Saat Mesra Bersama Pancasila
oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Pancasila adalah dasar Negara Republik Indonesia sekaligus tujuan yang harus dicapai bangsa Indonesia. Menurut Hasan (2002) dalam Soeprapto (2004), Pancasila itu jika diperas menjadi Trisila. Trisila dapat diperas lagi menjadi satu sila yang disebut Eka Sila, yaitu gotong royong. Jadi, gotong royong adalah intisari dari seluruh sila yang ada dalam Pancasila.
Jika kita mencermati seluruh periode demokrasi yang ada di Indonesia, yaitu: Demokrasi Awal Kemerdekaan, Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila, dan Demokrasi Masa Reformasi, situasi yang tercipta adalah kegoncangan dan bentrokan politik berlarut-larut yang bersumber dari kepentingan setiap kelompok yang bertikai, bukan untuk kepentingan rakyat. Soal kegoncangan, bentrokan, dan konflik dalam setiap masa demokrasi, ada pada tulisan lain dalam blog ini.
Pertengkaran dan hiruk pikuk konflik dalam setiap masa demokrasi itu menunjukkan bahwa bangsa Indonesia berada jauh dari filsafat dasarnya sendiri, yaitu Pancasila. Hal itu disebabkan intisari nilai luhur Pancasila adalah gotong royong. Gotong royong memiliki pengertian berbanding terbalik dengan bentrokan, pertengkaran, atau konflik. Konflik itu jauh berbeda dengan gotong royong, bagaikan antara tanah dan langit atau antara minyak dan air.
Terdapat satu masa indah yang sangat mesra dengan Pancasila, yaitu masa Demokrasi Terpimpin pra-Soekarno sakit. Pada masa ini situasi dan kondisi politik negara berada dalam keadaan stabil. Seluruh komponen politik bangsa berada dalam satu kendali secara sentral, yaitu Presiden Soekarno. Tak ada guncangan-guncangan politik yang berarti pada masa ini. Bahkan, negara mulai bebenah menata kehidupan untuk menciptakan situasi yang kondusif dalam mencapai tujuan pembangunan nasional.
Hal itu terjadi karena memang pada masa ini Soekarno sangat menekankan sikap gotong royong. Penekanan tersebut tecermin dari diperkenalkannya konsep nasionalis-agama (Islam)-komunis (Nasakom). Ia melihat potensi yang sangat besar dari ketiga kekuatan tersebut dalam menghadapi kapitalis imperialisme dan neokolonialisme yang dapat mengganggu kemerdekaan dan pencapaian tujuan pembangunan nasional.
Dalam pandangannya, nasionalis adalah kaum yang mencintai negerinya, tanah tumpah darahnya. Mereka tak rela tanahnya diinjak oleh bangsa asing. Mereka ingin menentukan nasibnya sendiri. Kaum agama Islam adalah orang-orang yang memiliki kewajiban membela kebenaran, melindungi dan menolong kaum lemah, serta memerangi setiap bentuk kezaliman. Orang-orang komunis adalah mereka yang membenci kapitalis karena telah merampok hak-hak buruh dan orang-orang miskin.
Menurutnya, ketiga kekuatan tersebut memiliki kesamaan, yaitu: membenci imperialisme dan kolonialisme. Orang nasionalis membenci penjajah dan penjajahan, Islam membenci kejahatan dan kemunkaran, komunis membenci kapitalis. Bukankah musuh ketiganya adalah sama, yaitu para penjajah kapitalis asing kafir yang berkulit putih? (Dibawah Bendera Revolusi : 1964)
Di dalam buku 30 Tahun Indonesia Merdeka 1950-1973 yang terdiri atas dua jilid susunan Ginandjar Kartasasmita dkk. (1981), tidak ada catatan kegoncangan politik yang berarti ketika masa ini berlaku secara mutlak. Berikut ini beberapa peristiwa dalam masa Demokrasi Terpimpin.
