Sunday 25 December 2016

Polisi Harus Lebih Cerdas, Lebih Berani, dan Jangan Mati Kutu

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Dalam mengelola perkembangan masyarakat yang berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, kepolisian wajib hukumnya lebih cerdas, lebih berani, dan tidak mati kutu. Masyarakat kita banyak yang sudah demikian cepat berkembang, berpikir, dan berasa sehingga semakin cerdas yang pada akhirnya menumbuhkan pemahaman-pemahaman baru dalam hidupnya. Pemahaman-pemahaman baru ini cukup rentan menimbulkan konflik bagi masyarakat yang belum siap menerimanya.

            Sulit memang membuat kalimat pembuka dalam tulisan ini. Akan tetapi, akan lebih jelas jika kita melihat contoh yang nyata terjadi di tengah masyarakat. Kita mungkin masih ingat kasus yang melibatkan Rizieq FPI. Dia memplesetkan kalimat mulia sampurasun menjadi campur racun. Hal itu menimbulkan kemarahan yang mengakibatkan Ormas Sunda melaporkan Rizieq kepada polisi. Dalam menanggapi laporan itu, grup yang setia kepada Rizieq balik melaporkan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi sebagai telah melakukan penghinaan kepada Islam di dalam buku yang ditulis Dedi Mulyadi. Kedua laporan ini sepanjang pengetahuan saya tidak dilanjutkan prosesnya oleh pihak kepolisian. Entah apa kebijakan polisi untuk tidak meneruskannya. Tak ada berita lanjutan mengenai hal itu.

            Saya tidak ingin membahas kebijakan polisi yang tampaknya tidak meneruskan proses kedua laporan itu. Hal yang saya ingin sampaikan adalah polisi tampaknya kehilangan cara untuk menyelesaikannya dan mendiamkannya dengan harapan masyarakat melupakan kasus itu demi tetap terjaganya stabilitas keamanan masyarakat. Itu merupakan hal yang bagus, tetapi kurang bagus.

            Dari kedua laporan itu seharusnya polisi memberikan pencerahan, baik kepada para pelapor maupun kepada masyarakat luas agar menjadi pelajaran bagi semuanya. Laporan yang diajukan oleh Ormas Sunda sudah sangat jelas bisa dikategorikan laporan dugaan pelecehan terhadap orang Sunda yang dilakukan oleh Rizieq. Akan tetapi, laporan grup Rizieq tidaklah bisa disebutkan bahwa Dedi Mulyadi telah melakukan penghinaan terhadap Islam. Hal itu disebabkan beberapa poin yang dianggap penghinaan terhadap Islam oleh FPI yang dilakukan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi sebenarnya merupakan pemahaman-pemahaman baru mengenai hidup dan kehidupan yang kemudian dibukukan oleh Dedi Mulyadi. Persoalannya, Rizieq dan manusia-manusia seperti dia belum memahami dengan terang apa yang disampaikan oleh Dedi Mulyadi.

            Adalah sangat berbahaya jika pemahaman-pemahaman yang berkembang di masyarakat kemudian dianggap penghinaan dan pelecehan oleh sekelompok atau beberapa kelompok orang hanya karena kelompok-kelompok itu belum memahami pemahaman-pemahaman baru itu. Hal yang lebih berbahaya adalah jika perbedaan pemahaman yang diakibatkan oleh perbedaan pengalaman hidup dan tingkat pendidikan itu harus masuk ke ruang pengadilan.

            Polisi harus lebih cerdas memilih dan memilah, mana yang benar-benar merupakan penghinaan atau pelecehan terhadap Sara sehingga harus masuk ke wilayah hukum dan mana yang merupakan perbedaan pemahaman sehingga tidak perlu masuk wilayah hukum. Perbedaan pemahaman yang diakibatkan oleh pengalaman hidup dan tingkat pendidikan yang berbeda seharusnya tidak diselesaikan di ruang pengadilan, melainkan di ruang kelas kuliah, ruang pengkajian Islam, atau ruang-ruang yang bersifat akademis. Mengenai laporan penghinaan yang diduga dilakukan Dedi Mulyadi seharusnya diselesaikan tidak di pengadilan, melainkan di ruang ilmu pengetahuan. Misalnya, polisi bisa menyarankan Dedi Mulyadi untuk membuat acara Bedah Buku Dedi Mulyadi. Di dalam acara itulah Rizieq dan FPI-nya bisa menanyakan maksud Dedi menulis berbagai hal yang belum dipahami mereka. Kalau mau berdebat, berdebatlah dalam acara itu. Itu lebih terhormat dan terpelajar dibandingkan membuat laporan kepada polisi yang seolah-olah dirinya sudah benar, padahal sesungguhnya belum mengerti pandangan orang lain. Kalau memang dalam acara ilmiah itu terdapat secara nyata penghinaan, barulah polisi bisa mengambil tindakan. Akan tetapi,  jika justru pemahaman baru itu menambah ilmu pengetahuan bagi masyarakat secara positif, Dedi Mulyadi harus diapresiasi.

            Polisi pun harus lebih berani menolak untuk meneruskan proses hukum sebuah laporan apabila ternyata yang dilaporkan hanya merupakan perbedaan pemahaman terhadap Islam yang diakibatkan oleh pengalaman hidup dan tingkat pendidikan yang berbeda. Polisi harus berani menyarankan kepada mereka yang terlibat untuk membuat jelas semuanya dalam acara-acara ilmiah.

            Polisi pun harus lebih tegas terhadap sikapnya dan mampu mempertahankan sikapnya jika memang sudah yakin dengan keputusannya. Siapa pun yang memaksa dan mendesak kepolisian untuk mengikuti kehendak mereka, harus dilawan dengan tegas. Presiden Jokowi telah mengingatkan bahwa polisi itu jumlahnya 450 ribu dan memiliki tugas yang jelas. Presiden menegaskan bahwa polisi tidak boleh takut atau kalah oleh kelompok-kelompok kecil ataupun tokoh-tokoh masyarakat. Berapa pun jumlah massa yang digunakan untuk mendesak kepolisian, asal polisi yakin sudah bertindak dengan benar dan berdasarkan keputusan yang masuk akal, tidak perlu takut untuk bertindak tegas. Jangan mati kutu.


            Kalau pihak kepolisian masih belum mampu memilih dan memilah mana yang benar-benar penghinaan dan mana yang merupakan perbedaan pemahaman yang diakibatkan oleh pengalaman hidup dan tingkat pendidikan yang berbeda, akan ada banyak laporan yang kemudian diiringi oleh desakan massa karena sangat banyak orang yang belum mampu menerima pemahaman-pemahaman baru dalam hidup mereka. Itu sungguh berbahaya dan mematikan perkembangan cara berpikir kritis generasi muda serta menghambat perkembangan ilmu pengetahuan.

Saturday 24 December 2016

Menyelesaikan Kasus Ahok dengan Cara Sunda

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Saya berandai-andai bahwa kasus Ahok mengenai dugaan penistaan agama dapat diselesaikan dengan cara Sunda. Berandai-andai itu berarti berkhayal. Oleh sebab itu, tulisan ini hanya berupa khayalan saya karena sudah sulit dilaksanakan. Seandainya, kasus Ahok belum masuk ke pengadilan, cara Sunda ini masih dapat digunakan. Akan tetapi, kasusnya sudah masuk ke pengadilan dan hukum jalan terus sampai mendapatkan keputusan yang pasti.

