Sunday 12 November 2017

Sosial Mengalahkan Ritual

 oleh Tom Finaldin


Dalam mengabdikan diri kepada Allah swt, Islam mengajarkan dua cara, yaitu melalui aktivitas ritual dan aktivitas sosial. Kedua aktivitas itu harus seimbang dan tidak boleh berat sebelah. Kedua-duanya sama pentingnya. Apabila kita mementingkan salah satu,  rusaklah amal baik kita. Tak ada artinya.

            Mereka yang terlalu mementingkan aktivitas ritual, akan terjebak dalam merasa benar sendiri, terjauhkan dari masyarakat, terjauhkan dari ilmu pengetahuan, mudah tertipu, tertinggal dalam perkembangan hidup manusia, bahkan memiliki kecenderungan untuk terlalu mudah menyalahkan orang lain sehingga menimbulkan kekacauan dan kebingungan di tengah-tengah masyarakat. Demikian pula mereka yang terlalu mementingkan aktivitas sosial dengan dalih “yang penting berbuat baik”, akan terlepas dari bimbingan Allah swt dan menganggap bahwa pikirannya selalu benar dan baik, padahal benar dan baik menurut seseorang, belumlah tentu baik bagi orang lain. Orang-orang seperti ini memiliki kecenderungan tersesat dalam hidup dan kerap saling bantah serta mudah bertengkar dengan orang lain karena setiap orang memiliki pandangan hidup yang berbeda. Hal yang juga teramat berbahaya adalah dia akan menganggap dirinya sebagai sumber kebaikan yang menjatuhkannya menjadi orang yang memiliki sifat riya, sombong, angkuh, dan gemar pamer. Hal itu akan membuat segala kebaikannya sia-sia karena sesungguhnya segala kebaikan yang kita lakukan hanyalah untuk mengabdikan diri kepada Allah swt, bukan untuk mendapatkan hal-hal lain. Orang-orang ini mudah stress, kecewa, dan penuh amarah yang terpendam. Buruk akibatnya bagi dirinya. Allah swt pun terasa jauh dari dirinya.

            Ada dialog menarik antara Nabi Muhammad dengan para sahabatnya yang dapat dijadikan contoh bagaimana hancurnya ibadat ritual karena buruknya sikap sosial. Peristiwa ini diriwayatkan oleh Bukhari, Ahmad, Al-Hakim, dan Ibnu Hibban. Hadits ini berasal dari Abu Hurairah.

            Ada seseorang bertanya kepada Nabi Muhammad, “Wahai Rasulullah, Si Fulanah sering melaksanakan shalat malam dan berpuasa sunnah. Dia juga berbuat baik dan bersedekah, tetapi lidahnya sering mengganggu tetangganya.”

            Rasulullah menjawab, “Tidak ada kebaikan di dalam dirinya. Dia adalah penduduk neraka.”

            Dari dialog itu, kita bisa melihat bagaimana sia-sianya ibadat ritual seseorang karena lidahnya kotor terhadap tetangganya. Bagaimanapun hebatnya ritual seseorang, tetapi lidah dan mulutnya menyakitkan orang lain, nilainya pun menjadi hancur. Ibadat ritualnya tidak mengantarkannya menuju surga karena buruknya lidahnya terhadap orang lain. Ini artinya, nilai-nilai sosial sangatlah penting karena memang itu yang diharapkan Allah swt, yaitu menebarkan kebaikan dan kasih sayang di antara sesama manusia sehingga kehidupan ini menjadi damai, harmonis, dan seimbang.

            Manfaat dari dialog itu tidak hanya berlaku bagi kehidupan bertetangga, melainkan pula bagi kehidupan bernegara dan dalam percaturan politik dunia. Para penyelenggara negara dan aparat yang lidahnya kotor, tidak konsisten, gemar berbohong, sering menjebak rakyat, kerap melakukan penipuan, melepaskan diri dari janji sebelumnya, mengeluarkan kebijakan yang membingungkan, arogan, dan lain sebagainya adalah para penduduk neraka apabila tidak segera melakukan perbaikan pada dirinya sendiri. Sehebat apa pun mereka melakukan ritual, jika lidahnya dan kebijakannya sering menyakiti rakyat, celakalah mereka. Ada kesakitan dan penderitaan yang sedang menghampiri mereka. Demikian pula para penguasa dunia yang gemar berdusta dan membuat ketidakseimbangan dalam hubungan internasional, sesungguhnya sedang berada dalam kecelakaan yang besar, kegelisahan yang menyiksa, dan kengerian-kengerian itu akan berlanjut bertambah-tambah jumlahnya jika tidak segera memperbaiki dirinya. Neraka akan menjadi tempat mereka jika tidak mengubah dirinya menjadi baik.

