Monday 4 April 2016

Indonesia Naik Kelas

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Berbicara soal naik kelas, siapa pun yang membicarakannya selalu mengambil contoh naik kelas di lingkungan sekolah, baik itu SD, SMP, atau SMA. Naik kelas tidaklah harus selalu memiliki nilai yang sempurna atau teramat baik. Seorang siswa dinyatakan naik ke kelas yang lebih tinggi disebabkan nilainya mencukupi untuk naik kelas. Kalau memang semua mata pelajaran mendapatkan nilai yang sangat tinggi, itu sangat bagus. Akan tetapi, kalaupun tidak semua mata pelajaran mendapat nilai yang sangat bagus, asal nilainya mencukupi, seorang siswa dapatlah dinyatakan naik kelas. Misalnya, yang sering terjadi adalah siswa mendapatkan nilai yang sangat baik dalam mata pelajaran sosial, bahasa, seni, dan budaya, tetapi nilai untuk mata pelajaran ilmu eksak mendapatkan nilai yang biasa-biasa saja. Siswa tersebut tetap bisa naik kelas. Demikian pula sebaliknya, tidak jarang siswa yang sangat pandai soal mata pelajaran yang penuh dengan hitung-hitungan, tetapi kesulitan dalam mata pelajaran seni, budaya, bahasa, atau olah raga. Siswa itu pun tetap bisa naik kelas.

            Indonesia memang masih memiliki banyak masalah, tetapi masalah-masalah itu tidak menghambatnya untuk naik kelas ke level yang lebih tinggi. Hal itu sebagaimana seorang siswa yang memiliki kelebihan dalam mata pelajaran tertentu dan kelemahan pada mata pelajaran lainnya. Pada kelas berikutnya siswa akan mendapatkan pengetahuan yang lebih tinggi untuk seluruh mata pelajaran. Artinya, dia akan meningkatkan pengetahuannya untuk pelajaran yang sangat dia kuasai dengan tetap melakukan berbagai perbaikan pada pelajaran yang kurang dikuasainya. Demikian pula dengan Negara Indonesia, dalam banyak hal telah mengalami perbaikan, tetapi masih ada pula yang harus diperbaiki dan terus ditingkatkan. Pada level berikutnya Indonesia akan mendapatkan banyak pengalaman baru, pengetahuan yang lebih tinggi, dan ujian yang lebih tinggi pula, baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maupun dalam percaturan di tingkat internasional.

            Kalau di sekolah, yang menyatakan seorang siswa naik kelas adalah guru. Adapun dalam kehidupan nyata atau penyelenggaraan negara, yang  menyatakan “naik kelas” adalah Allah swt.

            Tidakkah kita bisa melihat dan merasakan bahwa Allah swt telah membuat Indonesia naik kelas?

            Saat ini keinginan pemerintah dan rakyatnya relatif sama, tidak ada perbedaan yang runcing. Semuanya sama menginginkan kenyamanan, keamanan, dan kemakmuran. Seluruhnya sama-sama membenci kejahatan, kriminalitas, kecurangan, keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, dan hal-hal lain yang menunjukkan kelemahan dan keburukan. Berbeda dengan dulu yang kerap terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam antara pemerintah dan rakyat dalam hal berbangsa dan bernegara yang menciptakan kondisi berseberangan antara pemerintah dengan rakyatnya. Perbedaan yang terjadi pada saat ini antara pemerintah dengan rakyat adalah lebih tampak dalam hal teknis ke arah pada pencapaian kemakmuran bersama, bukan lagi dalam hal ideologi atau perebutan kekayaan alam. Memang sangat tidak lucu jika rakyat dan pemerintah bertengkar rebutan kekayaan alam.