            Karena tulisan ini hanya berupa khayalan, saya sarankan Saudara yang tidak menyukai khayalan saya untuk tidak membacanya. Sebaiknya, Saudara segera tutup halaman ini, lalu cari tulisan saya yang lain yang bukan khayalan atau beralih ke situs lain. Saya tidak apa-apa kok kalau tulisan ini tidak dibaca oleh Saudara. Akan tetapi, Saudara tampaknya bandel sehingga terus saja membaca tulisan ini.

            Iya kan?

            Saudara memang bandel dan terus bertahan membaca tulisan saya.

            Saya benar, kan?

            Saudara tidak beralih ke tulisan lain atau ke situs lain. Saudara di sini terus bersama saya.

            Cobalah ikuti saran saya untuk segera meninggalkan halaman ini. Silakan pergi.

            Tuh, kan Saudara terus di sini dan tidak mau pergi.

            Ya, sudah kalau tidak mau dikasih tahu. Disaranin jangan membaca tulisan ini, malah terus-terusan membaca. Saudara memang manusia yang bandel.

            Harus dengan kalimat apalagi saya menyarankan Saudara untuk pergi dari halaman ini?

            Saya harus mencoba untuk mengusir Saudara, “Pergi! Cepat pergi ke situs lain! Jangan baca tulisan ini!”

            Masyaallah, Anda tidak juga mau pergi.

            Apa menariknya tulisan ini?

            Saya kan sudah bilang isinya hanya khayalan, tetapi Saudara tetap saja penasaran. Okelah kalau begitu, terserah Anda saja.

            Jangan salahkan saya kalau Saudara terus membaca, lalu tersinggung. Kemudian, menuduh saya sebagai pelanggar Sara. Salah Saudara sendiri. Jangan melaporkan saya ke polisi dengan menggunakan UU ITE atau UU tentang Sara karena saya sudah mengusir Saudara, tetapi Saudara tidak mau pergi juga.

            Salah siapa kalau begitu, hayo?

            Salah Saudara sendiri atuh.

            Saya bilang jangan baca, eh … terus membaca juga.

            Saudara salah parah banget. Kacau.

            Tuh, kan masih terus membaca juga.

            Oke, saya menyerah, silakan baca tulisan ini bersama saya sampai dengan selesai. Salah sendiri.

            Indonesia harus belajar dari urang Sunda ketika mendapatkan penghinaan. Suku Sunda pernah dilecehkan dan dihina.

            Masih ingat ucapan pelecehan yang dilakukan Rizieq Shihab?

            Dia memplesetkan salam orang Sunda sampurasun dengan mengubahnya menjadi campur racun!

            Ingat sekarang?

            Kejadiannya masih belum lama kok.

            Itu benar-benar mutlak pelecehan yang dilakukan Rizieq terhadap orang Sunda. Tak ada penafsiran yang berbeda mengenai pelecehan itu. Dibandingkan QS Al Maidaah : 51, pelecehan yang dilakukan Rizieq sangat akurat dan terang-benderang. Kasus dugaan penghinaan yang dilakukan Ahok masih debatable. Saya sendiri tidak melihat ada kata-kata Ahok yang menunjukkan penghinaan, baik secara kata-kata dalam bahasa Indonesia maupun dari tafsir Ibnu Katsir dan dari Sejarah Muhammad karya Mohamad Haekal. Berbeda dengan pelecehan yang dilakukan Rizieq yang jelas-jelas memplesetkan sampurasun dengan mengubahnya secara sengaja menjadi campur racun. Plesetan itu sangat jelas dan tidak mungkin debatable.

            Pelecehan Rizieq yang angkuh dan arogan itu tentu saja membuat marah orang Sunda. Rizieq pun dilaporkan Ormas Sunda kepada pihak kepolisian. Orang Sunda yang mencintai sukunya menuntut Rizieq memohon maaf kepada masyarakat Sunda, bahkan mungkin sebagian ada yang menginginkan Rizieq dipenjara karena melakukan penghinaan kepada orang Sunda.

            Sampurasun itu kata yang teramat mulia bagi orang Sunda karena memiliki makna mendoakan keselamatan bagi manusia, melembutkan hati, meluweskan perilaku, mengungkapkan rasa persaudaraan, dan melapangkan dada untuk senantiasa mampu memberikan maaf kepada orang lain. Kata itu memiliki makna yang sama dengan assalaamualaikum wr. wb.. Orang Sunda sudah memiliki anugerah yang besar bahwa sebelum bahasa Arab hadir di tanah Sunda, Sang Cipta Rasa, yaitu Sang Hyang Kersa, yaitu Allah swt sudah memberikan kata salam dalam bahasa Sunda untuk digunakan sehari-hari sebagai doa, sebagaimana ajaran keluhuran Islam yang dibawa oleh Nabi Prabu Siliwangi as.

            Coba bayangkan betapa tidak sopannya Rizieq memplesetkan doa untuk keselamatan menjadi campur racun?

            Tak heran jika banyak orang Sunda marah. Jika saja orang Sunda mau, Jakarta bisa dipenuhi orang Sunda. Demo kemarin-kemarin yang diklaim sebagai demonstrasi umat Islam itu mah sangat sedikit. Demo itu kan hanya klaim merupakan demonstrasi umat Islam, padahal hanya beberapa kelompok umat Islam. Sebagian besar umat Islam kan tidak ikutan demo. Sebagian besar umat Islam tetap dengan aktivitasnya masing-masing. Kalau saja orang Sunda mau demonstrasi untuk menuntut Rizieq memohon maaf, bahkan menuntut agar Rizieq dimasukkan dalam jeruji besi, luas Jakarta tidak akan mampu menampung orang Sunda yang berdemo karena orang Sunda akan memenuhi Jakarta sampai ke gang-gang terkecil.

            Orang Sunda itu akan gampang tersulut emosi jika para pemimpin dan tokoh-tokohnya menyerukan bergerak dengan kalimat ajakan, “Demi Eyang Prabu Siliwangi!”

            Akan tetapi, orang Sunda tidak melakukannya, padahal jelas-jelas tanpa penafsiran berbeda bahwa Rizieq telah melakukan pelecehan.

            Inilah yang saya bilang bahwa bangsa Indonesia harus belajar dari urang Sunda. Ketika orang Sunda marah, Ormas Sunda melaporkan Rizieq ke polisi, dan mulai ada konflik-konflik fisik antara massa Ormas Sunda dan massa FPI, para pemimpin dan tokoh Sunda berupaya segera meredam kemarahan orang-orang Sunda. Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan segera tampil dengan sejuk. Ia menjelaskan bahwa sampurasun itu sama dengan assalaamualaikum. Ia pun mencoba menenangkan orang Sunda bahwa Rizieq memplesetkan sampurasun menjadi campur racun itu secara tidak sengaja. Kemudian, mengisyaratkan bahwa sebaiknya Rizieq dimaafkan oleh orang Sunda. Demikian pula Walikota Bandung Ridwan Kamil menenangkan masyarakat dengan penjelasan yang mirip sebagaimana yang diungkapkan Gubernur Jabar Aher. Demikian pula, para tokoh-tokoh Sunda yang menganggap bahwa perilaku bodoh Rizieq itu sebagai sesuatu hal yang tidak perlu dibesar-besarkan.

            Coba bayangkan, bagaimana bijaksananya para pemimpin resmi di tanah Sunda itu dalam meredam kemarahan orang Sunda?

