Monday 25 April 2016

Indonesia Harus Menekan Singapura

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Negara sebesar Indonesia sepertinya mati kutu menghadapi negara kutu sekecil Singapura dalam hal mengembalikan para penjahat korup ke Indonesia.

            Apa susahnya sih?

            Saya hanya berpikir sederhana sebagai orang yang sederhana. Selama ini alasan Singapura tidak menjalankan perjanjian ekstradisi yang pernah disepakati dengan Indonesia hanyalah “dibuat-buat” dan diupayakan oleh orang-orang Indonesia juga agar rakyat “mengerti atau memahami” sulitnya Singapura mengembalikan para koruptor ke Indonesia. Alasannya memang bisa macam-macam. Terakhir, alasan Singapura tidak mengembalikan para pencuri itu adalah arti koruptor di Indonesia tidak sama dengan arti koruptor di Singapura. Maksudnya, Singapura tidak akan mengembalikan para koruptor karena apa yang disebut perilaku korup di Indonesia tidak sama dengan di Singapura.

            Ini alasan yang aneh. Saya merasakan Singapura mulai mengintervensi kedaulatan hukum Indonesia. Urusan hukum Indonesia terhadap para koruptor ya urusan Indonesia, tak perlu campur tangan negara lain. Apa yang kita sebut korup ya urusan kita. Kalau Indonesia memaklumi alasan aneh Singapura itu, sesungguhnya kita membiarkan orang lain merendahkan kedaulatan hukum Indonesia. Itu sangat tidak baik. Singapura itu suka aneh-aneh memang. Dulu mereka mau mengembalikan koruptor asal diberi tempat untuk latihan militer. Itu kan alasan aneh juga.

            Apa pun alasannya, sesungguhnya Singapura itu berupaya melindungi para koruptor karena para koruptor itu banyak uang dan bisa banyak belanja di sana. Itu adalah keuntungan buat Singapura. Apalagi kalau para koruptor itu berinvestasi di sana, Singapura semakin mendapatkan keuntungan yang besar. Paling tidak, ada sekitar 800 triliun investasi orang Indonesia di Singapura. Artinya, Indonesia berperan besar memberikan kehidupan pada Singapura.

            Di samping mendapatkan keuntungan dari investasi orang-orang Indonesia, Singapura pun banyak mendapatkan keuntungan dari hal lainnya, misalnya, reklamasi dan peluasan pantai. Tanah-tanah atau pasir-pasir yang digunakan mereka untuk reklamasi dan peluasan pantai pun berasal dari Indonesia. Belum lagi dari sektor pariwisata dan kunjungan lainnya, mereka mendapatkan untung besar.

            Sesungguhnya, jika mau lebih serius memerangi korupsi dan menangkap koruptor di Singapura, Indonesia bisa memperhitungkan kelemahan dan kekuatan kita melawan Singapura.

            Kita harus memahami siapa yang memiliki tingkat ketergantungan yang lebih tinggi, Indonesia terhadap Singapura ataukah Singapura terhadap Indonesia?

            Kalaulah ternyata Singapura lebih bergantung kepada Indonesia, itu artinya kita sangat mudah untuk menekan Singapura agar mengembalikan para koruptor. Sangat aneh jika sudah paham bahwa Singapura bergantung kepada Indonesia, tetapi Indonesia tidak berbuat banyak untuk menekan Singapura.

            Kalaulah ternyata Indonesia yang lebih banyak bergantung hidup pada Singapura, coba identifikasi dalam hal apa saja kita bergantung pada mereka, lalu lepaskan ketergantungan itu.

            Bukankah kita ingin mandiri?

            Lagian, sebesar apa sih Indonesia bergantung pada Singapura?

            Soal apa sih?

            Pelabuhan Singapura lebih bagus dan lebih besar?

            Kita kan bisa membuat yang lebih bagus.

            Rumah sakitnya lebih bagus?

            Yang saya dengar sih tidak begitu. Secara keilmuan, para dokter di Indonesia malah banyak yang lebih bagus. Bedanya hanya dalam hal pelayanan. Pelayanan mereka memang lebih menyenangkan, baik dokter, perawat, maupun sarana dan prasarananya.

            Lalu, apalagi yang membuat kita sulit menekan Singapura?

            Saya sangat khawatir bahwa kita tidak bisa menekan Singapura karena ada segelintir pejabat Indonesia yang “tidak mau” membuat tekanan itu karena punya banyak kepentingan pribadi di sana. Sebagai bangsa, sebenarnya tidak perlu seperti itu.

            Kita sebenarnya bisa melakukan tekanan, misalnya, moratorium terhadap investasi orang Indonesia di Singapura, moratorium TKI, moratorium kunjungan wisata, kesehatan, pendidikan, dan bisnis-bisnis lainnya dengan Singapura. Moratorium itu harus dilakukan sepanjang Singapura tidak mau serius mengembalikan para koruptor ke Indonesia. Di samping itu, kita pun bisa melakukan tekanan-tekanan lainnya. Jika kita berani, Singapura akan mengalami kerugian yang tidak sedikit. Kita bisa melihat langkah Menteri Susi Pudjiastuti yang memberlakukan moratorium hasil penangkapan ikan yang mampu meningkatkan pendapatan ikan dalam negeri dan membuat rugi perusahaan asing, khususnya Cina. Dalam hal ini pun, kita tidak perlu ragu membuat Singapura rugi jika mereka “memelihara” para pencuri uang Indonesia untuk kepentingan negerinya.

            Mengapa kita tidak berani melakukan tekanan yang bisa membuat Singapura rugi?

            Takut?

            Kalaulah memerangi korupsi adalah bagian dari jihad dan memang begitulah seharusnya, ingat kata-kata Allah swt, “Jika kamu merasakan sakit, sesungguhnya mereka juga merasakan sakit.”

            Maksudnya, kalau mau serius berjihad menekan Singapura agar mengembalikan para pencuri itu, kita akan mendapatkan kerugian. Akan tetapi, Singapura pun akan merasakan kerugian yang sama, bahkan lebih rugi dibandingkan Indonesia.

            Masalahnya, siapa yang lebih kuat berkorban untuk kepentingan negerinya sendiri, Indonesia atau Singapura?

            Pengorbanan memang harus dilakukan, seperti yang sering diulang-ulang oleh Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Ir. Soekarno, “No sacrifice is wasted.”

            Tak ada pengorbanan yang sia-sia. Hasil yang kita dapatkan adalah sebesar pengorbanan yang kita berikan.

            Pemerintah harus menekan Singapura. Di samping itu, elemen-elemen bangsa yang lain beserta masyarakat jangan terus-terusan pula jadi agen iklan gratis bagi Singapura. Sangat sering media-media di Indonesia, baik cetak maupun elektronik memuja-muji keindahan dan situasi di Singapura, padahal Singapura memakan uang-uang Indonesia yang dibelanjakan para koruptor di sana. Rakyat pun demikian, sangat banyak yang mengiklankan Singapura secara dari mulut ke mulut yang entah benar, entah tidak, padahal dibayar juga enggak sama Singapura.

            Pemerintah dan rakyat seluruhnya harus menekan Singapura dan berhenti jadi agen promosi gratis bagi Singapura. Kita punya keinginan agar Singapura menghormati Indonesia dengan mengembalikan para pencuri kotor itu.

            Begitu seharusnya.

Saturday 16 April 2016

Mari Kita Bully Filipina!

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Bukannya selesai soal penculikan warga Negara Indonesia di Filipina ini, malah makin ruwet. Bukannya dibebaskan WNI korban-korban penculikan itu, malahan makin bertambah jumlahnya. Asalnya sepuluh, sekarang ditambah lagi empat, jadi 14. Sekarang Indonesia tambah kerjaan harus membebaskan sandera penculikan dengan jumlah yang bertambah. Kacau.

            Lama-lama kalau tidak ada penyelesaian, para penculik itu menganggap Indonesia sebagai ATM mereka. Ketika mereka nggak punya uang, pergi ke perairan, lalu cari orang Indonesia, langsung gesek, tunggu beberapa saat, cair deh.

