Monday 30 September 2019

UU Ayam ke Pekarangan


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Entah siapa yang mulai meramaikan di media sosial tentang UU ayam masuk ke pekarangan, padahal tidak ada. Jika kita baca sekilas saja undang-undang itu bukan tentang ayam, melainkan binatang peliharaan. Di dalamnya ada tentang anjing, kucing, dan binatang lainnya, termasuk unggas. Unggas itu banyak, ada bebek, itik, ayam, dan burung. Mungkin ayam lebih populer karena memang itu yang kerap ditemui di masyarakat.

            Kalau dilihat di media sosial, memang lucu meme-meme yang dibuat tentang hal itu. Akan tetapi, agak khawatir juga jika orang menganggapnya sebagai sebuah kebenaran.

            Permasalahan binatang seperti ini sudah ada sejak saya kecil. Bahkan, mungkin masalahnya hampir seusia dengan keberadaan manusia sendiri, terutama dalam periode kedua, yaitu periode beternak dan bertani karena periode pertama adalah periode berburu ketika manusia memenuhi kebutuhan hidupnya hanya dengan cara berburu dan mendapatkan tanaman dari alam secara langsung. Pada periode beternak mungkin sudah ada banyak masalah soal ini. Binatang ternak mungkin menganggu pertanian milik orang lain.

            Terlalu jauh kalau pikiran kita melayang ke masa itu. Mari kita ke periode yang dekat saja dengan kita bersama orang yang sangat kita kenal, yaitu Nabi Muhammad saw. Kisah ini sangat terkenal di kalangan pesantren. Suatu saat ada dua orang yang bertengkar hebat. Persoalannya adalah ada kambing yang masuk ke perkebunan milik orang lain. Mereka berselisih dan tidak ada jalan keluarnya. Akhirnya, mereka sepakat meminta penyelesaiannya kepada Nabi Muhammad saw. Penyelesaiannya mudah saja bagi Nabi Muhammad saw. Mereka diminta menjaga miliknya masing-masing. Pemilik kambing diharuskan mengikat kambingnya. Pemilik kebun diharuskan memagari kebunnya. Masalah pun selesai karena mereka menurut.

            Kalau tidak menurut, beda lagi urusannya.

            Intinya, persoalan semacam ini sudah sejak lama terjadi dan selalu terjadi dari zaman ke zaman.

            Ketika saya kecil saja persoalan semacam ini terjadi di Komplek Margahayu Raya, Bandung. Saat itu persoalannya anjing-anjing yang suka berkeliaran di jalan membuat takut ibu-ibu dan anak-anak sekolah, terkadang juga anjing itu bermasalah sama bapak-bapak. Ketika warga mengeluhkan masalah itu pada para pemilik anjing, ribut, tak ada penyelesaian. Akhirnya, warga bersepakat untuk meracuni anjing-anjing itu pada malam hari secara diam-diam. Matilah anjing-anjing itu dan tak ada lagi anjing berkeliaran sampai sekarang. Itu artinya ada pembunuhan binatang, terganggunya keharmonisan hidup bertetangga, dan terganggunya aktivitas manusia. Ada lagi contoh lain, kali ini kambing-kambing yang dibiarkan bebas berkeliaran di komplek perumahan. Kambing-kambing itu memakan tanaman hias yang mahal milik penghuni komplek yang ditanam di-bloom bak. Itu juga menjadi masalah. Entah apa yang terjadi untuk menyelesaikannya, yang jelas sekarang tidak ada lagi kambing berkeliaran. Mungkin ditangkap, lalu disembelih diam-diam. Saya tidak tahu.

            Ketika saya tinggal di Jl. Caringin, Bandung, terjadi juga masalah seperti itu. Kali ini ayam yang bebas berkeliaran. Karena di daerah itu rumahnya rata-rata berdempetan, ayam sangat mengganggu tetangga. Ibu-ibu sering mengeluhkan hal itu. Bukan hanya kotoran ayam yang mengotori setiap hari teras depan rumah yang sudah disapu dan dipel, melainkan pula membuat bergeser genteng-genteng rumah tetangga hingga membuat bocor. Akibatnya, di daerah itu terjadi keributan.  Pemilik ayam tidak peduli dengan keadaan itu, malah balik memarahi tetangganya, rada menantang. Saya awalnya nggak ikut ribut, tetapi kemudian istri saya mulai mengeluh karena ayam-ayam itu setiap hari buang kotoran di halaman belakang dan menclok di jemuran yang kemudian mengotori pakaian yang sedang dijemur, termasuk sajadah, sarung, dan mukena. Karena istri terlalu sering mengeluh, kesal juga saya. Akhirnya, saya yang “membereskan” ayam-ayam itu. Pemiliknya marah bukan main, tetapi beberapa hari kemudian dia pindah rumah dan tak kembali lagi. Para tetangga saya pun mengucapkan terima kasih kepada istri saya karena masalah ayam itu sudah tidak ada lagi.

