Saturday 9 April 2016

Nenek Moyang Indonesia Tak Punya Alasan untuk Korupsi

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Awalnya saya sungguh gembira ketika Metro TV menayangkan sejarah korupsi di Indonesia. Siapa tahu ada data dan bukti baru bahwa korupsi itu merupakan budaya yang sudah ada sejak nenek moyang Indonesia. Akan tetapi, setelah saya ikuti, ternyata sama saja dengan yang sudah saya ketahui sejak lama. Sama sekali tidak ada yang baru. Maksudnya, korupsi itu sama sekali bukan berasal dari kebiasaan hidup orang Indonesia, melainkan diperkenalkan oleh kaum penjajah yang mana saja.

            Pada tayangan di Metro TV pun tidak ada bukti atau data bahwa korupsi itu sudah ada sejak lama. Perilaku korup itu tumbuh dan merebak sejak kehadiran penjajah, terutama sejak adanya VOC.

            Kesimpulan saya tetap sama bahwa korupsi itu bukan budaya asli Indonesia, melainkan budaya asing, budaya penjajah yang kemudian diikuti  oleh orang Indonesia. Dengan demikian, untuk memberantas korupsi, harus ada upaya penyadaran kembali pada nilai-nilai asli Indonesia yang penuh keluhuran dan kemuliaan. Pemberantasan korupsi oleh aparat hukum sudah betul, tetapi ajaran-ajaran kebaikan nenek moyang kita pun harus digali dan diaktualisasikan untuk mencegah perilaku korup.

            Contoh kecil di Sunda ada istilah kudu silih eledan, ‘harus saling mengalah, jangan serakah’. Contoh kecil itu benar-benar manjur, saya mengalaminya. Ketika saya mendapatkan beberapa pekerjaan, orang yang lebih senior mengatakan kudu silih eledan, maksudnya bagikan pekerjaan itu kepada orang lain yang kurang beruntung. Saya awalnya nggak mau karena merasa ini hasil kerja keras saya, tetapi saya coba berbagi juga meskipun dengan hati yang “tidak rela”. Ketika pekerjaan itu menuai hasil, saya lebih kesal karena seharusnya hasil itu milik saya semua. Akan tetapi, pada waktu yang lain ketika saya kurang beruntung, orang lain yang pernah saya berikan pekerjaan itu menawarkan pekerjaan dan berbagi rezeki kepada saya. Ia ingat pada kebaikan saya dulu dan berusaha membalasnya dengan kebaikan pula. Akhirnya, saya sadar untuk tidak bersaing, tetapi harus saling membantu.

            Begitu contoh kecil yang pernah terjadi. Coba kalau saat itu saya serakah. Yang lain pun akan serakah juga. Akibatnya, tidak akan pernah terjadi saling berbagi, malahan akan saling bersaing. Ketika yang satu sangat beruntung dan dapat rezeki banyak, sedangkan yang lain kurang beruntung dan merasa “kalah”, akan mulai terjadi persaingan yang bisa menjurus ke arah perilaku korup untuk mengimbangi “saingannya” tersebut.

            Saya suka membagi Indonesia itu ke dalam dua masa, yaitu masa Benua Sundaland dan masa Kepulauan. Kehidupan nenek moyang kita pada masa Sundaland tidak perlu dibahas lagi, saya sudah ceriterakan pada tulisan lalu yang berjudul Indonesia dalam Pandangan Allah swt. Pokoknya, masa itu berakhir dengan penuh kemaksiatan, kejahatan, kekafiran, dan seabrek keburukan lainnya, termasuk korupsi sangat mungkin ada.  Keburukan nenek moyang kita sangat mengerikan yang membuat Allah swt murka, sangat murka, sehingga menghancurkan kemegahan Benua Sundaland dengan segala keajaiban penduduknya menjadi berantakan berkeping-keping berupa kepulauan seperti sekarang ini.

            Nah, yang saya maksudkan korupsi bukan budaya asli Indonesia itu adalah pada masa pascabencana dahysat atau masa kepulauan karena Allah swt telah mengganti umat yang penuh dosa itu dengan umat yang baru. Umat yang baru itu adalah ya kita-kita ini. Orang-orang lemah dan beriman yang diselamatkan dari bencana mahadahysat itu jumlahnya sangat sedikit. Merekalah yang memulai lagi kehidupan baru di tempat-tempat yang terpisah-pisah berjauhan dan meninggalkan tempat-tempat yang dianggap penuh kemaksiatan. Mereka yang selamat itu satu demi satu meninggal dan muncullah umat-umat baru yang sama sekali tidak berhubungan dengan kehidupan masa Sundaland. Nenek moyang kita yang sempat mengalami masa kebesaran Sundaland pun diganti dengan keturunannya untuk meneruskan hidup di Indonesia dalam masa kepulauan sampai sekarang ini.

            Karena nenek moyang kita mengetahui dengan benar kebesaran dan kejayaan Sundaland yang mengakibatkan kemurkaan Allah swt, tidak pernah berceritera kepada keturunannya mengenai kehebatan masa itu. Mereka meninggalkannya sama sekali. Itulah sebabnya berbagai bangunan hebat seperti candi-candi dan peninggalan lainnya tidak diketahui oleh kita. Candi-candi yang hebat-hebat itu dibiarkan terkubur oleh banjir besar penuh lumpur serta gempa tektonik dan vulkanik yang terjadi bersamaan. Yang tersisa pada kita adalah ajaran-ajaran nenek moyang kita yang penuh dengan budi pekerti agar terhindar dari berbagai bencana.