Pembentukan Kabinet Kerja. Kabinet Kerja adalah kabinet pertama pascadekrit yang dibentuk menggantikan Kabinet Karya. Dalam kabinet ini, Soekarno sendiri yang menjabat PM dengan Ir. Djuanda sebagai menteri pertama. Kabinet ini memiliki program “triprogram”, yaitu: sandang-pangan, keamanan, dan Irian Barat.
Semangat revolusi kembali bergairah yang ditandai dengan Pidato Presiden yang berjudul Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol). Manipol ini kemudian menjadi GBHN. Intisari Manipol ada lima, yaitu: sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, dan kepribadian Indonesia (Usdek). Penjelasan Soekarno tersebut kemudian dikenal dengan nama Manipol Usdek.
Indonesia menjadi tuan rumah bagi Colombo Plan Consultative Committee Meeting (sidang tahunan tingkat menteri untuk kerja sama ekonomi dan pembangunan). Pembebasan negara dari penyakit malaria. Pembentukan Front Nasional untuk menyelesaikan revolusi, melaksanakan pembangunan, dan mengembalikan Irian Barat ke dalam RI.
Penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta. Anggota CIA-AS, Allan Pope yang membantu pemberontakan dengan menggunakan pesawat pembom B-26, ditangkap dan diadili.
Dalam hubungan internasional, terjadi peningkatan yang cukup baik yang ditandai dengan berdatangannya pemimpin negara lain yang menjadi tamu-tamu RI. Mereka yang berkunjung ke RI, di antaranya, Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew, Raja Muangthai Sri Baginda Bhumibol Adulyadej, Perdana Menteri Unisoviet Nikita Krushchev, Presiden Guinea Sekou Toure, Presiden Pakistan Ayub Khan, Perdana Menteri Hongaria Ferenc Munich, Presiden Polandia Alexander Zawadski, Presiden Mexico Albarda Lopez, Perdana Menteri/Ketua Dewan Menteri Kerajaan Kamboja Pangeran Norodom Sihanouk, Presiden Chekoslovakia Antonin Novotny, Presiden RRC Liu Shao Chi, Presiden Republik Jerman Dr. Heinrich Luebke, Presiden Filipina Diosdado Macapagal, Presiden Mali Modibo Keita, Perdana Menteri Republik Demokrasi Rakyat Korea Kim II Sung, Perdana Menteri Republik Demokrasi Vietnam Pham Van Dhong, Perdana Menteri RRC Chou En Lai, Presiden Rumania Shivu Stoica.
Adalah suatu hubungan internasional luar biasa terjadi pada saat itu, hanya dalam waktu lima tahun, berduyun-duyun berkunjung ke Indonesia berbagai pemimpin negara lain. Itu menunjukkan bahwa Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar di dunia. Kalau pengaruhnya kecil, pemimpin Indonesia pasti yang terpaksa harus berkeliling ke negara-negara lain.
Pembubaran DPR hasil Pemilu 1955 karena terjadinya banyak perselisihan pendapat, terutama mengenai Penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. DPR ini diganti dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR). Dewan ini keanggotaannya diatur agar terjadi kegotongroyongan antara parlemen dengan pemerintah dalam berbagai hal.
Pembubaran Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia. Keduanya dibubarkan karena tidak segera menyalahkan pemimpinnya yang jelas-jelas bersalah karena telah terlibat pemberontakan PRRI.
Pemutusan Hubungan Diplomatik dengan Belanda. Pemutusan ini dilakukan karena Belanda tidak ingin berdamai mengenai pengembalian Irian Barat. Perjuangan diplomasi dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda ditingkatkan ke arah pengerahan angkatan bersenjata Indonesia.
Pengiriman Pasukan Garuda II ke Kongo. Pengiriman pasukan ini untuk membantu dan memulihkan kedamaian dan ketertiban di Republik Kongo (sekarang Zaire) ketika memperoleh kemerdekaannya pada Juni 1960 dari penjajahan Belgia.