            Sampai kisah ini, sudahkah para pembaca mengerti bahwa harus ada aturan mengenai hal itu?

            Kalau masih belum paham, saya terusin ceriteranya. Di tempat tinggal saya yang sekarang ini, persoalan yang terjadi adalah kucing yang selalu masuk ke rumah orang lain dan membuat langit-langit internit rumah tetangga pada rusak, bolong-bolong. Tetangga sudah mengeluhkan hal ini, tetapi pemilik kucing tidak peduli. Bahkan, kucing-kucingnya sampai melahirkan di langit-langit rumah tetangga dan jumlahnya bertambah hingga puluhan. Gangguan pun semakin banyak. Akibatnya, pemilik kucing diasingkan, dicuekin, dianggap tidak ada.  Dia pun pindah rumah, entah ke mana, para tetangga tidak ada yang peduli.

            Ada juga pemilik itik dan ayam yang mengotori teras depan rumah tetanggga dan akhirnya terjadi keributan juga di antara ibu-ibu. Salah seorang dari mereka pun pindah rumah.

            Saya terusin dengan ceritera yang lebih sadis.

            Tanah di belakang rumah saya berdempetan dengan kebun sayuran milik orang lain. Tanah saya itu tidak luas sih hanya sekitar 420 m2, kalau kebun milik orang lain, luas pisan. Ada seseorang yang suka saya minta bantuannya untuk bikin pagar dari bambu, Curhat. Kambing miliknya pernah mau disembelih oleh pemilik kebun karena memakan sayuran yang sedang ditanam. Jelas pemilik kebun marah karena itu mata pencaharian dia.

            Keributan yang terjadi adalah sama-sama bawa golok. Pemilik kambing tidak terima kambingnya mau dibacok karena menurutnya harga kambing jauh lebih mahal dibandingkan harga sayuran. Adapun pemilik kebun merasa hasil kerjanya dirusakkan oleh kambing.

            Coba kalau saat itu emosi tidak terkendali, mereka bisa saling bacok, saling bunuh. Urusan bisa sangat panjang dan bisa berujung dendam antarkeluarga.

            Sampai kisah ini, tidakkah kita mengerti bahwa harus ada aturan mengenai hal itu?

            Sekarang undang-undangnya ada. Akan tetapi, saya yakin jika ada masalah seperti itu, bisa diselesaikan dengan kekeluargaan di antara yang bersangkutan, tidak perlu pakai undang-undang. Kalau tidak selesai dengan cara itu, bisa menggunakan cara mediasi dengan RT, RW, atau kepala desa/lurah, bahkan bisa dengan ustadz setempat atau Ketua DKM. Semua bisa selesai dengan baik-baik. Undang-undang hanya diperlukan jika tidak bisa diselesaikan baik-baik. Itulah yang namanya diselesaikan dengan cara hukum yang berlaku. Denda pun bisa dijatuhkan.

            Demikian pula anggota DPR membuat hukum seperti itu karena ada banyak laporan tentang hal tersebut, terutama dari para petani/pekebun yang menanam bibit tanaman sebagai mata pencaharian mereka. Jadilah ada undang-undang tentang unggas.

            Kalau tidak setuju dengan undang-undang seperti itu, boleh. Akan tetapi, beri saran dan masukkan yang lebih baik untuk mengatasi hal-hal yang saya kisahkan tadi. Mungkin banyak masalah seperti itu yang tidak pernah kita ketahui dengan beragam peristiwa di tengah rakyat Indonesia yang jumlahhnya 267 juta itu.

            Sampurasun.

Thursday 26 September 2019

Jangan Perkosa Istrimu


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Mau punya istri 1, 2, 3, 4, atau lebih, sikap hormat dan sayang kepada istri harus selalu dilakukan. Jangan menganggap istri sebagai “barang” yang bisa diperlakukan seenaknya. Termasuk jika suami membutuhkan istrinya, tidak boleh dengan melakukan perkosaan.

