oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Awalnya saya sungguh gembira
ketika Metro TV menayangkan sejarah
korupsi di Indonesia. Siapa tahu ada data dan bukti baru bahwa korupsi itu
merupakan budaya yang sudah ada sejak nenek moyang Indonesia. Akan tetapi,
setelah saya ikuti, ternyata sama saja dengan yang sudah saya ketahui sejak
lama. Sama sekali tidak ada yang baru. Maksudnya, korupsi itu sama sekali bukan
berasal dari kebiasaan hidup orang Indonesia, melainkan diperkenalkan oleh kaum
penjajah yang mana saja.
Pada tayangan di Metro
TV pun tidak ada bukti atau data bahwa korupsi itu sudah ada sejak lama. Perilaku
korup itu tumbuh dan merebak sejak kehadiran penjajah, terutama sejak adanya
VOC.
Kesimpulan saya tetap sama bahwa korupsi itu bukan budaya
asli Indonesia, melainkan budaya asing, budaya penjajah yang kemudian diikuti oleh orang Indonesia. Dengan demikian, untuk
memberantas korupsi, harus ada upaya penyadaran kembali pada nilai-nilai asli
Indonesia yang penuh keluhuran dan kemuliaan. Pemberantasan korupsi oleh aparat
hukum sudah betul, tetapi ajaran-ajaran kebaikan nenek moyang kita pun harus
digali dan diaktualisasikan untuk mencegah perilaku korup.
Contoh kecil di Sunda ada istilah kudu silih eledan, ‘harus saling mengalah, jangan serakah’. Contoh
kecil itu benar-benar manjur, saya
mengalaminya. Ketika saya mendapatkan beberapa pekerjaan, orang yang lebih senior
mengatakan kudu silih eledan,
maksudnya bagikan pekerjaan itu kepada orang lain yang kurang beruntung. Saya
awalnya nggak mau karena merasa ini hasil kerja keras saya, tetapi saya coba
berbagi juga meskipun dengan hati yang “tidak rela”. Ketika pekerjaan itu
menuai hasil, saya lebih kesal karena seharusnya hasil itu milik saya semua.
Akan tetapi, pada waktu yang lain ketika saya kurang beruntung, orang lain yang
pernah saya berikan pekerjaan itu menawarkan pekerjaan dan berbagi rezeki
kepada saya. Ia ingat pada kebaikan saya dulu dan berusaha membalasnya dengan
kebaikan pula. Akhirnya, saya sadar untuk tidak bersaing, tetapi harus saling
membantu.
Begitu contoh kecil yang pernah terjadi. Coba kalau saat
itu saya serakah. Yang lain pun akan serakah juga. Akibatnya, tidak akan pernah
terjadi saling berbagi, malahan akan saling bersaing. Ketika yang satu sangat
beruntung dan dapat rezeki banyak, sedangkan yang lain kurang beruntung dan
merasa “kalah”, akan mulai terjadi persaingan yang bisa menjurus ke arah perilaku
korup untuk mengimbangi “saingannya” tersebut.
Saya suka membagi Indonesia itu ke dalam dua masa, yaitu
masa Benua Sundaland dan masa Kepulauan. Kehidupan nenek moyang kita
pada masa Sundaland tidak perlu dibahas lagi, saya sudah ceriterakan pada
tulisan lalu yang berjudul Indonesia
dalam Pandangan Allah swt. Pokoknya, masa itu berakhir dengan penuh
kemaksiatan, kejahatan, kekafiran, dan seabrek keburukan lainnya, termasuk
korupsi sangat mungkin ada. Keburukan
nenek moyang kita sangat mengerikan yang membuat Allah swt murka, sangat murka,
sehingga menghancurkan kemegahan Benua Sundaland dengan segala keajaiban
penduduknya menjadi berantakan berkeping-keping berupa kepulauan seperti
sekarang ini.
Nah, yang saya maksudkan korupsi bukan budaya asli Indonesia
itu adalah pada masa pascabencana dahysat atau masa kepulauan karena Allah swt
telah mengganti umat yang penuh dosa itu dengan umat yang baru. Umat yang baru itu
adalah ya kita-kita ini. Orang-orang lemah dan beriman yang diselamatkan dari bencana
mahadahysat itu jumlahnya sangat sedikit. Merekalah yang memulai lagi kehidupan
baru di tempat-tempat yang terpisah-pisah berjauhan dan meninggalkan
tempat-tempat yang dianggap penuh kemaksiatan. Mereka yang selamat itu satu
demi satu meninggal dan muncullah umat-umat baru yang sama sekali tidak
berhubungan dengan kehidupan masa Sundaland. Nenek moyang kita yang sempat
mengalami masa kebesaran Sundaland pun diganti dengan keturunannya untuk
meneruskan hidup di Indonesia dalam masa kepulauan sampai sekarang ini.
Karena nenek moyang kita mengetahui dengan benar
kebesaran dan kejayaan Sundaland yang mengakibatkan kemurkaan Allah swt, tidak
pernah berceritera kepada keturunannya mengenai kehebatan masa itu. Mereka
meninggalkannya sama sekali. Itulah sebabnya berbagai bangunan hebat seperti
candi-candi dan peninggalan lainnya tidak diketahui oleh kita. Candi-candi yang
hebat-hebat itu dibiarkan terkubur oleh banjir besar penuh lumpur serta gempa
tektonik dan vulkanik yang terjadi bersamaan. Yang tersisa pada kita adalah
ajaran-ajaran nenek moyang kita yang penuh dengan budi pekerti agar terhindar
dari berbagai bencana.