            Rizieq yang sepanjang pengetahuan saya tidak pernah meminta maaf atas kebodohan dan kesombongan dirinya itu, sudah dimaafkan oleh orang Sunda. Rizieq tidak meminta maaf pun, orang Sunda sudah memaafkan.

            Coba bayangkan kalau para pemimpin pemerintahan dan tokoh-tokoh di tanah Sunda menggerakkan rakyatnya untuk menuntut Rizieq masuk penjara dan meminta maaf kepada rakyat Sunda, kemudian demonstrasi di Monas, depan Istana, dan gedung MPR/DPR, Jakarta pasti habis. Jakarta pasti heurin ku tangtung wargi Sunda. Jakarta tidak akan bergerak sama sekali karena akan terlalu penuh oleh puluhan juta orang Sunda. Polri dan TNI akan lebih sibuk, lebih letih, dan lebih kelabakan.

            Tidak terjadinya demonstrasi besar-besaran oleh orang Sunda itu disebabkan oleh para pemimpin Sunda, baik formal maupun nonformal, akademisi Sunda, aktivis kesundaan, dan rakyat Sunda cepat memahami bahwa demonstrasi untuk hal itu sangatlah tidak produktif dan bisa memicu disintegrasi bangsa. Bahkan, berpotensi menghambat laju pembangunan nasional. Di samping itu, rakyat Sunda sudah merasa cukup dengan tindakan Ormas Sunda yang melaporkan Rizieq ke polisi sebagai warning  bahwa orang Sunda tidak menyukai perilaku tidak sopan Rizieq. Rakyat Sunda berharap bahwa Rizieq tidak mengulanginya lagi.

            Berbeda halnya jika Rizieq mengulangi kebodohannya lagi, situasinya bisa lain. Kalau dia mengulangi lagi kecerobohannya dan nyaman atau merasa senang karena orang Sunda tidak meneruskan kemarahannya, saya menyerukan kepada seluruh pemimpin formal dan nonformal di tanah Sunda untuk menggerakkan rakyat Sunda mendesak Polri, TNI, dan Presiden untuk memenjarakan Rizieq FPI karena orang ini benar-benar berpotensi memecah-belah persatuan dan kesatuan Indonesia. Jika dia mengulanginya lagi, dia benar-benar orang yang berbahaya. Pasukan TNI Siliwangi harus benar-benar berdiri bersama orang Sunda. Kalau Rizieq paham dan tidak mengulangi perilakunya lagi yang bisa menyakitkan hati orang lain, itulah hal yang sangat diharapkan orang Sunda sehingga kita bisa hidup bersama berdampingan saling menghormati, saling menghargai, dan saling melindungi.

            Bagaimana dengan Ahok?

            Begini Saudara … eh, tadi sudah saya bilang kan jangan membaca tulisan ini?

            Akan tetapi, Saudara terus membacanya. Jadi, mari kita selesaikan.

            Saya berkhayal bahwa kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok bisa diselesaikan dengan cara Sunda mirip dengan kasus campur racun  Rizieq. Demonstrasi besar yang telah dilakukan beberapa kelompok umat Islam sesungguhnya sudah masuk ke hati Ahok bahwa kelompok-kelompok itu tidak menyukai Ahok dan nonmuslim lainnya membahas atau membicarakan ayat-ayat suci Al Quran karena itu adalah domain umat Islam. Sudah cukup Ahok mendapatkan peringatan. Dengan sedikit keyakinan, kita bisa berharap bahwa dia tidak mengulanginya lagi. Akan tetapi, sebagai hukuman atas pelanggaran etika yang dilakukan Ahok, kita bisa menuntut Ahok untuk setiap hari meminta maaf kepada umat Islam di media massa selama setahun penuh.

            Mengenai adanya penghinaan dalam kata-kata Ahok, baik secara bahasa Indonesia maupun tafsir, sebenarnya debatable. Di antara ahli Islam sendiri terdapat perbedaan pandangan mengenai QS Al Maidaah : 51 sebagaimana yang disampaikan Kapolri Tito Karnavian. Sebaiknya, perbedaan pemahaman terhadap ayat ini diselesaikan di kelas-kelas kuliah atau di ruang-ruang pengkajian Islam dan bukan di pengadilan. Dengan masuknya kasus dugaan penistaan ini ke ruang pengadilan, sesungguhnya, saya sebagai orang Islam merasa malu sekaligus marah. Hal itu disebabkan dengan masuknya kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok ke ruang pengadilan ini sama artinya dengan menyerahkan kebenaran pemahaman mengenai QS Al Maidaah : 51 ke tangan hakim dan bukan ke tangan para ahli Islam yang jujur. Keputusan hakim bisa menentukan arah pemahaman QS Al Maidaah : 51. Artinya, jika Ahok dinyatakan tidak bersalah, QS Al Maidaah : 51 secara hukum dinyatakan “sama sekali tidak terkait dengan pemilihan pemimpin” dan setiap orang yang pernah menggunakan ayat ini untuk pemilihan pemimpin dinyatakan salah secara hukum. Sebaliknya, jika Ahok dinyatakan bersalah, QS Al Maidaah : 51 akan berpotensi untuk terus digunakan dalam meraih kepemimpinan di Indonesia ini, berkualitas atau tidak calon pemimpin, yang penting Islam. Hal ini pun akan membuat kebingungan umat Islam pada wilayah-wilayah tempat umat Islam sebagai minoritas dan tidak memiliki calon pemimpin yang siap memimpin. Jadi, penafsiran dan pemahaman mengenai QS Al Maidaah : 51 akan sangat dipengaruhi oleh hakim. Keputusan hakimlah yang menentukan arah pemahaman QS Al Maidaah : 51 dan bukan hasil diskusi, penelitian, penelaahan, dan pengkajian para ahli Islam yang jujur dan jernih hati.  Para ahli Islam dari pihak Jaksa Penuntut Umum mungkin akan mengatakan bahwa QS Al Maidaah : 51 adalah memang ayat yang harus digunakan umat Islam dalam memilih pemimpin sehingga Ahok memang bersalah. Akan tetapi, para ahli Islam dari pihak pembela mungkin akan bersikeras bahwa ayat itu tidak berkaitan dengan pemilihan pemimpin sehingga Ahok tidak bersalah. Pada akhirnya, kedua pandangan yang berbeda itu harus tunduk kepada keputusan hakim. Artinya, salah satu pandangan dari kedua kubu para ahli itu harus dinyatakan salah oleh hakim.

            Sungguh, saya pribadi merasa malu dengan hal itu. Para ahli Islam harus tunduk kepada hakim mengenai penafsiran ayat-ayat Al Quran. Padahal, seharusnya para hakimlah yang harus belajar banyak dari para ahli Islam.

            Sungguh, Allah swt memperhatikan kita. Allah swt akan sangat marah dan pasti menghukum dengan keras orang-orang yang secara salah memberikan arti terhadap firman-Nya yang sangat luhur dan mulia. Apalagi jika mengartikan ayat tersebut hanya untuk mendapatkan kepentingan politik dan ekonomi dan bukan untuk mendapatkan keridhoan Allah swt dengan cara memuliakan manusia dan kemanusiaan serta menebarkan cinta, kasih, dan perdamaian. Allah swt sangat mampu menjatuhkan bencana kepada seseorang, sekelompok orang, bahkan sebuah bangsa jika sudah marah karena petunjuk-Nya yang suci dijadikan bahan persengketaan.