            Dalam hal politik pun ada perbaikan sedikit-sedikit. Meskipun saya adalah “pembenci berat” demokrasi, tetap mengapresiasi perubahan yang terjadi. Contoh kecil adalah kalau dulu ada teman satu partai yang melakukan korupsi dan kejahatan lainnya, teman-teman satu partainya berikut partainya secara institusi membela mati-matian teman-temannya yang telah melakukan perilaku menjijikan itu. Sekarang terjadi perbedaan. Partai dan anggotanya tidak lagi membela anggota yang “kedapatan” melakukan tindakan korupsi ataupun kejahatan lainnya. Partai lebih memilih untuk menyingkirkan “penjahat” itu agar tidak merusakkan nama baik partai. Demikian pula ada yang tidak terlalu bergantung pada partai untuk mendapatkan kekuasaan. Mereka tidak terlalu takut untuk tidak mendapatkan dukungan partai. Mereka memilih untuk membuktikan dirinya sendiri sebagai orang yang “bisa dipercaya” dan berjuang bersama dengan kelompok masyarakat nonpartai. Namanya Independen.

            Hal yang sama pun terlihat di institusi kepolisian, TNI, dan aparat lainnya. Jika ada anggotanya yang jelas-jelas melakukan pelanggaran atas hukum, institusi tersebut memilih untuk memecat dan menghukumnya. Lumayan berbeda dengan masa lalu yang kerap menyembunyikan kebusukan orang-orang busuknya dan membela mati-matian teman satu korpsnya.

            Bukankah hal itu merupakan suatu kemajuan?

            Iya benar memang kita belum merasa puas, tetapi itu sudah lebih baik dibandingkan dengan dulu.


Tanda-Tanda Indonesia Naik Kelas

Kesadaran untuk bersama hidup dalam NKRI semakin menguat dan menebal. Pemahaman untuk mencapai tujuan bersama sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 sudah semakin terang. Denah yang ingin dicapai oleh Indonesia yang merupakan tujuan pembangunan nasional sudah sama. Perbedaan tujuan sudah semakin kecil. Dasar Negara Pancasila semakin mendapat tempat di hati masyarakat. Mereka yang masih menginginkan berbeda dari Pancasila dan Preambul UUD 1945 hanya tinggal segelintir kecil dan terus mengecil, bahkan dianggap sebagai “pengganggu” yang sama sekali tidak dihormati. Perang terhadap “gangguan” dan berbagai pelanggaran hukum sama-sama sangat disetujui oleh pemerintah dan rakyat. Keharusan untuk berbagi kemakmuran sangat diamini oleh pemerintah dan masyarakat. Kalaupun masih ada perbedaan, perbedaan yang terjadi lebih banyak pada hal teknis, dana, dan waktu yang harus digunakan untuk mencapai tujuan bersama tersebut.

            Perbaikan dan kemajuan yang dimulai dari kesamaan pemahaman tersebut mulai tampak pada langkah-langkah teknis. Perlahan namun pasti, langkah-langkah teknis itu makin jelas dan makin jelas. Meskipun perbaikan dan kemajuan itu masih sangat minimal, Allah swt menilainya sebagai kebaikan dan merupakan peningkatan yang sangat positif. Hal itu pulalah yang menjadi dasar bagi Allah swt menaikkan Indonesia ke kelas yang lebih tinggi.

            Tidak bisakah kita melihat Allah swt telah menaikkan Indonesia ke level yang lebih tinggi?

            Perhatikan ini.

            Untuk urusan dalam negeri dalam rangka mencapai kemakmuran bersama, Indonesia sudah relatif right on the track, ;’berada pada jalan yang benar’. Oleh sebab itu, Allah swt memberikan tanggung jawab yang lebih besar lagi, yaitu tantangan untuk lebih berperan aktif dalam percaturan internasional. Dengan demikian, Indonesia harus memiliki banyak pemikir yang ikut memberikan sumbangan pikiran dalam menyelesaikan berbagai masalah internasional. Kalau untuk memecahkan permasalahan di dalam negeri, sudah sangat banyak orang pintar yang ikut terlibat, baik di dalam tubuh penyelenggara negara maupun di luar pemerintahan. Akan tetapi, orang-orang yang matanya mengarah pada perbaikan kemelut internasional, masih belum banyak terlihat.