            Indonesia sudah sangat beradab dengan menghormati konstitusi Filipina yang melarang TNI atau pasukan asing masuk ke wilayah mereka, tetapi ternyata mereka tidak bisa menyelesaikan sendiri dengan baik, malahan semakin ngaco. Filipina itu negara sok hebat, padahal lemah sekali. Jangankan untuk membebaskan sandera, untuk menjaga wilayahnya sendiri saja, tidak bisa.

            Bagaimana bisa para penjahat dan perampok itu bisa leluasa bergerak kesana-kemari di wilayah yang katanya Negara Filipina?

            Itu menandakan kekuatan militer mereka teramat lemah, cuma sehebat Hansip di pos Siskamling di RW-RW di Indonesia. Anehnya, sudah tahu lemah, sok kuat lagi dengan menolak TNI untuk masuk membebaskan WNI.

            Kita bisa lihat bagaimana lemahnya kekuatan mereka untuk menjaga wilayah mereka sendiri. Kita juga bisa lihat bagaimana tentara mereka “dikerjai” Abu Sayyaf yang digebrak bom sedikit saja langsung pada juntai. Kita juga bisa lihat bagaimana para sandera dari berbagai negara, termasuk dari Indonesia      tidak juga tertangani dengan baik. Sudah tahu punya tentara lemah, tetapi bergaya sok jago.

            Lemahnya Fililipina dan sok jagonya mereka membuat Indonesia cukup rumit. Indonesia harus melakukan hubungan dengan dua pihak, yaitu Negara Filipina dan kelompok Abu Sayyaf. Mestinya, kan cukup hanya berkoordinasi dengan pemerintah yang sah, kemudian dilakukan penanganan yang lebih serius.

Seharusnya, Filipina membuka diri agar pasukan asing bisa masuk. Kalau tidak boleh masuk, Filipina harus membuktikan diri memiliki kemampuan yang cukup. Akan tetapi, kenyataannya boro-boro memiliki kemampuan yang cukup, siap saja tidak.

Indonesia dan negara-negara lain yang warganya disandera di Filipina harus bersama-sama mendesak Filipina untuk membuka diri dari pasukan asing. Kemudian, bekerja sama membebaskan para sandera.

Kalau Filipina tidak mau juga membuka diri, sebaiknya dorong mereka untuk membiarkan Abu Sayyaf memiliki negara sendiri di wilayah itu. Dengan demikian, Abu Sayyaf tidak lagi menjadi teroris, tetapi menjadi negara resmi yang baru. Dengan terciptanya negara resmi, akan terjadi pula hubungan internasional sebagaimana yang dilakukan negara-negara lainnya. Di samping itu, negara baru itu akan melakukan pula hubungan diplomatik dengan negara-negara lainnya. Hubungan yang terjadi, baik itu bersifat positif maupun negatif, hanya akan berhubungan dengan negara baru ciptaan Abu Sayyaf, tidak lagi melalui Filipina.

Untuk apa Filipina mempertahankan diri dengan terus mengklaim wilayah-wilayah yang sama sekali tidak dikuasainya?

Bagi saja wilayah itu dengan Abu Sayyaf secara resmi, toh tentara Filipina ternyata tidak bisa mengimbangi kehebatan kelompoknya Abu Sayyaf!

Sekarang ini kan semua negara menjadi rumit karena harus melalui proses “izin” dari Filipina untuk melakukan operasi militer penyelamatan. Sementara itu, Filipina sendiri cuma punya tentara sekualitas para peronda malam di kampung-kampung Indonesia.

Kalau Abu Sayyaf memiliki negara sendiri, lalu masih melakukan kejahatan, urusan bisa langsung berhadapan dengan negara baru itu. Mau perang atau bisnis, langsung dengan Abu Sayyaf. Sekarang ini justru masalahnya ada pada Negara Filipina sendiri. Bagi banyak negara, terutama Indonesia, Filipina hanya menjadi “penghalang” untuk operasi militer penyelamatan. Kata orang Sunda, Filipina itu ngagokan, ngagokin, cuma jadi hambatan. Ku batur  ulah, ari manehna euweuh kabecus, ‘sama orang lain tidak boleh, tetapi dirinya sendiri tidak becus’.

Indonesia harus mendorong negara-negara lain yang warganya sama-sama disandera untuk mendesak Filipina membuka diri bagi militer asing. Kemudian, bekerja sama membebaskan para sandera itu. Kalau Filipina tidak mau juga, ingatkan bahwa mereka itu adalah negara yang lemah dan menyedihkan, daripada harus menjaga wilayah yang besar tanpa kemampuan yang cukup, biarkan Abu Sayyaf punya negara resmi sendiri. Jadi, urusan apapun langsung dengan kelompok itu.

Kalau sudah menjadi negara baru yang resmi, mudah-mudahan mereka tidak merampok lagi dan menculik lagi karena urusannya bisa menjadi perang total yang banyak ruginya. Sekarang ini mereka merampok karena mereka sedang berjuang. Perampokan dan penculikan yang mereka lakukan dianggapnya sebagai bagian dari perjuangan mereka.

Indonesia juga begitu kan dulu?

Para pejuang Indonesia itu terkadang jadi perampok, jadi penculik juga.

Memangnya mobil pertama Presiden Soekarno itu dari mana?

Mobil itu hasil maling yang dilakukan oleh seorang pejuang. Dia mencuri mobil milik orang Jepang, lalu mobil itu diberikan kepada Soekarno. Mobil itu lalu digunakan Soekarno untuk berjuang. Sekarang mobil itu disimpan di kantor DHN 45, Jakarta.

Pejuang Indonesia pun melakukan penculikan. Mereka menculik serdadu Belanda untuk ditukarkan dengan para pejuang yang ditawan oleh pihak Belanda. Satu prajurit Belanda ditukar dengan empat puluh pejuang Indonesia.

Jadi, kalau nggak bisa menangani sendiri dan memang sudah terbukti tidak mampu, Filipina harus didesak membuka diri agar militer asing bisa masuk. Kalau tidak mau buka diri, sarankan mereka untuk membagi wiilayah dengan Abu Sayyaf agar tidak lagi terjadi teror, tetapi akan terjadi hubungan equal antara Filipina dengan negara baru milik Abu Sayyaf.

Kalau itu nggak mau, ini nggak mau juga bagaimana?

Kalau begitu, Filipina adalah negara terbloon di dunia. Pemerintah Indonesia harus melarang warganya untuk berbisnis dengan Filipina dan negara lain jika harus melalui jalur-jalur yang tidak aman. Cari jalur lain meskipun harus dengan mengeluarkan biaya yang tinggi dan waktu lebih lama.

Daripada terjadi penculikan lagi yang nyusahin semua orang, mendingan keluar tambahan biaya dan waktu.

Kalau tambah biaya dan tambah waktu, semuanya akan jadi tambah mahal. Banyak sekali yang dirugikan, terutama Filipina sendiri.

Soal para sandera itu bagaimana?

Sementara ini, mari kita bully habis-habisan pada berbagai Medsos negara lemah sok jago yang bernama Filipina itu!

Sunday 10 April 2016

Salah Sejarah, Salah Langkah, Salah Arah

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Kaburnya sejarah dan gelapnya riwayat kita mengakibatkan kita salah langkah dan salah arah. Akibatnya, kita tidak pernah selalu benar menyelesaikan berbagai permasalahan di negeri ini. Kalau kata Ir. Soekarno, Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, kita berpikiran selalu lemah, merasa diri kecil, memandang diri paling terbelakang adalah buntutnya tekanan selama berabad-abad. Tekanan itu berasal dari penjajahan yang benar-benar merusakkan tatanan kehidupan, budaya, ekonomi, sosial, politik, dan sejarah bangsa.

            Kita terlalu sering melihat dengan terpesona kehidupan orang-orang barat dengan segala kehidupannya. Hal itu mengakibatkan kita mulai percaya bahwa kita harus mencontoh mereka dalam menyelesaikan permasalahan kita. Hasilnya, kita menjadi hidup sama semrawutnya dengan mereka, sama gundahnya, sama kacaunya, dan sama-sama kehilangan pegangan. Hal tersebut diakibatkan kita lupa atau memang dilupakan terhadap kebesaran diri sendiri yang penuh keagungan dan kemuliaan. Sejarah hidup kita menjadi kacau-balau atau sengaja dikacau-balaukan.

