Wednesday, 6 April 2016

Kamadatu, Rupadatu, Arupadatu

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Lucu ya, orang-orang masih bertahan dengan pendapat bahwa Borobudur adalah Candi Budha?

            Akhir-akhir ini stasiun televisi swasta iNews rajin banget menayangkan berulang-ulang bahwa Borobudur itu Candi Budha dan menyatakan bahwa Kamadatu, Rupadatu, dan Arupadatu itu adalah ajaran Sang Budha tentang fase-fase kehidupan manusia.

            Aneh banget kalau Kamadatu, Rupadatu, dan Arupadatu adalah gambaran atau ajaran tentang fase-fase kehidupan manusia.

Mereka bilang kan manusia, ya?

Betul, betul, betul!

Manusia itu banyak bro. Ada yang baik, setengah baik, setengah buruk, buruk, dan sangat buruk. Ada yang masih bayi, remaja, anak muda, dewasa, orang tua, dan renta.

Apakah semua jenis manusia mengalami fase-fase itu?

Apakah kehidupan orang baik sama fasenya dengan kehidupan orang buruk?

Tentu tidak, bukan?

Itu artinya, Kamadatu, Rupadatu, dan Arupadatu bukanlah fase-fase kehidupan manusia.

Terus, bagaimana kalau bayi yang baru satu minggu atau dua-tiga bulan, kemudian meninggal?

Bayi-bayi atau para Balita itu sama sekali tidak melalui fase-fase itu. Artinya, kehidupan bayi-bayi itu tidak ter-cover dalam Kamadatu, Rupadatu, dan Arupadatu.

Bayi juga manusia kan?

Itu artinya, Kamadatu, Rupadatu, dan Arupadatu bukanlah fase-fase kehidupan manusia.

BOROBUDUR. Foto: borobudurpark.com

Yang benar adalah Kamadatu, Rupadatu, dan Arupadatu adalah pengajaran tentang bagaimana “seharusnya manusia hidup”, bukan merupakan fase-fase kehidupan manusia, melainkan fase-fase “yang harus ditempuh manusia” untuk menjadi insan paripurna.

Pada fase Kamadatu manusia berada dalam “nafsu amarah” yang mempertuhankan sifat-sifat hewaninya, mementingkan benda, uang, seks, kekuasaan, kehormatan yang kerap dicapai dengan cara curang, bohong, dan merugikan orang lain. Orang-orang yang sering berbohong tentang Borobudur pun hidup dalam fase ini karena dia berupaya membohongi orang lain agar tujuannya tercapai, yaitu kedustaan.

Pada fase Rupadatu manusia berada dalam “nafsu lawamah” yang penuh penyesalan. Dalam kondisi ini sering terjadi tarik-menarik yang sangat kuat dan seru antara keburukan dan kebaikan. Perilaku buruk sering terjadi, tetapi kemudian terjadi pula penyesalan atas perilaku buruk tersebut. Perang antara baik dan buruk dalam diri seseorang terjadi pada fase ini.

Allah swt tidak jarang menggunakan jiwa-jiwa pada fase ini sebagai dasar untuk bersumpah, “Demi jiwa-jiwa yang penuh penyesalan, ….”

Allah swt sangat menghormati jiwa-jiwa yang penuh penyesalan. Hal itu disebabkan manusia-manusia mulai tumbuh kesadarannya terhadap perilaku buruknya dan mulai memperbaikinya berdasarkan pengetahuannya atas penyesalannya.

Pada fase Arupadatu manusia sudah sangat kuat untuk tidak melakukan keburukan dan berada dalam “nafsu muthmainah”, jiwa-jiwa yang tenang. Kebaikan sudah sangat kuat dan sering mampu memenangkan pertarungan melawan keburukan. Jiwa dan pikiran manusia sudah sangat tercerahkan tentang penilaian terhadap kebaikan dan keburukan. Akan tetapi, masih ada kemungkinan terjatuh ke fase yang lebih rendah lagi yang digambarkan dengan stupa berlubang terawang tempe atau belah ketupat. Godaannya masih ada. Manusia harus terus “menenangkan” dirinya dan Allah swt pun lebih dekat kepadanya.

Aku jauh, Engkau jauh.

Jika manusia menjauh, Allah swt pun menjauh. Akan tetapi, jika manusia mendatangi Allah swt dengan merangkak, Allah swt akan mendatanginya dengan berjalan. Jika manusia mendatangi Allah swt dengan berjalan, Allah swt akan mendatanginya dengan berlari. Allah swt akan mendatangi manusia selalu lebih cepat jika dibandingkan manusia mendatangi Allah swt.

Allah swt kerap memanggil orang-orang yang berada dalam fase ini, “Wahai jiwa-jiwa yang tenang, ….”

BOROBUDUR. Foto: slideshare.net

Manusia yang lulus uji akan menjadi “insan kamil”, insan paripurna. Dirinya sudah terlindung dari berbagai keburukan dunia. Kesulitan dan kemudahan tidak berarti apa-apa bagi dirinya. Kemiskinan dan kekayaan tidak akan menggoyahkan dirinya. Suka dan duka sama saja bagi dirinya. Kesedihan dan kebahagiaan hanyalah merupakan putaran kehidupan yang harus dilakoninya dengan “biasa-biasa” saja. Gambaran yang ada dalam Borobudur adalah stupa tertinggi berantena yang sudah tidak ada lagi lubang pada stupanya. Jiwa dan pikiran manusia mulia ini hening dan jernih. Apa pun yang dia dengar, dia lihat, dan dia rasakan selalu berada dalam keheningan dan kejernihan. Dialah orang yang hening, jernih, dan bijak kata-katanya penuh dengan energi ketuhanan.

Yang keluar dari mulutnya saciduh metu saucap nyata. Kalau dia berbicara, yang terdengar adalah kebenaran. Kalau dia marah, kalimat-kalimatnya sangat mematikan.

Siapa yang melindunginya?

Dia sendiri berusaha melindungi diri dan Allah swt memberikan kekuatan pada dirinya untuk tetap berada bersama Allah swt.

Kamadatu, Rupadatu, dan Arupadatu adalah Amarah, Lawamah, dan Muthmainah. Ujungnya, Insan Kamil, yaitu Insan Paripurna.

Begitu lah.


2 comments:

  1. Kalo saya lihat dari atas, sih borobudur, itu potret orang yang sedang berdakwah di Ka bah, pada saat ini.

    ReplyDelete