            Orang mungkin akan berpendapat buat apa ngurusin masalah orang lain, masalah sendiri saja di dalam negeri belum beres?

            Saya hanya ingin balik menanyakan untuk apa seorang siswa naik kelas kalau belum semua pelajaran mendapat nilai 90-100?

            Kalau masih ada pelajaran yang nilainya 70 atau 60, sebaiknya tidak usah naik kelas.

            Begitukah?

            Kalau memang harus begitu, saya yakin 99% siswa di Indonesia tidak akan pernah naik kelas. Semuanya hanya mampu sampai kelas satu sekolah dasar sampai bangkotan.

            Demikian pula dengan Indonesia, jika harus menunggu beres semuanya di dalam negeri, kita berarti menyia-nyiakan kepercayaan Allah swt untuk lebih berperan aktif di dunia internasional. Apabila lebih aktif dalam percaturan internasional, kita akan mendapatkan banyak keuntungan dari kiprah kita tersebut. Hal itu disebabkan apa yang kita lakukan di tingkat dunia harus tetap berpegang pada nilai-nilai nasionalisme kita, bukan hanya menjadi pengikut yang bisanya cuma manggut-manggut pada negeri orang lain yang sesungguhnya negeri-negeri itu tidak memiliki “jalan yang benar” dan tidak mempunyai kemampuan yang cukup untuk mengatasi berbagai permasalahan dunia. Bahkan, makin hari makin kusut-samut saja kehidupan internasional ini. Tak jarang bahwa negeri-negeri yang mengklaim diri sebagai negeri yang hebat-hebat itu justru yang memicu berbagai konflik di dunia ini. Kita harus lebih aktif dalam pergaulan internasional dengan nilai-nilai kebaikan yang kita miliki sehingga kita pun akan mendapatkan feedback positif dari aktivitas kita di dunia internasional.

            Perhatikan arahan dari Sang Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Ir. Soekarno.

            Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang membuat kita menjadi ‘perkakasnya Tuhan’ dan membuat kita menjadi ‘hidup dalam ruh’ seperti yang saban-saban dikhutbahkan oleh Bipin Chandra Pal, pemimpin India yang besar itu. Dengan nasionalisme yang demikian ini, kita insyaf dengan seinsyaf-insyafnya bahwa negeri kita dan rakyat kita adalah bagian dari negeri Asia dan rakyat Asia juga bagian dari dunia dan penduduk dunia …. Kita, kaum pergerakan nasional Indonesia bukan saja merasa menjadi abdi atau hamba dari tanah tumpah darah kita, melainkan kita juga merasa menjadi abdi dan hamba Asia, abdi dan hamba semua kaum yang sengsara, abdi dan hamba dunia ….”

            Kita harus sudah merasa bukan lagi hanya sebagai warga negara Indonesia, melainkan sudah harus merasakan sebagai warga dunia, rakyat dunia, yang bisa terpengaruh oleh situasi dunia sekaligus bisa memengaruhi kehidupan dunia. Daripada menjadi objek yang selalu terombang-ambing oleh pengaruh dunia, kita harus berupaya untuk menggerakkan dunia sesuai dengan nilai-nilai kebaikan yang kita miliki. Indonesia memiliki potensi besar untuk hal itu.

            Nggak percaya?

            Saya kasih satu contoh sangat kecil yang jika diperjuangkan akan memberikan manfaat yang teramat besar bagi perdamaian dunia. Indonesia adalah negeri yang berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia. Sangat tak salah jika mematuhi nasihat-nasihat Nabi Muhammad saw.

Rasulullah saw pernah berpesan dalam kalimat pendek, “Jangan menjual senjata kepada orang yang sedang bertengkar.”

