oleh
Tom Finaldin
Kita harus memberikan
apresiasi kepada aparat apa pun yang bekerja dengan baik dengan niat baik untuk
membuat negara dan masyarakat menjadi baik. Akan tetapi, kita pun harus ingat
dengan pepatah tak ada gading yang tak
retak, ‘segala hal tidak ada yang sempurna’, kecuali Allah swt tentunya.
Keretakan itulah yang harus memunculkan kritik yang mengarah pada perbaikan.
Saat ini pun saya ingin memberikan kritik kepada
aktivitas polisi yang sedang rajin-rajinnya menggelar operasi zebra. Tulisan
ini dibuat karena dipicu oleh keheranan saya karena polisi melakukan tilang
kepada anak saya. Jujur saja, ketika saya melakukan peliputan sebuah acara
pelatihan kepemimpinan selama tiga hari berturut-turut, saya dikagetkan pesan
WA dari istri saya yang mengabarkan sepeda motor anak saya ditahan oleh polisi
karena tidak bawa STNK.
Kok bisa anak saya dihentikan oleh polisi ketika
berangkat sekolah?
Aneh bin ajaib.
Saya merasa aneh karena kepolisian setempat pernah memberikan
kelonggaran luar biasa kepada para siswa di sekolah anak saya dengan
memperbolehkan menggunakan kendaraan bermotor tanpa memiliki SIM. Akan tetapi,
tiba-tiba motor anak saya dan anak yang lainnya dihentikan saat pagi sekali,
antara sekitar pukul 06.00-6.30.
Mereka kan sedang berangkat sekolah, mengapa harus
dihentikan?
Apanya yang salah?
Tidak mungkin dihentikan karena tidak bawa STNK.
Bagaimana mungkin polisi tahu bahwa anak saya lupa bawa
STNK sebelum dia menghentikan motor anak saya?
Polisi baru tahu anak saya tidak bawa STNK karena dia
menghentikan terlebih dahulu motor anak saya. Setelah itu baru diketahui anak
saya lupa bawa STNK.
Begitu kan logikanya?
Aksi polisi menghentikan motor anak saya dengan anak saya
lupa bawa STNK adalah dua hal yang berbeda. Hal yang saya tidak mengerti adalah
penyebab polisi menghentikan motor anak saya.
Apakah polisi berhak menghentikan kendaraan yang sedang melaju
tanpa alasan apa pun alias sekehendaknya sendiri?
Kelengkapan fisik sepeda motor anak saya komplit, tak ada
kekurangan apa pun, dia menggunakan helm, sendirian, mengapa harus dihentikan?
Apakah polisi curiga anak saya tidak membawa SIM karena
dia masih menggunakan seragam SMA?
Kalau alasannya itu, sungguh lucu karena pasti anak saya
tidak bawa SIM. Dia memang belum punya SIM karena belum waktunya. Seharusnya,
polisi sudah sangat tahu itu. Tak perlu curiga karena sudah pasti adanya. Bukan
anak saya saja yang belum punya, ratusan pelajar SMA dan SMP pun belum memiliki
SIM dan hal itu biasa wajar terjadi. Jangan curiga lagi.
Perlu diketahui bahwa saya tinggal di Kabupaten Bandung
yang banyak sekali tidak memiliki jalan akses untuk kendaraan umum dalam jarak
tempuh yang sangat panjang, berkilo-kilo meter. Ada beberapa sekolah yang jauh
dari jalan raya dan tidak memiliki akses kendaraan umum. Hal itulah yang
membuat kepolisian setempat memberikan kelonggaran bagi para siswa untuk
menggunakan sepeda motor tanpa harus memiliki SIM karena memang belum waktunya.
Bahkan, polisi sempat memberikan sosialisasi tentang hal itu secara langsung ke
sekolah anak saya, SMAN 1 Katapang, Kabupaten Bandung. Siswa boleh menggunakan
kendaraan dengan catatan tetap menggunakan helm dan alat kelengkapan sepeda
motornya komplit, seperti, lampu, spion, dan lain sebagainya.
Kebijakan polisi yang sungguh sangat baik itu disambut
baik oleh masyarakat, termasuk saya. Polisi tahu bahwa apabila memaksakan
aturan yang sempurna akan mengakibatkan terganggunya perkembangan masyarakat. Hal
itu disebabkan kondisi geografis dan demografis yang berbeda dengan
wilayah-wilayah lainnya. Masyarakatnya masih berada dalam keadaan ekonomi yang
kurang menguntungkan. Tidak semua akses ke lembaga pendidikan terjangkau
kendaraan umum. Kalau dipaksakan harus sempurna benar, bisa mengganggu
masyarakat, terutama tentang waktu dan kemampuan ekonomi. Artinya, orangtua
siswa harus bolak-balik antar-jemput dan atau menggunakan jasa ojek. Hal itu
menimbulkan pengeluaran biaya yang sangat besar, sangat mahal untuk ukuran
masyarakat di sana di samping membutuhkan waktu yang bisa mengganggu orangtua
siswa dalam mencari nafkah. Polisi tahu itu.