            Sebagaimana yang tadi saya sampaikan bahwa saya berkhayal bahwa kasus seperti ini bisa diselesaikan sebagaimana orang Sunda meredam kemarahan terhadap Rizieq. Beri peringatan Ahok untuk tidak mengulanginya lagi. Suruh dia meminta maaf setiap hari selama satu tahun. Selesaikan perbedaan pemahaman mengenai QS Al Maidaah : 51 oleh para ahli Islam. Biarkan para ahli Islam berdebat dan berlelah-lelah hingga mendapatkan pemahaman yang sama karena ayat itu diucapkan oleh Zat Yang Sama, Allah swt.

            Saya sangat setuju dengan apa yang dikatakan Boy Rafli Amar bahwa setiap permasalahan yang terjadi di masyarakat tidak harus semuanya berakhir di kepolisian. Masyarakat bisa menyelesaikannya sendiri dengan cara-cara yang bijak dan mencerahkan.

            Indonesia harus belajar dari urang Sunda yang telah mengerem kemarahan sehingga situasi tetap damai, tenang, bersatu, dan tidak menimbulkan potensi konflik di tengah masyarakat. Sungguh, Allah swt menginginkan kasih sayang dan perdamaian di muka Bumi ini. Kitalah yang harus menjadi wakil-Nya dalam menebar cinta kasih damai di seluruh penjuru muka Bumi. Demi Allah swt.

Friday 23 December 2016

Membuat Wacana dengan Sumber yang Jelas

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Pada pertemuan ketiga belas, baik dengan mahasiswa regular maupun nonreguler Fisip, Universitas Al Ghifari, Bandung, saya merasa berkewajiban memberikan arahan kepada mereka mengenai cara-cara membuat kerangka karangan untuk memudahkan mereka menyusun wacana dalam rangka mencurahkkan gagasan-gagasan mereka ke dalam bentuk tulisan. Di samping memberikan arahan mengenai teknik-teknik membuat kerangka karangan, juga memberikan kesadaran agar mahasiswa dapat menulis sesuatu dengan data-data yang akurat, benar, dan bisa dipertanggungjawabkan. Mereka harus belajar menulis yang benar dan jelas berdasarkan fakta dan bukti, bukan berdasarkan dugaan atau perkiraan yang kemudian diklaim sebagai kebenaran

            Hal-hal tersebut saya ajarkan karena generasi muda sekarang sangat akrab dengan media sosial. Mereka akan sangat mudah menuliskan gagasan ke dalam media sosial. Itu sangat bagus, tetapi harus diarahkan untuk menulis sesuatu yang benar dan tidak menyesatkan, baik menyesatkan diri sendiri maupun menyesatkan orang lain. Demikian pula ketika mereka membaca tulisan orang lain. Mereka harus pandai menilai apakah tulisan-tulisan yang beredar di Medsos itu memiliki dasar yang benar, data yang jelas, dan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan atau hanya sekedar tulisan-tulisan tak bernilai yang hanya didasarkan pada kebencian terhadap seseorang atau sekelompok orang, bahkan didasarkan pada keinginan untuk membuat kebingungan di tengah masyarakat.

            Sebagai mahasiswa, mereka harus kritis dan mampu menilai segala sesuatu hal. Akan tetapi, mereka tidak boleh melakukan fitnah, kebohongan, dan kerusakan pikiran di tengah masyarakat.

            Saya mencontohkan bahwa saya sendiri pernah diajak berdiskusi oleh seorang calon doktor. Saya sungguh bingung dengan kandidat doktor tersebut karena  berbicara berdasarkan khayalannya saja tanpa ada dasar pijakan yang jelas dalam arti tidak memiliki data dan fakta. Dia hanya menduga-duga berdasarkan imajinasinya sendiri. Saya menganggap pandangan dia sangat berbahaya jika dipercaya oleh masyarakat.

            Begini diskusi saya dengan Sang Kandidat Doktor itu. Sebaiknya, saya gunakan inisial KD (Kandidat Doktor) untuk dia.

            KD      : Kang, tahu tidak bahwa harta Setya Novanto itu berdasarkan dari korupsi APBN?

            Saya   : Oh, ya? Dari mana kamu tahu Setya Novanto korupsi APBN?

            KD      : Itu pendapat saya, penilaian saya.

         Saya   : Mengapa Setya Novanto tidak ditangkap oleh KPK kalau sudah tahu korupsi?

            KD      : KPK tidak berani menangkapnya.

            Saya   : Kalau KPK tidak berani menangkap, negeri kita sudah rusak dong?

            KD      : Iya, memang kita sudah rusak.

            Saya   : Kalau begitu, siapa yang salah?

         KD      : KPK tidak berani menangkap karena Setya Novanto adalah orangnya Jokowi.

            Saya   : Jadi, Jokowi yang salah?

            KD      : Iya.

            Saya   : Bukankah KPK itu orang-orang yang sudah melalui tes di DPR? Bukankah DPR yang merekomendasikan orang-orang yang duduk di KPK?

            KD      : ……

            Saya   : Kalau kinerja KPK buruk, seharusnya yang disalahkan adalah DPR, bukan Jokowi. DPR harus bertanggung jawab karena telah merekomendasikan orang-orang yang berkinerja buruk.

           KD      : …….

         Saya   : Jangan terlalu percaya gosip yang bisa merusakkan hubungan di antara rakyat. Kita harus lihat Timur Tengah, rakyat di sana diadudomba. Ketika mereka bertengkar, pihak asing masuk untuk menguasai sumber daya alam dan sumber daya manusia di sana. Maukah kita seperti mereka? Diadudomba, bertengkar, lalu pihak asing masuk dengan dalih mengupayakan perdamaian?

            KD      : Tidak mungkin pihak asing masuk.

            Saya   : Mengapa tidak mungkin? Apa dasar ketidakmungkinan itu?

            KD      : Pokoknya, ini gara-gara Ahok. Harusnya Ahok ditahan, dihukum. Persoalan pun selesai.


            Saudara pembaca bisa menilai bagaimana percakapan saya dengan Sang Kandidat Doktor itu. Dia mengatakan bahwa Setya Novanto korupsi dana APBN berdasarkan dugaan dan kira-kira, tanpa ada data dan bukti. Diapun menyalahkan KPK yang tidak berani menangkap Setya Novanto karena Setya Novanto disebutnya orang Jokowi. Itu pun tak ada bukti. Lalu, dia menyalahkan segalanya kepada Ahok atau Basuki Tjahaya Purnama. Benar-benar pendapat yang sangat tidak bermanfaat. Calon doktor kok bicaranya seperti itu. Oleh sebab itu, saya bagi pengalaman seperti itu kepada para mahasiswa agar para mahasiswa mendapatkan banyak pelajaran dan tidak meniru Sang Kandidat Doktor itu. Para mahasiswa harus cerdas dan mampu menilai lebih baik mana yang benar dan salah, baik dan buruk.

           Sebetulnya, banyak yang dia bicarakan, termasuk Gatot Nurmantyo akan mengudeta Jokowi dan Jokowi membenci Gatot Nurmantyo. Semua yang dibicarakannya sama sekali tidak ada dasarnya dan sama sekali tidak masuk akal karena tak ada data dan buktinya. Sayang sekali akademisi berbicara tanpa dasar yang jelas seperti itu.

            Bagaimana dia bisa menjadi contoh bagi generasi muda kalau tidak bisa berbicara yang bernilai?