Nasihat yang sangat berharga itu akan berpengaruh sangat luas bagi perdamaian dunia. Negeri-negeri yang sedang bertengkar atau terlibat perselisihan jika tidak mendapatkan pasar atau suplai senjata, akan berpikir ribuan kali untuk melakukan perang karena mereka pasti akan kehabisan amunisi untuk membunuh yang akibatnya mereka akan hancur jika musuhnya memiliki persenjataan yang lebih banyak. Itu artinya, dunia akan mengalami tekanan kuat agar tidak melakukan perang di mana pun dan senjata yang dimilikinya hanya untuk membela diri, bukan untuk melakukan invasi ke wilayah orang lain.

Kenyataan yang ada saat ini adalah negeri-negeri yang sedang bertengkar atau tidak akur berlomba membeli senjata baru dan memperbanyaknya untuk perang sehingga membuat dunia selalu harus menyaksikan pembunuhan demi pembunuhan. Hal yang lebih parah adalah para penjual senjata pun semakin rajin untuk memproduksi senjata baru agar dibeli oleh negara-negara yang sedang dalam pertengkaran. Kalau negara-negara resmi menahan diri untuk berperang, para pedagang senjata pun segera menyuplai atau menjual senjata pada kelompok-kelompok teroris untuk menciptakan ketidakamananan sehingga pasar senjata lebih bergairah lagi. Kalau orang-orang enggan untuk bermusuhan, para pedagang senjata pun segera “menciptakan” kelompok-kelompok pengacau atau “melahirkan” kekacauan yang berujung pada penggunaan senjata.

Begitu kan?

Sungguh, satu kalimat pendek larangan menjual senjata pada orang-orang yang sedang bertikai dari Junjunan Yang Termulia Muhammad Rasulullah saw dapatlah mendamaikan dunia.

Demi Allah swt.


Indonesia Sudah Naik Kelas

Indonesia tidak boleh dan memang tidak bisa menghindar dari “naik kelas” karena memang level kita “sudah naik”. Allah swt membuatnya seperti itu.

            Sebenarnya, dari sejak dulu pun Indonesia sudah terlibat dalam percaturan politik Internasional. Akan tetapi, sekarang Allah swt menginginkan kita untuk lebih aktif lagi. Allah swt percaya kepada Indonesia dan hendak menguji Indonesia. Kalau berhasil dari ujian-Nya, Indonesia akan lebih meningkat lagi ke level yang belum bisa kita duga. Kalau gagal, kita bisa jatuh remuk-redam dan terhina. Wallahu alam.

            Beginilah Allah swt membuat Indonesia naik kelas. Tanpa disadari, tiba-tiba kita dicobai dengan hadirnya para pengungsi Rohingya dari Myanmar. Rakyat pesisir Aceh yang miskin mendapat beban baru untuk menolong mereka. Miskin ya miskin, tetapi kewajiban untuk menolong telah mengalahkan rasa takut untuk hidup lebih miskin. Mereka pun menolong para pengungsi itu dan pemerintah pun meneruskannya dengan langkah-langkah lebih positif. Kejadian itu membuat orang-orang ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi di Myanmar sekaligus memaksa pemerintah Indonesia behubungan dengan dunia untuk menyelesaikan masalah tersebut.

            Peristiwa itu pun mendapatkan perhatian dunia. PBB dan dunia mengacungkan jempol untuk Indonesia dalam menangani pengungsi. Perasaan hanya Indonesia yang mendapat acungan jempol dari dunia soal itu. Negara-negara lain tidak mendapat kehormatan sebesar seperti yang diterima Indonesia. Bahkan, negara-negara lain segera merasa “terbebani” dengan hadirnya para imigran sampai saat ini. Allah swt membukakan “kedustaan” mereka yang sering mengklaim diri sebagai penegak Ham, pengawal “kemanusiaan”, pencipta “kasih sayang”, dan seabrek klaim manis lainnya yang sesungguhnya hanya senilai bau “kentut” tukang kuli panggul di terminal. Untuk menolong orang lain saja sampai repot seperti itu. Harusnya tolong dulu, urusan nanti belakangan. Bahkan, para anti-Islam mempropagandakan bahwa kehadiran pengungsi itu merupakan “invasi tersamar” kaum muslimin untuk menguasai dunia. Goblok banget mereka.
            