            Nenek moyang kita yang baik-baik itu karena diselamatkan Allah swt memulai membangun kehidupan baru. Dalam buku Demokrasi dan Proses Politik yang disusun Amien Rais (1986) dijelaskan bahwa kepala kampung yang pertama adalah orang yang membangun pertama kali kampung itu. Artinya, nenek moyang kita yang baik dan selamat itu menjauh dari tempat-tempat maksiat untuk kemudian mencari tempat baru yang lebih aman dan nyaman. Mereka bertebaran pada berbagai pulau dan tempat di Indonesia yang telah menjadi kepulauan. Perlahan-lahan mereka berkembang dan semakin banyak.

            Terjadi pula interaksi dengan kampung-kampung lain dan sekaligus menjalin hubungan lebih erat melalui lembaga pernikahan. Semakin besar pula mereka sehingga menjadi sebuah kerajaan kuat.

            Sejauh ini kita bisa melihat bahwa tak ada alasan untuk melakukan korupsi karena mereka semua punya hubungan kekeluargaan yang sangat erat. Mereka sendiri yang membangun komunitas, mereka sendiri yang bekerja keras dan berkembang, mereka bekerja untuk keluarga mereka sendiri.

            Lalu, untuk apa korupsi?

            Tak ada gunanya. Semuanya milik keluarga sendiri.

            Jenis keluarga seperti ini masih bisa dijumpai pada saat ini juga di daerah-daerah pedalaman yang tepencil. Kalau memasuki wilayah mereka, kita bisa melihat bahwa semua mereka bersaudara. Meskipun jumlahnya mencapai ratusan, mereka berasal dari leluhur yang sama. Kepala desa, RW, dan RT masih memiliki hubungan keluarga yang sangat erat.

            Keluarga yang sudah berkembang menjadi kerajaan pun masih tetap memperluas wilayah dengan membuka hutan dan rawa-rawa untuk pertanian sehingga bertambah kaya dan kuatlah mereka. Rajanya adalah saudara bagi rakyatnya karena mereka semua bersaudara. Kekuatan keluarga ini bertambah dengan kehadiran para pendatang yang tidak memiliki hubungan keluarga. Para pendatang inilah yang kemudian berkembang dan menjadi rakyat baru. Adapun keluarga yang pertama kali membangun kerajaan lebih berkonsentrasi pada pemerintahan, tidak lagi menggarap tanah. Tanah diserahkan kepada para pendatang dengan mengambil upeti dari hasil pertanian di tanah itu.

            Untuk apa korupsi?

            Kebutuhan hidup mereka masih sangat sederhana dan tidak aneh-aneh. Kekuasaan pun diatur dalam hubungan kekerabatan, tidak perlu dana kampanye dan dana saksi di tempat pemilihan suara. Demokrasi tidak ada saat itu.

            Darimana datangnya para pendatang?

            Para pendatang itu berasal dari wilayah kerajaan lain yang sudah berkembang, tetapi tidak berlaku adil di dalam keluarga mereka sendiri atau dari kerajaan-kerajaan yang tidak berkembang dengan baik. Pihak-pihak yang merasa dirugikan atau kesulitan hidup pindah ke kerajaan lain yang lebih berkembang dan berlaku adil. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Prof. Dr. Edi S. Ekadjati (1995) dalam bukunya Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Ia menjelaskan bahwa apabila kerajaan tidak berlaku adil, rakyat akan protes dengan cara pindah ke kerajaan lain. Merekalah yang kemudian menjadi rakyat pada kerajaan yang lebih kuat dan adil. Oleh sebab itu, raja biasanya menegaskan kepada para pejabat di bawahnya agar tidak membuat rakyat “lari” dari negerinya.

            Di mana korupsi?

            Tidak ada.

            Yang ada hanya adil dan tidak adil, berkembang atau tidak, serta kuat atau lemah. Kalaupun terjadi cekcok atau perselisihan, itu disebabkan oleh rasa iri atau ketidakadilan di lingkungan keluarga raja yang mengakibatkan suksesi berdarah atau perang di antara anggota keluarga untuk berebut wilayah kekuasaan.

            Tidak adil, suksesi berdarah, atau perebutan kekuasaan itu bukan korupsi.

            Ketika penjajah datang, terutama Belanda dengan VOC-nya, mulailah korupsi itu terjadi yang mengakibatkan VOC sendiri banyak hutang dan bangkrut. Ceritera selanjutnya adalah silakan pelajari sendiri karena banyak sekali kisah tentang korupsi ini sampai hari ini.


            O, ya korupsi yang diperkenalkan penjajah ini sampai juga berpengaruh ke kampung-kampung yang jauh dari pusat pemerintahan Belanda. Korupsi yang terjadi di kampung-kampung itu disebabkan meniru-niru kelakuan bangsa asing, yaitu main perempuan dan berjudi.

No comments:

Post a Comment