Di depan Sidang Umum PBB, 30 September 1950, Soekarno dengan lantang menguraikan Pancasila, perjuangan Indonesia untuk membebaskan Irian Barat, masalah kolonialisme, usaha memperbaiki PBB, serta upaya untuk meredakan ketegangan perang dingin dan ketegangan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Pada akhir pidato yang berjudul To Build the World a New tersebut Soekarno menyerukan untuk membangun tatadunia baru. Pidato tersebut tentu saja mendapat perhatian luar biasa. Seruan tersebut sudah menandakan kecilnya kepercayaan Indonesia terhadap PBB dalam menata dunia sehingga harus ada bentuk baru. Di samping itu, pidato tersebut menunjukkan betapa besarnya kekuatan dan keberanian Indonesia dalam menggebrak dunia dengan gagasan-gagasannya.
Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama (1961-1969). Pada masa ini dimulai perencanaan dan pembangunan berbagai proyek yang tersebar di seluruh Indonesia, terutama di bidang industri dan prasarana.
Pembelian senjata dari Unisoviet. Tujuannya adalah mempersiapkan potensi militer Indonesia untuk membebaskan Irian Barat dari Belanda.
Presiden Soekarno melantik Ketua Majelis Pimpinan Nasional Gerakan Pramuka. Pramuka (Praja Muda Karana) adalah leburan dari seluruh kegiatan kepanduan di Indonesia yang ditetapkan dengan keputusan Presiden No. 238 tahun 1961.
Pembangunan Tugu Nasional (sekarang Monumen Nasional [Monas]). Pembangunan ini secara resmi mulai 17 Agustus 1961 dengan pemancangan tiang pertama oleh Presiden Soekarno.
Konferensi Tingkat Tinggi Nonblok (non-aligned) di Beograd. Konsepsi Nonblok timbul di kalangan negara-negara berkembang yang tidak ingin melibatkan diri dalam kancah pertentangan antara AS dan Unisoviet yang terjadi segera setelah Perang Dunia II.
Tertangkapnya S.M. Kartosoewirjo dan punahnya pemberontakan DI/TII. Gerakan yang dipimpin S.M. Kartosoewirjo ini akibat dari dilaksanakannya Demokrasi Awal Kemerdekaan yang menghasilkan Perjanjian Renville. Operasi-operasi militer di Jawa Barat dilaksanakan dengan mengikutsertakan rakyat yang dikenal dengan “pagar betis”. Setelah Kartosoewirjo ditangkap, punahlah pemberontakan DI/TII yang ditandai dengan hancurnya gerakan tersebut di berbagai wilayah, seperti, Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan, Daud Beureuh di Aceh, dan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan.
Belanda menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia. Perjuangan RI memaksa Belanda menyerahkan Irian Barat di markas PPB, New York, pada 15 Agustus 1962.
Indonesia mendapat kehormatan menjadi tuan rumah Asian Games IV. Dengan motto Ever Onward, Indonesia berhasil meraih kedudukan ke-2 mengikuti Jepang sebagai pemenang umum I.
Dekrit penghapusan keadaan bahaya (perang). Pada 19 November 1962, Presiden Indonesia Soekarno mengeluarkan Dekrit Penghapusan Keadaan Bahaya di seluruh wilayah RI.
Dimulainya konfrontasi terhadap Malaysia. Negara Federasi Malaysia yang dinyatakan berdiri pada 16 September 1963 ditentang keras oleh Indonesia. Soekarno menganggapnya sebagai proyek Nekolim Inggris yang membahayakan revolusi Indonesia yang belum selesai. Besoknya, Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Kualalumpur. Di kedua negara terjadi demonstrasi di depan Kedubes masing-masing. Di Indonesia bahkan Kedubes Inggris dibakar. Mulailah konfrontasi terhadap Malaysia dan Inggris.