          Pengungsi memang benar merupakan beban tersendiri. Akan tetapi, jangan pula sampai diusir tanpa kejelasan.
            
            Di mana rasa kemanusiaan mereka yang selalu mereka “kentutkan itu”?

            Di mana rasa kasih sayang mereka yang selalu mereka promosikan itu?

            Dusta!

            Hal yang lebih parah adalah mereka yang mengklaim diri sebagai penganut ajaran “kasih sayang” itu tidak mempedulikan seruan petinggi Vatikan. Paus menyerukan agar setiap negara membuka perbatasan untuk menolong para pengungsi, tetapi perbatasan itu malah ditutup lebih rapat. Mereka hanya menghitung untung dan rugi serta ‘kekhawatiran” yang tidak beralasan.

            Padahal, kalau mau dirunut secara kronologis, kita bisa melihat bahwa pengungsi itu datang karena adanya kekerasan dan perang di negerinya. Perang dan kekerasan itu diciptakan oleh orang rakus dan gemar kekuasan. Orang-orang jahat itu mendapatkan senjata untuk melakukan perang dan kekerasan.

            Dari mana mereka mendapatkan senjata?

            Siapa yang menciptakan kelompok-kelompok perusuh itu?

            Siapa yang mem-back up para pemimpin tiran itu?

            Dari mana orang-orang rakus itu memiliki uang?

            Dengan siapa saja para penjahat dan penguasa itu berbisnis?

            Siapa saja yang mendapatkan keuntungan dari berbagai huru-hara itu?

            Semuanya berawal dari kapitalisme dan sekarang kembali membawa akibat pada orang-orang dan negeri kapitalis sendiri. Kalau kata orang-orang, namanya “karma”. Ketika akibat  huru-hara itu datang pada mereka, anehnya mereka menghindar dan cuci tangan. Mereka hanya ingin mendapatkan untung tanpa ingin menanggung risiko. Seharusnya, negeri-negeri kapitalis itu jangan mengeluh dengan kehadiran pengungsi karena toh itu merupakan akibat dari huru-hara yang mereka bikin sendiri juga.

            Hal lain yang membuat Indonesia harus membuka mata terhadap masalah Internasional adalah dipercayanya menjadi tuan rumah Oki yang kemudian mem-blow up pernyataan tegas Presiden Jokowi untuk memboikot produk-produk Israel dan menegaskan Indonesia sebagai negara yang sangat antipenjajahan. Upaya mempererat hubungan diplomatik dengan Palestina yang dilakukan Retno Marsudi merupakan kondisi lebih “terceburnya” Indonesia dalam masalah Israel-Palestina yang kemudian ditingkatkan pula dengan hubungan ekonomi yang lebih baik.

            Banyak hal yang dapat dilakukan Indonesia untuk mempercepat proses pembebasan Palestina dari penjajahan Israel. Salah satunya mengekspor rasa persatuan dalam tubuh Palestina sendiri dan menyadarkan orang-orang Arab dan Timteng untuk bersatu dalam menyelesaikan masalah itu. Orang-orang Israel dan pendukungnya akan tetap tenang menjajah Palestina karena belum adanya kebersamaan di antara orang-orang Arab sendiri. Orang-orang Arab memang punya penyakit akut yang gemar membangga-banggakan keluarganya, sukunya, atau kaumnya. Hal itu mempersulit rasa persatuan di antara mereka. Bahkan, pada zaman Nabi Muhammad saw saja mereka masih saling bunuh, padahal sudah sama-sama Islam. Ketika ada dua sahabat berbeda suku ditugaskan untuk hal tertentu, sepanjang jalan mereka bertengkar karena membangga-banggakan sukunya masing-masing. Hal itu berujung pada perkelahian untuk saling bunuh. Malahan, di rumah Nabi Muhammad saw sendiri kebanggaan atas nama keluarga itu terjadi. Zaid yang dinikahkan Rasulullah saw kepada Zainab sangat tidak tahan menjadi suami Zainab. Hal itu disebabkan Zainab selalu membangga-banggakan silsilah keluarganya sendiri sekaligus menghina Zaid. Zainab merasa dirinya lebih tinggi dan tidak pantas menjadi istri Zaid. Ujungnya, Rasulullah saw menyuruh Zaid untuk menceraikan Zainab. Kemudian, Nabi saw sendiri yang menikahi Zainab untuk meredam masalah itu.