            Mari kita perhatikan lagi kelanjutan dialog Nabi Muhammad dengan para sahabatnya.

            Para sahabat berkata, “Ada wanita lain. Dia (hanya) melakukan shalat fardhu dan bersedekah dengan gandum, namun ia (baik) tidak mengganggu tetangganya.”

            Nabi Muhammad bersabda, “Dia adalah penduduk surga.”

            Kita bisa melihat bahwa seseorang yang tidak terlalu banyak melakukan ibadat ritual, tetapi mampu menjaga dirinya untuk tidak menyakiti orang lain, mendapatkan hadiah surga. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga perdamaian dan keharmonisan hidup. Berbeda dengan dialog awal tadi, sebanyak apa pun ritual yang dilakukan, tetap berakhir di neraka jika mengganggu orang lain. Di sinilah kita melihat bahwa aktivitas sosial telah mengalahkan aktivitas ritual meskipun aktivitas sosial itu hanya sebatas tidak mengganggu perasaan orang lain. Surga yang didapatkan akan lebih meningkat lagi jika bukan hanya sebatas “tidak mengganggu orang lain”, melainkan ditambah dengan aktivitas sosial “memberikan manfaat bagi orang lain”. Hal itu disebabkan kata Nabi Muhammad bahwa orang yang paling mulia itu adalah orang yang paling banyak memberikan manfaat bagi orang lain.


Aktivitas Ritual Dasar Aktivitas Sosial
Adalah sangat baik jika kita menggunakan aktivitas ritual sebagai dasar aktivitas sosial. Artinya, ibadat ritual itu jangan hanya sebatas simbol, tetapi harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun tampaknya sebatas simbol, ibadat ritual itu tetap harus dilakukan dengan cara-cara yang benar, sesuai aturan, dan mengikuti kaidah-kaidah yang telah ditetapkan karena merupakan tiang-tiang kokoh yang membuat hidup kita tetap kokoh.

            Misalnya, shalat. Di dalam shalat ada ucapan dan gerakan-gerakan pengagunggan kepada Allah swt, pengakuan kelemahan diri, keyakinan ketergantungan diri kepada Allah swt, doa dan harapan agar Allah swt melindungi kita dan mencukupkan segala kebutuhan kita, keinginan untuk selalu berada dalam bimbingan Allah swt, serta doa kebaikan untuk seluruh kaum muslimin dan untuk kebaikan seluruh umat manusia. Hal itu harus terwujud dalam hidup keseharian kita sehingga kita benar-benar terhubung dengan Allah swt dan mampu mewujudkan kedamaian, keharmonisan, dan keseimbangan hidup di dunia. Itulah Islam yang rahmatan lil alamin.

            Adalah kurang berguna jika dalam shalat kita melakukan banyak ucapan dan gerakan pengagunggan kepada Allah swt dan doa-doa untuk diri, kaum muslimin, dan seluruh umat manusia, tetapi dalam keseharian kita banyak melakukan penyesatan kepada orang lain, gangguan kepada masyarakat, kebohongan terhadap publik, kekejian terhadap manusia, dan upaya penipuan untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.

            Semoga Allah swt mengampuni kita dan selalu memberikan petunjuk kepada kita semua. Amin.


            Sampurasun.

Friday 3 November 2017

Razia Polisi Bisa Menghambat Proses Pendidikan

oleh Tom Finaldin


Kita harus memberikan apresiasi kepada aparat apa pun yang bekerja dengan baik dengan niat baik untuk membuat negara dan masyarakat menjadi baik. Akan tetapi, kita pun harus ingat dengan pepatah tak ada gading yang tak retak, ‘segala hal tidak ada yang sempurna’, kecuali Allah swt tentunya. Keretakan itulah yang harus memunculkan kritik yang mengarah pada perbaikan.