Penyelenggaraan Ganefo. Setelah keluar dari Komite Olimpiade International (International Olympic Committee [IOC]) Soekarno menyelenggarakan Ganefo (Games of the New Emerging Forces) di Jakarta. Ganefo adalah kegiatan olah raga yang diikuti oleh negara-negara Nefos penentang imperialisme dan Nekolim. Pesta olah raga ini diikuti oleh 48 kontingen. Game ini praktis membuat kapitalis lebih cemas. Mereka memandang Soekarno telah mampu menandingi olimpiade dunia. Suatu unjuk kekuatan yang luar biasa.
Penangkapan Gembong Republik Maluku Selatan (RMS). Pada 2 Desember 1963 Dr. Ch. R. Soumokil, gembong RMS ditangkap di Pulau Seram. Gembong penjahat ini kemudian dijatuhi hukuman mati.
Indonesia keluar dari PBB. Keluarnya Indonesia dari PBB diakibatkan sebagai reaksi dari terpilihnya Malaysia menjadi anggota Dewan Keamanan PBB. Hal itu pun melahirkan kekuatan poros Jakarta-Peking.
Peringatan Dasawarsa I Konferensi Asia Afrika. Bandung menjadi tempat yang dipercaya untuk acara ini sebagai penggalangan solidaritas politik Asia-Afrika.
Demikian sebagian kecil peristiwa besar yang bisa dipaparkan yang terjadi sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 s.d. 1965. Dari beragam peristiwa tersebut, seluruhnya terkendali secara sentral oleh Presiden Soekarno dalam suasana gotong royong. Seluruh komponen bangsa bisa meredam berbagai perbedaan untuk kepentingan bersama. Suasana politik nasional pada masa itu benar-benar stabil.
Karena berada dalam situasi gotong royong, situasi politik nasional berada dalam koridor intisari nilai Pancasila, sebagaimana yang disampaikan Founding Father Presiden ke-1 RI Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945 dalam pidato filsafat negara bahwa rumusan dasar Negara Indonesia merdeka adalah:
1. Kebangsaan Indonesia-Nasionalisme
2. Perikemanusiaan-Internasionalisme
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan yang Berkebudayaan
Lima asas atau dasar tersebut atas petunjuk seorang temannya yang ahli bahasa—oleh Soekarno—diberi nama Pancasila. Konsep dasar yang diajukan Soekarno dapat diperas menjadi Tri Sila, yaitu:
1. Socio-Nationalisme, perasan sila 1 dan 2
2. Socio-Democratis, perasan sila 3 dan 4
3. Ketuhanan
Ketiga sila itu dapat diperas lagi menjadi satu sila yang disebut Eka Sila, yaitu gotong royong (Hasan, 2002 : 56-57 dalam Soeprapto : 2004).
Adapun gotong royong sendiri merupakan suatu istilah asli Indonesia yang berarti bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu hasil yang didambakan. Bersama-sama dengan musyawarah, pantun, Pancasila, hukum adat, ketuhanan, dan kekeluargaan, gotong royong menjadi dasar filsafat Indonesia (http://id.wikipedia.org).
Gotong royong pun merupakan suatu kegiatan yang bersifat suka rela. Dengan demikian, segala sesuatu yang dikerjakan dapat lebih mudah dan cepat diselesaikan. Bukan itu saja, dengan adanya kesadaran setiap elemen atau lapisan masyarakat dalam menerapkan perilaku gotong royong, hubungan persaudaraan atau silaturahim akan semakin erat.
Berbeda dengan cara individualisme yang mementingkan diri sendiri. Cara individualisme akan memperlambat pekerjaan karena dapat menimbulkan keserakahan dan kesenjangan (http://pajriblog.blogspot.com).