            Memang orang-orang Arab itu sangat sulit untuk bersatu. Jika mampu berhasil mempersatukan mereka dalam langkah yang sama, Indonesia akan semakin mendapatkan perhatian dunia dan akan mendapatkan penghargaan yang teramat tinggi di muka Bumi, baik di hadapan manusia maupun di hadapan Allah swt. Palestina pun akan sangat mudah untuk dibebaskan.

            Indonesia yang terdiri atas belasan ribu pulau, ribuan suku, ribuan bahasa, ribuan adat dapat dengan mudah bersatu. Persoalan kesukuan sudah lama selesai. Memang ada yang terlambat bersatu, yaitu antara Suku Sunda yang besar dan Suku Jawa yang lebih besar gara-gara Perang Bubat. Permusuhan itu berlanjut dari generasi ke generasi selama berabad-abad. Akan tetapi, keduanya sama-sama menahan diri untuk tidak bertempur lagi. Bahkan, terjadi banyak pernikahan di antara kedua suku tersebut di samping memiliki agama mayoritas yang sama, Islam. Permusuhan pun semakin mengecil hanya sebatas saling hina, saling ledek, saling tuding, dan sebagainya. Akan tetapi, permusuhan itu menjadi “sempurna” selesai ketika “keturunan Majapahit” melakukan upacara “memohon maaf” kepada “keturunan Padjadjaran” pada 2010. Keluarga Majapahit menyadari sepenuhnya bahwa kejadian Perang Bubat itu merupakan kesalahan yang dilakukan pasukan Jawa kepada keluarga Sunda. Permohonan maaf keluarga Majapahit yang kemudian diterima dengan teramat baik oleh keluarga Sunda itu merupakan kejadian luar biasa dan harus diapresiasi dengan sangat tinggi. Jadi, masalah Perang Bubat itu sudah seharusnya selesai dan hanya tinggal sejarah memilukan dan memalukan bagi kedua suku. Jika masih ada yang menghidup-hidupkan dendam lama tentang peristiwa itu, mereka hanyalah orang-orang yang tidak ingin hidup memandang ke depan dan menikmati keuntungan dari “ketidakbersatuan” Indonesia. Mereka hanyalah pecinta rasa benci, dendam, dan huru-hara.

            Di Indonesia tidak pernah terjadi rasisme terhadap kulit hitam Papua, kecuali oleh orang-orang bego yang jumlahnya hanya satu dua. Bahkan, pemerintah Indonesia berupaya memajukan pendidikan dan taraf hidup orang Papua serta Indonesia bagian timur. Tak ada yang menikmati kebodohan orang lain untuk kesenangan dirinya sendiri. Berbeda dengan yang terjadi di negara-negara barat yang sampai hari ini terjebak dalam sikap rasisme menjijikan dan sikap memperbudak orang lain pada beberapa kalangan di negeri-negeri Arab.

            Indonesia pasti memiliki banyak cara untuk mempersatukan negeri Arab dalam langkah yang sama. Banyak sejarah yang bisa digali dari dalam diri Indonesia untuk diekspor ke seluruh penjuru dunia.

            Contoh lain Indonesia sudah harus memperhatikan interaksi dunia internasional adalah ketika terjadi pelanggaran batas laut oleh kapal nelayan pencuri dari Cina yang kemudian dilindungi oleh pasukan lautnya. Kegeraman Menteri Susi dan protes Retno Marsudi membuat dunia cukup terhenyak bahwa Indonesia memiliki kemampuan gertak yang tinggi kepada negara sebesar Cina. Hal itu pun membuat Indonesia untuk lebih memperhatikan permasalahan Laut Cina Selatan. Akibat dari peristiwa itu, banyak harapan dari berbagai negara bahwa Indonesia mampu menyelesaikan permasalahan Laut Cina Selatan yang merugikan banyak negara Asean tersebut. Bahkan, pakar dari Amerika Serikat memandang Indonesia memang bisa menyelesaikan masalah tersebut.