Berbeda dengan wilayah lainnya yang terjangkau oleh
banyak kendaraan umum. Di wilayah ini tidak perlu ada kebijakan dari polisi
untuk siapa saja. Peraturan bisa dipaksakan secara sempurna. Anak pertama saya
pun ketika masih sekolah di SMAN 1 Banjaran, Kabupaten Bandung, tidak saya
perbolehkan untuk menggunakan motor karena usianya belum cukup dan banyak
kendaraan umum yang bisa digunakan untuk sampai ke sekolah. Sekarang meskipun
sudah menjadi mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung, anak saya tidak mau
menggunakan sepeda motor karena terbiasa dengan angkutan umum. Dia lebih suka
menggunakan bus karena merasa lebih nyaman. Itu bagus sekali. Lain halnya
dengan anak saya yang kedua yang dihentikan polisi. Dia sekolah di wilayah yang
tidak ada akses kendaraan umum dalam jarak yang sangat jauh. Oleh sebab itu,
dia dan juga siswa lainnya harus menggunakan sepeda motor dan hal itu dimaklumi
oleh polisi. Tak heran di daerah itu teramat banyak siswa SMA dan SMP yang lalu
lalang saat pagi untuk berangkat sekolah dan saat pulang sekolah. Di samping
itu, memang jalan raya hanya dianggap sebagai lintasan sementara dalam jarak
pendek dan waktu tempuh yang sangat sebentar. Kebanyakan mereka menggunakan
jalan-jalan pemukiman, perkampungan karena memang wilayahnya seperti itu. Hal
ini sudah berlangsung sangat lama dan seharusnya terus berlangsung lebih lama
lagi sepanjang belum ada akses untuk kendaraan umum dan ekonomi masyarakat
belum membaik.
Anehnya, secara tiba-tiba polisi menghentikan kendaraan
anak saya dan juga siswa lainnya pagi-pagi sekali, saat berangkat sekolah.
Kemudian, melakukan proses penindakan pidana. Padahal, menurut anak saya,
polisi-polisi itu sering melihat para siswa dan anak saya pun hapal wajah
mereka saking seringnya melihat setiap pagi.
Lalu, ke mana kebijakan polisi yang sangat agung itu
dalam memahami keadaan geografis dan keadaan masyarakat?
Mengapa tiba-tiba dihentikan?
Saya bisa mengerti jika polisi melakukan penindakan
setelah pukul 07.00 Wib karena memang seharusnya para siswa itu sudah berada di
dalam sekolah, tak perlu lagi menggunakan sepeda motor, tak boleh lagi berada
di jalan raya. Saya mendukung penuh dan masyarakat pun akan memahami dengan
sangat baik. Akan tetapi, jika dihentikan ketika pagi-pagi sekali dalam waktu
yang wajar untuk berangkat sekolah, sungguh sangat aneh dan mengesankan seolah-olah
polisi tidak konsisten.
Perlu dipahami pula bahwa di dalam surat tilang berwarna
biru, penyidik tidak menuliskan jam
kejadian dan keterangan jalan. Entah
kenapa. Mungkin dia malu karena terlalu pagi, mungkin lupa, atau mungkin tidak
menganggap penting hal itu. Saya tidak tahu.
Kalau tidak penting, kenapa ada hal itu yang seharusnya
diisi? Buang saja!
Soal waktu kejadian, dia hanya menuliskan Kamis tanggal 2 bulan 11 2017.
Bagi saya, hal itu teramat penting karena bisa menjadi
pengetahuan saya di mana anak saya saat itu dan pukul berapa saat itu terjadi.
Itu bisa menjadi dasar bagi saya untuk melakukan pembinaan kepada anak saya
sendiri karena hari itu seharusnya dia sekolah. Yang jelas istri saya
mengantarkannya ke sekolah pagi-pagi dan meminta maaf kepada gurunya karena
ditilang pagi-pagi. Gurunya memahami dan menjelaskan ternyata bukan anak saya
saja yang kena tilang pagi itu.