            Dalam mengatasi korupsi, misalnya, banyak orang yang dengan bangga terhadap penanganan yang dilakukan orang-orang barat, padahal korupsi itu sendiri berasal dari barat. Selesai dari membangga-banggakan barat, diteruskan dengan membangga-banggakan Negara Cina dengan mengulang-ulang pernyataan para pemimpinnya yang dikampanyekan tegas telah menyiapkan peti mati bagi dirinya sendiri jika terlibat korupsi. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan sebaliknya. Ketika terjadi kebocoran data dari Panama Papers, Cina yang dibangga-banggakan orang itu malah menutup akses ke situs Panama Papers. Bahkan, memblokir berita-berita dari Amerika Serikat.

            Kenapa mereka menutup akses ke situs-situs itu?

            Hal itu menunjukkan bahwa mereka ingin menutupi kebusukan mereka. Mereka takut banyak ketahuan perilaku curangnya.

            Kalau tidak merasa bersalah, mengapa harus ditutup?

            Seharusnya, biasa saja. Kalau data itu salah dan tidak benar, sebaiknya tertawakan saja, jangan kebakaran jenggot lalu menutup akses.

            Mengapa sih kita selalu membangga-banggakan orang lain?

            Mengapa sih kita tidak berusaha keras mempelajari sejarah kebaikan diri kita sendiri dan membuatnya sebagai dasar untuk memperbaiki diri setelah banyak kerusakan yang ditimbulkan akibat penjajahan?

            Kita dirusakkan oleh penjajahan, tetapi memperbaiki diri dengan berkaca pada negeri-negeri penjajah. Aneh.

            Seharusnya, untuk mengatasi korupsi, kita belajar dari leluhur kita sendiri yang bersih dari korupsi. Jangan percaya bahwa leluhur kita juga korup karena tidak ada data, fakta, dan bukti bahwa leluhur kita korup. Mau dipaksa-paksain juga data dan fakta itu sampai hari ini tidak pernah ada yang meyakinkan, semuanya cuma dugaan yang diakibatkan mental-mental terjajah yang menganggap diri kita selalu salah dan terbelakang. Kan sudah saya bilangin bahwa korupsi itu timbul setelah terjadi interaksi negatif dengan bangsa penjajah.

            Belajar dan gali dari kearifan lokal bangsa sendiri. Itu lebih baik. Kalau masih becermin pada orang lain, kita tidak akan pernah selesai karena bangsa lain yang kita tiru pun memiliki masalah yang lebih berat dibandingkan kita. Kita menjadi salah langkah dan salah arah.

            Dalam banyak hal sebenarnya kita sudah tampak lebih baik dibandingkan negara lain dalam memecahkan masalah. Akan tetapi, aneh sekali kita tidak pernah melakukan pujian atau respek terhadap diri sendiri, kita masih berpenyakit dengan menganggap bahwa orang lain selalu lebih bagus. Aneh sekali.

            Kita ambil contoh mengenai persoalan lesbian, gay, biseks, dan transgender (LGBT) serta terorisme.  Mari kita bandingkan antara pandangan kita dengan pandangan orang lain. Di Barat LGBT itu diterima dengan baik, bahkan disahkan dalam undang-undang mereka atas dasar Ham. Di Timur Tengah LGBT dianggap mirip kejahatan serius, bahkan Isis menghukum mereka dengan cara yang sangat sadis. Di Indonesia LGBT dianggap penyakit yang harus disembuhkan sehingga harus direhabilitasi agar dapat hidup secara normal, lalu penyebarannya dicegah agar tidak menular.

            Pandangan mana yang lebih baik antara Barat, Timur Tengah, dan Indonesia?

            Soal terorisme. Di Barat terorisme adalah kejahatan yang harus dihancurkan dan dipropagandakan sebagai perwujudan dari ajaran Islam yang harus disingkirkan dan dibasmi. Di Timur Tengah terorisme adalah pemberontakan yang menjadi lawan pemerintah yang sah sehingga dianggap sebuah gerakan besar yang akan menghancurkan kemapanan. Di Indonesia terorisme dianggap sebagai penyimpangan dari keyakinan yang benar sehingga harus disadarkan agar kembali pada masyarakat secara normal dan hidup dengan lebih baik. Di samping itu, pemerintah pun berupaya memperbaikinya dengan peningkatan kesejahteraan agar tidak melakukan lagi aktivitas-aktivitas menyimpang. Oleh sebab itu, di Indonesia dikenal istilah “kembali pada pangkuan Ibu Pertiwi”. Maksudnya, mereka yang telah salah arah kembali pada arah yang benar dalam kebersamaan dengan rakyat Indonesia lainnya.

            Pandangan mana yang lebih baik antara Barat, Timur Tengah, dan Indonesia?

            Sadari bahwa pandangan kita itu berasal dari nilai-nilai yang telah dilekatkan Allah swt sejak lama, sejak nenek moyang kita, dan itu adalah kebaikan, keluhuran, kemuliaan, serta anugerah yang sangat besar.

            Berhenti mengagungkan bangsa lain. Belajar dari diri sendiri agar tak salah langkah dan tak salah arah. Gali kemuliaan kebenaran sejarah kita sendiri, berangkatlah dari sana untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada.

            Insyaallah, Allah swt akan memberikan petunjuk yang benar jika kita berupaya melangkah dengan benar sesuai dengan nilai-nilai yang telah dianugerahkan-Nya kepada kita.

Saturday 9 April 2016

Nenek Moyang Indonesia Tak Punya Alasan untuk Korupsi

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Awalnya saya sungguh gembira ketika Metro TV menayangkan sejarah korupsi di Indonesia. Siapa tahu ada data dan bukti baru bahwa korupsi itu merupakan budaya yang sudah ada sejak nenek moyang Indonesia. Akan tetapi, setelah saya ikuti, ternyata sama saja dengan yang sudah saya ketahui sejak lama. Sama sekali tidak ada yang baru. Maksudnya, korupsi itu sama sekali bukan berasal dari kebiasaan hidup orang Indonesia, melainkan diperkenalkan oleh kaum penjajah yang mana saja.

            Pada tayangan di Metro TV pun tidak ada bukti atau data bahwa korupsi itu sudah ada sejak lama. Perilaku korup itu tumbuh dan merebak sejak kehadiran penjajah, terutama sejak adanya VOC.

            Kesimpulan saya tetap sama bahwa korupsi itu bukan budaya asli Indonesia, melainkan budaya asing, budaya penjajah yang kemudian diikuti  oleh orang Indonesia. Dengan demikian, untuk memberantas korupsi, harus ada upaya penyadaran kembali pada nilai-nilai asli Indonesia yang penuh keluhuran dan kemuliaan. Pemberantasan korupsi oleh aparat hukum sudah betul, tetapi ajaran-ajaran kebaikan nenek moyang kita pun harus digali dan diaktualisasikan untuk mencegah perilaku korup.

            Contoh kecil di Sunda ada istilah kudu silih eledan, ‘harus saling mengalah, jangan serakah’. Contoh kecil itu benar-benar manjur, saya mengalaminya. Ketika saya mendapatkan beberapa pekerjaan, orang yang lebih senior mengatakan kudu silih eledan, maksudnya bagikan pekerjaan itu kepada orang lain yang kurang beruntung. Saya awalnya nggak mau karena merasa ini hasil kerja keras saya, tetapi saya coba berbagi juga meskipun dengan hati yang “tidak rela”. Ketika pekerjaan itu menuai hasil, saya lebih kesal karena seharusnya hasil itu milik saya semua. Akan tetapi, pada waktu yang lain ketika saya kurang beruntung, orang lain yang pernah saya berikan pekerjaan itu menawarkan pekerjaan dan berbagi rezeki kepada saya. Ia ingat pada kebaikan saya dulu dan berusaha membalasnya dengan kebaikan pula. Akhirnya, saya sadar untuk tidak bersaing, tetapi harus saling membantu.

            Begitu contoh kecil yang pernah terjadi. Coba kalau saat itu saya serakah. Yang lain pun akan serakah juga. Akibatnya, tidak akan pernah terjadi saling berbagi, malahan akan saling bersaing. Ketika yang satu sangat beruntung dan dapat rezeki banyak, sedangkan yang lain kurang beruntung dan merasa “kalah”, akan mulai terjadi persaingan yang bisa menjurus ke arah perilaku korup untuk mengimbangi “saingannya” tersebut.

