Tuesday 29 December 2020

Veni, Vidi, Vici

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Sering lihat kan orang berpose dalam foto dengan membentuk jari tangannya mengepal, tetapi memunculkan jari telunjuk dan jari tengahnya?

            Jari telunjuk dan jari tengah yang diberdirikan itu membentuk huruf “V”. Banyak orang yang menafsirkan bahwa bentuk huruf V itu mewakili kalimat “veni, vidi, vici” yang artinya “saya datang, saya lihat, saya menang”. Kalimat itu berasal dari bahasa latin yang digunakan oleh Julius Caesar ketika menang bertempur di Zela. Sebagian orang lagi menafsirkan bahwa bentuk jari V itu adalah mewakili kata “victory” yang artinya “kemenangan”. Di samping itu, orang-orang Amerika Serikat membentuk posisi tangan V itu mengartikannya sebagai lambang perdamaian atau tidak menginginkan perkelahian. Biasanya, mereka mengacungkan tangan berbentuk V sambil mengatakan “peace”, ‘damai’.

            Saya juga kalau difoto, sering menggunakan pose tangan seperti itu.




            Baik zaman Julius Caesar maupun awal-awal penggunaan bentuk tangan itu di Amerika Serikat, erat kaitannya dengan situasi perang. Akan tetapi, saat ini, khususnya di Indonesia, perang tidak ada. Oleh sebab itu, semangat dari bentuk jari tangan V itu sangat baik jika diartikan “saya datang dengan potensi diri, saya lihat tantangannya, saya berhasil sukses dalam bersaing dan berkarir, penuh kemenangan dengan cara damai dan penuh persaudaraan”.

            Boleh kan jika menafsirkannya seperti itu?

            Kita kan tidak sedang berperang fisik. Jangan bikin perang fisik jika dalam situasi damai karena akan membangkitkan kemarahan orang-orang yang mencintai perdamaian.

            Pertarungan kita adalah dalam melawan kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, dan ketertingalan hidup.

            Veni, Vidi, Vici, and Victory in Peace.

            Sampurasun

Monday 21 December 2020

Musibah Adalah Akibat Ulah Kita Sendiri

 


oleh  Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Musibah yang diderita manusia, apa pun itu bentuknya, sesungguhnya diakibatkan oleh manusia itu sendiri. Musibah itu semacam hasil dari berbagai kesalahan manusia. Musibah itu bisa berupa dipukuli orang, kecelakaan, rugi, bangkrut, ditangkap polisi, dipenjara, dikucilkan, dll..

            Jika kita terkena musibah, sebaiknya hal pertama yang dilakukan adalah introspeksi diri. Kita harus mempelajari diri sendiri dulu, jangan langsung menyalahkan orang lain. Dengan begitu, kita akan lebih bijak dan lebih berhati-hati bersikap. Bisa jadi memang dalam musibah yang menimpa kita ada orang lain yang terlibat di dalamnya. Akan tetapi, kita harus menyadari bahwa musibah itu terjadi kepada kita, bukan kepada orang lain dan Allah swt mengizinkannya terjadi kepada kita. Balik lagi, kita memang harus introspeksi diri, mendalami diri sendiri, mengingat kesalahan-kesalahan kita sendiri.

            Allah swt sendiri yang menerangkan seperti itu. Perhatikan firman Allah swt dalam QS An Nisa, 4 : 79.

            “Kebaikan apa pun yang kamu peroleh adalah dari sisi Allah dan keburukan apa pun yang menimpamu itu dari (kesalahan) dirimu sendiri….”

            Dengan tegas Allah swt memberitahukan bahwa jika kita mendapatkan kebaikan, itu adalah berasal dari kasih sayang Allah swt kepada kita. Dia yang menganugerahkannya kepada kita. Akan tetapi, jika tertimpa musibah, sesungguhnya itu akibat dari berbagai kesalahan dan kelalaian kita sendiri.

            Perhatikan pula ayat Allah swt berikut ini.

            “Musibah apa pun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS Asy-Syura, 42 : 30)

            Banyak sekali ayat yang senada dan menerangkan tentang musibah yang diakibatkan oleh perilaku kita. Jika saya tulis di sini, akan sangat panjang. Akan tetapi, dua ayat ini saja sudah mencukupi pengetahuan kita tentang dari mana datangnya kebaikan dan musibah itu. Kebaikan berasal dari Allah swt, musibah berasal dari keburukan kita.

            Paling tidak, saya menemukan catatan tiga ahli yang menafsirkan ayat ini, yaitu Ibnu Katsir, Syekh Abdurrahman As Saadi, dan Al Baghawi. Jika disimpulkan tafsir ketiganya, mereka menjelaskan bahwa musibah yang menimpa manusia adalah memang akibat ulah manusia sendiri. Akan tetapi, Allah swt telah banyak memaafkan perilaku buruk kita. Tanpa diminta pun Allah swt telah banyak memaafkan kita. Hal itu dilakukan-Nya karena saking sayangnya kepada umat manusia. Adapun musibah yang terjadi kepada umat Islam adalah untuk membuat kita menjadi lebih baik lagi, lebih banyak belajar, lebih banyak memperbaiki diri agar hidup lebih berkualitas.

            Saya sendiri berpendapat bahwa musibah itu akan membuat manusia lebih mulia dan lebih baik jika mampu mengambil banyak manfaat dari kejadian-kejadian sedih yang menimpanya. Akan tetapi, manusia tidak akan menjadi lebih baik setelah mendapatkan musibah jika tidak mau belajar dari pengalaman hidupnya yang pahit itu.

