oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Pada pertemuan ketiga belas,
baik dengan mahasiswa regular maupun nonreguler Fisip, Universitas Al Ghifari,
Bandung, saya merasa berkewajiban memberikan arahan kepada mereka mengenai
cara-cara membuat kerangka karangan untuk
memudahkan mereka menyusun wacana dalam rangka mencurahkkan gagasan-gagasan
mereka ke dalam bentuk tulisan. Di samping memberikan arahan mengenai
teknik-teknik membuat kerangka karangan, juga memberikan kesadaran agar mahasiswa
dapat menulis sesuatu dengan data-data yang akurat, benar, dan bisa
dipertanggungjawabkan. Mereka harus belajar menulis yang benar dan jelas
berdasarkan fakta dan bukti, bukan berdasarkan dugaan atau perkiraan yang
kemudian diklaim sebagai kebenaran
Hal-hal tersebut saya ajarkan karena generasi muda
sekarang sangat akrab dengan media sosial. Mereka akan sangat mudah menuliskan
gagasan ke dalam media sosial. Itu sangat bagus, tetapi harus diarahkan untuk
menulis sesuatu yang benar dan tidak menyesatkan, baik menyesatkan diri sendiri
maupun menyesatkan orang lain. Demikian pula ketika mereka membaca tulisan
orang lain. Mereka harus pandai menilai apakah tulisan-tulisan yang beredar di
Medsos itu memiliki dasar yang benar, data yang jelas, dan fakta yang dapat
dipertanggungjawabkan atau hanya sekedar tulisan-tulisan tak bernilai yang
hanya didasarkan pada kebencian terhadap seseorang atau sekelompok orang,
bahkan didasarkan pada keinginan untuk membuat kebingungan di tengah
masyarakat.
Sebagai mahasiswa, mereka harus kritis dan mampu menilai
segala sesuatu hal. Akan tetapi, mereka tidak boleh melakukan fitnah,
kebohongan, dan kerusakan pikiran di tengah masyarakat.
Saya mencontohkan bahwa saya sendiri pernah diajak
berdiskusi oleh seorang calon doktor. Saya sungguh bingung dengan kandidat doktor
tersebut karena berbicara berdasarkan
khayalannya saja tanpa ada dasar pijakan yang jelas dalam arti tidak memiliki
data dan fakta. Dia hanya menduga-duga berdasarkan imajinasinya sendiri. Saya
menganggap pandangan dia sangat berbahaya jika dipercaya oleh masyarakat.
Begini diskusi saya dengan Sang Kandidat Doktor itu.
Sebaiknya, saya gunakan inisial KD (Kandidat Doktor) untuk dia.
KD : Kang, tahu tidak bahwa harta Setya
Novanto itu berdasarkan dari korupsi APBN?
Saya : Oh, ya? Dari mana kamu tahu Setya
Novanto korupsi APBN?
KD : Itu pendapat saya, penilaian saya.
Saya : Mengapa Setya Novanto tidak ditangkap
oleh KPK kalau sudah tahu korupsi?
KD : KPK tidak berani menangkapnya.
Saya : Kalau KPK tidak berani menangkap,
negeri kita sudah rusak dong?
KD : Iya, memang kita sudah rusak.
Saya : Kalau begitu, siapa yang salah?
KD : KPK tidak berani menangkap karena
Setya Novanto adalah orangnya Jokowi.
Saya : Jadi, Jokowi yang salah?
KD : Iya.
Saya : Bukankah KPK itu orang-orang yang sudah
melalui tes di DPR? Bukankah DPR yang merekomendasikan orang-orang yang duduk
di KPK?
KD : ……
Saya : Kalau kinerja KPK buruk, seharusnya
yang disalahkan adalah DPR, bukan Jokowi. DPR harus bertanggung jawab karena
telah merekomendasikan orang-orang yang berkinerja buruk.
KD : …….
Saya : Jangan terlalu percaya gosip yang bisa
merusakkan hubungan di antara rakyat. Kita harus lihat Timur Tengah, rakyat di
sana diadudomba. Ketika mereka bertengkar, pihak asing masuk untuk menguasai
sumber daya alam dan sumber daya manusia di sana. Maukah kita seperti mereka?
Diadudomba, bertengkar, lalu pihak asing masuk dengan dalih mengupayakan
perdamaian?
KD : Tidak mungkin pihak asing masuk.
Saya : Mengapa tidak mungkin? Apa dasar
ketidakmungkinan itu?
KD : Pokoknya, ini gara-gara Ahok.
Harusnya Ahok ditahan, dihukum. Persoalan pun selesai.
Saudara pembaca bisa menilai bagaimana percakapan saya
dengan Sang Kandidat Doktor itu. Dia mengatakan bahwa Setya Novanto korupsi
dana APBN berdasarkan dugaan dan kira-kira, tanpa ada data dan bukti. Diapun
menyalahkan KPK yang tidak berani menangkap Setya Novanto karena Setya Novanto
disebutnya orang Jokowi. Itu pun tak ada bukti. Lalu, dia menyalahkan segalanya
kepada Ahok atau Basuki Tjahaya Purnama. Benar-benar pendapat yang sangat tidak
bermanfaat. Calon doktor kok bicaranya seperti itu. Oleh sebab itu, saya bagi
pengalaman seperti itu kepada para mahasiswa agar para mahasiswa mendapatkan
banyak pelajaran dan tidak meniru Sang Kandidat Doktor itu. Para mahasiswa
harus cerdas dan mampu menilai lebih baik mana yang benar dan salah, baik dan
buruk.
Sebetulnya, banyak yang dia bicarakan, termasuk Gatot
Nurmantyo akan mengudeta Jokowi dan Jokowi membenci Gatot Nurmantyo. Semua yang
dibicarakannya sama sekali tidak ada dasarnya dan sama sekali tidak masuk akal
karena tak ada data dan buktinya. Sayang sekali akademisi berbicara tanpa dasar
yang jelas seperti itu.
Bagaimana dia bisa menjadi contoh bagi generasi muda
kalau tidak bisa berbicara yang bernilai?
Pada pertemuan ketigabelas dengan mahasiswa Fisip Universitas
Al Ghifari Bandung itu, saya berusaha memberikan pengajaran di samping teknik
membuat kerangka karangan untuk membuat wacana yang baik, juga menekankan agar
jika membuat tulisan harus dengan data, fakta, dan bukti yang benar dan jelas,
bukan menulis sesuatu yang nilainya seperti orang yang sedang menguap. Tak
jelas dan tidak bermanfaat. Pada pertemuan itu perkuliahan direkam oleh seorang
mahasiswa. Sayang, tidak tercover semuanya karena baterai kameranya keburu
habis, tetapi lumayanlah untuk berbagi pengalaman dengan pembaca semua.
No comments:
Post a Comment