            Saat ini pun saya ingin memberikan kritik kepada aktivitas polisi yang sedang rajin-rajinnya menggelar operasi zebra. Tulisan ini dibuat karena dipicu oleh keheranan saya karena polisi melakukan tilang kepada anak saya. Jujur saja, ketika saya melakukan peliputan sebuah acara pelatihan kepemimpinan selama tiga hari berturut-turut, saya dikagetkan pesan WA dari istri saya yang mengabarkan sepeda motor anak saya ditahan oleh polisi karena tidak bawa STNK.

            Kok bisa anak saya dihentikan oleh polisi ketika berangkat sekolah?

            Aneh bin ajaib.

            Saya merasa aneh karena kepolisian setempat pernah memberikan kelonggaran luar biasa kepada para siswa di sekolah anak saya dengan memperbolehkan menggunakan kendaraan bermotor tanpa memiliki SIM. Akan tetapi, tiba-tiba motor anak saya dan anak yang lainnya dihentikan saat pagi sekali, antara sekitar pukul 06.00-6.30.

            Mereka kan sedang berangkat sekolah, mengapa harus dihentikan?

            Apanya yang salah?

            Tidak mungkin dihentikan karena tidak bawa STNK.

            Bagaimana mungkin polisi tahu bahwa anak saya lupa bawa STNK sebelum dia menghentikan motor anak saya?

            Polisi baru tahu anak saya tidak bawa STNK karena dia menghentikan terlebih dahulu motor anak saya. Setelah itu baru diketahui anak saya lupa bawa STNK.

            Begitu kan logikanya?

            Aksi polisi menghentikan motor anak saya dengan anak saya lupa bawa STNK adalah dua hal yang berbeda. Hal yang saya tidak mengerti adalah penyebab polisi menghentikan motor anak saya.

            Apakah polisi berhak menghentikan kendaraan yang sedang melaju tanpa alasan apa pun alias sekehendaknya sendiri?

            Kelengkapan fisik sepeda motor anak saya komplit, tak ada kekurangan apa pun, dia menggunakan helm, sendirian, mengapa harus dihentikan?

            Apakah polisi curiga anak saya tidak membawa SIM karena dia masih menggunakan seragam SMA?

            Kalau alasannya itu, sungguh lucu karena pasti anak saya tidak bawa SIM. Dia memang belum punya SIM karena belum waktunya. Seharusnya, polisi sudah sangat tahu itu. Tak perlu curiga karena sudah pasti adanya. Bukan anak saya saja yang belum punya, ratusan pelajar SMA dan SMP pun belum memiliki SIM dan hal itu biasa wajar terjadi. Jangan curiga lagi.

            Perlu diketahui bahwa saya tinggal di Kabupaten Bandung yang banyak sekali tidak memiliki jalan akses untuk kendaraan umum dalam jarak tempuh yang sangat panjang, berkilo-kilo meter. Ada beberapa sekolah yang jauh dari jalan raya dan tidak memiliki akses kendaraan umum. Hal itulah yang membuat kepolisian setempat memberikan kelonggaran bagi para siswa untuk menggunakan sepeda motor tanpa harus memiliki SIM karena memang belum waktunya. Bahkan, polisi sempat memberikan sosialisasi tentang hal itu secara langsung ke sekolah anak saya, SMAN 1 Katapang, Kabupaten Bandung. Siswa boleh menggunakan kendaraan dengan catatan tetap menggunakan helm dan alat kelengkapan sepeda motornya komplit, seperti, lampu, spion, dan lain sebagainya.

            Kebijakan polisi yang sungguh sangat baik itu disambut baik oleh masyarakat, termasuk saya. Polisi tahu bahwa apabila memaksakan aturan yang sempurna akan mengakibatkan terganggunya perkembangan masyarakat. Hal itu disebabkan kondisi geografis dan demografis yang berbeda dengan wilayah-wilayah lainnya. Masyarakatnya masih berada dalam keadaan ekonomi yang kurang menguntungkan. Tidak semua akses ke lembaga pendidikan terjangkau kendaraan umum. Kalau dipaksakan harus sempurna benar, bisa mengganggu masyarakat, terutama tentang waktu dan kemampuan ekonomi. Artinya, orangtua siswa harus bolak-balik antar-jemput dan atau menggunakan jasa ojek. Hal itu menimbulkan pengeluaran biaya yang sangat besar, sangat mahal untuk ukuran masyarakat di sana di samping membutuhkan waktu yang bisa mengganggu orangtua siswa dalam mencari nafkah. Polisi tahu itu.