Nenek moyang kita yang baik-baik itu karena diselamatkan
Allah swt memulai membangun kehidupan baru. Dalam buku Demokrasi dan Proses Politik yang disusun Amien Rais (1986)
dijelaskan bahwa kepala kampung yang pertama adalah orang yang membangun
pertama kali kampung itu. Artinya, nenek moyang kita yang baik dan selamat itu
menjauh dari tempat-tempat maksiat untuk kemudian mencari tempat baru yang
lebih aman dan nyaman. Mereka bertebaran pada berbagai pulau dan tempat di
Indonesia yang telah menjadi kepulauan. Perlahan-lahan mereka berkembang dan
semakin banyak.
Terjadi pula interaksi dengan kampung-kampung lain dan
sekaligus menjalin hubungan lebih erat melalui lembaga pernikahan. Semakin
besar pula mereka sehingga menjadi sebuah kerajaan kuat.
Sejauh ini kita bisa melihat bahwa tak ada alasan untuk
melakukan korupsi karena mereka semua punya hubungan kekeluargaan yang sangat
erat. Mereka sendiri yang membangun komunitas, mereka sendiri yang bekerja
keras dan berkembang, mereka bekerja untuk keluarga mereka sendiri.
Lalu, untuk apa korupsi?
Tak ada gunanya. Semuanya milik keluarga sendiri.
Jenis keluarga seperti ini masih bisa dijumpai pada saat
ini juga di daerah-daerah pedalaman yang tepencil. Kalau memasuki wilayah
mereka, kita bisa melihat bahwa semua mereka bersaudara. Meskipun jumlahnya
mencapai ratusan, mereka berasal dari leluhur yang sama. Kepala desa, RW, dan
RT masih memiliki hubungan keluarga yang sangat erat.
Keluarga yang sudah berkembang menjadi kerajaan pun masih
tetap memperluas wilayah dengan membuka hutan dan rawa-rawa untuk pertanian
sehingga bertambah kaya dan kuatlah mereka. Rajanya adalah saudara bagi
rakyatnya karena mereka semua bersaudara. Kekuatan keluarga ini bertambah
dengan kehadiran para pendatang yang tidak memiliki hubungan keluarga. Para pendatang
inilah yang kemudian berkembang dan menjadi rakyat baru. Adapun keluarga yang
pertama kali membangun kerajaan lebih berkonsentrasi pada pemerintahan, tidak
lagi menggarap tanah. Tanah diserahkan kepada para pendatang dengan mengambil
upeti dari hasil pertanian di tanah itu.
Untuk apa korupsi?
Kebutuhan hidup mereka masih sangat sederhana dan tidak
aneh-aneh. Kekuasaan pun diatur dalam hubungan kekerabatan, tidak perlu dana
kampanye dan dana saksi di tempat pemilihan suara. Demokrasi tidak ada saat
itu.
Darimana datangnya para pendatang?
Para pendatang itu berasal dari wilayah kerajaan lain
yang sudah berkembang, tetapi tidak berlaku adil di dalam keluarga mereka
sendiri atau dari kerajaan-kerajaan yang tidak berkembang dengan baik.
Pihak-pihak yang merasa dirugikan atau kesulitan hidup pindah ke kerajaan lain
yang lebih berkembang dan berlaku adil. Hal ini sebagaimana yang disampaikan
Prof. Dr. Edi S. Ekadjati (1995) dalam bukunya Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Ia menjelaskan bahwa
apabila kerajaan tidak berlaku adil, rakyat akan protes dengan cara pindah ke
kerajaan lain. Merekalah yang kemudian menjadi rakyat pada kerajaan yang lebih
kuat dan adil. Oleh sebab itu, raja biasanya menegaskan kepada para pejabat di
bawahnya agar tidak membuat rakyat “lari” dari negerinya.
Di mana korupsi?
Tidak ada.
Yang ada hanya adil dan tidak adil, berkembang atau
tidak, serta kuat atau lemah. Kalaupun terjadi cekcok atau perselisihan, itu
disebabkan oleh rasa iri atau ketidakadilan di lingkungan keluarga raja yang
mengakibatkan suksesi berdarah atau perang di antara anggota keluarga untuk
berebut wilayah kekuasaan.
Tidak adil, suksesi berdarah, atau perebutan kekuasaan
itu bukan korupsi.
Ketika penjajah datang, terutama Belanda dengan VOC-nya,
mulailah korupsi itu terjadi yang mengakibatkan VOC sendiri banyak hutang dan
bangkrut. Ceritera selanjutnya adalah silakan pelajari sendiri karena banyak
sekali kisah tentang korupsi ini sampai hari ini.
O, ya korupsi yang diperkenalkan penjajah ini sampai juga
berpengaruh ke kampung-kampung yang jauh dari pusat pemerintahan Belanda.
Korupsi yang terjadi di kampung-kampung itu disebabkan meniru-niru kelakuan
bangsa asing, yaitu main perempuan dan
berjudi.
No comments:
Post a Comment