            Demikian. Jika apa yang saya tulis ini benar, itu berarti datang dari Allah swt. Akan tetapi, jika yang saya tulis ini salah, itu berarti datang dari kebodohan saya sendiri. Semoga Allah swt memaafkan saya dan tak berhenti memberikan petunjuk bagi seluruh manusia. Aamiin.

            Sampurasun.

Thursday 17 December 2020

Universitas Al-Ghifari Paling Rapi

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Beberapa waktu lalu, Universitas Al-Ghifari melangsungkan Wisuda Sarjana XVI Tahun 2019-2020. Sebelumnya, berminggu-minggu sudah terjadi perdebatan apakah akan dilaksanakan secara online atau offline. Persoalannya jelas, ini gara-gara pandemi Covid-19. Akhirnya, disepakati wisuda dilaksanakan secara hybrid, mahasiswa boleh memilih untuk ikut secara online atau secara offline. Bagi yang memilih offline, dapat hadir langsung ke tempat wisuda. Bagi yang memilih online, boleh mengikuti dari rumah masing-masing melalui zoom atau streaming di YouTube. Mayoritas memilih untuk mengikuti offline. Memang, kalau wisuda melalui internet itu, kurang afdol, kurang rasa, tetapi itu boleh dilakukan.

            Untuk melaksanakan wisuda secara offline dalam arti tatap muka dan hadir langsung, dilakukan pengamanan protokol kesehatan yang berlapis-lapis. Pertama, jumlah panitia dikurangi hingga seperempatnya. Kedua, mahasiswa yang wisuda harus datang sendirian, tidak boleh diantar siapa pun, termasuk orangtua, kerabat, atau pasangannya dilarang ikut ke acara wisuda. Ketiga, panitia dan peserta harus melakukan rapid test antibody yang dibuktikan dengan surat sah dan hasilnya harus nonreaktif, bagi yang reaktif tidak boleh ikut. Selain itu, meskipun nonreaktif, tetapi tidak membawa surat hasil tes rapid, tetap tidak boleh mengikutinya. Keempat, undangan pun dibatasi. Para pejabat seperti Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil hanya memberikan sambutan dan ucapan selamat melalui internet. Kelima, ruangan untuk wisuda yang sebetulnya bisa menampung seribu orang, hanya boleh diisi oleh 250 orang. Keenam, disediakan ratusan hand sanitizer. Ketujuh, baik panitia maupun peserta harus menggunakan masker, lalu ditutup lagi wajahnya dengan face shield, ditambah lagi dengan gloves atau sarung tangan. Benar-benar tertutup.





            Dengan pengamanan protokol kesehatan berlapis-lapis itu, ketika aparat Satgas Covid-19 yang sah dari pemerintah melakukan pengecekan protokol kesehatan, pihak Universitas Al-Ghifari sudah sangat siap dengan jawaban dan bukti-bukti.

            Oleh sebab itu, Satgas Covid-19 pun berujar, “Al-Ghifari paling rapi dari segi protokol kesehatan.”




            Kami bersyukur, acara berjalan lancar, tidak dibubarkan, tak ada masalah, kesehatan terjaga, dan tidak menyisakan tuntutan-tuntutan hukum. Semua baik-baik saja, alhamdulillah.

            Pada akhir acara, saya perintahkan teman-teman panitia agar para wisudawan segera makan siang, lalu secepatnya pulang. Inilah yang paling sulit dikendalikan. Para orangtua, kerabat, pasangan-pasangannya sudah banyak menunggu di luar gedung, terjadilah seperti biasa, selfie-selfie, foto bareng keluarga, dan gembira bersama para dosen. Hal itu sesungguhnya lumayan mengkhawatirkan, tetapi beruntung hal itu terjadi hanya sebentar. Mereka pun langsung segera pulang sebagai sarjana yang sah bersama orang-orang terdekatnya.

            Selepas acara di dalam gedung pun mirip yang terjadi di luar gedung.

            Para wisudawan banyak yang meminta saya untuk berfoto bersama mereka, “Pak, foto dong Pak sama saya.”

            “Pak minta foto bareng sama Bapak.”



            Ini soal perasaan. Soal rasa kangen. Rasa akrab. Rasa bahagia. Rasa bersyukur.



            Saya yang awalnya ragu--sekali lagi, gara-gara Covid—akhirnya terpancing juga, malah saya jadinya yang mengajak beberapa wisudawan untuk berfoto bersama. Perasaan memang sulit dikendalikan.




            Dalam pikiran saya, “Tenanglah, kan semuanya sudah dinyatakan nonreaktif secara sah dengan surat yang bisa dipertanggungjawabkan.”

            Saya makin tak ragu berfoto bersama mereka.




            Bersyukur, karena upaya pengamanan yang berlapis-lapis itu, kami semua baik-baik saja.




            Para wisudawan yang saya asuh sejak mereka lulus SMA selama beberapa tahun dari berbagai daerah di Indonesia itu sekarang sudah menjadi sarjana dan mulai harus melangkah menata kehidupannya di luar sana untuk menjadi manusia yang lebih baik dan bermanfaat di tengah masyarakat. Artinya, ada waktu yang tidak sebentar dilalui bersama sebelum akhirnya berpisah untuk menapaki fase kehidupan berikutnya.




            “Bral geura miang makalangan, Bapa mah ukur bisa maturan ku doa ti kaanggangan”.




            Sampurasun.