oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
TUJUH AGUSTUS
SATU SEMBILAN EMPAT SEMBILAN
ITULAH HARI DIPROKLAMIRKANNYA
NEGARA ISLAM INDONESIA
TEGUH BERDASAR
RAYUAN WAHYU ILLAHI
LAKSANAKANLAH SUATU NEGARA
KURNIA ALLAH YANG ESA
TEMPAT PERSATUAN UMAT
KEBESARAN DAN KEJAYAAN
KEADILAN YANG MERATA
DI SELURUH NUSANTARA
Ada yang tahu syair apa itu?
Itu adalah syair dari lagu wajib Negara Islam Indonesia (NII). Beberapa waktu lalu, saya diberi teks syair itu oleh seseorang yang mengaku anggota NII. Dia tampaknya dalam keadaan bingung. Ia masih sangat terikat NII karena istrinya bekerja di sebuah lembaga pendidikan yang dibentuk NII. Jelas, persoalan yang dimilikinya adalah persoalan ekonomi, bukan politik.
Sayang sekali, saya lupa menanyakan judul lagu tersebut. Entah lagu itu merupakan lagu paling wajib sebagaimana Indonesia Raya ataukah hanya sebuah lagu dari sekian banyak lagu yang dimiliki oleh NII. Dari nadanya, lebih mendekati sebuah hymne, bukan mars. Dua kali ia melantunkan lagu tersebut di depan saya. Saya pun langsung hapal. Pintar benar mereka. Nada lagunya memiliki pesona luar biasa. Penuh khidmat, memiliki semangat, membangkitkan emosi, serta menanamkan harapan. Apalagi jika menggunakan alat musik, seperti, gitar atau keyboard, semakin menusuk perasaan.
Saya juga tidak tahu apakah lagu itu sudah ada sejak zaman SM Kartosoewiryo atau diciptakan setelahnya. Pun saya tidak memiliki informasi apakah lagu ini digunakan atau dimiliki oleh seluruh kelompok NII atau hanya kelompok tertentu karena NII sendiri terdiri atas banyak kelompok yang berbeda dan tak jarang hubungan di antara mereka tidak harmonis. Yang jelas, menurutnya, lagu ini setiap tahun dikumandangkan. Memang tidak semua anggota NII mengetahui lagu ini, hanya orang-orang tertentu, pada level tertentu. Setiap tahun mereka menyanyikannya untuk memperingati hari proklamasi NII, 7 Agustus 1949.
Lagu ini dinyanyikan di berbagai tempat yang dianggap aman, misalnya, di tempat kontrakan, gedung-gedung tertutup, tempat-tempat terbuka yang mereka kuasai, atau hutan-hutan. Beberapa hari atau beberapa minggu sebelum menyanyikan lagu itu, mereka melakukan berbagai kegiatan seperti aktivitas masyarakat Indonesia pada umumnya menjelang peringatan HUT Proklamasi RI, misalnya, pertandingan bola voli, catur, lomba memancing, marathon, bulu tangkis, baca puisi, lomba menyanyi, khitanan massal, dan lain sebagainya. Kegiatan-kegiatan ini sering tidak tertutup, bahkan terbuka. Mereka merasa aman karena tak pernah dicurigai masyarakat. Toh, memang masa-masa itu merupakan waktunya banyak diselenggarakan kegiatan sejenis. Mereka hampir bebarengan melakukan kegiatan itu dengan masyarakat Indonesia lainnya karena sama-sama memperingati hari keramat dalam bulan yang sama, Agustus. Perbedaannya, kita memperingati 17 Agustus 1945, sedangkan mereka memperingati 7 Agustus 1949.
Pada hari H mereka bukan saja menyanyikan lagu wajib di atas, melainkan meneriakkan pula yel-yel lainnya, seperti, Hidup NII! Merdeka NII! Menurut perkiraan saya, mereka meneriakkan itu penuh semangat, lebih bersemangat dibandingkan kita jika meneriakkan Hidup Indonesia! Merdeka Indonesia! Itu cuma perkiraan, bayangan, tetapi sangat mungkin terjadi karena mereka memiliki keinginan yang pasti dan pemimpin yang juga pasti, sedangkan kita mengalami krisis kepemimpinan dan banyak masalah yang melilit tak kunjung selesai, wajar jika agak hambar meneriakkannya.