            Pada pertemuan ketigabelas dengan mahasiswa Fisip Universitas Al Ghifari Bandung itu, saya berusaha memberikan pengajaran di samping teknik membuat kerangka karangan untuk membuat wacana yang baik, juga menekankan agar jika membuat tulisan harus dengan data, fakta, dan bukti yang benar dan jelas, bukan menulis sesuatu yang nilainya seperti orang yang sedang menguap. Tak jelas dan tidak bermanfaat. Pada pertemuan itu perkuliahan direkam oleh seorang mahasiswa. Sayang, tidak tercover semuanya karena baterai kameranya keburu habis, tetapi lumayanlah untuk berbagi pengalaman dengan pembaca semua.


Tuesday 22 November 2016

TNI-Polri Berjihad Bisa Masuk Neraka

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Dalam menanggapi kekhawatiran aksi-aksi makar di Indonesia, TNI-Polri tampaknya sangat siap untuk melakukan jihad secara fisik untuk menjaga keutuhan NKRI dan stabilitas kedamaian di Indonesia. Mereka tampaknya mengambil jalan pencegahan dibandingkan penanggulangan karena memang “mencegah” itu selalu lebih baik dibandingkan dengan “mengobati”. TNI-Polri berupaya keras di samping mengonsolidasikan dirinya, juga menebarkan imbauan kepada masyarakat untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat dianggap sebagai makar terhadap negara. Di samping itu, TNI-Polri pun mulai menyebarkan semacam “teror” kepada pihak-pihak yang berniat mencoba mengganggu jalannya pemerintahan dan perkembangan hidup Indonesia. Teror itu disampaikan TNI-Polri dengan pesan tegas yang akan menindak siapa pun yang berniat melakukan makar, apalagi jika benar-benar melakukannya. Teror yang disampaikan itu diharapkan dapat mengurungkan niat siapa pun yang memiliki keinginan untuk mengganggu NKRI, baik mereka yang berada di dalam maupun di luar negeri. TNI-Polri lebih memilih untuk “meneror” mereka yang berkehendak bertindak inkonstitusional untuk menyelamatkan mereka yang berkehendak hidup secara konstitusional.

            Hal yang patut diingat adalah jihad itu harus selalu “untuk Allah swt” dan bukan untuk hal lainnya, apa pun itu. Jihad itu wajib menjadi alat untuk mengabdikan diri kepada Allah swt dan bukan untuk mengabdikan diri kepada hal-hal lain di luar Allah swt. Apabila kita melakukan jihad bukan untuk Allah swt, celakalah kita karena akan berakhir di neraka. Rugi sekali kita karena menyangka telah melakukan hal yang benar, tetapi sesungguhnya sesat di hadapan Allah swt. Satu-satunya jihad yang benar hanyalah untuk pengabdian kepada Allah swt, bukan untuk negara, penguasa, Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Sumpah Pemuda, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan lain sebagainya. Jika kita berjihad dalam arti perang secara fisik tanpa menghubungkan diri dengan Allah swt, nerakalah tempat kita nanti, itu pasti. Dengan demikian, setiap langkah kita sejak niat jihad haruslah “hanya untuk Allah swt” agar mendapatkan surga yang dijanjikan beserta kenikmatan bidadari-bidadara, kehidupan menyenangkan yang tercukupi, kebahagiaan yang tiada pernah putus, dan janji-janji pasti Allah swt lainnya.

            Selintas tampaknya merupakan sesuatu hal yang benar bahwa berperang untuk kemuliaan negara, penguasa, Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Proklamasi, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI adalah sebuah kebaikan. Akan tetapi, sesungguhnya hal itu menyesatkan dan menyebabkan kita tidak dapat mencapai surga Allah swt.

            Ada kisah nyata yang teramat menarik tentang hal ini. Dalam sebuah perang pada zaman Muhammad Rasulullah saw, ada seseorang yang tewas dari barisan kaum muslimin. Banyak orang yang memuji dia sebagai pahlawan karena berperang tanpa lelah dan tanpa takut sampai akhirnya tewas terkena banyak anak panah dan sabetan pedang. Orang-orang menduga dia pasti syahid dan mendapatkan kenikmatan surga.

            Akan tetapi, Muhammad saw mengatakan, “Dia akan masuk neraka.”

            Orang-orang bingung dan kaget. Kemudian, mencari tahu hal ihwal orang yang tewas itu.

            Tak lama, diketahuilah bahwa ada orang yang sempat mendengar dia pernah berkata lantang, “Aku berperang sesungguhnya bukan untuk Allah dan Muhammad, melainkan aku tidak suka Madinah tanah airku dirusakkan oleh para penyerang!”

            Pahamlah orang-orang bahwa dia berperang dan mati bukan untuk Allah swt dan Islam, melainkan untuk tanah airnya sendiri. Oleh sebab itu, dia tidak syahid dan bukan syuhada. Nerakalah memang tempat dia nanti.

            Mau seperti dia?

            Jangan mau!

            Apabila TNI-Polri berperang untuk kemuliaan negara, penguasa, Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Proklamasi, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI, matinya pasti masuk neraka. Rugi banget.

            Segala yang kita lakukan harus diawali dengan pengetahuan yang jelas dan benar. Apabila ada kesalahan, segera perbaiki. Dengan pemahaman yang benar, niat pun akan benar, caranya pun akan benar, serta berakhir di tempat yang benar, yaitu Surga Allah swt.

            Agar jihad atau perang fisik yang kita lakukan mendapatkan ridha dan surga Allah swt, pemahaman kita harus lengkap sehingga niat pun akan bulat tanpa ada keraguan dan kekecewaan sedikit pun. Dengan demikian, jika kita tetap hidup, berada dalam kemuliaan dan jika kita mati, syahid mendapatkan kemuliaan pula. Pilihannya hanya dua, yaitu mati syahid atau hidup mulia. Tak ada kerugian di dalam kedua hal itu.

            Allah swt telah menganugerahi kita, Indonesia, dengan Proklamasi Kemerdekaan, Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Proklamasi, Sumpah Pemuda, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Anugerah besar dari Allah swt itu harus kita jaga sebagai bentuk pengabdian kita kepada Allah swt. TNI-Polri dilengkapi dengan fisik dan senjata untuk menjaga anugerah Allah swt. Dengan demikian, jihad dalam arti perang fisik yang dilakukan TNI-Polri harus tetap dalam rangka mengabdikan diri kepada Allah swt dengan cara menjaga, melindungi, melestarikan, dan mengamalkan Proklamasi Kemerdekaan, Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Proklamasi, Sumpah Pemuda, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Allah swt yang tetap harus menjadi tujuan kita dengan cara menjaga seluruh anugerah-Nya. Kita jangan terjebak dengan terbatas hanya pada kecintaan terhadap anugerah-Nya, tetapi harus pula lebih mencintai Sang Pemberi Anugerah itu, yaitu Allah swt.

            Apabila hal ini bisa dipahami dengan benar dan dibulatkan dalam hati hingga menjadi niat yang pasti, insyaallah, apabila harus mati, keadaannya berada dalam kesyahidan dan mendapatkan surga dengan berlipat kenikmatan dan kebahagiaan sebagaimana yang dijanjikan Allah swt. Sebaliknya, apabila hanya terjebak dalam kecintaan pada anugerah-Nya, neraka akan menjadi tempat terakhir kalian.