Di samping itu, gotong royong adalah suatu budaya kerja. Budaya kerja menurut Gering Supriyadi dan Tri Guno dalam http://community.gunadarma.ac.id adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan, dan pendorong yang dibudayakan dalam suatu kelompok dan tecermin dalam sikap menjadi perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan, serta tindakan yang terwujud sebagai kerja.
Budaya kerja memiliki tujuan untuk mengubah sikap dan juga perilaku SDM yang ada agar dapat meningkatkan produktivitas kerja untuk menghadapi berbagai tantangan pada masa yang akan datang.
Adapun tujuan dan manfaat dari gotong royong adalah meningkatkan kebersamaan, saling terbuka satu sama lain, meningkatkan jiwa kekeluargaan, meningkatkan rasa kekeluargaan, membangun komunikasi yang lebih baik, meningkatkan produktivitas kerja, serta tanggap terhadap dengan perkembangan dunia luar.
Sistem politik saat itu ternyata efektif dalam menyelesaikan konflik-konflik politik yang terjadi tanpa menimbulkan konflik baru. Sistem politik demokrasi di Indonesia dapat dipandang efektif jika berhasil menyelesaikan konflik tanpa menimbulkan konflik baru. Konflik-konflik dianggap selesai atau teratasi jika sudah tercipta stabilitas politik nasional sebagaimana yang diharapkan oleh UUD 1945 dan Pancasila tanpa adanya kekisruhan politik yang meruncing dan menggoncangkan negara sebagaimana laporan pertangungjawaban Presiden ke-2 RI Soeharto pada 12 Maret 1973:
Stabilitas itu berarti keadilan politik di tanah air ini haruslah berkembang tumbuh dan sesuai dengan landasan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan sewajarnya, tanpa adanya pergolakan-pergolakan politik yang menimbulkan kegoncangan-kegoncangan dalam masyarakat apabila dengan bentrokan-bentrokan atau ketegangan-ketegangan yang meruncing, yang tidak memungkinkan diadakannya usaha-usaha pembangunan dan kegiatan-kegiatan konstruktif lainnya yang berlanjut dalam jangka waktu yang relatif cukup panjang.
Keefektifan (effectiveness) sendiri dalam Sukarno (2010) berasal dari kata efektif yang berarti terjadi suatu efek atau akibat yang dikehendaki dari suatu perbuatan. Ensiklopedia umum (1977 : 296) menyebutkan bahwa yang dimaksud keefektifan adalah menunjukkan taraf tercapainya suatu tujuan. Dalam ensiklopedia administrasi dijelaskan:
Keefektifan adalah suatu keadaan yang mengandung pengertian mengenai terjadinya sesuatu efek atau akibat yang dikehendaki. Jika seseorang melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud tertentu yang dikehendaki orang tersebut, dikatakan efektif apabila menimbulkan akibat sesuai maksud yang dikehendakinya.
Dengan demikian, sistem politik saat itu sangat efektif mewujudkan stabilitas politik nasional sebagai syarat mencapai tujuan pembangunan nasional sebagaimana yang tercantum dalam alinea keempat Preambul UUD 1945, yaitu:
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraaan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dipandang dari segi hubungan internasional, sistem politik saat itu sangat menguntungkan bagi kepentingan dalam negeri Indonesia. Hal itu ditandai dengan berduyun-duyunnya pemimpin negara asing ke Indonesia, terciptanya kekuatan baru, Nonblok, di tengah blok barat dan blok timur yang berseteru, kerja sama di antara negara Asean, menguatnya negara-negara Asia Afrika dalam kepemimpinan Indonesia, berlangsungnya Ganefo, tetapnya Irian Barat di pangkuan Ibu Pertiwi, nasionalisasi perusahaan Belanda, pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia, serta terlindunginya Indonesia dari pihak kapitalis yang berupaya meruntuhkan NKRI melalui pemberontakan-pemberontakan bersenjata di daerah-daerah.
Hal tersebut sangat sesuai dengan teori politik luar negeri yang disampaikan Muhammad Musa (2003 : 24), yaitu bahwa politik luar negeri merupakan:
Desain kepentingan pada tiap-tiap negara yang melakukan penyelarasan, bertolak dari pandangan hidup (way life) dan pandangan strategis-nya (strategic views) atau dalam rangka merealisasikan berbagai manfaat untuk umat secara keseluruhan ataupun untuk salah satu kelompok umat, serta mendesain kepentingan tersebut untuk mencapai target-target yang achiavable dengan membuat hubungan kausalitas antara apa yang ada dan apa yang hendak direalisir.
Artinya, pemerintah telah melakukan hubungan internasional yang disandarkan pada pencapaian keuntungan bagi kepentingan dalam negeri, bukan untuk menghambat kepentingan nasional, apalagi menguntungkan pihak asing.
Kurun waktu tersebut sudah sangat cukup untuk menciptakan stabilitas politik, kemudian menjadi landasan yang kokoh dalam mengadakan usaha-usaha pembangunan. Akan tetapi, situasi menjadi berubah sama sekali ketika Ir. Soekarno jatuh sakit.
Selanjutnya, masa-masa indah itu harus berakhir. Tentu saja, masa indah itu oleh para penggemar, pengagung, pecinta, dan fans berat demokrasi dikata-katai sebagai otoriter dan tidak demokratis. Makian-makian mereka terhadap masa indah itu benar-benar sangat aneh.
Memang masa itu satu-satunya masa terindah bermesraan dengan Pancasila dan siap untuk membangun bangsa, tetapi masih sulit diklaim sebagai seutuhnya berada dalam situasi yang Pancasilais. Hal itu disebabkan jika diibaratkan dengan kehidupan cinta, bangsa Indonesia itu baru melakukan pedekate terhadap Pancasila, belum resmi pacaran, tunangan, apalagi menikah. Masalahnya, di dalam hatinya masih ada hate kadua leutik, ‘isi hati yang tersembunyi’ yang menyebabkan sulitnya hubungan pedekate ditingkatkan ke tahapan cinta selanjutnya. Isi hati yang tersembunyi itu berupa penyakit, yaitu kapitalis dan komunis.
Semenjak Presiden ke-1 RI itu sakit, negara pun berguncang-guncang keras. Kemudian, Indonesia berubah menjadi lapangan catur bagi berbagai kepentingan. CIA gerah karena Soekarno dianggap terlalu memberikan peluang kepada PKI dan selalu mbalelo pada Amerika. Inggris berkepentingan (merasa terancam) karena ada proyek Dwikora yang dipersiapkan untuk menghadapi konfrontasi dengan Malaysia. Cina punya kepentingan untuk memegang Indonesia sehubungan dengan pecahnya hubungan RRC-Unisoviet. Soviet tidak mau ketinggalan karena komunis Indonesia lebih dekat dengan Cina. Jepang pun ingin meningkatkan kepentingan ekonominya dengan Indonesia (Eros Djarot : 2006). Kekuatan kapitalis dan komunis mulai berebut tancap gas untuk mendapatkan kekuasaan jika terjadi "sesuatu" terhadap Soekarno karena sakit. Masa-masa indah pun sirna tak kembali lagi dalam waktu yang sangat lama dan harus dibayar oleh berbagai penderitaan anak negeri sampai tulisan ini disusun. Akan tetapi, masa mesra itu pasti kembali. Waktunya, sebentar lagi. Sungguh, sebentar lagi. Bedanya, akan lebih mesra, lebih indah, dan sangat menyenangkan. Kita tinggal menunggu. Biarkanlah kejahatan menghabiskan sisa waktunya yang tinggal beberapa saat lagi itu. Sabarlah sambil terus berbuat baik dan jangan lupa untuk melawan demokrasi dengan cara menjauhkan diri dari setiap kegiatan demokrasi. Semuanya sudah ditetapkan di lauhul mahfudz. Demi Allah swt.