Akan tetapi, berbeda jika Timnas sepakbola kita berlaga, teriakan kita bisa sangat nyaring memecahkan langit. Itu bagus, lumayan, daripada tidak sama sekali. Soalnya, anehnya, teriakan Hidup Indonesia! sangat membahana saat pertandingan sepakbola, tetapi begitu kikuk ketika berhadapan dengan masalah ekonomi, ideologi, Hankam, dan politik. Banyak orang yang tenang-tenang saja ketika negeri ini kekayaan alamnya dikuras oleh orang-orang rakus dan perusahaan asing. Malahan, mereka selalu memuja-muja bangsa asing yang perilakunya sudah tampak lebih bajingan daripada bajingan, lebih premanisme dibandingkan para preman. Sangat sering kita melihat mobil atau motor yang ditempeli stiker bendera bangsa asing. Bukan di sana saja mereka mengibarkan bendera orang lain, melainkan pula di kamar tidur, di seprai, di celana, baju, topi, tas, dan lain sebagainya. Aneh memang, entah apa yang ada dalam pikiran mereka. Demikian pula saat Pemilu, banyak yang memilih orang-orang yang sudah jelas memberikan pengaruh buruk terhadap kehidupan bangsa hanya karena diberi selembar uang lima puluh ribuan atau janji-janji yang jelas pasti palsu. Dengan tulusnya mereka pergi ke tempat-tempat pemilihan, padahal mereka sendiri kebingungan mau memilih siapa karena sudah berkali-kali memilih, tetapi kehidupan mereka tak kunjung berubah lebih baik, bahkan ada yang terus meluncur ke arah kemiskinan. Yang berubah lebih baik secara ekonomi ya hanya mereka-mereka itu yang telah dipilih menjadi pejabat. Kalau menurut saya sih, jangan paksakan diri pergi ke tempat pemilihan kalau tak ada yang bisa dipercaya. Duduk saja yang manis di rumah atau pergi bekerja. Itu lebih baik karena tidak akan menanggung beban di akhirat nanti. Soalnya, semua orang di akhirat nanti akan ditanyai tentang segala yang dilakukannya di dunia ini, termasuk dimintai keterangan dan pertanggungjawaban tentang pilihan kita saat memilih dalam Pemilu. Itu pasti terjadi.
Batas Waktu
Urusan NII palsu ini sudah sangat memuakkan, mengesalkan, dan membosankan, tetapi tidak pernah selesai secara tuntas. Sementara itu, dari hari ke hari korbannya semakin banyak, baik korban ketertipuan maupun korban kekerasan. Sudah sangat wajar jika seluruh bangsa Indonesia berharap aparat penegak hukum dapat menuntaskan kasus NII paling lambat 6 Agustus 2011, tepat satu hari sebelum mereka merayakan lagi hari kemerdekaannya pada 7 Agustus 2011. Setelah tanggal itu, sudah tak boleh lagi ada lagu kebangsaan yang dikumandangkan yang bukan lagu kebangsaan Indonesia di negeri ini, kecuali yang disahkan oleh aturan, seperti, dalam pertandingan olah raga antarnegara atau menyambut petinggi pemimpin negara asing yang bertamu ke RI.
Mengapa saya mengusulkan batas waktu maksimal itu? Persoalan NII ini sudah terjadi sejak lama, sejak zaman tai kotok dilebuan, ‘tahi ayam ditaburi abu gosok’. Try Sutrisno saat menjadi Pangab sudah mengumumkan bahwa di negeri ini telah berkembang kelompok-kelompok misterius yang disebutnya sendiri OTB (Organisasi Tanpa Bentuk).
Soeharto saat menjadi presiden pun mengatakan hal yang mirip, “Mereka yang anti terhadap Pancasila adalah sesungguhnya belum mendalemi Pancasila.”
Ketika mengatakan mendalemi, dialeknya khas jawa medok. Mendalemi Pancasila atau dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah mendalami Pancasila yang dimaksud Soeharto adalah Pancasila menurut versi dan keinginannya sendiri, bukan keinginan dari Pancasila itu sendiri. Akan tetapi, terlepas dari itu semua, pernyataan Try Sutrisno dan Soeharto jelas sekali menunjuk pada kelompok yang sama, yaitu NII. Itu artinya, masalah NII sudah terjadi sejak sangat lama, tetapi tak kunjung selesai. NII palsu itu seolah-olah dimusuhi, disalahkan, tetapi tetap dibiarkan hidup.