            Memang cukup sulit saya menerangkannya karena memang sangat sulit. Itulah sebabnya kita diwajibkan minimal tujuh belas kali dalam sehari semalam membaca surat Al Fatihah. Artinya, minimal tujuh belas kali kita harus memohon petunjuk agar Allah swt berkenan menjelaskan kepada kita tentang shiratal mustaqim, ‘jalan yang lurus’ dan bukan jalan yang bengkok. Hal itu disebabkan sebagaimana yang kita tahu bahwa shiratal mustaqim itu digambarkan bagai rambut yang dibelah tujuh. Sehelai rambut saja sudah sangat tipis dan cukup sulit dilihat, apalagi jika rambut yang sudah sangat tipis itu  dibelah tujuh.

            Terbayang kan bagaimana sulitnya kita melihat sehelai rambut dibelah tujuh?

            Tipis, tipis sekali, bahkan mungkin harus menggunakan kaca pembesar atau mikroskop untuk melihatnya dengan lebih jelas.

            Bagai rambut dibelah tujuh itu menjelaskan bahwa batas antara benar dan salah itu sangat tipis. Batas baik dan buruk itu sering samar. Pemahaman soal surga dan neraka pun sering dikaburkan dan tampak buram. Hal-hal itu mengakibatkan kita bisa salah paham, salah niat, dan salah melangkah karena menyangka telah berbuat baik, padahal sesungguhnya sedang melakukan keburukan. Kita bisa menduga bakal masuk surga, tetapi sesungguhnya adalah calon penghuni neraka.

            Sama rumitnya dengan memahami soal jihad dan akibatnya.

            Apabila TNI-Polri berjihad hanya untuk membela Proklamasi Kemerdekaan, Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Sumpah Pemuda, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI, tempatnya pasti di neraka.

            Apabila TNI-Polri berjihad untuk mengabdikan diri kepada Allah swt dengan cara menjaga dan mengamalkan Proklamasi Kemerdekaan, Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Sumpah Pemuda, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI, tempatnya insyaallah di surga.

            Bisa kan membedakannya?

            Yang satu hanya mencintai ciptaan Allah swt, tempatnya di neraka.

            Yang satu lagi mencintai Allah swt dengan segala ciptaan-Nya, tempatnya di surga.

            Insyaallah, kita semua bisa mengerti. Mudah-mudahan Allah swt selalu memberikan petunjuk kepada kita. Amin.




Tuesday 15 November 2016

Dua Jempol untuk Polri

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Penetapan Ahok sebagai tersangka dugaan penistaan agama oleh Polri pada 16/11/2016 merupakan keputusan yang luar biasa hebat. Dengan penetapan itu, Polri sudah menjaga nama baik Negara Indonesia, Presiden, dan institusi Polri sendiri. Hal itu disebabkan sebelum-sebelumnya beredar banyak tuduhan dan berita-berita samar yang menunjukkan Polri telah mendapat suap dari Ahok, Presiden Jokowi telah melindungi Ahok, dan rupa-rupa bahasa aneh lainnya. Dengan ditetapkannya Ahok sebagai tersangka, Polri telah menunjukkan dirinya sama sekali terbebas dari tekanan siapa pun atau suap dari mana pun. Di samping itu, Polri telah pula menjaga nama baik Presiden dengan membuktikan bahwa Jokowi sama sekali tidak melindungi Ahok.

            Nah, bagi orang-orang yang kemarin-kemarin suudzhon kepada Polri dan Presiden RI, sebaiknya segera meminta maaf karena tuduhan dan kecurigaan kalian sama sekali tidak terbukti. Berikan dukungan dan permohonan maaf kepada Presiden RI dan Polri melalui Medsos-medsos yang sebelumnya kalian gunakan untuk menebar berita-berita tidak berdasar. Begitu seharusnya orang Indonesia menunjukkan martabat dirinya yang dilahirkan oleh para ibu yang tidak menginginkan anaknya menjadi orang-orang hina.

            Penetapan Ahok menjadi tersangka oleh polisi pun diterangkan alasan-alasannya dengan baik oleh kepolisian, terutama oleh Kapolri Tito Karnavian. Penjelasan-penjelasan itu membuat masyarakat memahami mengapa Ahok harus ditetapkan menjadi tersangka. Penetapan itu tidak membuat masyarakat bertanya-tanya dan meragukannya. Ada baiknya organisasi apa pun di Indonesia belajar kepada Polri jika menetapkan atau memutuskan atau membuat fatwa tentang sesuatu. Berikan penjelasan yang masuk akal sehingga orang lain mengerti. Jangan tiba-tiba keluar ketetapan tanpa penjelasan, orang bisa bingung. Inti dari penetapan Ahok sebagai tersangka itu diakibatkan oleh terbelahnya pendapat para ahli dan para penyidik sendiri. Mereka tidak memiliki suara bulat apakah Ahok melakukan tindak pidana atau tidak. Oleh sebab itu, Polri sepakat bahwa kasus itu harus diangkat ke meja pengadilan dengan cara menjadikan Ahok sebagai tersangka.

            Penetapan itu pun disambut baik oleh Ahok karena sudah lebih dari satu kali Ahok siap untuk mematuhi hukum. Bahkan, kasusnya diharapkan segera masuk ke pengadilan dan disiarkan secara langsung sehingga seluruh masyarakat mengetahuinya. Dengan demikian, tak ada yang ditutup-tutupi. Semua orang bisa memberikan penilaian. Soal keputusan salah atau benar, jelas ada pada majelis hakim.

            Saya sendiri sebenarnya merasa senang dengan keinginan Presiden Jokowi sebelumnya untuk melakukan gelar perkara terbuka karena hal itu akan mencerdaskan masyarakat, menghilangkan syak wasangka, dan terutama saya dapat menguji pendapat saya sendiri, apakah pendapat saya salah atau tidak. Hal itu disebabkan sebagai seseorang yang mencari nafkah dengan menggunakan kemampuan berbahasa Indonesia, saya tidak menemukan ada kata-kata penghinaan yang dilakukan oleh Ahok, baik terhadap Al Quran, maupun ulama. Saya hanya melihat kesalahan etika yang dilakukan oleh Ahok. Di samping itu, saya pun berpendapat bahwa Q.S. Al Maaidah : 51 berdasarkan tafsir Ibnu Katsir, terjemahan Al Quran yang disusun Dr. Ahmad Hatta, M.A., dan Sejarah Muhammad karya Muhammad Haekal sama sekali tidak ada hubungan dengan Pilkada, bahkan dengan sistem politik demokrasi pun tak ada kaitannya sama sekali. Dengan gelar perkara terbuka, saya dapat menguji pendapat saya sendiri, apakah benar atau tidak. Akan tetapi, Polri memutuskan untuk menggelar perkara secara terbuka terbatas. Tak apalah.

            Mudah-mudahan, jika masuk ke pengadilan, dapat disiarkan secara langsung sehingga masyarakat mendapatkan pelajaran yang banyak, termasuk saya. Soal akan ada komentar-komentar bodoh di Medsos, itu tak bisa dihindari. Akan tetapi, mudah-mudahan orang Sunda yang jumlahnya mungkin sekitar 41 juta jiwa dapat mendidik dirinya dan mendidik bangsa Indonesia untuk menggunakan bahasa-bahasa yang baik dan mulia karena memiliki ajaran hade ku basa goreng ku basa, ‘mulia karena bahasa hina karena bahasa’ dari Nabi Prabu Siliwangi Alaihissalam. Kalau mereka benar mencintai Prabu Siliwangi, mereka akan menjaga dirinya untuk tetap berbahasa yang mulia dan mencerahkan.

