Instabilitas Politik

Demokrasi Penyebab Instabilitas Politik Nasional

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Satu-satunya syarat untuk dapat melaksanakan pembangunan sesuai dengan cita-cita nasional adalah terciptanya stabilititas politik nasional. Tujuan pembangunan nasional Negara Republik Indonesia adalah sebagaimana yang tercantum dalam alinea keempat Preambul UUD 1945, yaitu:

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraaan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tujuan tersebut hanya bisa dicapai jika tercipta stabilitas politik nasional sebagaimana yang diungkapkan dalam Pidato Pertanggungan Jawab Presiden ke-2 RI, Soeharto, 12 Maret 1973:

Stabilitas itu berarti keadilan politik di tanah air ini haruslah berkembang tumbuh dan sesuai dengan landasan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan sewajarnya, tanpa adanya pergolakan-pergolakan politik yang menimbulkan kegoncangan-kegoncangan dalam masyarakat apabila dengan bentrokan-bentrokan atau ketegangan-ketegangan yang meruncing, yang tidak memungkinkan diadakannya usaha-usaha pembangunan dan kegiatan-kegiatan konstruktif lainnya yang berlanjut dalam jangka waktu yang relatif cukup panjang.

Itulah satu-satunya pengertian mengenai stabilitas politik nasional yang bisa saya temukan dari ratusan buku dan atau literatur lain. Sungguh, saya tak menemukan pengertian yang jelas mengenai stabilitas politik nasional dari siapa pun selain dari Soeharto. Kalau di antara pembaca ada yang mengetahui pengertian lain dari sumber lain, saya sangat senang jika diberi tahu. Soeharto adalah simbol Orde Baru atau gambar langsung yang ada di benak sebagian besar masyarakat tentang Demokrasi Pancasila. Masa itu adalah masa suram yang digugat mahasiswa dan rakyat untuk kemudian dijatuhkan karena dianggap merugikan. Hal itu memang benar terjadi, saya setuju bahwa Orde Baru memang harus digusur, tetapi secara substansi, pemahaman dan atau pendapat Soeharto mengenai stabilitas politik tidaklah salah. Uraian mengenai stabilitas politik pada pidato pertangungjawabannya pada 12 Maret 1973 mengandung kebenaran yang sangat tinggi. Seluruh kalangan tidak akan membantah bahwa pembangunan dan kegiatan-kegiatan konstruktif untuk mencapai tujuan nasional tidaklah akan terwujud jika kehidupan politik tidak dibiarkan berkembang sewajarnya serta terjadi bentrokan-bentrokan politik yang meruncing. Artinya, pembangunan dan kegiatan-kegiatan konstruktif lainnya dapat terlaksana untuk mencapai tujuan nasional jika kehidupan politik dibiarkan berkembang sewajarnya tanpa adanya bentrokan-bentrokan politik yang meruncing.

Untuk melaksanakan kegiatan berbangsa dan bertanah air, Indonesia menggunakan sistem politik demokrasi. Sistem itu dianggap sistem terbaik yang dapat mengantarkan Indonesia mencapai cita-cita nasionalnya, sebagaimana dalam Pembukaan UUD 1945. Akan tetapi, dalam kenyataannya sampai hari ini jangankan mencapai tujuan pembangunan nasional, kondisi politik nasionalnya sendiri tidak pernah tercipta secara stabil. Dari seluruh masa demokrasi yang terjadi di negeri ini, yaitu: Demokrasi Awal Kemerdekaan, Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila, dan Demokrasi Masa Reformasi, situasi yang tercipta adalah kegoncangan dan bentrokan politik berlarut-larut yang bersumber dari kepentingan setiap kelompok yang bertikai, bukan untuk kepentingan rakyat. Soal kegoncangan, bentrokan, dan konflik dalam setiap masa demokrasi, ada pada tulisan lain dalam blog ini.

Pertengkaran dan hiruk pikuk konflik dalam setiap masa demokrasi itu menunjukkan bahwa bangsa Indonesia berada jauh dari filsafat dasarnya sendiri, yaitu Pancasila. Hal itu disebabkan intisari nilai luhur Pancasila adalah gotong royong. Gotong royong memiliki pengertian berbanding terbalik dengan bentrokan, pertengkaran, atau konflik. Konflik itu jauh berbeda dengan gotong royong, bagaikan antara tanah dan langit atau antara minyak dan air.