            Berbeda dengan wilayah lainnya yang terjangkau oleh banyak kendaraan umum. Di wilayah ini tidak perlu ada kebijakan dari polisi untuk siapa saja. Peraturan bisa dipaksakan secara sempurna. Anak pertama saya pun ketika masih sekolah di SMAN 1 Banjaran, Kabupaten Bandung, tidak saya perbolehkan untuk menggunakan motor karena usianya belum cukup dan banyak kendaraan umum yang bisa digunakan untuk sampai ke sekolah. Sekarang meskipun sudah menjadi mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung, anak saya tidak mau menggunakan sepeda motor karena terbiasa dengan angkutan umum. Dia lebih suka menggunakan bus karena merasa lebih nyaman. Itu bagus sekali. Lain halnya dengan anak saya yang kedua yang dihentikan polisi. Dia sekolah di wilayah yang tidak ada akses kendaraan umum dalam jarak yang sangat jauh. Oleh sebab itu, dia dan juga siswa lainnya harus menggunakan sepeda motor dan hal itu dimaklumi oleh polisi. Tak heran di daerah itu teramat banyak siswa SMA dan SMP yang lalu lalang saat pagi untuk berangkat sekolah dan saat pulang sekolah. Di samping itu, memang jalan raya hanya dianggap sebagai lintasan sementara dalam jarak pendek dan waktu tempuh yang sangat sebentar. Kebanyakan mereka menggunakan jalan-jalan pemukiman, perkampungan karena memang wilayahnya seperti itu. Hal ini sudah berlangsung sangat lama dan seharusnya terus berlangsung lebih lama lagi sepanjang belum ada akses untuk kendaraan umum dan ekonomi masyarakat belum membaik.

            Anehnya, secara tiba-tiba polisi menghentikan kendaraan anak saya dan juga siswa lainnya pagi-pagi sekali, saat berangkat sekolah. Kemudian, melakukan proses penindakan pidana. Padahal, menurut anak saya, polisi-polisi itu sering melihat para siswa dan anak saya pun hapal wajah mereka saking seringnya melihat setiap pagi.

            Lalu, ke mana kebijakan polisi yang sangat agung itu dalam memahami keadaan geografis dan keadaan masyarakat?

            Mengapa tiba-tiba dihentikan?

            Saya bisa mengerti jika polisi melakukan penindakan setelah pukul 07.00 Wib karena memang seharusnya para siswa itu sudah berada di dalam sekolah, tak perlu lagi menggunakan sepeda motor, tak boleh lagi berada di jalan raya. Saya mendukung penuh dan masyarakat pun akan memahami dengan sangat baik. Akan tetapi, jika dihentikan ketika pagi-pagi sekali dalam waktu yang wajar untuk berangkat sekolah, sungguh sangat aneh dan mengesankan seolah-olah polisi tidak konsisten.

            Perlu dipahami pula bahwa di dalam surat tilang berwarna biru, penyidik tidak menuliskan jam kejadian dan keterangan jalan. Entah kenapa. Mungkin dia malu karena terlalu pagi, mungkin lupa, atau mungkin tidak menganggap penting hal itu. Saya tidak tahu.

            Kalau tidak penting, kenapa ada hal itu yang seharusnya diisi? Buang saja!

            Soal waktu kejadian, dia hanya menuliskan Kamis tanggal 2 bulan 11 2017.

            Bagi saya, hal itu teramat penting karena bisa menjadi pengetahuan saya di mana anak saya saat itu dan pukul berapa saat itu terjadi. Itu bisa menjadi dasar bagi saya untuk melakukan pembinaan kepada anak saya sendiri karena hari itu seharusnya dia sekolah. Yang jelas istri saya mengantarkannya ke sekolah pagi-pagi dan meminta maaf kepada gurunya karena ditilang pagi-pagi. Gurunya memahami dan menjelaskan ternyata bukan anak saya saja yang kena tilang pagi itu.