            Akhir-akhir ini timbul kebingungan di masyarakat tentang “larangan untuk memperkosa istri”. Undang-undang ini sebetulnya sudah ada sejak 2004, nggak ada masalah, tetapi diramaikan saat ini bebarengan dengan riuhnya penolakan terhadap RKUHP. Kebingungan itu disebabkan di masyarakat Indonesia kalau sudah terjadi pernikahan, tidak ada itu yang namanya pemerkosaan. Apalagi di kalangan umat Islam diajarkan bahwa istri itu tidak boleh menolak jika suami ingin menyentuhnya. Penolakan yang dilakukan istri terhadap suami menyebabkan Sang Istri dilaknat malaikat dan jelas berdosa besar. Di samping itu, kebingungan itu pun disebabkan masyarakat kita hanya menilai atau memahami sesuatu berdasarkan pengalamannya sendiri dan segala yang terjadi di lingkungannya. Padahal, Indonesia itu dihuni 267 juta penduduk yang memiliki pengalaman dan situasi berbeda-beda. Kerap ada pengalaman hidup yang tidak pernah terlihat dan terdengar oleh masyarakat lain.

            Salah satu penyebab larangan untuk memperkosa istri adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Erma Suryani Ranik, anggota DPR RI yang terlibat langsung dalam penyusunan RKUHP. Banyak masyarakat, terutama perempuan yang melaporkan perkosaan yang dilakukan suaminya terhadap dirinya. Mereka lapor ke lembaga-lembaga perlindungan perempuan. Kemudian, lembaga-lembaga itu lapor ke DPR agar hak-hak perempuan itu bisa terlindungi dan ada pengendalian terhadap suaminya.

            Kasus perkosaannya sudah terjadi. Seorang istri yang dinyatakan oleh dokter sakit parah dipaksa oleh suaminya untuk berhubungan badan. Akibatnya, Si Istri tambah parah sakitnya, semakin menderita. Suaminya tidak peduli, tetapi Sang Istri yang merasakan betapa tersiksa dirinya. Bahkan, tetangga mertua saya meninggal gara-gara suaminya memaksa berhubungan intim, padahal istrinya belum sampai sepuluh hari melahirkan. Dalam ajaran Islam saja seharusnya setelah empat puluh hari baru boleh melakukan hubungan intim lagi. Ini belum sepuluh hari, suaminya sudah  memaksa. Akibatnya, meninggal.

            Hal-hal seperti itulah yang menyebabkan adanya undang-undang larangan untuk memperkosa istri. Boleh saja tidak setuju dengan undang-undang ini, tetapi jelaskan alasannya dengan baik dan berikan saran yang lebih baik untuk mengatur hal-hal seperti ini.

            Kita tidak bisa tidak setuju hanya dengan mengatakan bahwa Sang Istri pasti masuk surga. Akan tetapi, kita harus berpikir bagaimana rasa sakit yang diderita perempuan, bagaimana orangtuanya yang kehilangan, bagaimana anak-anak yang ditinggalkan, bagaimana kerabatnya yang dilanda kesedihan.

            Laki-laki tidak waras mungkin bilang, “Biarin, nanti gue kawin lagi buat ngurus anak-anak.”

            Itulah yang disebut arogansi pria terhadap wanita. Itu tidak boleh terjadi. Perlu aturan untuk itu.

            Tidak setuju, boleh. Protes, normal. Akan tetapi, beri saran, beri masukkan agar kekerasan terhadap perempuan seperti itu tidak terjadi. Jangan protes dengan nyinyir dan penafsiran yang bodoh.

            Para lelaki yang baik mungkin tidak akan menyakiti istrinya, tetapi tidak semua lelaki baik, bukan?

            It’s true.

            Sampurasun.

Beda Aksi Mahasiswa 1998 dengan 2019


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Banyak orang yang darahnya mendidih, mengalami eforia melihat gerakan mahasiswa pada 24 September 2019. Banyak yang berharap bahwa gerakan mahasiswa kali ini akan mengulangi kesuksesan 1998 dengan jatuhnya “Rezim Soeharto”. Mereka pun sangat berharap dan menyangka keras bahwa gerakan itu dapat menjadi jalan tumbangnya pemerintahan Jokowi. Hal itu bisa dilihat dari berbagai tulisan mereka di Medsos, berita, dan blog-blog pribadi.

            Sayangnya, peristiwa jatuhnya Jokowi itu tidak akan terjadi. Dalam perhitungan saya, sebagai manusia. Gerakan itu tidak akan menjatuhkan Jokowi.

            Mengapa?

            Pertama, para mahasiswa bergerak tidak untuk menjatuhkan Jokowi. Para ketua Bem yang sempat diwawancarai di TVone dan Metro Tv menyatakan bahwa mereka tidak peduli dengan politik. Mereka hanya berkonsentrasi pada penolakan terhadap UU KPK dan RKUHP. Niat mereka jelas bukan untuk menjatuhkan pemerintahan. Jadi, kalau ada yang teriak-teriak di dunia maya maupun dunia nyata untuk menjatuhkan Jokowi, mereka hanyalah “penunggang gelap”, “penyusup busuk”, yang memanfaatkan gerakan moral mahasiswa untuk menyuarakan keinginan konyol mereka karena belum bisa move on akibat kekalahan Pilpres 2019.