            Saya suka membagi Indonesia itu ke dalam dua masa, yaitu masa Benua Sundaland dan masa Kepulauan. Kehidupan nenek moyang kita pada masa Sundaland tidak perlu dibahas lagi, saya sudah ceriterakan pada tulisan lalu yang berjudul Indonesia dalam Pandangan Allah swt. Pokoknya, masa itu berakhir dengan penuh kemaksiatan, kejahatan, kekafiran, dan seabrek keburukan lainnya, termasuk korupsi sangat mungkin ada.  Keburukan nenek moyang kita sangat mengerikan yang membuat Allah swt murka, sangat murka, sehingga menghancurkan kemegahan Benua Sundaland dengan segala keajaiban penduduknya menjadi berantakan berkeping-keping berupa kepulauan seperti sekarang ini.

            Nah, yang saya maksudkan korupsi bukan budaya asli Indonesia itu adalah pada masa pascabencana dahysat atau masa kepulauan karena Allah swt telah mengganti umat yang penuh dosa itu dengan umat yang baru. Umat yang baru itu adalah ya kita-kita ini. Orang-orang lemah dan beriman yang diselamatkan dari bencana mahadahysat itu jumlahnya sangat sedikit. Merekalah yang memulai lagi kehidupan baru di tempat-tempat yang terpisah-pisah berjauhan dan meninggalkan tempat-tempat yang dianggap penuh kemaksiatan. Mereka yang selamat itu satu demi satu meninggal dan muncullah umat-umat baru yang sama sekali tidak berhubungan dengan kehidupan masa Sundaland. Nenek moyang kita yang sempat mengalami masa kebesaran Sundaland pun diganti dengan keturunannya untuk meneruskan hidup di Indonesia dalam masa kepulauan sampai sekarang ini.

            Karena nenek moyang kita mengetahui dengan benar kebesaran dan kejayaan Sundaland yang mengakibatkan kemurkaan Allah swt, tidak pernah berceritera kepada keturunannya mengenai kehebatan masa itu. Mereka meninggalkannya sama sekali. Itulah sebabnya berbagai bangunan hebat seperti candi-candi dan peninggalan lainnya tidak diketahui oleh kita. Candi-candi yang hebat-hebat itu dibiarkan terkubur oleh banjir besar penuh lumpur serta gempa tektonik dan vulkanik yang terjadi bersamaan. Yang tersisa pada kita adalah ajaran-ajaran nenek moyang kita yang penuh dengan budi pekerti agar terhindar dari berbagai bencana.

            Nenek moyang kita yang baik-baik itu karena diselamatkan Allah swt memulai membangun kehidupan baru. Dalam buku Demokrasi dan Proses Politik yang disusun Amien Rais (1986) dijelaskan bahwa kepala kampung yang pertama adalah orang yang membangun pertama kali kampung itu. Artinya, nenek moyang kita yang baik dan selamat itu menjauh dari tempat-tempat maksiat untuk kemudian mencari tempat baru yang lebih aman dan nyaman. Mereka bertebaran pada berbagai pulau dan tempat di Indonesia yang telah menjadi kepulauan. Perlahan-lahan mereka berkembang dan semakin banyak.

            Terjadi pula interaksi dengan kampung-kampung lain dan sekaligus menjalin hubungan lebih erat melalui lembaga pernikahan. Semakin besar pula mereka sehingga menjadi sebuah kerajaan kuat.

            Sejauh ini kita bisa melihat bahwa tak ada alasan untuk melakukan korupsi karena mereka semua punya hubungan kekeluargaan yang sangat erat. Mereka sendiri yang membangun komunitas, mereka sendiri yang bekerja keras dan berkembang, mereka bekerja untuk keluarga mereka sendiri.

            Lalu, untuk apa korupsi?

            Tak ada gunanya. Semuanya milik keluarga sendiri.

            Jenis keluarga seperti ini masih bisa dijumpai pada saat ini juga di daerah-daerah pedalaman yang tepencil. Kalau memasuki wilayah mereka, kita bisa melihat bahwa semua mereka bersaudara. Meskipun jumlahnya mencapai ratusan, mereka berasal dari leluhur yang sama. Kepala desa, RW, dan RT masih memiliki hubungan keluarga yang sangat erat.

            Keluarga yang sudah berkembang menjadi kerajaan pun masih tetap memperluas wilayah dengan membuka hutan dan rawa-rawa untuk pertanian sehingga bertambah kaya dan kuatlah mereka. Rajanya adalah saudara bagi rakyatnya karena mereka semua bersaudara. Kekuatan keluarga ini bertambah dengan kehadiran para pendatang yang tidak memiliki hubungan keluarga. Para pendatang inilah yang kemudian berkembang dan menjadi rakyat baru. Adapun keluarga yang pertama kali membangun kerajaan lebih berkonsentrasi pada pemerintahan, tidak lagi menggarap tanah. Tanah diserahkan kepada para pendatang dengan mengambil upeti dari hasil pertanian di tanah itu.

            Untuk apa korupsi?

            Kebutuhan hidup mereka masih sangat sederhana dan tidak aneh-aneh. Kekuasaan pun diatur dalam hubungan kekerabatan, tidak perlu dana kampanye dan dana saksi di tempat pemilihan suara. Demokrasi tidak ada saat itu.

            Darimana datangnya para pendatang?

            Para pendatang itu berasal dari wilayah kerajaan lain yang sudah berkembang, tetapi tidak berlaku adil di dalam keluarga mereka sendiri atau dari kerajaan-kerajaan yang tidak berkembang dengan baik. Pihak-pihak yang merasa dirugikan atau kesulitan hidup pindah ke kerajaan lain yang lebih berkembang dan berlaku adil. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Prof. Dr. Edi S. Ekadjati (1995) dalam bukunya Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Ia menjelaskan bahwa apabila kerajaan tidak berlaku adil, rakyat akan protes dengan cara pindah ke kerajaan lain. Merekalah yang kemudian menjadi rakyat pada kerajaan yang lebih kuat dan adil. Oleh sebab itu, raja biasanya menegaskan kepada para pejabat di bawahnya agar tidak membuat rakyat “lari” dari negerinya.

            Di mana korupsi?

            Tidak ada.

            Yang ada hanya adil dan tidak adil, berkembang atau tidak, serta kuat atau lemah. Kalaupun terjadi cekcok atau perselisihan, itu disebabkan oleh rasa iri atau ketidakadilan di lingkungan keluarga raja yang mengakibatkan suksesi berdarah atau perang di antara anggota keluarga untuk berebut wilayah kekuasaan.

            Tidak adil, suksesi berdarah, atau perebutan kekuasaan itu bukan korupsi.

            Ketika penjajah datang, terutama Belanda dengan VOC-nya, mulailah korupsi itu terjadi yang mengakibatkan VOC sendiri banyak hutang dan bangkrut. Ceritera selanjutnya adalah silakan pelajari sendiri karena banyak sekali kisah tentang korupsi ini sampai hari ini.


            O, ya korupsi yang diperkenalkan penjajah ini sampai juga berpengaruh ke kampung-kampung yang jauh dari pusat pemerintahan Belanda. Korupsi yang terjadi di kampung-kampung itu disebabkan meniru-niru kelakuan bangsa asing, yaitu main perempuan dan berjudi.

Wednesday 6 April 2016

Kamadatu, Rupadatu, Arupadatu

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Lucu ya, orang-orang masih bertahan dengan pendapat bahwa Borobudur adalah Candi Budha?

            Akhir-akhir ini stasiun televisi swasta iNews rajin banget menayangkan berulang-ulang bahwa Borobudur itu Candi Budha dan menyatakan bahwa Kamadatu, Rupadatu, dan Arupadatu itu adalah ajaran Sang Budha tentang fase-fase kehidupan manusia.

            Aneh banget kalau Kamadatu, Rupadatu, dan Arupadatu adalah gambaran atau ajaran tentang fase-fase kehidupan manusia.

Mereka bilang kan manusia, ya?

Betul, betul, betul!

Manusia itu banyak bro. Ada yang baik, setengah baik, setengah buruk, buruk, dan sangat buruk. Ada yang masih bayi, remaja, anak muda, dewasa, orang tua, dan renta.