            Kalau mau melakukan penindakan secara sempurna di wilayah itu, sebaiknya polisi melakukan kembali sosialisasi ke sekolah. Nyatakan dengan tegas bahwa polisi tidak akan lagi memberi kelonggaran dan permakluman kepada para siswa meskipun jalan akses ke sekolah masih belum tersentuh angkutan umum dan kondisi ekonomi masyarakat masih lemah. Dengan demikian, siswa dan masyarakat akan lebih mengerti dan mempersiapkan diri. Setelah itu, mari kita saksikan saja bahwa akan bisa terjadi kegoncangan di masyarakat karena kemungkinan akan ada banyak siswa SMA atau SMP yang tidak bersekolah karena biaya transportasi yang mahal dan atau orangtuanya tidak bisa antar-jemput karena harus mencari nafkah yang waktunya berbarengan dengan pulang-pergi siswa dari dan ke sekolah. Inilah yang saya sebut bahwa razia yang dilakukan polisi bisa menghambat proses pendidikan.

            Seperti saya bilang bahwa aksi polisi menghentikan laju motor anak saya dengan anak saya lupa membawa STNK adalah dua hal yang berbeda. Anak saya jelas salah karena lupa membawa STNK. Sebenarnya, bukan lupa, melainkan tertinggal di celana yang satunya lagi. Apa pun alasannya anak saya jelas salah. Saya pun memarahinya habis-habisan karena saya selalu ingin hidup sesuai aturan. Saya juga ikuti aturan dan sadar membayar denda.

            Akan tetapi, yang saya tidak mengerti mengapa polisi memberhentikan para siswa pagi-pagi sekali antara pukul 06.00 sd. 06.30 Wib, padahal punya kebijakan yang agung bagi masyarakat karena kondisi yang tertentu itu?

            Lupa?

            Atau memang sengaja saja ingin menindak orang dan tidak peduli dengan kata-katanya sendiri yang bijak itu?

            Atau memang tidak ada koordinasi yang baik di antara polisi sendiri?

            Saya sangat menghargai jika saat itu polisi menyuruh anak saya pulang lagi untuk membawa STNK karena kejadian penindakan itu terjadi hanya beberapa meter dari jalan keluar pemukiman penduduk. Saya pun sangat menghargai ketika melihat polisi menyuruh pulang sepasang suami istri di tempat yang sama karena tidak menggunakan helm dan boleh kembali ke jalan raya jika sudah memakai helm. Polisi tidak menilangnya. Memang masyarakatnya saat itu masih seperti itu. Sekarang masyarakat sudah sadar penggunaan helm meskipun baru sebatas pengendaranya, sedangkan yang duduk di belakangnya masih dibiarkan tanpa helm karena jalan raya hanya dilalui dalam jarak yang pendek dan waktu sebentar. Kebanyakan perjalanan mereka berada di jalan pemukiman penduduk.

            Perlu diketahui bahwa anak saya harus menempuh 3 km dari rumah menuju jalan raya. Jalan raya hanya digunakan sekitar 300 m s.d 400 m. Setelah itu, masuk lagi ke jalan perkampungan dengan jarak tempuh berkilo-kilo meter untuk menuju sekolahnya. Anak-anak lain juga ada yang seperti itu.

            Itu pelanggaran?

            Benar sekali, itu adalah pelanggaran karena tidak memiliki kelengkapan surat ketika berada di jalan raya.

            Akan tetapi, bukankah ada kebijakan agung itu dari kepolisian?

            Mengapa kebijakan itu dihentikan tanpa proses sosialisasi dulu kepada para siswa di sekolah?

            Bukankah dulu pernah melonggarkan penerapan peraturan agar proses pendidikan bisa lancar?

            Hentikan saja kelonggaran itu, terapkan aturan secara sempurna, lalu kita saksikan kemungkinan terjadinya kegoncangan karena hambatan dalam proses pendidikan di wilayah itu.

            Sekarang saja setelah kejadian itu, istri saya selalu khawatir dan ingin antar-jemput anak saya ke sekolah. Itu artinya ada pendidikan yang terganggu dan biaya yang dikeluarkan menjadi lebih besar. Hal itu disebabkan istri saya guru dan mungkin akan datang lebih lambat dari biasanya untuk mengajar anak-anak didiknya. Ada hak anak didiknya yang terampas karena keterlambatan itu. Selain itu, ada biaya tambahan untuk transportasi karena harus bolak-balik empat kali yang jelas perlu bahan bakar lebih.

            Itu saya dan istri saya yang punya tiga sepeda motor.

            Bagaimana dengan warga lainnya yang hanya punya satu motor dengan penghasilan yang pas-pasan?

            Siapa yang mau bertanggung jawab atas kehidupan mereka?


            Sampurasun.