Benteng Kokoh
Kalaulah permasalahan NII gadungan itu masih belum selesai sampai 6 Agustus 2011, berarti NII memang memiliki benteng yang sangat kokoh dan kuat. Benteng itu lebih kokoh dibandingkan Tembok Cina. Tembok Cina betapapun kuatnya bisa roboh hanya dipukuli oleh palu secara terus-menerus. Akan tetapi, benteng NII tak bisa hancur oleh senjata apa pun. Nuklir pun tak akan mampu menghancurkannya. Hal itu disebabkan benteng itu telah dibangun dengan baik dan rapi oleh kelambatan aparat penegak hukum, pembiaran yang dilakukan pemerintah, perlindungan para politisi yang memanfaatkannya, sifat lupa dari masyarakat Indonesia sendiri, serta kegemaran mengheboh-hebohkan kasus yang baru.
Kalau ada yang membantah aparat lambat dan pemerintah membiarkan, kenapa kasus ini terjadi terus-menerus selama puluhan tahun? Sementara itu, sudah sangat banyak keluarga yang menangis sedih karena ada anggota keluarganya terjerat NII imitasi ini. Di samping itu, sudah sangat banyak laporan yang diadukan oleh berbagai lapisan masyarakat mengenai hal ini, tetapi tetap tak ada kejelasan.
Dalam tulisan yang lalu, sempat saya beberkan sedikit pengakuan-pengakuan korban NII. Pada tulisan ini saya tambahi lagi sedikit. Ibu saya sendiri sangat sering berceritera kepada saya mengenai teman-teman pengajiannya yang menangis sedih dan mengeluh karena anak-anaknya menjadi pengikut NII. Di antara mereka ada yang sudah kehilangan anak selama empat sampai lima tahun lebih. Ketika suatu saat anaknya datang kembali ke rumah, para orangtua itu gembira bukan main. Mereka pun menyambut anaknya dengan penuh kasih sayang, memberikannya kenyamanan, perlindungan, dan pelayanan penuh haru cinta. Akan tetapi, besok paginya anaknya sudah tidak ada lagi entah ke mana. Bahkan, bukan hanya anak yang hilang, melainkan pula perabot rumah tangga, alat-alat dapur, perhiasan, taplak meja, perkakas pertukangan, kain korden, seprai, selimut, sepatu orangtua, pakaian saudara-saudaranya, serta banyak lagi yang ikut raib. Akankah kondisi itu terus dibiarkan terjadi? Tampaknya memang situasi ini akan berlangsung sangat lama karena kita membuatkan benteng yang teramat canggih bagi NII.
Relakan Mereka Bergembira
Kalau sampai 6 Agustus 2011 NII tak bisa juga diatasi dengan tuntas, biarkanlah pengikut NII bergembira merayakan kemenangannya. Relakanlah mereka menyanyikan lagu kebangsaannya dengan penuh kesenangan dan semangat. Mereka menang dan bergembira karena berada dalam perlindungan benteng kokoh yang kita buat sendiri. Tahanlah kesesakan nafas di dada kita ketika mereka tersenyum riang ceria gembira di atas tangisan keluarga-keluarga yang kehilangan anggotanya. Tundukkanlah kepala kita dengan tenang dan takzim karena percuma juga kesal dan bersedih hati, ternyata negeri ini tak mampu mempertahankan kewibawaannya dirongrong oleh mereka yang menginginkan kekuasaan politik dan ekonomi dengan mencatut nama Islam dan atas nama NII asli. Berupayalah berdamai dengan teriakan Hidup NII! Merdeka NII! Memang kita mungkin tak akan mendengarnya langsung, tetapi yel-yel itu jelas berkumandang entah di mana, di sebuah tempat di tanah air Indonesia.
Beginilah kisah kita saat ini yang akan menjadi bahan tertawaan anak cucu kita kelak. Ketika anak cucu kita mempelajari sejarahnya, mereka akan menyalahkan dan mengutuk sikap-sikap kita pada hari ini yang membiarkan kekalutan demi kekalutan terjadi. Mereka akan menuding kita sebagai generasi bego bin bloon, bukan generasi pejuang, bukan penerus bangsa, atau bukan penyelamat NKRI. Bukankah kejadian masa lalu menentukan kejadian hari ini dan kejadian hari ini menentukan pula kejadian pada masa depan?
Sekarang kita berada di penghujung Mei, sebentar lagi Juni, lalu Juli, kemudian Agustus. Orang-orang NII akan lebih dahulu memperingati HUT NII karena jatuh pada 7 Agustus 2011, sedangkan HUT RI pada 17 Agustus 2011. Mereka telah mendapatkan kehormatan merayakan lebih dahulu, sedangkan kita belakangan. Ceuk basa Sunda mah ‘wayahna bongan sorangan’, ‘dalam bahasa Sunda, ‘rasain deh lu, salah sendiri.’’
No comments:
Post a Comment