Kalau mau melakukan penindakan secara sempurna di wilayah
itu, sebaiknya polisi melakukan kembali sosialisasi ke sekolah. Nyatakan dengan
tegas bahwa polisi tidak akan lagi memberi kelonggaran dan permakluman kepada
para siswa meskipun jalan akses ke sekolah masih belum tersentuh angkutan umum
dan kondisi ekonomi masyarakat masih lemah. Dengan demikian, siswa dan
masyarakat akan lebih mengerti dan mempersiapkan diri. Setelah itu, mari kita saksikan
saja bahwa akan bisa terjadi kegoncangan di masyarakat karena kemungkinan akan
ada banyak siswa SMA atau SMP yang tidak bersekolah karena biaya transportasi
yang mahal dan atau orangtuanya tidak bisa antar-jemput karena harus mencari
nafkah yang waktunya berbarengan dengan pulang-pergi siswa dari dan ke sekolah.
Inilah yang saya sebut bahwa razia yang dilakukan polisi bisa menghambat proses
pendidikan.
Seperti saya bilang bahwa aksi polisi menghentikan laju
motor anak saya dengan anak saya lupa membawa STNK adalah dua hal yang berbeda.
Anak saya jelas salah karena lupa membawa STNK. Sebenarnya, bukan lupa,
melainkan tertinggal di celana yang satunya lagi. Apa pun alasannya anak saya
jelas salah. Saya pun memarahinya habis-habisan karena saya selalu ingin hidup
sesuai aturan. Saya juga ikuti aturan dan sadar membayar denda.
Akan tetapi, yang saya tidak mengerti mengapa polisi
memberhentikan para siswa pagi-pagi sekali antara pukul 06.00 sd. 06.30 Wib,
padahal punya kebijakan yang agung bagi masyarakat karena kondisi yang tertentu
itu?
Lupa?
Atau memang sengaja saja ingin menindak orang dan tidak
peduli dengan kata-katanya sendiri yang bijak itu?
Atau memang tidak ada koordinasi yang baik di antara
polisi sendiri?
Saya sangat menghargai jika saat itu polisi menyuruh anak
saya pulang lagi untuk membawa STNK karena kejadian penindakan itu terjadi
hanya beberapa meter dari jalan keluar pemukiman penduduk. Saya pun sangat
menghargai ketika melihat polisi menyuruh pulang sepasang suami istri di tempat
yang sama karena tidak menggunakan helm dan boleh kembali ke jalan raya jika sudah
memakai helm. Polisi tidak menilangnya. Memang masyarakatnya saat itu masih
seperti itu. Sekarang masyarakat sudah sadar penggunaan helm meskipun baru
sebatas pengendaranya, sedangkan yang duduk di belakangnya masih dibiarkan
tanpa helm karena jalan raya hanya dilalui dalam jarak yang pendek dan waktu
sebentar. Kebanyakan perjalanan mereka berada di jalan pemukiman penduduk.
Perlu diketahui bahwa anak saya harus menempuh 3 km dari
rumah menuju jalan raya. Jalan raya hanya digunakan sekitar 300 m s.d 400 m.
Setelah itu, masuk lagi ke jalan perkampungan dengan jarak tempuh berkilo-kilo
meter untuk menuju sekolahnya. Anak-anak lain juga ada yang seperti itu.
Itu pelanggaran?
Benar sekali, itu adalah pelanggaran karena tidak
memiliki kelengkapan surat ketika berada di jalan raya.
Akan tetapi, bukankah ada kebijakan agung itu dari
kepolisian?
Mengapa kebijakan itu dihentikan tanpa proses sosialisasi
dulu kepada para siswa di sekolah?
Bukankah dulu pernah melonggarkan penerapan peraturan
agar proses pendidikan bisa lancar?
Hentikan saja kelonggaran itu, terapkan aturan secara
sempurna, lalu kita saksikan kemungkinan terjadinya kegoncangan karena hambatan
dalam proses pendidikan di wilayah itu.
Sekarang saja setelah kejadian itu, istri saya selalu
khawatir dan ingin antar-jemput anak saya ke sekolah. Itu artinya ada
pendidikan yang terganggu dan biaya yang dikeluarkan menjadi lebih besar. Hal
itu disebabkan istri saya guru dan mungkin akan datang lebih lambat dari
biasanya untuk mengajar anak-anak didiknya. Ada hak anak didiknya yang terampas
karena keterlambatan itu. Selain itu, ada biaya tambahan untuk transportasi
karena harus bolak-balik empat kali yang jelas perlu bahan bakar lebih.
Itu saya dan istri saya yang punya tiga sepeda motor.
Bagaimana dengan warga lainnya yang hanya punya satu
motor dengan penghasilan yang pas-pasan?
Siapa yang mau bertanggung jawab atas kehidupan mereka?
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment