Thursday 31 October 2019

Tentang Maulid Nabi saw

oleh Tom Finaldin



Bandung, Putera Sang Surya
Dari sejak saya kecil, persoalan perayaan Maulid Nabi  atau yang kita kenal dengan istilah muludan, selalu seru. Ada yang pro ada juga yang kontra, ada yang suka ataupun ada yang tidak. Perayaan Maulid Nabi sendiri merupakan semacam peringatan atas kelahiran Nabi Muhammad saw. Menurut saya, sebaiknya biasa saja menghadapinya. Mereka yang suka dengan perayaan tersebut, dipersilakan untuk merayakannya. Bagi mereka yang tidak suka merayakannya, ya biasa saja. Tidak perlu bertengkar soal itu. Mereka yang merayakannya punya alasan sendiri. Demikian pula mereka yang tidak merayakannya, punya alasan sendiri. Tenang sajalah.

            Bagi saya sendiri, peringatan maulid Nabi memiliki nilai positif sepanjang dirayakan secara positif, tidak dipenuhi hal-hal negatif. Peringatan maulid Nabi saw adalah soal rasa dan soal pendidikan. Bagi mereka yang mengenal Nabi Muhammad saw, sangat besar kecintaannya. Dengan demikian, peringatan Maulid Nabi merupakan dorongan cinta dari dalam diri umatnya kepada Muhammad saw. Rasa cinta itu ditularkan kepada setiap generasi, salah satunya melalui peringatan maulid Nabi saw yang di dalamnya memuat kisah-kisah Sang Nabi saw.

            Agar generasi muda muslim memiliki kecintaan yang besar kepada Nabi Muhammad saw, muludan adalah sarana yang tepat untuk memperkenalkan sosok Sang Nabi. Dengan mengenal Nabi Muhammad saw, diharapkan makin tebal kecintaan kita kepadanya.

            Bukankah tak kenal, maka tak sayang?

            Bagaimana kaum muslim akan mencintai Nabi Muhammad saw jika tidak mengenalnya dengan baik?

            Di samping itu, mencintai Nabi Muhammad saw adalah kewajiban yang menimbulkan pahala. Artinya, jika tidak mencintainya, memunculkan dosa.

            Hal ini bisa dilihat dalam  Firman Allah swt QS At Taubah : 24.

            “Katakanlah, ‘Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya.’ Selain itu, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.”

            Di dalam ayat itu jelas sekali bahwa yang pertama harus dicintai adalah Allah swt, kemudian Rasul-Nya, lalu jihad di jalan-Nya. Jika salah urutan dalam mencintai, dalam arti kata memposisikan Allah swt, Rasul, dan Jihad di pinggir urusan yang lain, bahkan duniawi, tunggulah tindakan Allah swt kepada diri kita yang jelas tidak menguntungkan kita.

            Untuk menumbuhkan rasa cinta kepada Muhammad Rasulullah saw, salah satunya adalah dengan menggunakan peringatan Maulid Nabi. Dengan muludan, kita akan mengenal lebih dekat sosok Muhammad saw. Setelah kenal dan memahami betapa besar cintanya kepada umat manusia, perasaan cinta kita pun akan tumbuh perlahan, namun pasti. Dengan tumbuhnya rasa cinta, pahala pun akan kita dapatkan. Insyaallah.

            Bagi yang tidak menyukai maulidan atau muludan, silakan saja dan tidak perlu ambil sikap bermusuhan. Bagi yang menyukai peringatan maulidan ataupun muludan, gunakan acara itu sebagai media mengenal Sang Rasul dengan lebih dekat, lebih baik, hingga mendorong diri kita menjadi umat Islam dengan pribadi yang unggul dalam memanifestasikan Islam rahmatan lil alamin.

            Sampurasun.

Tuesday 29 October 2019

Rakyat Harus Menjadi Penyeimbang


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Pemerintahan Indonesia yang sekarang dipimpin Jokowi-Maruf Amin (2019-2024) sangat kuat, bahkan terlalu kuat. Ini sangat mengkhawatirkan. Pemerintahan yang terlalu kuat dengan oposisi yang terlalu lemah akan membuat pemerintah terlalu nyaman dalam menggunakan kekuasaannya. Hal ini dikhawatirkan akan mudah tergelincir ke dalam kesalahan karena lemahnya pengawasan.

            Bergabungnya Prabowo menjadi Menteri Pertahanan RI membuat pemerintahan Jokowi menjadi super kuat. Kekuatan kritik menjadi sangat lemah. Hal itu disebabkan Prabowo menjadi bagian dari Jokowi.

            Pada satu sisi ini bisa dipahami karena pemerintah dan masyarakat merasa terganggu dengan adanya kelompok-kelompok masyarakat yang dianggap radikal, intoleran, dan berujung pada tindakan terorisme. Penyesatan-penyesatan pikiran dengan menggunakan agama dipandang mengganggu eksistensi nilai-nilai, norma-norma, dan wawasan kebangsaan yang selama ini dibangun dan diperkokoh. Bergabungnya Prabowo menjadi bagian Jokowi membuat kekuatan kelompok-kelompok yang dianggap pengganggu ini menjadi lemah dan mereka yang pro-kebangsaan menjadi sangat kuat. Pilar-pilar bangsa menjadi teramat kuat karena pendukungnya menjadi bertambah kuat. Prabowo tidak lagi bisa dibebani menjadi kendaraan bagi kelompok-kelompok yang dianggap mengganggu sistem kebangsaan Indonesia.

            Di sisi lain besarnya kekuatan ini dikhawatirkan melemahkan upaya perbaikan dan menganggap semuanya selalu baik-baik saja. Padahal, yang namanya manusia, siapa pun dia, tidak bisa terlepas dari kekurangan, kelemahan, dan kesalahan. Pada bagian inilah diperlukan upaya penyeimbangan dari kelompok lain di luar pemerintahan. Karena lemahnya kekuatan penyeimbang di dalam parlemen, masyarakat harus ambil bagian aktif memberikan banyak kritikan dan masukan untuk menambal dan mengingatkan perbaikan terhadap bolong-bolong ataupun berbagai kelemahan yang ada dalam proses penyelenggaraan negara.

            Masyarakat harus belajar membuat kritikan yang tujuannya membantu dan mendorong pemerintahan agar lebih baik lagi. Kritikan itu bisa lembut, tegas, bahkan keras. Akan tetapi, semuanya harus berisi kritikan konstruktif, bukan hoax, nyinyiran, ataupun pembunuhan karakter yang dimaksudkan untuk menghancurkan pemerintahan, apalagi merusakkan eksistensi bangsa dan negara.

            Masyarakat wajib membedakan antara kritik dengan dusta atau ujaran kebencian. Kritikan itu harus berdasarkan data dan fakta yang jelas. Kalau bisa, sertakan pula solusi-solusinya. Kalaupun tidak bisa memberikan solusi, tetap saja kritikan dan protes itu harus mencerdaskan, konstruktif, dan bernilai informasi yang ilmiah. Berbeda dengan ujaran kebencian atau hoax yang dasarnya adalah emosi dan penyesatan pikiran.

            Apabila masyarakat banyak membuat hoax, ujaran kebencian, provokasi murahan yang bertujuan menciptakan konflik, pemerintah akan banyak memiliki alasan untuk melakukan tindakan represif dengan tindakan memaksa yang sangat keras. Hal tersebut sangat tidak produktif dan hanya menyedot energi dengan sia-sia, tak ada hasilnya, kecuali kesemrawutan. Masyarakat harus rajin membuat kritikan dengan fakta-fakta akurat sehingga tidak terjerat hukum, tidak dianggap mengganggu, bahkan akan menjadi penyambung lidah rakyat dalam menyuarakan keluh kesah masyarakat terhadap pemerintah. Dengan demikian, pemerintah mendapatkan dorongan dan kesadaran untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas dirinya dalam menyelenggarakan negara.

            Sampurasun.

Sunday 27 October 2019

Rezeki Tidak Selalu Linear dengan Pekerjaan


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Orang umumnya menyangka bahwa rezeki itu selalu bergantung pada jenis pekerjaan, jabatan, atau instansi tempat kita bekerja. Biasanya, kita menyangka bahwa rezeki kita selalu harus mengalir dari tempat kita bekerja. Dengan demikian, kita selalu bergantung pada pekerjaan kita. Lebih jauh lagi, sering sekali terlalu banyak menghitung untung-rugi antara aktivitas yang kita lakukan dengan hasil materi yang kita dapatkan dari tempat kita bekerja. Padahal, kenyataan banyak yang menunjukkan hal sebaliknya. Banyak rezeki yang datang dari jalan yang tidak disangka-sangka dan bukan dari tempat kita bekerja.

            Bukankah sudah berkali-kali kita mendapatkan contoh bahwa ada anak pengayuh becak yang lulus perguruan tinggi dengan nilai yang sangat baik? Bahkan, melanjutkan program master di luar negeri, kemudian menjadi dosen teladan?

            Dari mana Tukang Becak itu mendapatkan uang untuk menyekolahkan anaknya ke luar negeri?

            Bukankah sering ada marbot masjid yang kemudian mampu berangkat umroh bahkan berhaji?

            Bukankah ada contoh pedagang asongan yang kemudian menjadi pengusaha sukses?

            Dari mana modal yang mereka miliki untuk mendapatkan semua itu?

            Jika dihitung dari tempat mereka bekerja saja, penghasilan mereka tidak akan cukup untuk mendapatkan rezeki yang mereka raih.

            Jika kita perhatikan, banyak di antara mereka yang bekerja sungguh-sungguh di tempatnya bekerja dalam kondisi apa pun, sedangkan rezeki mereka tidak bergantung dari tempat mereka bekerja saja. Kesungguhan, keuletan, keikhlasan mereka menarik rezeki dari tempat lain yang tidak mereka duga.

            Kita tahu bahwa Sang Pengatur Rezeki adalah Allah swt. Ketika Allah swt menilai bahwa seseorang layak untuk diberikan rezeki lebih, tak ada seorang pun dan tak ada sesuatu pun yang menghalangi antara dia dengan rezeki-Nya.

            Syukurilah jika kita memiliki pekerjaan karena memiliki pekerjaan adalah anugerah. Pekerjaan adalah sarana kita untuk melayani orang lain. Pekerjaan pun merupakan alat untuk mengabdikan diri kepada Allah swt. Tentunya, pekerjaan positif dan bukan pekerjaan negatif. Bekerjalah sungguh-sungguh di tempat Allah swt memposisikan kita. Bekerja optimal tentang tugas-tugas kita dengan baik dan jangan banyak menilai atau menggurui atasan kita. Tugas kita adalah mengerjakan apa yang menjadi bagian kita. Biarkan atasan, klien, atau konsumen yang melihat hasil kerja maksimal kita. Sungguh, ada perbedaan antara mereka yang bekerja dengan rajin dan disiplin dengan mereka yang ogah-ogahan atau seenaknya.

            Kalau merasa tidak cocok dengan pekerjaan saat ini, jangan rusakkan citra diri kita di tempat kerja. Bersabarlah hingga Allah swt menunjukkan tempat lain atau bidang lain yang lebih baik bagi kita dan kita dikondisikan Allah swt untuk menempati posisi lain di tempat lain ataupun di tempat yang sama.

            Sungguh, tak ada satu tempat pun dan tak ada satu orang pun yang luput dari perhatian Allah swt. Allah swt sangat menyukai orang-orang baik, pekerja keras, jujur, tekun, dan sabar dalam menerima keputusan Allah swt.

            Rezeki itu Allah swt yang mengatur. Berbuatlah baik di mana saja kita berada. Insyaallah, Allah swt tak akan mengurangi rezeki kita sedikit pun. Dia tak pernah tidur dan tak pernah merasa berat untuk mengurus kita setiap hari.

            Sampurasun.

Tuesday 15 October 2019

Jangan Demonstrasi pada 20 Oktober 2019

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Hal ini sudah saya diskusikan berulang-ulang dengan murid-murid saya, baik yang di MA Mawaddi, Kamasan, Banjaran; Universitas Al Ghifari, Fisip, HI, Bandung; maupun di STAI Yamisa, Soreang. Bagi siswa MA Mawaddi, jelas mereka tidak boleh ikut demonstrasi karena masih di bawah umur, belum mempunyai kecakapan dalam berurusan dengan hukum. Bagi mahasiswa, boleh berdemonstrasi, tetapi jangan pada 20 Oktober 2019. Hal itu disebabkan  hari itu adalah pelantikan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Maruf Amin. Sebaiknya, kalau mau demonstrasi, mulai pada 21 Oktober 2019 saja. Damai, tertib, dan logis. Hal ini sudah saya diskusikan dengan murid-murid saya sebelum adanya adanya larangan dari pihak berwenang untuk tidak demonstrasi mulai 15 s.d. 20 Oktober 2019. Mudah-mudahan larangan atau imbauan ini dipatuhi untuk kebaikan bersama dan tidak ada yang mengacaukannya.

            Pada tanggal 20 itu seluruh dunia melihat Indonesia, punya banyak harapan terhadap Indonesia. Sebaliknya, Indonesia pun punya banyak harapan terhadap dunia agar dapat menggunakan energi dunia untuk kepentingan bangsa dan rakyat Indonesia. Teorinya sederhana saja. Indonesia dikenal sebagai bangsa yang paling ramah di dunia. Indonesia pun membutuhkan banyak investasi, baik dari dalam maupun dari luar negeri untuk membangun ekonomi dan peradaban. Jika terjadi demonstrasi pada tanggal itu, keramahan rakyat Indonesia akan tercoreng oleh aksi-aksi kekerasan dan tidak terpelajar karena bisa dilihat bahwa beberapa aksi demonstrasi kemarin-kemarin berakhir dengan tidak terkendali, ricuh, dan menimbulkan korban jiwa meskipun dengan “dalih ada kelompok lain yang anarkis”. Di samping itu, iklim investasi di Indonesia pun bisa terganggu karena setiap pemodal yang ingin berinvestasi selalu melihat stabilitas keamanan di tempat mereka hendak berinvestasi.

            Contoh mudah adalah jika kita memiliki uang Rp25 juta dan hendak mendirikan warung atau kios di sebuah tempat, tetapi di tempat itu situasinya tidak aman, banyak keributan, premanisme, dan tidak tertib, akankah kita melanjutkan rencana kita untuk berdagang di tempat itu?

            Pasti tidak, bukan?

            Kita pasti ingin berdagang di tempat yang tenang, aman, tertib, berpenduduk banyak, dan berdaya beli tinggi.

            Begitulah para investor asing, akan membatalkan niatnya menanamkan modal di Indonesia jika tidak tertib, tidak aman, banyak huru-hara, dan aksi kekerasan. Bahkan, para pemodal dari dalam negeri pun bisa keluar dari Indonesia dan menanamkan modalnya di luar negeri. Ini pernah terjadi pascareformasi 1998. Karena banyak aksi-aksi lanjutan yang membuat para pengusaha “kesusahan”, akhirnya para pengusaha dalam negeri mengalihkan usahanya ke luar negeri, seperti, Vietnam, Thailand, dan Filipina.

            Kalau Indonesia sudah dinilai tidak menjadi tempat aman untuk berbisnis, siapa yang rugi?

            Kita semua yang rugi. Perusahaan berkurang dan menjadi lesu, penerimaan pajak berkurang, lapangan kerja semakin sulit, pengangguran makin banyak, efeknya kriminalitas meningkat, tanah air Indonesia pun bisa turun dari negara berkembang menjadi negara terbelakang. Kita bisa lihat negara-negara luar yang tidak aman dan gemar berkelahi, turun menjadi negara terbelakang, miskin, dan sulit untuk memperbaiki diri.

            Jangan demonstrasi pada 20 Oktober 2019. Tetaplah menjadi rakyat ramah yang mampu mewujudkan iklim usaha yang menyenangkan.

            Sampurasun.

Monday 14 October 2019

Soal Penusukan Wiranto


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Sebetulnya, malas menulis hal ini karena semuanya sudah jelas. Media “mainstream” sudah jelas memberitakan, para ahli bedah sudah menerangkan, para tokoh sudah menjenguk, rumah sakit sudah menangani, penusuknya sudah ditangkap, saya sendiri sudah menulis berulang-ulang bagaimana caranya membedakan berita hoaks atau berita yang sahih.

            Mau apa lagi?

            Kalau soal banyak yang menganggap hal itu berita “setingan” atau tidak benar, tinggal baca saja tulisan saya yang lalu-lalu berisi cara menentukan berita yang benar atau hoaks. Gunakan saja cara itu. Kalau  masih tidak bisa, berarti memang belum bisa menggunakan cara itu atau memang tidak mau menerima “kebenaran”.

            Saya menulis ini karena banyak sekali yang bertanya. Setiap hari sejak penusukan itu, orang-orang selalu bertanya.

            “Kang, bagaimana Wiranto?”

            “Pak, Wiranto kenapa?”

            “Gimana Wiranto, benar itu teh kejadian?”

            Banyak sekali jenis pertanyaan seperti itu.

            Kadang saya bertanya dalam hati, mengapa harus bertanya sama saya?

            Akan tetapi, saya jawab juga sih dengan malas-malas dikit.

            Sekarang, saya coba mix antara ilmu pengetahuan modern dengan teknik Imam Bukhari. Sebetulnya, keduanya sama saja tujuannya, yaitu mendapatkan kebenaran yang sahih. Untuk menentukan berita suatu peristiwa adalah benar atau tidak atau diragukan, harus diperiksa “sumber primer” atau sumber utama dari berita tersebut. Sumber primer dalam suatu hadits adalah “orang-orang yang melihat, mendengar, bersentuhan, atau terlibat langsung dengan Nabi Muhammad saw”. Merekalah yang jelas benar berada di tempat kejadian tersebut. Merekalah yang layak dipercaya untuk mengabarkan suatu berita tentang Nabi Muhammad saw kepada generasi selanjutnya hingga sampai kepada kita.

            Demikian pula dengan yang terjadi terhadap Menkopolhukam Wiranto. Orang-orang yang layak dipercaya tentang berita penusukan Wiranto adalah mereka yang berada di tempat kejadian perkara karena mereka mendengar, melihat, bersentuhan, atau terlibat langsung dengan Wiranto. Dari merekalah berita yang lebih benar tentang Wiranto, baik di tempat penusukan, di Puskesmas, maupun di rumah sakit.

            Ketika ada yang menyebarkan bahwa berita itu adalah “setingan”, mereka para pembuat berita nyinyir itu ada di mana? Ada di tempat kejadian? Atau hanya lihat televisi, lalu memutarbalikkan fakta? Bagaimana mungkin kita percaya berita yang disampaikan oleh orang-orang yang tidak jelas?

            Sampai di sini paham, kan? Bisa, kan?

            Cukupkah jika ada di tempat kejadian, bisa dipercaya?

            Kalau tentang hadits, tidak cukup. Mereka yang mengabarkan berita tentang Nabi Muhammad saw harus orang yang cerdas, jujur, dikenal sebagai orang baik, bukan pelupa, memahami agama dengan baik, tidak gemar berbohong. Bahkan, kabarnya, Imam Bukhari meragukan berita suatu hadits jika melihat penyampai berita itu berbohong kepada hewan sekalipun. Misalnya, membohongi ayam dengan cara pura-pura akan memberinya makan, tetapi setelah ayam itu ditangkap, bukannya diberi makan, melainkan disembelih. Hadits yang disampaikan oleh orang tersebut ditinggalkan oleh Imam Bukhari. Oleh sebab itu, Bukhari berkeliling kesana-kemari, ke Irak, Yaman, Medinah, Mekah, dan negeri-negeri lain untuk mendapatkan “sumber primer” yang bisa dia percaya. Tak heran jika Imam Bukhari menjadi sumber penting umat Islam tentang hadits-hadits.

            Begitu juga berita tentang penusukan Wiranto, harus dicek orang yang menyampaikan beritanya. Siapa dia? Apa pekerjaannya? Bagaimana perilakunya? Berita-berita yang disampaikan sebelumnya bagaimana?

            Kalau tidak jelas, bahkan gemar berdusta, buat apa dipercaya?

            Di samping itu, pelajari secara utuh berita yang ada, jangan hanya dibaca judulnya. Judul itu sengaja memang dibuat provokatif oleh para wartawan agar tulisannya dibaca orang. Saya juga begitu kok kalau lagi bikin tulisan, judulnya diusahakan provokatif agar orang mau baca. Banyak orang yang memposting tentang Wiranto dari Liputan6, CNNINDONESIA, atau link lainnya yang menulis judul bahwa Wiranto sadar dan tidak mengalami pendarahan. Akan tetapi, ketika berita itu dibaca utuh, ternyata Wiranto memang ditusuk dengan luka tusukan cukup dalam. Soal pendarahan ekstrim atau tidak, itu kan bergantung dari kondisi kesehatan orang itu, adanya lapisan-lapisan tertentu di dalam tubuh. Ahli bedah yang pantas menerangkan hal ini. Bukan saya dan bukan orang-orang yang sok tahu tentang kesehatan. Kita juga suka begitu kok, kalau terluka, suka berhenti sendiri darahnya. Cepat atau lambatnya darah berhenti bergantung pada zat pembeku darah yang ada dalam tubuh kita dan kemampuan tubuh kita dalam memperbaiki sel-sel tubuh (nyanyahoanan saeutik).

            Begitu ya, sedikit aja dulu. Bisi pusing, lieur. Masih panjang ilmu tentang langkah-langkah mendapatkan data dan fakta untuk ditarik menjadi sebuah simpulan.

            Kalau lieur, ngobrol aja. Santai saja ngobrolnya, nggak perlu tegang.

            Sampurasun

Monday 7 October 2019

Lupa Ayat Pertama?


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Masih ingat ayat pertama yang diturunkan Allah swt kepada Muhammad saw?

            Kalau masih ingat, kenapa tidak dilaksanakan?

            Kalau sudah lupa, saya ingatkan kembali.

            Ayat pertama yang diturunkan Allah swt kepada Muhammad saw yang sebetulnya diturunkan juga untuk kita adalah “Iqra”. Kita biasa mengartikannya dengan “Baca”. Itu perintah Allah swt.

            Baca diri kita, baca lingkungan kita, baca situasi, baca ilmu pengetahuan, baca ayat-ayat Allah swt, baik yang tertulis maupun tidak. Baca hasil pemikiran orang lain, baik yang positif maupun negatif. Baca segala sesuatu yang pro maupun yang kontra. Dengan itulah kita bisa menggunakan akal kita untuk menganalisa, merenung, berpikir, membandingkan, lalu mengambil kesimpulan, pendapat,  saran, dan melakukan tindakan.

            Jika kita menggunakan pengertian iqra sebagaimana yang diajarkan Quraish Shihab, jauh lebih luas dan lebih dalam lagi. Quraish Shihab mengartikan “iqra” dengan perintah “kumpulkan”. Kita harus mengumpulkan data, informasi, berbagai ilmu pengetahuan, pemahaman mengenai Allah swt, duniawi, materialistik, potensi diri, kawan dan lawan bicara kita, dasar dan akibat tindakan-tindakan kita, dan lain sebagainya. Dengan mengumpulkan berbagai informasi itu, kita dapat melakukan analisa dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, kita bisa semakin bijak dan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.

            Adapun iqra yang biasa kita artikan sebagai “baca”, sesungguhnya salah satu dari aktivitas mengumpulkan, yaitu mengumpulkan huruf-huruf. Huruf dikumpulkan menjadi kata-kata. Kata dikumpulkan menjadi kalimat-kalimat. Kalimat dikumpulkan menjadi paragraf-paragraf. Paragraf dikumpulkan menjadi wacana. Wacana dikumpulkan menjadi karya tulis, tabloid, koran, prosiding, majalah, dan buku-buku fiksi maupun nonfiksi.

            Betapa pentingnya “iqra” bagi kehidupan manusia sehingga Allah swt menempatkannya pada ayat pertama kepada Nabi Muhammad saw. Jika melakukan iqra sebelum berbicara dan bertindak, kita akan menjadi bijak dan selamat karena ucapan dan tindakan kita didasari ilmu pengetahuan. Sayangnya, manusia sering meninggalkan iqra sehingga berbicara dan bertindak atas dasar emosinya. Akibatnya, ucapan dan tindakannya lemah, tidak berkualitas, bahkan cenderung menyesatkan dirinya sekaligus menyesatkan orang lain. Syetan pun bersama dengan orang-orang yang menyesatkan seperti ini.

            Keributan, huru-hara, saling maki, hoaks, kedustaan, kebencian, dan berbagai keburukan lainnya diakibatkan banyak yang tidak melakukan iqra sebelumnya. Kebanyakan manusia bertindak atas dasar ego, emosi, pemahaman dangkal, dan kepentingan sesaatnya. Manusia banyak dikendalikan oleh hawa nafsu rendahnya.

            Tak ada kata terlambat untuk memperbaiki situasi. Selama hayat masih dikandung badan, kesempatan perbaikan itu masih ada. Pahami dulu, baca diri, kumpulkan informasi seutuhnya mulai dari diri sendiri, mulai dari hal yang paling kecil, dan mulai saat ini juga. Insyaallah, tindakan kita diridhoi Allah swt serta membuat diri kita dan lingkungan kita akan jauh lebih baik.

            Sampurasun.

Saturday 5 October 2019

Demo Damai Berhasil


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Masyarakat dan mahasiswa tidak perlu ingin mengulang “demonstrasi dahsyat 1998”. Cukup satu kali kita menggulingkan pemerintahan dengan cara seperti itu. Memang saat itu kondisinya mengharuskan “siap mati”. Pemerintahan Soeharto sangat represif, rakyat tidak boleh bicara berbeda dengan pemerintah, orang bisa hilang tiba-tiba (oleh sebab itu lahir KontraS), korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) menjamur di mana-mana, kekuasaan politik sentralistik, semua orang dibungkam, tuduhan PKI mudah sekali keluar (siswa kesiangan saja disebut PKI, orang joget depan panggung aja disebut PKI), kekuasaan militer, polisi, lembaga pendidikan sangat dikuasai dan sangat menakutkan rakyat, jarak Si Miskin dan Si Kaya sangat lebar. Ujungnya, krisis moneter yang berubah menjadi krisis ekonomi, kemudian meluas krisis multidimensi. Tak bisa dihindari bahwa darah harus tertumpah dan nyawa harus hilang. Cukup satu kali dan tidak boleh ada lagi. Kalau mau menggulingkan pemerintahan sekarang, gunakan cara-cara yang konstitusional. Itu sah.

            Kalau mau demonstrasi, ya demonstrasi saja. Itu hak dan dilindungi undang-undang, tetapi jangan anarkis, memprovokasi aparat  untuk tawuran. Sampaikan melalui orasi atau aksi teatrikal. Itu bagus. Saya juga dulu begitu kok. Demonstrasi damai dan berhasil. Paling tidak, kalau tidak salah, saya ikut tiga kali demonstrasi dengan isu besar, yaitu soal penghapusan perjudian, penghentian pembantaian muslim Bosnia oleh militer Serbia-Kroasia, dan penyelesaian pembantaian terhadap muslim Rohingya di Provinsi Rakhine, Myanmar. Dua berhasil, soal perjudian dan pembantaian muslim Bosnia. Satu lagi soal Rohingya belum berhasil hingga hari ini. Demonstrasinya damai, tidak ada saling pukul dengan polisi. Tidak ada saling maki atau saling hina. Malah polisi menjaga agar demonstrasi bisa berjalan, lalu lintas tetap tidak terganggu.

            Mungkin masih banyak yang ingat bahwa dulu di Indonesia marak sekali dengan perjudian. Setiap hari dan setiap minggu orang-orang pasang nomor judi, hiburan katanya. Nama perjudiannya “Porkas” yang berasal dari bahasa Inggris “Forecast”, artinya ‘dugaan’ atau ‘ramalan’. Akan tetapi, banyak penentangan dari para ulama, kiyai ustadz, dai, atau mubaligh. Akhirnya, pemerintah mengganti namanya menjadi Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB). Dalih adanya perjudian itu untuk membiayai kegiatan olah raga di Indonesia, seperti, sepakbola, bulutangkis, atletik, dan catur. Malah, sebagian pejabat ada  yang mengatakan bahwa itu bukan judi, melainkan sumbangan. Kami, mahasiswa, berpendapat kalau judulnya sumbangan, ya jangan pakai embel-embel “berhadiah”. Orang pikirannya bukan mau menyumbang, tetapi ingin mendapatkan hadiah. Itulah judi. Haram.

            Demonstrasinya damai. Orasi di depan aula kampus Universitas Padjadjaran Bandung, lalu ke luar sambil teriak-teriak di Jln. Dipatiukur, Teuku Umar, H. Djuanda, Sangkuriang, Taman Sari, Ganesa, balik lagi ke kampus. Selesai. Yang punya jadwal kuliah, ya pada kuliah lagi. Empat hari sejak demonstrasi itu, pemerintah menjawab akan menghentikannya. Memang berhenti bertahap hingga hari ini tidak ada lagi perjudian yang dilakukan pemerintah dengan dalih apa pun. Kalau masih ada, perjudian itu pasti ilegal dan melanggar hukum.

            Soal pembantaian muslim Bosnia Herzegovina pun demikian. Demonstrasi dilakukan dengan damai. Mahasiswa orasi, shalawat badar, mengaji, dan siap berjihad ke Bosnia. Saya juga berusaha daftar kok untuk jihad bertaruh nyawa ke Bosnia karena memang genosida, “ethnic cleansing”, pembantaian ras, dan pembantaian muslim terjadi dengan sangat mengerikan.

            Akan tetapi, pemerintah Soeharto melarang mahasiswa untuk berjihad ke Bosnia dengan alasan yang lucu, pikaseurieun, “Jangan pergi berjihad karena mereka itu orang-orang bule. Orang Bosnia dan orang Serbia sama-sama bule, nanti tertukar. Kita sulit membedakan mereka. Nanti kita malah membunuh sesama muslim.”

            Memangnya mahasiswa itu bodoh?

            Masa berangkat dari Indonesia ke Bosnia, pas turun dari pesawat, lalu lihat orang bule langsung kita bunuh?

            Kan pastinya juga ada jaringan kerja dari Indonesia dan yang berada di Bosnia, pasti ada koordinator yang mengurus hal itu. Mereka pasti mengatur dan melakukan pembinaan, mana kawan mana lawan.

            Larangan itu membuat mahasiswa mayoritas tidak berangkat meskipun sudah ada yang berangkat juga sih. Meskipun tidak ikut berperang, saya masih ikut berpartisipasi. Saya berusaha daftar untuk mengadopsi anak-anak Bosnia korban perang. Banyak anak yang menjadi yatim piatu karena ayah dan ibunya mati dibantai. Saya berharap dapat mengadopsi anak Bosnia yang perempuan, rambutnya pirang, usianya tujuh belas tahun, cantik, tinggi, dan tubuhnya menarik hati.

            Teman saya bilang, “Kamu  mah bukan mau mengadopsi, tapi cari cewek!”

            “Memang iya, mau saya nikah. Itu juga menolong, sama-sama ibadah!” jawab saya, jujur aja.

            “Menolong kok harus sama yang cantik.”

            “Biarin.”

            Akan tetapi, tidak ada yang bisa saya adopsi. Mungkin yang cantik-cantik mah sudah sama orang lain yang ganteng dan kaya raya. Da aku mah apah atuh. Yang jelas mah bukan takdir.

            Meskipun pemerintah melarang, tetapi membuka pintu hubungan Bosnia-RI lebih dekat. Bahkan, Presiden Bosnia pun datang ke Indonesia, berterima kasih kepada rakyat Indonesia yang telah memberikan banyak dukungan, terutama makanan, pakaian, dan uang. Pemerintah Indonesia pun aktif membantu Bosnia di ruang-ruang internasional. Bahkan, Presiden Soeharto datang langsung ke Bosnia. Akan tetapi, ketika ia ingin ke wilayah-wilayah tempat terjadinya pembantaian, pasukan PBB tidak bisa menjamin keamanannya karena memang perang masih berlangsung. Meskipun demikian, Presiden Soeharto menguatkan rakyat Bosnia dengan membangun masjid di sana, namanya Masjid Istqlal sama dengan nama masjid nasional yang ada di Indonesia. Sampai sekarang masjidnya masih ada dan menjadi pusat aktivitas keislaman di Bosnia.

            Intinya, demonstrasi berjalan damai. Tak ada perkelahian dengan aparat, tak ada yang mati. Semua tenang dan berhasil. Bosnia kembali aman, kehidupan berjalan dengan baik. Sementara itu, para jenderal Serbia yang melakukan pembantaian didakwa sebagai “penjahat perang” dan dihukum dengan hukuman teramat berat. Kabarnya, ada yang dihukum mati. Nggak tahu juga sih, pokoknya dihukum berat.

            Demonstrasi damai ternyata berhasil. Hal itu disebabkan karena masalahnya jelas, mahasiswa mengerti jelas apa yang diperjuangkan, fakta-faktanya tidak bisa didebat, murni moral force, tak ada yang dibayar serupiah pun.

            Memang siapa yang diuntungkan secara ekonomi dengan membela Bosnia dan menghentikan perjudian?

            Itu murni “jihad fi sabilillah”. Bahkan, kita yang mengeluarkan uang untuk ongkos dan memberikan sumbangan.

            Soal tidak kebagian mengadopsi cewek bule cantik, itu mah urusan takdir.

            Ketika demonstrasi aksi membela Rohingya pun demikian, berjalan damai. Sayangnya, hingga hari ini soal Rohingya belum bisa selesai. Pembahasan soal ini mah beda lagi. Banyak peneliti yang melakukan penelitian soal sulit selesainya kasus pembantaian di Rohingya. Entar lagi soal ini mah.

            Demonstrasi itu bisa menggunakan orasi, aksi teatrikal, atau aksi lainnya yang beradab. Jangan memprovokasi aparat dan golongan masyarakat lain untuk tawuran karena jika terjadi beradu fisik, kerugian ditanggung semua.

            Sampurasun.

Friday 4 October 2019

UU KPK Jalani Saja Dulu dan Jangan Berkhayal


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Setiap hari kita menyaksikan berita pro-kontra tentang UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut yang setuju dengan UU KPK hasil revisi, KPK dianggap kurang berhasil memberantas korupsi di Indonesia, organisasinya tidak tertib, dan cenderung melanggar Ham. Hal itu bisa dilihat dari semakin banyaknya koruptor dan semakin beraninya para koruptor untuk melakukan korupsi. Hal itu menandakan bahwa KPK tidak berhasil dalam melakukan upaya pencegahan korupsi. Jika pencegahan berhasil, koruptor seharusnya berkurang. Bahkan, muncul tuduhan bahwa KPK sesungguhnya sudah terkontaminasi oleh para koruptor besar. Kemudian, KPK pun dianggap sewenang-wenang melakukan penyadapan tanpa kontrol. Di samping itu, KPK  dianggap melanggar Ham karena orang yang sudah meninggal pun statusnya masih dianggap tersangka. Oleh sebab itu, diperlukan berbagai perubahan dalam tubuh KPK sehingga terjadi perbaikan dan peningkatan dalam pemberantasan korupsi, terutama dalam upaya pencegahan korupsi. Dengan demikian, koruptor menjadi berkurang dan upaya penangkapan pun berkurang karena koruptornya berkurang. Itulah yang dimaksud KPK berhasil sukses jika semakin sedikit orang yang ditangkap gara-gara korupsi.

            Berbeda menurut orang yang tidak setuju terhadap UU KPK sekarang. Mereka menganggap bahwa revisi UU KPK adalah sebagai upaya pelemahan terhadap KPK dalam memberantas korupsi. Mereka menuding bahwa revisi UU KPK adalah upaya yang dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk melindungi kolega-koleganya yang terlibat perilaku korupsi. Hal itu ditunjukkan dengan fakta-fakta bahwa memang banyak anggota dewan yang korup, bahkan pimpinannya pun dinyatakan bersalah oleh pengadilan karena melakukan korupsi.

            Masih ingat kan kasus Setya Novanto beserta anggota DPR lainnya?

            Kalau diperhatikan, baik yang pro maupun yang kontra terhadap UU KPK, secara lahiriah sama-sama ingin meningkatkan kualitas kerja KPK dalam memberantas perilaku korupsi. Kita tidak tahu apa yang ada di dalam batin mereka karena susah kalau membaca batin itu. Semua sama-sama tampak ingin mendorong KPK lebih berhasil dalam menangani korupsi dibandingkan pada masa-masa yang telah lewat. Meskipun demikian, baik yang pro maupun yang kontra masih sama-sama berada di dalam dunia khayal. Mereka yang pro terhadap revisi UU KPK berkhayal bahwa UU KPK yang baru disahkan itu akan meningkatkan pemberantasan korupsi di Indonesia. Demikian pula mereka yang anti-revisi UU KPK berkhayal bahwa UU KPK yang baru disahkan itu akan membuat KPK menjadi lemah dalam memberantas korupsi.

            Mereka semua masih dalam dunia khayal kok. Mereka masih berkhayal, berangan-angan sesuai kehendak mereka masing-masing. Mereka yang pro berkhayal, yang anti pun berkhayal. Masih pada melamun, berangan-angan.

            Kalau sama-sama ingin meningkatkan kinerja KPK lebih baik lagi, uji saja pelaksanaan UU KPK yang baru disahkan itu. Caranya, jalankan saja UU KPK itu, lalu kita perhatikan dalam satu atau dua tahun hasilnya.

            Apakah tindakan korupsi berkurang atau malah semakin menggila?

            Kalau perilaku korup semakin berkurang dan Indonesia semakin bersih dari korupsi, itu namanya revisi UU KPK berhasil meningkatkan kualitas KPK. Sebaliknya, jika tindakan korup semakin menggila, berarti UU KPK hasil revisi itu gagal.

            Kalau tidak diuji seperti itu, kita bakalan terus-terusan berada dalam dunia khayalan. Ribut gara-gara khayalan.

            Kalau berhasil, tingkatkan lagi dan lagi. Kalau gagal, ubah lagi UU KPK itu, revisi lagi, atau kembalikan ke UU KPK yang lama.

            Begitu Bro.