            Kembali ke soal penetapan Ahok sebagai tersangka. Penetapan ini pun menjadi harapan sebagian umat Islam yang merasa terganggu oleh ucapan Ahok saat di kepulauan seribu. Mereka berharap Ahok diproses secara hukum, bahkan sebagian sudah memvonis Ahok sebagai penista agama meskipun belum ada kepastian hukum untuk hal tersebut.

            Hal tersebut menunjukkan bahwa Polri telah mengakomodasi keinginan mereka bahwa Ahok harus diproses secara hukum. Jadi, penetapan Ahok sebagai tersangka oleh pihak Polri telah mendekati win-win solution. Hal tersebut adalah Polri telah menunjukkan dirinya netral dan telah menjaga nama baik Presiden RI, Ahok mendapatkan kesempatan untuk membuktikan dirinya dengan cara tampil di depan pengadilan (apalagi jika disiarkan secara live) sehingga masyarakat seluruh Indonesia dapat menyaksikannya, dan mereka yang tersinggung oleh Ahok pun terpuaskan karena kasus hukum Ahok diproses dengan benar.

            Memang ada yang sedikit tersudut, yaitu pihak Ahok. Akan tetapi, satu-satunya jalan untuk mempertontonkan bahwa dirinya tidak bersalah adalah melalui jalan pengadilan yang disiarkan secara langsung. Hal itu memang lebih dari satu kali dikatakan oleh Ahok di media televisi.

            Penetapan Ahok sebagai tersangka itu telah memberikan kebaikan kepada banyak pihak. Semua pihak terkait dapat membuktikan kebaikan dirinya masing-masing agar terhindar dari gosip-gosip murahan. Soal keputusan pengadilan apakah Ahok bersalah atau tidak, itu urusan majelis hakim.

            Tak berlebihan jika kiranya kita  mengacungkan dua jempol kepada Polri.

            Secara pribadi, saya sangat berharap jika kasus Ahok masuk ke pengadilan, dapat disiarkan secara langsung karena di samping menambah wawasan, juga menguji pendapat saya sendiri, apakah benar atau tidak.


            Kalau sekarang saya ditanya apakah saya benar atau tidak, jawabannya adalah saya benar. Besok-besok, bisa tetap benar atau saya harus memperbaikinya.

Monday 14 November 2016

Ahok dan Gubernur Itu Soal Kecil

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Siapa sih yang namanya Ahok itu?

            Dia kan cuma WNI keturunan Cina nonmuslim yang aktif dalam politik hingga menjadi gubernur DKI. Tidak lebih daripada itu. Dia bukan WNI keturunan Cina nonmuslim terbaik. Banyak yang lebih hebat dibandingkan dia dalam bidangnya masing-masing. Ada yang menjadi olahragawan, pengusaha, pendidik, budayawan, rohaniwan, dan lain sebagainya. Soal Ahok itu soal kecil. Jadi, tidak perlu menjadikan dia sebagai subjek penting yang harus diomong-omongin setiap hari. Biasa saja atuh.

            Masyarakat harus fokus terhadap dugaan penistaan agama yang dia lakukan dan bukan terhadap sosoknya secara khusus. Dia manusia biasa. Jadi, perhatikan saja kasusnya atau materinya, bukan mengembangkan kebencian kepada dirinya.

            Sehebat apa sih yang namanya jabatan gubernur itu hingga harus mati-matian berebut dan menjegal orang lain?

            Gubernur itu kan hanya jabatan politik untuk memimpin pemerintahan sipil. Gubernur bukanlah pemimpin keseluruhan dari sebuah provinsi. Gubernur DKI tidak menguasai seluruh bidang di Provinsi DKI. Gubernur pun tidak akan bisa seenaknya dalam memimpin DKI. Hal itu disebabkan ada pemimpin-pemimpin lain di DKI yang tidak di bawah pemerintahannya. Ada pemimpin lain di DKI, misalnya Ketua DPRD DKI yang bisa menjadi penyeimbang gubernur dalam memimpin DKI. Ketua DPRD bukanlah pegawai gubernur. Kepada Ketua DPRD-lah masyarakat seharusnya berkeluh kesah apabila ada kebijakan gubernur yang membuat kerusakan di masyarakat. Adapula Pangdam yang sama sekali tidak patuh kepada gubernur. Artinya, Gubernur tidak menguasai TNI. Ada juga Kapolda yang bukan bawahan gubernur. Kalau gubernur melanggar hukum, Kapolda bisa menangkapnya. Di samping itu. ada pula kekuasaan kehakiman yang sama sekali di luar kekuasaan gubernur. Jadi,  gubernur DKI itu hanya salah satu pemimpin yang bertugas melayani masyarakat DKI dengan kekuasaan yang sangat terbatas, bahkan berada dalam pengawasan KPK. Sekali tercium bau korupsi dan terbukti nyata, KPK bisa segera menangkapnya.

            Mengapa hanya gubernur yang harus beragama Islam?

            Bagaimana jika Pangdam beragama Kristen?

            Bagaimana jika Kapolda beragama Konghucu?

            Bagaimana jika Kapolres dan Kapolsek beragama Hindu?

            Bagaimana jika hakim ketua di pengadilan negeri atau pengadilan tinggi beragama Budha?

            Bagaimana jika kepala Rumah Sakit Umum Daerah beragama Kaharingan?

            Mereka semua itu adalah para pemimpin di instansinya masing-masing.

            Mau protes juga dengan menggunakan Q.S. Al Maaidah : 51?

            Dalam kasus dugaan penistaan agama sesungguhnya soal Ahok dan jabatan gubernur itu adalah soal kecil. Bagi saya, menjadi tidaklah penting yang namanya Ahok dan jabatan gubernur. Hal yang sangat penting adalah adanya bidang-bidang yang akan berubah jika salah memutuskan perkara ini. Perubahan itu bisa menjadi sangat buruk dan mengganggu perkembangan Indonesia. Bidang-bidang itu adalah bahasa Indonesia, keamanan dan ketertiban, keberlangsungan hidup negara, penggunaan ayat Al Quran, serta pemahaman dan pelaksanaan Q.S. Al Maaidah : 51.

            Ucapan Ahok yang dianggap menistakan agama itu menggunakan bahasa Indonesia. Jadi, harus dikaji bahasa yang digunakan Ahok itu, apakah mengandung unsur penistaan atau tidak.

            Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Akan tetapi, bahasa Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat sehingga menjadi bahasa baru yang meninggalkan bahasa Melayu. Para ahli bahasa Indonesia mencermati terus perkembangan ini dan memberikan panduan bagi penggunaannya berupa aturan-aturan yang harus digunakan untuk berkomunikasi. Aturan-aturan itu digunakan untuk tetap menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang terus berkembang, tetapi tetap efektif dan efisien untuk digunakan sebagai alat komunikasi sehingga tidak menimbulkan distorsi ataupun kesalahan penafsiran dari para penggunanya, baik itu penyampai pesan maupun penerima pesan.

            Hal itu menunjukkan bahwa tidak semua orang mampu menafsirkan bahasa orang lain, termasuk bahasa yang digunakan Ahok ketika dianggap menistakan ayat Al Quran, apalagi jika sudah masuk ke ranah hukum. Tidak bisa semua orang mengklaim bahwa dirinya sudah memeriksa kata per kata, lalu membuat kesimpulan sendiri.

            Memangnya dia siapa?

            Mereka siapa?