Apakah semua jenis manusia mengalami fase-fase itu?

Apakah kehidupan orang baik sama fasenya dengan kehidupan orang buruk?

Tentu tidak, bukan?

Itu artinya, Kamadatu, Rupadatu, dan Arupadatu bukanlah fase-fase kehidupan manusia.

Terus, bagaimana kalau bayi yang baru satu minggu atau dua-tiga bulan, kemudian meninggal?

Bayi-bayi atau para Balita itu sama sekali tidak melalui fase-fase itu. Artinya, kehidupan bayi-bayi itu tidak ter-cover dalam Kamadatu, Rupadatu, dan Arupadatu.

Bayi juga manusia kan?

Itu artinya, Kamadatu, Rupadatu, dan Arupadatu bukanlah fase-fase kehidupan manusia.

BOROBUDUR. Foto: borobudurpark.com

Yang benar adalah Kamadatu, Rupadatu, dan Arupadatu adalah pengajaran tentang bagaimana “seharusnya manusia hidup”, bukan merupakan fase-fase kehidupan manusia, melainkan fase-fase “yang harus ditempuh manusia” untuk menjadi insan paripurna.

Pada fase Kamadatu manusia berada dalam “nafsu amarah” yang mempertuhankan sifat-sifat hewaninya, mementingkan benda, uang, seks, kekuasaan, kehormatan yang kerap dicapai dengan cara curang, bohong, dan merugikan orang lain. Orang-orang yang sering berbohong tentang Borobudur pun hidup dalam fase ini karena dia berupaya membohongi orang lain agar tujuannya tercapai, yaitu kedustaan.

Pada fase Rupadatu manusia berada dalam “nafsu lawamah” yang penuh penyesalan. Dalam kondisi ini sering terjadi tarik-menarik yang sangat kuat dan seru antara keburukan dan kebaikan. Perilaku buruk sering terjadi, tetapi kemudian terjadi pula penyesalan atas perilaku buruk tersebut. Perang antara baik dan buruk dalam diri seseorang terjadi pada fase ini.

Allah swt tidak jarang menggunakan jiwa-jiwa pada fase ini sebagai dasar untuk bersumpah, “Demi jiwa-jiwa yang penuh penyesalan, ….”

Allah swt sangat menghormati jiwa-jiwa yang penuh penyesalan. Hal itu disebabkan manusia-manusia mulai tumbuh kesadarannya terhadap perilaku buruknya dan mulai memperbaikinya berdasarkan pengetahuannya atas penyesalannya.

Pada fase Arupadatu manusia sudah sangat kuat untuk tidak melakukan keburukan dan berada dalam “nafsu muthmainah”, jiwa-jiwa yang tenang. Kebaikan sudah sangat kuat dan sering mampu memenangkan pertarungan melawan keburukan. Jiwa dan pikiran manusia sudah sangat tercerahkan tentang penilaian terhadap kebaikan dan keburukan. Akan tetapi, masih ada kemungkinan terjatuh ke fase yang lebih rendah lagi yang digambarkan dengan stupa berlubang terawang tempe atau belah ketupat. Godaannya masih ada. Manusia harus terus “menenangkan” dirinya dan Allah swt pun lebih dekat kepadanya.

Aku jauh, Engkau jauh.

Jika manusia menjauh, Allah swt pun menjauh. Akan tetapi, jika manusia mendatangi Allah swt dengan merangkak, Allah swt akan mendatanginya dengan berjalan. Jika manusia mendatangi Allah swt dengan berjalan, Allah swt akan mendatanginya dengan berlari. Allah swt akan mendatangi manusia selalu lebih cepat jika dibandingkan manusia mendatangi Allah swt.

Allah swt kerap memanggil orang-orang yang berada dalam fase ini, “Wahai jiwa-jiwa yang tenang, ….”

BOROBUDUR. Foto: slideshare.net

Manusia yang lulus uji akan menjadi “insan kamil”, insan paripurna. Dirinya sudah terlindung dari berbagai keburukan dunia. Kesulitan dan kemudahan tidak berarti apa-apa bagi dirinya. Kemiskinan dan kekayaan tidak akan menggoyahkan dirinya. Suka dan duka sama saja bagi dirinya. Kesedihan dan kebahagiaan hanyalah merupakan putaran kehidupan yang harus dilakoninya dengan “biasa-biasa” saja. Gambaran yang ada dalam Borobudur adalah stupa tertinggi berantena yang sudah tidak ada lagi lubang pada stupanya. Jiwa dan pikiran manusia mulia ini hening dan jernih. Apa pun yang dia dengar, dia lihat, dan dia rasakan selalu berada dalam keheningan dan kejernihan. Dialah orang yang hening, jernih, dan bijak kata-katanya penuh dengan energi ketuhanan.

Yang keluar dari mulutnya saciduh metu saucap nyata. Kalau dia berbicara, yang terdengar adalah kebenaran. Kalau dia marah, kalimat-kalimatnya sangat mematikan.

Siapa yang melindunginya?

Dia sendiri berusaha melindungi diri dan Allah swt memberikan kekuatan pada dirinya untuk tetap berada bersama Allah swt.

Kamadatu, Rupadatu, dan Arupadatu adalah Amarah, Lawamah, dan Muthmainah. Ujungnya, Insan Kamil, yaitu Insan Paripurna.

Begitu lah.


Monday 4 April 2016

Indonesia Naik Kelas

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Berbicara soal naik kelas, siapa pun yang membicarakannya selalu mengambil contoh naik kelas di lingkungan sekolah, baik itu SD, SMP, atau SMA. Naik kelas tidaklah harus selalu memiliki nilai yang sempurna atau teramat baik. Seorang siswa dinyatakan naik ke kelas yang lebih tinggi disebabkan nilainya mencukupi untuk naik kelas. Kalau memang semua mata pelajaran mendapatkan nilai yang sangat tinggi, itu sangat bagus. Akan tetapi, kalaupun tidak semua mata pelajaran mendapat nilai yang sangat bagus, asal nilainya mencukupi, seorang siswa dapatlah dinyatakan naik kelas. Misalnya, yang sering terjadi adalah siswa mendapatkan nilai yang sangat baik dalam mata pelajaran sosial, bahasa, seni, dan budaya, tetapi nilai untuk mata pelajaran ilmu eksak mendapatkan nilai yang biasa-biasa saja. Siswa tersebut tetap bisa naik kelas. Demikian pula sebaliknya, tidak jarang siswa yang sangat pandai soal mata pelajaran yang penuh dengan hitung-hitungan, tetapi kesulitan dalam mata pelajaran seni, budaya, bahasa, atau olah raga. Siswa itu pun tetap bisa naik kelas.

            Indonesia memang masih memiliki banyak masalah, tetapi masalah-masalah itu tidak menghambatnya untuk naik kelas ke level yang lebih tinggi. Hal itu sebagaimana seorang siswa yang memiliki kelebihan dalam mata pelajaran tertentu dan kelemahan pada mata pelajaran lainnya. Pada kelas berikutnya siswa akan mendapatkan pengetahuan yang lebih tinggi untuk seluruh mata pelajaran. Artinya, dia akan meningkatkan pengetahuannya untuk pelajaran yang sangat dia kuasai dengan tetap melakukan berbagai perbaikan pada pelajaran yang kurang dikuasainya. Demikian pula dengan Negara Indonesia, dalam banyak hal telah mengalami perbaikan, tetapi masih ada pula yang harus diperbaiki dan terus ditingkatkan. Pada level berikutnya Indonesia akan mendapatkan banyak pengalaman baru, pengetahuan yang lebih tinggi, dan ujian yang lebih tinggi pula, baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maupun dalam percaturan di tingkat internasional.

            Kalau di sekolah, yang menyatakan seorang siswa naik kelas adalah guru. Adapun dalam kehidupan nyata atau penyelenggaraan negara, yang  menyatakan “naik kelas” adalah Allah swt.

            Tidakkah kita bisa melihat dan merasakan bahwa Allah swt telah membuat Indonesia naik kelas?