            Uji dulu dengan pelaksanaan yang nyata dengan komisioner KPK yang terbaru. Jangan berkelahi gara-gara khayalan. Orang Sunda bilang “Eta mah sarua jeung parebut pepesan kosong”.

            Sampurasun.

Tuesday 1 October 2019

Berkuasa Satu Hari

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Ini kali kedua saya menulis tentang hal yang sama. Beberapa tahun lalu saya sudah menulis bahwa yang namanya demokrasi itu selalu menyatakan bahwa dirinya adalah sistem yang berasal dari rakyat. Artinya, rakyatlah penguasa yang sebenarnya. Akan tetapi, saya melihatnya sangat keliru. Dulu saya menulis hanya sekedar teori, sekarang kenyataannya sudah sangat terlihat dengan sangat nyata.

            Memang benar rakyat berkuasa, tetapi sesungguhnya kekuasan rakyat hanya “satu hari”, yaitu hari ketika dilaksanakannya Pemilu. Setelah itu, rakyat sama sekali tidak memiliki kekuasaan lagi. Hal ini terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia pun sama. Rakyat hanya berkuasa selama satu hari. Setelah itu, tak ada hubungan lagi antara rakyat dengan para pejabat yang dipilihnya. Rakyat menjadi sangat kesulitan bertemu dan menyampaikan aspirasi kepada para pejabat yang telah dipilihnya, baik itu di eksekutif, maupun di legislatif. Malahan, rakyat tak pernah melihat lagi secara langsung, orang-orang yang telah dipilihnya, kecuali di media massa. Kalaupun bertemu, rakyat berada dalam posisi yang teramat lemah. Meskipun rakyat membentuk Ormas atau LSM yang bisa berteriak dengan suara keras, tetap saja berbagai kepentingan politik di antara mereka yang berkuasa yang “memainkan” isu-isu penting.

            Saat ini kita bisa melihat buktinya. Apa yang saya sampaikan dulu bukan lagi sekedar teori, melainkan terbukti secara nyata. Kita bisa melihat demonstrasi mahasiswa dan kebingungan rakyat tentang RKUHP, penafsiran-penafsiran liar tentang pasal-pasal dan ayat-ayat dalam undang-undang, khayalan-khayalan kosong mengenai akibat diberlakukannya undang-undang tertentu. Para pemimpin mahasiswa yang tergabung dalam Bem berbagai perguruan tinggi itu tidak memiliki kejelasan tentang hal yang dituntutnya dan memiliki berbagai praduga tentang RKUHP. Hal ini bisa dilihat ketika mereka diundang berdiskusi dalam Indonesia Lawyers Club di TvOne. Apa yang mereka sampaikan tidaklah tepat sebagaimana yang dimaksudkan oleh para ahli yang membantu membuat berbagai rancangan undang-undang itu. Di samping itu, rakyat pun memiliki penafsiran liar yang simpang siur mengenai RKUHP. Hal itu menunjukkan bahwa para anggota DPR kurang melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Hubungan antara rakyat dengan anggota DPR semakin berjarak, bahkan mungkin tak ada hubungan sama sekali.

            Sesungguhnya, meskipun rakyat berkuasa hanya dalam satu hari, para wakil rakyat yang terhormat itu bisa memperkecil kesenjangan antara penguasa dengan yang dikuasai. Hal itu bisa dilakukan dengan seringnya para wakil rakyat bertemu dengan rakyat yang telah memilihnya. Hal tersebut bisa sangat mudah dilakukan ketika dalam masa reses. Anggota dewan bisa berkeliling menemui rakyat di daerah pemilihannya masing-masing dengan melakukan “kunjungan kerja” (Kunker). Kunker itu jelas dibiayai negara.

            Sebetulnya, rakyat bisa lebih dekat dan memahami segala situasi jika para wakil rakyat sering bertemu rakyat. Ada tiga tingkat wakil rakyat yang dapat ditemui, yaitu anggota DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, DPR RI/DPD RI. Kepada merekalah rakyat bisa menyampaikan aspirasi, mengadukan keluh kesahnya, di samping mendengarkan sosialisasi kerja-kerja mereka dalam perundang-undangan.

            Setiap wakil rakyat memiliki kesempatan itu.

            Pertanyaannya, benarkah mereka melakukan kunjungan kerja menemui rakyat? Rakyat yang mana saja yang mereka temui? Apa saja yang mereka lakukan? Kegiatan apa saja? Apa hasil dari  kunjungan kerja tersebut? Sejauh apa rakyat merasa diwakili, diayomi, dan dicerdaskan oleh kehadiran mereka?

            Tanya rakyat sekarang, anggota dewan yang mana dan siapa namanya yang kerap menemui mereka?

            Adakah?

            Sekarang anggota DPR RI yang baru telah dilantik. Mereka jelas harus mewakili rakyat. Jangan lagi rakyat kebingungan tentang kerja-kerja mereka. Upayakan rakyat merasa diwakili keinginan-keinginannya. Jadikan lembaga perwakilan rakyat menjadi lembaga yang sangat dipercaya rakyat, jangan menjadi lembaga yang terendah/terburuk dalam mendapatkan kepercayaan rakyat. Saingi lembaga kepresidenan dalam mendapatkan kepercayaan rakyat. Saat ini Presiden dan KPK berada dalam posisi sangat dipercaya rakyat. DPR harus sekuat tenaga menyaingi Presiden dan KPK.

            Tak apa rakyat  berkuasa hanya satu hari, tetapi sambungkan hati rakyat dengan DPR hingga terjalin saling percaya untuk kemajuan dan kemakmuran bersama.

            Sampurasun