Menurut Hasan (2002) dalam Soeprapto (2004), Pancasila itu jika diperas menjadi Trisila. Trisila dapat diperas lagi menjadi satu sila yang disebut Eka Sila, yaitu gotong royong. Jadi, gotong royong adalah intisari dari seluruh sila yang ada dalam Pancasila.

Gotong royong sendiri merupakan suatu istilah asli Indonesia yang berarti bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu hasil yang didambakan. Bersama-sama dengan musyawarah, pantun, Pancasila, hukum adat, ketuhanan, dan kekeluargaan, gotong royong menjadi dasar filsafat Indonesia (http://id.wikipedia.org). Di samping itu, gotong royong pun merupakan suatu kegiatan yang bersifat suka rela. Dengan demikian, segala sesuatu yang dikerjakan dapat lebih mudah dan cepat diselesaikan. Bukan itu saja, dengan adanya kesadaran setiap elemen atau lapisan masyarakat dalam menerapkan perilaku gotong royong, hubungan persaudaraan atau silaturahim akan semakin erat. Berbeda dengan cara individualisme yang mementingkan diri sendiri. Cara individualisme akan memperlambat pekerjaan karena dapat menimbulkan keserakahan dan kesenjangan (http://pajriblog.blogspot.com).

Tambahan pula, gotong royong adalah suatu budaya kerja. Budaya kerja menurut Gering Supriyadi dan Tri Guno dalam http://community.gunadarma.ac.id adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan, dan pendorong yang dibudayakan dalam suatu kelompok dan tecermin dalam sikap menjadi perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan, serta tindakan yang terwujud sebagai kerja.

Budaya kerja memiliki tujuan untuk mengubah sikap dan juga perilaku SDM yang ada agar dapat meningkatkan produktivitas kerja untuk menghadapi berbagai tantangan pada masa yang akan datang.
Adapun tujuan dan manfaat dari gotong royong adalah (1). Meningkatkan kebersamaan, (2) Saling terbuka satu sama lain, (3) Meningkatkan jiwa kekeluargaan, (4) Meningkatkan rasa kekeluargaan, (5) Membangun komunikasi yang lebih baik, (6) Meningkatkan produktivitas kerja, dan (7) Tanggap terhadap dengan perkembangan dunia luar.

Untuk mengukur apakah bangsa ini  berada dalam suasana Pancasilais atau tidak hanya bisa diukur dengan satu frasa itu, gotong royong. Jika tercipta gotong royong, berarti Pancasilais. jika tidak, berarti jauh dari Pancasila. Jika terjadi gotong royong, berarti stabil. Jika tidak, berarti tidak stabil.

Dari keseluruhan periode bangsa ini pasca-kemerdekaan, situasi tidak pernah stabil benar-benar. Ada memang satu masa indah yang dekat sekali dengan Pancasila, tetapi itu berlangsung hanya sebentar, seumur waktu yang diperlukan seorang anak untuk lulus sekolah dasar. Mengenai masa ini ada dalam tulisan khusus dalam blog ini. Masa indah itu harus berakhir karena demokrasi memaksanya untuk berhenti. Selanjutnya, bangsa ini pun kembali dalam kondisi tidak stabil.

Situasi penuh konflik, berarti jauh dari gotong royong. Hal itu menunjukkan pula situasi yang sama sekali berada di luar keluhuran nilai Pancasila. Karena jauh dari Pancasila, situasi menjadi tidak stabil. Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan goncangan meruncing dan keadilan politik tidak tumbuh sewajarnya. Hal itu merupakan situasi dan kondisi yang sama sekali tidak mendukung terciptanya syarat bagi pencapaian tujuan pembangunan nasional.

Dengan demikian, demokrasi dengan segala bentuknya, ternyata menimbulkan banyak konflik dan kegoncangan meruncing yang menjauhkan negeri ini dari filsafat dasarnya sendiri, yaitu Pancasila yang memiliki intisari gotong royong. Akibatnya, stabilitas politik nasional tidak pernah benar-benar tercipta. Hal itu menandakan bahwa negeri ini tidak akan pernah memiliki pijakan yang kuat berupa stabilitas politik nasional untuk mencapai cita-cita pembangunan nasional. Artinya, selama menggunakan sistem politik demokrasi, negeri ini akan selalu tidak stabil, apalagi sampai mencapai cita-cita nasional untuk kepentingan bersama. Demi Allah swt.