            Harus orang yang memahami aturan berbahasa dan teruji secara akademis yang dapat dijadikan rujukan dalam menafsirkan bahasa Indonesia. Mereka bisa berasal dari kalangan perguruan tinggi dengan gelar yang sangat tinggi dalam bidang bahasa Indonesia.

            Kalau semua orang bisa menafsirkan bahasa Indonesia seenak dirinya, saya jadi pengangguran dong. Beberapa penerbit dan penulis naskah kerap menghubungi saya untuk memastikan apakah bahasa Indonesia yang mereka pergunakan adalah sudah baik dan benar sehingga pikiran mereka bisa sampai dengan sempurna kepada para pembacanya.

            Kalau semua orang memahami bahasa Indonesia dengan baik, mengapa para penerbit dan penulis itu masih menghubungi saya untuk saya edit bahasa mereka?

            Terbitkan saja langsung masuk ke percetakan kalau mereka yakin benar. Buktinya, mereka tidak yakin hingga meminta bantuan saya.

            Jadi, karena bahasa yang dipergunakan Ahok adalah bahasa Indonesia, harus orang yang benar-benar ahli bahasa Indonesia yang mampu mengeluarkan fatwa dalam hal bahasa berdasarkan aturan-aturan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Di samping itu, fatwa itu pun harus dijelaskan dengan benar asal-usulnya atau alasan-alasannya. Jangan tiba-tiba keluar fatwa tanpa ada penjelasan apa yang menyebabkan fatwa itu muncul. Poin-poin penting penyebab munculnya fatwa itu harus masuk akal sehat.

            Apabila aparat penegak hukum salah dalam memutuskan perkara Ahok, aturan-aturan bahasa Indonesia bisa berantakan. Inilah yang patut dikhawatirkan karena akan merusakkan perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Bahasa Indonesia akan menjadi bahasa yang anarkis yang mudah sekali menimbulkan berbagai kesalahan penafsiran. Itu adalah hal yang teramat buruk.

            Keamanan dan ketertiban pun akan terganggu jika salah memutuskan. Semua kelompok atau bahkan semua orang bisa seenaknya menuduh orang lain tanpa alasan yang dibenarkan. Kemudian, siapa pun berhak untuk mendesakkan keinginannya sehingga jika tidak sesuai dengan keinginannya akan menimbulkan goncangan-goncangan lainnya. Hukum menjadi sangat tidak berwibawa. Hukum sebagai panglima menjadi hanyalah mimpi yang tidak pernah menjadi kenyataan. Hal ini bisa merosot ke arah kehidupan yang anarkis.

            Kehidupan negara pun akan mulai terancam jika tidak mematuhi proses hukum dan salah dalam memutuskan. Akan ada banyak orang yang tidak mengerti atas keputusan yang salah dan itu memicu perlawanan serta penurunan kepercayaan kepada negara. Lambat laun, cepat atau lambat negeri ini bisa meluncur ke arah kegagalan sebagaimana yang terjadi di negara-negara gagal, seperti, Irak, Libya, Suriah, Afghanistan, dan yang lainnya.

            Untuk mencegah hal ini terjadi, hukum harus ditegakkan berdasarkan aturan-aturan hukum dan bukan atas dasar kepentingan mayoritas maupun minoritas. Kebenaran itu tidak didasarkan atas jumlah mayoritas dan minoritas, melainkan atas bukti dan fakta yang masuk akal. Kaum muslimin di Mekah pada masa Rasulullah saw adalah minoritas, tetapi itu adalah kebenaran. Justru yang mayoritas kaum kafir adalah pihak yang salah. Apabila ternyata ada hukum yang dianggap salah sehingga mengakibatkan keputusan yang salah, ubahlah hukum itu terlebih dahulu secara konstitusional dan bukan dengan cara huru-hara.

            Apabila salah dalam memutuskan, pelecehan terhadap ayat-ayat Al Quran akan terus terjadi. Bagi saya, penggunaan ayat-ayat Al Quran dalam setiap pemilihan yang berkaitan dengan politik dan ekonomi adalah pelecehan. Setiap calon pemimpin menggandeng ahli agama, lalu menggunakan ayat-ayat Al Quran untuk mendukung jagoannya. Akan tetapi, dalam prosesnya mereka saling menyerang dan menjatuhkan, bahkan melakukan black campaign. Setiap pesaing menggunakan ayat Al Quran untuk menjatuhkan saingannya. Itu adalah pelecehan terhadap ayat-ayat suci Al Quran.

            Hal tersebut pun berkaitan dengan pemahaman dan pelaksanaan Q.S. Al Maaidah : 51 yang kerap berbeda. Saya sangat berharap perkara dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok justru memunculkan banyak hikmah untuk kaum muslimin. Allah swt sudah menjadikan perbedaan yang terjadi di antara sesama kaum muslim sebagai berkah dan rahmat. Hal itu disebabkan perbedaan-perbedaan yang terjadi dapat mendorong kaum muslimin untuk mencari kebenaran yang sama karena tujuannya adalah sama, yaitu mengabdikan diri kepada Allah swt. Ke depan pemahaman dan pelaksanaan Q.S. Al Maaidah : 51 hendaklah sama, tidak lagi berbeda. Para ahli Islam harus mencari jalan untuk pemahaman dan pelaksanaan yang sama berdasarkan penjelasan dari ayat-ayat Al Quran lain di luar Al Maaidah : 51, penafsiran para ahli tafsir terdahulu dan terpercaya, hadits-hadits Nabi saw, tarikh, dan lain sebagainya. Minimal itu yang harus menjadi dasarnya, bukan emosi, kemarahan, dukungan politik kepada suatu kelompok, maupun kebencian kepada suatu kelompok. Para ahli Islam harus bersama-sama tidak merasa letih dan bosan untuk mendapatkan kesamaan, jangan hanya puas dengan perbedaan dan nyaman dengan banyak perbedaan. Dengan kesungguhan dan pengabdian yang kuat kepada Allah swt, kita akan menemukan penafsiran yang lebih jelas dan masuk akal atas ayat-ayat yang kerap dipahami dan dilaksanakan secara berbeda. Tuhan kita sama, Nabi kita sama, Al Quran kita sama. Dengan kejernihan pikiran dan hati, insyaallah kita akan mendapatkan pemahaman yang sama sehingga dapat dilaksanakan dengan sama pula.

            Jika para ahli Islam Indonesia dapat menemukan kesamaan itu, dunia Islam akan mencontoh kita dalam menjalankan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Kita pun dapat menyadarkan saudara-saudara kita sesama muslim yang sedang saling bunuh di negara-negara gagal itu untuk berpegang kepada pemahaman-pemahaman yang sama. Mereka berkelahi dan saling bunuh di antara sesamanya karena memiliki pemahaman yang berbeda. Setiap pihak yang bertempur memiliki keyakinan bahwa merekalah yang paling benar. Itu adalah situasi yang membingungkan. Al Quran-nya sama, tetapi saling bunuh. Kemungkinan besarnya adalah di antara mereka terdapat kepentingan-kepentingan duniawi yang rendah yang diperjuangkan dengan cara menggunakan ayat-ayat Al Quran. Itulah pelecehan terhadap ayat-ayat Al Quran. Hal yang membuat situasi lebih parah adalah suasana itu dimanfaatkan oleh orang-orang di luar Islam dengan tujuan merampok kekayaan umat Islam.

            Maukah kita seperti mereka?

            Tidak, bukan?

            Maukah kita di Indonesia ini menjadi cahaya bagi dunia Islam, bahkan bagi seluruh dunia?

            Masa tidak mau.