Gangguan untuk Indonesia

Ketika Indonesia mulai mencuat mendapat perhatian dunia, gangguan pun datang. Mereka tak ingin Indonesia tenang, semakin kuat, dan tumbuh menjadi negara yang lebih kuat. Mereka ingin Indonesia tetap dirundung masalah.

            Ketika TNI-Polri mulai membuat terdesak Kelompok Santoso, Indonesia diganggu dengan penculikan yang dilakukan di jalur pelayaran Filipina. Mereka tak ingin Indonesia bersih dari terorisme. Mereka masih ingin punya berita bahwa Indonesia masih sibuk dengan terorisme. Penculikan itu pun membuat Indonesia harus memerankan peran penting dalam pergaulan internasional. Lobi dan komunikasi dengan Filipina pun semakin sering dilakukan.

            Hal yang harus diperhatikan adalah Indonesia harus mempertahankan adat ketimuran yang penuh sopan santun dan dijaga dengan sikap beradab yang tinggi. Apabila Filipina atau negara lain tidak memerlukan Indonesia untuk mengatasi penculikan, Indonesia harus menghormati negara lain tersebut karena itulah budaya hormat kita. Jangan seperti negara preman Amerika Serikat yang kurang ajar dan sangat tidak beradab. Mereka menangkap dan membunuh Osama Bin Laden di Pakistan tanpa meminta izin dulu pada Negara Pakistan. Amerika Serikat itu tidak beradab dan tak punya sopan santun. Indonesia tidak boleh seperti itu. Ketika negara lain tidak setuju dengan kehadiran pasukan TNI, tanggung jawab beralih kepada negara lain itu. Risiko yang harus ditanggung berada pada negara lain, bukan pada Indonesia. Indonesia sudah berupaya keras, tetapi belum mendapatkan izin. Hormatilah hal itu karena kita adalah bangsa terhormat, bukan bangsa preman.

            Meskipun demikian, penolakan Filipina atas keterlibatan TNI pun menjadi semacam gangguan bagi Indonesia karena TNI tidak bisa memamerkan keahliannya dalam membebaskan sandera sehingga membuat tentara negara lain memperhitungkan TNI. Demikian pula patroli Amerika Serikat di Laut Cina Selatan menjadi semacam sedikit hambatan bagi Indonesia untuk lebih berperan dalam berperan serta di Laut Cina Selatan. Patroli laut AS itu sedikit-banyak membuat Indonesia merasa tidak perlu-perlu amat untuk lebih menekan Cina agar tidak melanggar kawasan laut milik negara-negara Asean lain.

Apabila Indonesia lebih aktif dalam masalah Laut Cina Selatan, pamor AS di kawasan itu akan jauh berkurang. Oleh sebab itu, AS berupaya narsis dengan berpatroli di kawasan itu untuk menunjukkan bahwa dirinya masih “polisi dunia”. Padahal, Hillary Clinton sama sekali tidak didengar Cina untuk kembali mematuhi batas-batas laut yang disepakati PBB.

Untuk apa AS berpatroli di sana kalau Cina masih melanggar kedaulatan wilayah laut negara-negara Asean?

Mereka hanya narsis, “Aku masih ada di sini, lho.”

Mereka tidak mau Indonesia mengalahkan AS dalam penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan.

Begitulah. Ketika Indonesia naik kelas, akan selalu ada pihak yang tidak ingin tersaingi pengaruhnya. Artinya, kiprah Indonesia di kancah politik internasional mulai sangat diperhatikan dunia.

So, kalau sudah naik kelas, hiduplah sebagaimana orang yang sudah naik kelas.





No comments:

Post a Comment