oleh Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Lucu ya, orang-orang masih
bertahan dengan pendapat bahwa Borobudur adalah Candi Budha?
Akhir-akhir ini stasiun televisi swasta iNews rajin banget menayangkan
berulang-ulang bahwa Borobudur itu Candi Budha dan menyatakan bahwa Kamadatu,
Rupadatu, dan Arupadatu itu adalah ajaran Sang Budha tentang fase-fase
kehidupan manusia.
Aneh banget kalau Kamadatu, Rupadatu, dan Arupadatu
adalah gambaran atau ajaran tentang fase-fase kehidupan manusia.
Mereka
bilang kan manusia, ya?
Betul,
betul, betul!
Manusia
itu banyak bro. Ada yang baik, setengah baik, setengah buruk, buruk, dan sangat
buruk. Ada yang masih bayi, remaja, anak muda, dewasa, orang tua, dan renta.
Apakah
semua jenis manusia mengalami fase-fase itu?
Apakah
kehidupan orang baik sama fasenya dengan kehidupan orang buruk?
Tentu
tidak, bukan?
Itu
artinya, Kamadatu, Rupadatu, dan Arupadatu bukanlah fase-fase kehidupan
manusia.
Terus,
bagaimana kalau bayi yang baru satu minggu atau dua-tiga bulan, kemudian
meninggal?
Bayi-bayi
atau para Balita itu sama sekali tidak melalui fase-fase itu. Artinya,
kehidupan bayi-bayi itu tidak ter-cover
dalam Kamadatu, Rupadatu, dan Arupadatu.
Bayi
juga manusia kan?
Itu
artinya, Kamadatu, Rupadatu, dan Arupadatu bukanlah fase-fase kehidupan
manusia.
Yang benar adalah Kamadatu, Rupadatu, dan Arupadatu adalah pengajaran tentang bagaimana “seharusnya manusia hidup”, bukan merupakan fase-fase kehidupan manusia, melainkan fase-fase “yang harus ditempuh manusia” untuk menjadi insan paripurna.
BOROBUDUR. Foto: borobudurpark.com |
Yang benar adalah Kamadatu, Rupadatu, dan Arupadatu adalah pengajaran tentang bagaimana “seharusnya manusia hidup”, bukan merupakan fase-fase kehidupan manusia, melainkan fase-fase “yang harus ditempuh manusia” untuk menjadi insan paripurna.
Pada
fase Kamadatu manusia berada dalam “nafsu
amarah” yang mempertuhankan sifat-sifat hewaninya, mementingkan benda,
uang, seks, kekuasaan, kehormatan yang kerap dicapai dengan cara curang,
bohong, dan merugikan orang lain. Orang-orang yang sering berbohong tentang
Borobudur pun hidup dalam fase ini karena dia berupaya membohongi orang lain
agar tujuannya tercapai, yaitu kedustaan.
Pada
fase Rupadatu manusia berada dalam “nafsu
lawamah” yang penuh penyesalan. Dalam kondisi ini sering terjadi tarik-menarik
yang sangat kuat dan seru antara keburukan dan kebaikan. Perilaku buruk sering
terjadi, tetapi kemudian terjadi pula penyesalan atas perilaku buruk tersebut.
Perang antara baik dan buruk dalam diri seseorang terjadi pada fase ini.
Allah
swt tidak jarang menggunakan jiwa-jiwa pada fase ini sebagai dasar untuk
bersumpah, “Demi jiwa-jiwa yang penuh
penyesalan, ….”
Allah
swt sangat menghormati jiwa-jiwa yang penuh penyesalan. Hal itu disebabkan
manusia-manusia mulai tumbuh kesadarannya terhadap perilaku buruknya dan mulai
memperbaikinya berdasarkan pengetahuannya atas penyesalannya.
Pada
fase Arupadatu manusia sudah sangat kuat untuk tidak melakukan keburukan dan
berada dalam “nafsu muthmainah”,
jiwa-jiwa yang tenang. Kebaikan sudah sangat kuat dan sering mampu memenangkan
pertarungan melawan keburukan. Jiwa dan pikiran manusia sudah sangat
tercerahkan tentang penilaian terhadap kebaikan dan keburukan. Akan tetapi,
masih ada kemungkinan terjatuh ke fase yang lebih rendah lagi yang digambarkan
dengan stupa berlubang terawang tempe atau belah ketupat. Godaannya masih ada.
Manusia harus terus “menenangkan” dirinya dan Allah swt pun lebih dekat
kepadanya.
Aku jauh, Engkau jauh.
Jika
manusia menjauh, Allah swt pun menjauh. Akan tetapi, jika manusia mendatangi
Allah swt dengan merangkak, Allah swt akan mendatanginya dengan berjalan. Jika
manusia mendatangi Allah swt dengan berjalan, Allah swt akan mendatanginya
dengan berlari. Allah swt akan mendatangi manusia selalu lebih cepat jika dibandingkan
manusia mendatangi Allah swt.
Allah
swt kerap memanggil orang-orang yang berada dalam fase ini, “Wahai jiwa-jiwa yang tenang, ….”
BOROBUDUR. Foto: slideshare.net |
Manusia
yang lulus uji akan menjadi “insan
kamil”, insan paripurna. Dirinya sudah terlindung dari berbagai keburukan
dunia. Kesulitan dan kemudahan tidak berarti apa-apa bagi dirinya. Kemiskinan
dan kekayaan tidak akan menggoyahkan dirinya. Suka dan duka sama saja bagi
dirinya. Kesedihan dan kebahagiaan hanyalah merupakan putaran kehidupan yang
harus dilakoninya dengan “biasa-biasa” saja. Gambaran yang ada dalam Borobudur
adalah stupa tertinggi berantena yang sudah tidak ada lagi lubang pada
stupanya. Jiwa dan pikiran manusia mulia ini hening dan jernih. Apa pun yang
dia dengar, dia lihat, dan dia rasakan selalu berada dalam keheningan dan
kejernihan. Dialah orang yang hening, jernih, dan bijak kata-katanya penuh
dengan energi ketuhanan.
Yang
keluar dari mulutnya saciduh metu saucap
nyata. Kalau dia berbicara, yang terdengar adalah kebenaran. Kalau dia
marah, kalimat-kalimatnya sangat mematikan.
Siapa
yang melindunginya?
Dia
sendiri berusaha melindungi diri dan Allah swt memberikan kekuatan pada dirinya
untuk tetap berada bersama Allah swt.
Kamadatu, Rupadatu, dan
Arupadatu adalah Amarah, Lawamah, dan Muthmainah.
Ujungnya, Insan Kamil, yaitu Insan Paripurna.
Begitu
lah.
Kalo saya lihat dari atas, sih borobudur, itu potret orang yang sedang berdakwah di Ka bah, pada saat ini.
ReplyDeleteBisa jadi
Delete