyakiti hati orang lain, dan menciptakan permusuhan. Sayang sekali, Ramadhan yang mulia ini dikotori oleh hal-hal bernada provokatif negatif.

            Berawal dari kekesalan dan kejengkelan Gus Fuad Plered, pemuka agama yang sangat dihormati kalangan nahdliyin yang menilai bahwa terlalu banyak orang yang mengaku habib, tetapi ceramahnya mengandung banyak kebencian, makian, arogan, kasar, dan menimbulkan perpecahan. Menurutnya, hanya satu-dua atau hanya sedikit habib yang berdakwah memberikan pencerahan dan pemahaman yang menyejukkan bagi umat. Oleh sebab itu, dia menegaskan bahwa para habib yang kasar-kasar dan tidak mencerahkan itu tidak perlu berdakwah lagi di Indonesia karena berbahaya bagi umat. Gus Fuad Plered yang diyakini sebagai keturunan Sunan Ampel itu beberapa kali mengkritik dan menyayangkan sikap, ucapan, dan perilaku Bahar bin Smith yang menurutnya tidak “mempribumi”, tidak sesuai dengan sikap asli bangsa Indonesia yang dikenal baik, lembut, dan tenang.


Gus Fuad Plered (Foto: Editor.id)


            Tampaknya kritikan Gus Fuad dibalas oleh Bahar bin Smith yang sudah dua kali masuk penjara ini gara-gara menganiaya santri dan ocehannya saat ceramah. Entah akan berapa kali lagi dia akan masuk penjara. Bahar menganggap Gus Fuad bodoh, bahkan mengatakan bahwa di Indonesia ini tidak ada keturunan Wali Songo, terputus. Kalau pun ada, itu berasal dari garis keturunan ibu.

Bahar bin Smith (Foto: Postingnews.id)

            Ucapan Bahar ini tentu saja membuat tersinggung dan marah keturunan para wali. Keturunan Sunan Gunung Djati yang nyambung ke Kesultanan Banten, Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Maulana Yusuf, Sultan Hasanudin, dan masih banyak lagi benar-benar angkat suara dan meminta Bahar mencabut pernyataannya, termasuk memohon maaf. Kalaupun ada bukti terputusnya keturunan para wali, harus dijelaskan secara ilmiah.

            Lebih jauh dari itu, K.H. Imaduddin Utsman Al Bantani yang jelas dari Banten, Pengasuh Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum Cempaka, Kresek, Banten lebih mempopulerkan hasil penelitiannya. Kyai Imaduddin yang juga Ketua Fatwa Komisi MUI Banten dengan suara lantang menjelaskan bahwa orang-orang yang mengaku habib di Indonesia belum terbukti secara ilmiah merupakan keturunan Nabi Muhammad saw. Bahkan, menurutnya, Bani Alawiyin itu terputus hubungan darahnya dengan Nabi Muhammad saw. Bani Alawiyin yang biasa disebut Ba alawy ini termasuk di dalamnya Bahar Smith dan orang-orang yang serupa dengannya. Justru bani ini dianggap tidak terhubung dengan Rasulullah saw.  Tak heran, banyak kalangan yang ingin bukti ilmiah, termasuk tes DNA untuk lebih menguatkan keyakinan ada-tidaknya hubungan darah dengan Muhammad saw.


K.H. Imaduddin Utsman Al Bantani (Foto: Inews.id)


            Makin jauh, ada pemuka agama yang sangat marah, mengaitkan dengan  urusan politik bahwa keturunan Yaman tidak pantas untuk banyak gaya di Indonesia. Pribumi adalah pemilik hak yang sah untuk memimpin Indonesia.

            Sayyid Seif Alwy dengan suara menggelegar sangat marah berpidato dalam bahasa Sunda, “Saha nu ngomong keturunan Wali Songo euweuh? Kadieu siah! Dikepret bulak-balik ku aing ayeuna keneh! Gelut jeung aing! Moal eleh gelut aing mah! Rek saha wae digampleng ku aing! [Siapa yang bilang keturunan Wali Songo tidak ada? Ke sini! Saya kepret bolak-balik sekarang juga! Berantem sama gua sekarang! Tidak akan kalah berkelahi saya mah! Siapa pun akan gua tempeleng!]   Kalau ada di Indonesia, tetapi membenci Wali Songo dan menganggap keturunan Wali Songo tidak ada, minggat dari Indonesia!”  


Sayyid Seif Alwy (Foto: Portal Majalengka - Pikiran Rakyat.com)


            Coba kalau sudah begini, makin kacau jadinya, makin aneh. Menurut saya ini perkara yang diada-adakan dengan banyak kebodohan dan ketololan.

            Sejak saya kecil, ngaji, tidak ada guru ngaji, ustadz, atau kiyai yang ngaku-ngaku keturunan Nabi Muhammad saw, terus marah-marah minta dihormati. Tidak ada seorang pun yang teriak-teriak ‘saya cucu Nabi!’, tidak ada yang mengaku-ngaku keturunan Nabi saw, lalu mengemis untuk dimuliakan. Semua biasa saja hubungannya antara murid dengan guru. Kalaupun ada di antara guru-guru saya adalah keturunan Nabi Muhammad saw, bukan dianya sendiri yang bilang, melainkan orang-orang lain yang ngasih tahu saya bahwa dia adalah keturunan Rasulullah saw. Dianya sendiri, tidak pernah bicara soal itu dan bersikap biasa saja seperti orang normal lainnya. Rasa hormat saya dan murid lainnya itu bukan dipaksa, tetapi karena memang timbul dari hati karena keluhuran ilmunya, kemuliaan sikapnya, dan kasih sayang kepada murid-muridnya.

            K.H. Muchtar Adam, pendiri pesantren Babussalam tidak pernah meminta saya untuk memuliakannya, biasa saja. Saya menghormatinya karena memang keluhuran ilmunya yang menulis indeks Al Quran. Dulu sebelum ada internet, untuk memahami Al Quran, saya gunakan buku itu. Fungsinya mirip google, yaitu cari kata kunci yang diperlukan, maka ada runtunan ayat yang memuat kata itu di bukunya. Sekarang, bukunya sudah tidak diperlukan karena ada internet dan google. Setelah K.H. Muchtar Adam wafat, saya baru tahu bahwa cucunya adalah murid saya, mahasiswa saya. Biasa saja, saling menghormati secara normal.

            Keturunan Nabi saw yang sangat saya hormati karena ilmunya, saya kenal dari buku yang ditulisnya sendiri, Futh Al Ghaib, Penyingkap Kegaiban. Syekh Abdul Qadir Jaelani. Kalau membaca bukunya, seolah-olah Syekh ada di depan saya dan saya tunduk mendengarkan ajaran-ajarannya.

            Pada dasarnya saya menghormati semua guru, bahkan semua orang, siapa pun dia jika melakukan kebaikan dan kemuliaan. Tidak peduli dengan leluhurnya. Orang baik adalah orang mulia, keturunan siapa pun dia.

            Dulu itu tidak dikenal istilah habib yang minta dimuliakan, merengek minta dihormati. Istilah habib itu mulai merebak sejak Pilpres 2014 yang kemudian makin marak memasuki Pilpres 2019, semuanya terkait politik. Makin ke sini makin runyam, mengganggu ketenangan keturunan para wali sehingga mereka marah. Para wali itu jelas diakui sebagai keturunan Nabi Muhammad saw. Keturunan para wali sekarang sudah berada pada berbagai bidang kehidupan, ada yang tetap mengajarkan agama, ada yang jadi pengusaha, dokter, pejabat pemerintah, bahkan Jenderal Dudung pun termasuk keturunan Sunan Gunung Djati.

            Sekarang, tiba-tiba bermunculan keturunan para wali yang marah dan tersinggung karena dianggap garis darahnya terputus kepada Nabi Muhammad saw. Padahal, mereka dulu tenang-tenang saja hidup dengan masyarakat tanpa mengaku-aku sebagai keturunan wali dan Nabi Muhammad saw. Biasa saja hidup normal dengan masyarakat lainnya. Sekarang, gara-gara ucapan Bahar yang sudah dipenjara dan mungkin akan dipenjara lagi itu, seolah-olah terjadi rebutan siapa yang paling benar merupakan keturunan Nabi Muhammad saw. Lumayan memalukan menurut saya.

            Untuk apa membicarakan dan menyombongkan garis darah leluhur dengan angkuh?

            Hal yang paling penting kan adalah bagaimana mencerahkan, menenangkan, dan menebarkan manfaat di tengah masyarakat, iya kan?

            Iya toh pisan atuh.

            Memalukan sekali jika mengaku-aku sebagai keturunan Nabi saw, tetapi kerjaannya bikin kegaduhan dan membuat umat berhati keras, tumpul, bodoh, dan tersesat. Sangatlah mulia jika mampu menciptakan kondisi masyarakat yang bermanfaat bagi masyarakat lainnya karena manusia yang paling baik adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.

            Ingat, ini Ramadhan, jangan picu kegaduhan. Malu-maluin saja.

            Lupa dengan manfaat Ramadhan yang penuh berkah dan ampunan?

            Kata Habib Jindan bin Novel, nanti di akhirat ada banyak orang yang berteriak-teriak kepada Nabi Muhammad saw bahwa mereka adalah cucu Nabi saw. Akan tetapi, Muhammad saw tidak mengakuinya. Orang-orang itu heran bahwa mereka adalah berasal dari darah daging Nabi saw, tetapi tidak diakui. Kata Nabi saw, benar kalian berasal dariku, tetapi bukan dari spermaku. Kalian berasal dari air kencingku.


Habib Jindan bin Novel (Foto: Twitter)


            Coba Habib Jindan bicara begitu. Artinya, dia marah terhadap orang-orang yang mengaku cucu Nabi saw, tetapi berperilaku memalukan Nabi Muhammad saw.

            Foto Bahar Smith saya dapatkan dari Postingnews id; Gus Fuad Plered dari Editor id; Kyai Imaduddin dari iNews id; Sayyid Seif Alwy dari Portal Majalengka – Pikiran Rakyat com; Habib Jindan bin Novel dari Twitter.

            Sampurasun.