            Saat ini keinginan pemerintah dan rakyatnya relatif sama, tidak ada perbedaan yang runcing. Semuanya sama menginginkan kenyamanan, keamanan, dan kemakmuran. Seluruhnya sama-sama membenci kejahatan, kriminalitas, kecurangan, keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, dan hal-hal lain yang menunjukkan kelemahan dan keburukan. Berbeda dengan dulu yang kerap terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam antara pemerintah dan rakyat dalam hal berbangsa dan bernegara yang menciptakan kondisi berseberangan antara pemerintah dengan rakyatnya. Perbedaan yang terjadi pada saat ini antara pemerintah dengan rakyat adalah lebih tampak dalam hal teknis ke arah pada pencapaian kemakmuran bersama, bukan lagi dalam hal ideologi atau perebutan kekayaan alam. Memang sangat tidak lucu jika rakyat dan pemerintah bertengkar rebutan kekayaan alam.

            Dalam hal politik pun ada perbaikan sedikit-sedikit. Meskipun saya adalah “pembenci berat” demokrasi, tetap mengapresiasi perubahan yang terjadi. Contoh kecil adalah kalau dulu ada teman satu partai yang melakukan korupsi dan kejahatan lainnya, teman-teman satu partainya berikut partainya secara institusi membela mati-matian teman-temannya yang telah melakukan perilaku menjijikan itu. Sekarang terjadi perbedaan. Partai dan anggotanya tidak lagi membela anggota yang “kedapatan” melakukan tindakan korupsi ataupun kejahatan lainnya. Partai lebih memilih untuk menyingkirkan “penjahat” itu agar tidak merusakkan nama baik partai. Demikian pula ada yang tidak terlalu bergantung pada partai untuk mendapatkan kekuasaan. Mereka tidak terlalu takut untuk tidak mendapatkan dukungan partai. Mereka memilih untuk membuktikan dirinya sendiri sebagai orang yang “bisa dipercaya” dan berjuang bersama dengan kelompok masyarakat nonpartai. Namanya Independen.

            Hal yang sama pun terlihat di institusi kepolisian, TNI, dan aparat lainnya. Jika ada anggotanya yang jelas-jelas melakukan pelanggaran atas hukum, institusi tersebut memilih untuk memecat dan menghukumnya. Lumayan berbeda dengan masa lalu yang kerap menyembunyikan kebusukan orang-orang busuknya dan membela mati-matian teman satu korpsnya.

            Bukankah hal itu merupakan suatu kemajuan?

            Iya benar memang kita belum merasa puas, tetapi itu sudah lebih baik dibandingkan dengan dulu.


Tanda-Tanda Indonesia Naik Kelas

Kesadaran untuk bersama hidup dalam NKRI semakin menguat dan menebal. Pemahaman untuk mencapai tujuan bersama sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 sudah semakin terang. Denah yang ingin dicapai oleh Indonesia yang merupakan tujuan pembangunan nasional sudah sama. Perbedaan tujuan sudah semakin kecil. Dasar Negara Pancasila semakin mendapat tempat di hati masyarakat. Mereka yang masih menginginkan berbeda dari Pancasila dan Preambul UUD 1945 hanya tinggal segelintir kecil dan terus mengecil, bahkan dianggap sebagai “pengganggu” yang sama sekali tidak dihormati. Perang terhadap “gangguan” dan berbagai pelanggaran hukum sama-sama sangat disetujui oleh pemerintah dan rakyat. Keharusan untuk berbagi kemakmuran sangat diamini oleh pemerintah dan masyarakat. Kalaupun masih ada perbedaan, perbedaan yang terjadi lebih banyak pada hal teknis, dana, dan waktu yang harus digunakan untuk mencapai tujuan bersama tersebut.

            Perbaikan dan kemajuan yang dimulai dari kesamaan pemahaman tersebut mulai tampak pada langkah-langkah teknis. Perlahan namun pasti, langkah-langkah teknis itu makin jelas dan makin jelas. Meskipun perbaikan dan kemajuan itu masih sangat minimal, Allah swt menilainya sebagai kebaikan dan merupakan peningkatan yang sangat positif. Hal itu pulalah yang menjadi dasar bagi Allah swt menaikkan Indonesia ke kelas yang lebih tinggi.

            Tidak bisakah kita melihat Allah swt telah menaikkan Indonesia ke level yang lebih tinggi?

            Perhatikan ini.

            Untuk urusan dalam negeri dalam rangka mencapai kemakmuran bersama, Indonesia sudah relatif right on the track, ;’berada pada jalan yang benar’. Oleh sebab itu, Allah swt memberikan tanggung jawab yang lebih besar lagi, yaitu tantangan untuk lebih berperan aktif dalam percaturan internasional. Dengan demikian, Indonesia harus memiliki banyak pemikir yang ikut memberikan sumbangan pikiran dalam menyelesaikan berbagai masalah internasional. Kalau untuk memecahkan permasalahan di dalam negeri, sudah sangat banyak orang pintar yang ikut terlibat, baik di dalam tubuh penyelenggara negara maupun di luar pemerintahan. Akan tetapi, orang-orang yang matanya mengarah pada perbaikan kemelut internasional, masih belum banyak terlihat.

            Orang mungkin akan berpendapat buat apa ngurusin masalah orang lain, masalah sendiri saja di dalam negeri belum beres?

            Saya hanya ingin balik menanyakan untuk apa seorang siswa naik kelas kalau belum semua pelajaran mendapat nilai 90-100?

            Kalau masih ada pelajaran yang nilainya 70 atau 60, sebaiknya tidak usah naik kelas.

            Begitukah?

            Kalau memang harus begitu, saya yakin 99% siswa di Indonesia tidak akan pernah naik kelas. Semuanya hanya mampu sampai kelas satu sekolah dasar sampai bangkotan.

            Demikian pula dengan Indonesia, jika harus menunggu beres semuanya di dalam negeri, kita berarti menyia-nyiakan kepercayaan Allah swt untuk lebih berperan aktif di dunia internasional. Apabila lebih aktif dalam percaturan internasional, kita akan mendapatkan banyak keuntungan dari kiprah kita tersebut. Hal itu disebabkan apa yang kita lakukan di tingkat dunia harus tetap berpegang pada nilai-nilai nasionalisme kita, bukan hanya menjadi pengikut yang bisanya cuma manggut-manggut pada negeri orang lain yang sesungguhnya negeri-negeri itu tidak memiliki “jalan yang benar” dan tidak mempunyai kemampuan yang cukup untuk mengatasi berbagai permasalahan dunia. Bahkan, makin hari makin kusut-samut saja kehidupan internasional ini. Tak jarang bahwa negeri-negeri yang mengklaim diri sebagai negeri yang hebat-hebat itu justru yang memicu berbagai konflik di dunia ini. Kita harus lebih aktif dalam pergaulan internasional dengan nilai-nilai kebaikan yang kita miliki sehingga kita pun akan mendapatkan feedback positif dari aktivitas kita di dunia internasional.

            Perhatikan arahan dari Sang Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Ir. Soekarno.

            Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang membuat kita menjadi ‘perkakasnya Tuhan’ dan membuat kita menjadi ‘hidup dalam ruh’ seperti yang saban-saban dikhutbahkan oleh Bipin Chandra Pal, pemimpin India yang besar itu. Dengan nasionalisme yang demikian ini, kita insyaf dengan seinsyaf-insyafnya bahwa negeri kita dan rakyat kita adalah bagian dari negeri Asia dan rakyat Asia juga bagian dari dunia dan penduduk dunia …. Kita, kaum pergerakan nasional Indonesia bukan saja merasa menjadi abdi atau hamba dari tanah tumpah darah kita, melainkan kita juga merasa menjadi abdi dan hamba Asia, abdi dan hamba semua kaum yang sengsara, abdi dan hamba dunia ….”

            Kita harus sudah merasa bukan lagi hanya sebagai warga negara Indonesia, melainkan sudah harus merasakan sebagai warga dunia, rakyat dunia, yang bisa terpengaruh oleh situasi dunia sekaligus bisa memengaruhi kehidupan dunia. Daripada menjadi objek yang selalu terombang-ambing oleh pengaruh dunia, kita harus berupaya untuk menggerakkan dunia sesuai dengan nilai-nilai kebaikan yang kita miliki. Indonesia memiliki potensi besar untuk hal itu.

            Nggak percaya?

            Saya kasih satu contoh sangat kecil yang jika diperjuangkan akan memberikan manfaat yang teramat besar bagi perdamaian dunia. Indonesia adalah negeri yang berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia. Sangat tak salah jika mematuhi nasihat-nasihat Nabi Muhammad saw.

Rasulullah saw pernah berpesan dalam kalimat pendek, “Jangan menjual senjata kepada orang yang sedang bertengkar.”

Nasihat yang sangat berharga itu akan berpengaruh sangat luas bagi perdamaian dunia. Negeri-negeri yang sedang bertengkar atau terlibat perselisihan jika tidak mendapatkan pasar atau suplai senjata, akan berpikir ribuan kali untuk melakukan perang karena mereka pasti akan kehabisan amunisi untuk membunuh yang akibatnya mereka akan hancur jika musuhnya memiliki persenjataan yang lebih banyak. Itu artinya, dunia akan mengalami tekanan kuat agar tidak melakukan perang di mana pun dan senjata yang dimilikinya hanya untuk membela diri, bukan untuk melakukan invasi ke wilayah orang lain.

Kenyataan yang ada saat ini adalah negeri-negeri yang sedang bertengkar atau tidak akur berlomba membeli senjata baru dan memperbanyaknya untuk perang sehingga membuat dunia selalu harus menyaksikan pembunuhan demi pembunuhan. Hal yang lebih parah adalah para penjual senjata pun semakin rajin untuk memproduksi senjata baru agar dibeli oleh negara-negara yang sedang dalam pertengkaran. Kalau negara-negara resmi menahan diri untuk berperang, para pedagang senjata pun segera menyuplai atau menjual senjata pada kelompok-kelompok teroris untuk menciptakan ketidakamananan sehingga pasar senjata lebih bergairah lagi. Kalau orang-orang enggan untuk bermusuhan, para pedagang senjata pun segera “menciptakan” kelompok-kelompok pengacau atau “melahirkan” kekacauan yang berujung pada penggunaan senjata.

Begitu kan?

Sungguh, satu kalimat pendek larangan menjual senjata pada orang-orang yang sedang bertikai dari Junjunan Yang Termulia Muhammad Rasulullah saw dapatlah mendamaikan dunia.

Demi Allah swt.


Indonesia Sudah Naik Kelas

Indonesia tidak boleh dan memang tidak bisa menghindar dari “naik kelas” karena memang level kita “sudah naik”. Allah swt membuatnya seperti itu.

            Sebenarnya, dari sejak dulu pun Indonesia sudah terlibat dalam percaturan politik Internasional. Akan tetapi, sekarang Allah swt menginginkan kita untuk lebih aktif lagi. Allah swt percaya kepada Indonesia dan hendak menguji Indonesia. Kalau berhasil dari ujian-Nya, Indonesia akan lebih meningkat lagi ke level yang belum bisa kita duga. Kalau gagal, kita bisa jatuh remuk-redam dan terhina. Wallahu alam.

            Beginilah Allah swt membuat Indonesia naik kelas. Tanpa disadari, tiba-tiba kita dicobai dengan hadirnya para pengungsi Rohingya dari Myanmar. Rakyat pesisir Aceh yang miskin mendapat beban baru untuk menolong mereka. Miskin ya miskin, tetapi kewajiban untuk menolong telah mengalahkan rasa takut untuk hidup lebih miskin. Mereka pun menolong para pengungsi itu dan pemerintah pun meneruskannya dengan langkah-langkah lebih positif. Kejadian itu membuat orang-orang ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi di Myanmar sekaligus memaksa pemerintah Indonesia behubungan dengan dunia untuk menyelesaikan masalah tersebut.

            Peristiwa itu pun mendapatkan perhatian dunia. PBB dan dunia mengacungkan jempol untuk Indonesia dalam menangani pengungsi. Perasaan hanya Indonesia yang mendapat acungan jempol dari dunia soal itu. Negara-negara lain tidak mendapat kehormatan sebesar seperti yang diterima Indonesia. Bahkan, negara-negara lain segera merasa “terbebani” dengan hadirnya para imigran sampai saat ini. Allah swt membukakan “kedustaan” mereka yang sering mengklaim diri sebagai penegak Ham, pengawal “kemanusiaan”, pencipta “kasih sayang”, dan seabrek klaim manis lainnya yang sesungguhnya hanya senilai bau “kentut” tukang kuli panggul di terminal. Untuk menolong orang lain saja sampai repot seperti itu. Harusnya tolong dulu, urusan nanti belakangan. Bahkan, para anti-Islam mempropagandakan bahwa kehadiran pengungsi itu merupakan “invasi tersamar” kaum muslimin untuk menguasai dunia. Goblok banget mereka.
            
          Pengungsi memang benar merupakan beban tersendiri. Akan tetapi, jangan pula sampai diusir tanpa kejelasan.
            
            Di mana rasa kemanusiaan mereka yang selalu mereka “kentutkan itu”?

            Di mana rasa kasih sayang mereka yang selalu mereka promosikan itu?

            Dusta!

            Hal yang lebih parah adalah mereka yang mengklaim diri sebagai penganut ajaran “kasih sayang” itu tidak mempedulikan seruan petinggi Vatikan. Paus menyerukan agar setiap negara membuka perbatasan untuk menolong para pengungsi, tetapi perbatasan itu malah ditutup lebih rapat. Mereka hanya menghitung untung dan rugi serta ‘kekhawatiran” yang tidak beralasan.

            Padahal, kalau mau dirunut secara kronologis, kita bisa melihat bahwa pengungsi itu datang karena adanya kekerasan dan perang di negerinya. Perang dan kekerasan itu diciptakan oleh orang rakus dan gemar kekuasan. Orang-orang jahat itu mendapatkan senjata untuk melakukan perang dan kekerasan.

            Dari mana mereka mendapatkan senjata?

            Siapa yang menciptakan kelompok-kelompok perusuh itu?

            Siapa yang mem-back up para pemimpin tiran itu?

            Dari mana orang-orang rakus itu memiliki uang?

            Dengan siapa saja para penjahat dan penguasa itu berbisnis?

            Siapa saja yang mendapatkan keuntungan dari berbagai huru-hara itu?

            Semuanya berawal dari kapitalisme dan sekarang kembali membawa akibat pada orang-orang dan negeri kapitalis sendiri. Kalau kata orang-orang, namanya “karma”. Ketika akibat  huru-hara itu datang pada mereka, anehnya mereka menghindar dan cuci tangan. Mereka hanya ingin mendapatkan untung tanpa ingin menanggung risiko. Seharusnya, negeri-negeri kapitalis itu jangan mengeluh dengan kehadiran pengungsi karena toh itu merupakan akibat dari huru-hara yang mereka bikin sendiri juga.

            Hal lain yang membuat Indonesia harus membuka mata terhadap masalah Internasional adalah dipercayanya menjadi tuan rumah Oki yang kemudian mem-blow up pernyataan tegas Presiden Jokowi untuk memboikot produk-produk Israel dan menegaskan Indonesia sebagai negara yang sangat antipenjajahan. Upaya mempererat hubungan diplomatik dengan Palestina yang dilakukan Retno Marsudi merupakan kondisi lebih “terceburnya” Indonesia dalam masalah Israel-Palestina yang kemudian ditingkatkan pula dengan hubungan ekonomi yang lebih baik.

            Banyak hal yang dapat dilakukan Indonesia untuk mempercepat proses pembebasan Palestina dari penjajahan Israel. Salah satunya mengekspor rasa persatuan dalam tubuh Palestina sendiri dan menyadarkan orang-orang Arab dan Timteng untuk bersatu dalam menyelesaikan masalah itu. Orang-orang Israel dan pendukungnya akan tetap tenang menjajah Palestina karena belum adanya kebersamaan di antara orang-orang Arab sendiri. Orang-orang Arab memang punya penyakit akut yang gemar membangga-banggakan keluarganya, sukunya, atau kaumnya. Hal itu mempersulit rasa persatuan di antara mereka. Bahkan, pada zaman Nabi Muhammad saw saja mereka masih saling bunuh, padahal sudah sama-sama Islam. Ketika ada dua sahabat berbeda suku ditugaskan untuk hal tertentu, sepanjang jalan mereka bertengkar karena membangga-banggakan sukunya masing-masing. Hal itu berujung pada perkelahian untuk saling bunuh. Malahan, di rumah Nabi Muhammad saw sendiri kebanggaan atas nama keluarga itu terjadi. Zaid yang dinikahkan Rasulullah saw kepada Zainab sangat tidak tahan menjadi suami Zainab. Hal itu disebabkan Zainab selalu membangga-banggakan silsilah keluarganya sendiri sekaligus menghina Zaid. Zainab merasa dirinya lebih tinggi dan tidak pantas menjadi istri Zaid. Ujungnya, Rasulullah saw menyuruh Zaid untuk menceraikan Zainab. Kemudian, Nabi saw sendiri yang menikahi Zainab untuk meredam masalah itu.

            Memang orang-orang Arab itu sangat sulit untuk bersatu. Jika mampu berhasil mempersatukan mereka dalam langkah yang sama, Indonesia akan semakin mendapatkan perhatian dunia dan akan mendapatkan penghargaan yang teramat tinggi di muka Bumi, baik di hadapan manusia maupun di hadapan Allah swt. Palestina pun akan sangat mudah untuk dibebaskan.

            Indonesia yang terdiri atas belasan ribu pulau, ribuan suku, ribuan bahasa, ribuan adat dapat dengan mudah bersatu. Persoalan kesukuan sudah lama selesai. Memang ada yang terlambat bersatu, yaitu antara Suku Sunda yang besar dan Suku Jawa yang lebih besar gara-gara Perang Bubat. Permusuhan itu berlanjut dari generasi ke generasi selama berabad-abad. Akan tetapi, keduanya sama-sama menahan diri untuk tidak bertempur lagi. Bahkan, terjadi banyak pernikahan di antara kedua suku tersebut di samping memiliki agama mayoritas yang sama, Islam. Permusuhan pun semakin mengecil hanya sebatas saling hina, saling ledek, saling tuding, dan sebagainya. Akan tetapi, permusuhan itu menjadi “sempurna” selesai ketika “keturunan Majapahit” melakukan upacara “memohon maaf” kepada “keturunan Padjadjaran” pada 2010. Keluarga Majapahit menyadari sepenuhnya bahwa kejadian Perang Bubat itu merupakan kesalahan yang dilakukan pasukan Jawa kepada keluarga Sunda. Permohonan maaf keluarga Majapahit yang kemudian diterima dengan teramat baik oleh keluarga Sunda itu merupakan kejadian luar biasa dan harus diapresiasi dengan sangat tinggi. Jadi, masalah Perang Bubat itu sudah seharusnya selesai dan hanya tinggal sejarah memilukan dan memalukan bagi kedua suku. Jika masih ada yang menghidup-hidupkan dendam lama tentang peristiwa itu, mereka hanyalah orang-orang yang tidak ingin hidup memandang ke depan dan menikmati keuntungan dari “ketidakbersatuan” Indonesia. Mereka hanyalah pecinta rasa benci, dendam, dan huru-hara.

            Di Indonesia tidak pernah terjadi rasisme terhadap kulit hitam Papua, kecuali oleh orang-orang bego yang jumlahnya hanya satu dua. Bahkan, pemerintah Indonesia berupaya memajukan pendidikan dan taraf hidup orang Papua serta Indonesia bagian timur. Tak ada yang menikmati kebodohan orang lain untuk kesenangan dirinya sendiri. Berbeda dengan yang terjadi di negara-negara barat yang sampai hari ini terjebak dalam sikap rasisme menjijikan dan sikap memperbudak orang lain pada beberapa kalangan di negeri-negeri Arab.

            Indonesia pasti memiliki banyak cara untuk mempersatukan negeri Arab dalam langkah yang sama. Banyak sejarah yang bisa digali dari dalam diri Indonesia untuk diekspor ke seluruh penjuru dunia.

            Contoh lain Indonesia sudah harus memperhatikan interaksi dunia internasional adalah ketika terjadi pelanggaran batas laut oleh kapal nelayan pencuri dari Cina yang kemudian dilindungi oleh pasukan lautnya. Kegeraman Menteri Susi dan protes Retno Marsudi membuat dunia cukup terhenyak bahwa Indonesia memiliki kemampuan gertak yang tinggi kepada negara sebesar Cina. Hal itu pun membuat Indonesia untuk lebih memperhatikan permasalahan Laut Cina Selatan. Akibat dari peristiwa itu, banyak harapan dari berbagai negara bahwa Indonesia mampu menyelesaikan permasalahan Laut Cina Selatan yang merugikan banyak negara Asean tersebut. Bahkan, pakar dari Amerika Serikat memandang Indonesia memang bisa menyelesaikan masalah tersebut.


Gangguan untuk Indonesia

Ketika Indonesia mulai mencuat mendapat perhatian dunia, gangguan pun datang. Mereka tak ingin Indonesia tenang, semakin kuat, dan tumbuh menjadi negara yang lebih kuat. Mereka ingin Indonesia tetap dirundung masalah.

            Ketika TNI-Polri mulai membuat terdesak Kelompok Santoso, Indonesia diganggu dengan penculikan yang dilakukan di jalur pelayaran Filipina. Mereka tak ingin Indonesia bersih dari terorisme. Mereka masih ingin punya berita bahwa Indonesia masih sibuk dengan terorisme. Penculikan itu pun membuat Indonesia harus memerankan peran penting dalam pergaulan internasional. Lobi dan komunikasi dengan Filipina pun semakin sering dilakukan.

            Hal yang harus diperhatikan adalah Indonesia harus mempertahankan adat ketimuran yang penuh sopan santun dan dijaga dengan sikap beradab yang tinggi. Apabila Filipina atau negara lain tidak memerlukan Indonesia untuk mengatasi penculikan, Indonesia harus menghormati negara lain tersebut karena itulah budaya hormat kita. Jangan seperti negara preman Amerika Serikat yang kurang ajar dan sangat tidak beradab. Mereka menangkap dan membunuh Osama Bin Laden di Pakistan tanpa meminta izin dulu pada Negara Pakistan. Amerika Serikat itu tidak beradab dan tak punya sopan santun. Indonesia tidak boleh seperti itu. Ketika negara lain tidak setuju dengan kehadiran pasukan TNI, tanggung jawab beralih kepada negara lain itu. Risiko yang harus ditanggung berada pada negara lain, bukan pada Indonesia. Indonesia sudah berupaya keras, tetapi belum mendapatkan izin. Hormatilah hal itu karena kita adalah bangsa terhormat, bukan bangsa preman.

            Meskipun demikian, penolakan Filipina atas keterlibatan TNI pun menjadi semacam gangguan bagi Indonesia karena TNI tidak bisa memamerkan keahliannya dalam membebaskan sandera sehingga membuat tentara negara lain memperhitungkan TNI. Demikian pula patroli Amerika Serikat di Laut Cina Selatan menjadi semacam sedikit hambatan bagi Indonesia untuk lebih berperan dalam berperan serta di Laut Cina Selatan. Patroli laut AS itu sedikit-banyak membuat Indonesia merasa tidak perlu-perlu amat untuk lebih menekan Cina agar tidak melanggar kawasan laut milik negara-negara Asean lain.

Apabila Indonesia lebih aktif dalam masalah Laut Cina Selatan, pamor AS di kawasan itu akan jauh berkurang. Oleh sebab itu, AS berupaya narsis dengan berpatroli di kawasan itu untuk menunjukkan bahwa dirinya masih “polisi dunia”. Padahal, Hillary Clinton sama sekali tidak didengar Cina untuk kembali mematuhi batas-batas laut yang disepakati PBB.

Untuk apa AS berpatroli di sana kalau Cina masih melanggar kedaulatan wilayah laut negara-negara Asean?

Mereka hanya narsis, “Aku masih ada di sini, lho.”

Mereka tidak mau Indonesia mengalahkan AS dalam penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan.

Begitulah. Ketika Indonesia naik kelas, akan selalu ada pihak yang tidak ingin tersaingi pengaruhnya. Artinya, kiprah Indonesia di kancah politik internasional mulai sangat diperhatikan dunia.

So, kalau sudah naik kelas, hiduplah sebagaimana orang yang sudah naik kelas.