            Kedua, para mahasiswa bergerak sendiri tanpa dipandu oleh orang-orang kuat yang tampil “pasang badan” bersama mahasiswa. Jumlah mahasiswa memang luar biasa. Mereka bergerak bebarengan. Akan tetapi, sayangnya, untuk melakukan perubahan, tidak cukup dengan jumlah massa yang banyak. Berapa pun jumlah massa yang bergerak, tidak akan membuat pemerintahan jatuh jika tuntutan tidak disampaikan dengan jelas dan bernilai akademis. Berbeda dengan aksi 1998 yang didampingi orang-orang kuat. Di jalanan para mahasiswa dipandu “Lokomotif Reformasi” Amien Rais, Sultan Hamengkubuwono X, Gus Dur (Abdurahman Wahid), dan Megawati Soekarnoputeri. Mereka merumuskan “Deklarasi Ciganjur” yang sangat menekan pemerintah dan DPR/MPR. Di dalam pemerintahan, gerakan reformasi diperkuat oleh Ginanjar Kartasasmita. Ketika Soeharto membentuk Kabinet Reformasi untuk menyerap aspirasi rakyat, Ginanjar “mengorganisasikan para menteri” untuk tidak ikut dalam pemerintahan Soeharto. Hal itulah yang menyebabkan Soeharto hilang kekuatannya sebagaimana kata dia sendiri bahwa dia merasa kesulitan karena Kabinet Reformasi tidak mendapat tanggapan yang cukup. Jatuhlah Soeharto.

            Sekarang?

            Tak seorang pun begawan berada di jalanan bersama mahasiswa. Demikian pula, di dalam pemerintahan Jokowi, tak seorang pun tokoh yang menyatakan tidak setuju pada rencana dan gagasan dalam kepemimpinan Jokowi.
            Jokowi tidak akan jatuh. Dia tetap kuat. Itu dalam perhitungan saya, sebagai manusia. Saya tidak tahu rencana Allah swt. Bisa jadi Allah swt menjatuhkan Jokowi, tetapi bisa pula malah meneguhkannya, menguatkannya, memperkokoh posisinya dalam memimpin Indonesia. Allah swt bertindak secara misterius, manusia sulit mencerna tindakan-Nya jika tidak Dia sendiri yang memberitahukannya kepada manusia.

            Ketiga, … sudah dulu lah. Nanti disambung lagi. Soalnya banyak hal yang membuat Jokowi tidak akan jatuh karena gerakan mahasiswa itu. Kalau ditulis sekarang, bisa bosan dan kesal membacanya.

            Jokowi sampai saat ini masih sangat kuat dan kokoh. Saya tidak melihat celah yang membuatnya jatuh.

            Sampurasun.

Friday 20 September 2019

Berfoto Selfie Itu Hak Setiap Orang


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Berfoto-foto selfie itu hak setiap orang sepanjang tidak bertentangan dengan nilai dan norma sosial atau norma hukum. Meskipun hak setiap orang, tetapi ada batasannya, misalnya, tidak berfoto bugil, cenderung seksual, kekerasan, atau penipuan. Kalau untuk tujuan normal yang bisa diterima masyarakat, boleh-boleh saja, misalnya, untuk memberitakan kondisi dirinya, aktivitasnya, menjaga hubungan silaturahmi, termasuk mencitrakan dirinya. Semua orang boleh melakukan hal itu. Mau presiden, menteri, gubernur, walikota, bupati, camat, lurah, Kades, RW, RT, bahkan masyarakat biasa berhak berfoto selfie.

            Terkait dengan hal itu, tidak perlu nyinyir dengan foto-foto orang lain, biasa-biasa saja. Kalau para pejabat difoto dalam melakukan tugasnya, itu biasa dan normal. Mereka punya Humas, public relation, atau Jubir yang menyebarkan foto, video, rekaman suara, termasuk press release ke tengah masyarakat sebagai cara untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Jangankan presiden, direktur swasta, bahkan tokoh agama juga banyak yang memiliki petugas khusus untuk menyebarluaskan kegiatannya ke masyarakat. Hal itu normal saja. Bahkan, bisa menjadi wajib bagi kegiatan-kegiatan yang menyangkut kenegaraan disebarkan ke masyarakat luas.

            Tidak perlu nyinyir dengan hasil kerja para staf presiden atau pejabat lainnya, itu hak mereka dan hak masyarakat juga untuk mengetahui aktivitas mereka. Kalau selalu nyinyir, jadi sangat lucu melihatnya.

            Bagaimana tidak lucu?

            Kepada orang lain nyinyir karena orang lain menyebarkan banyak foto tentang aktivitasnya sebagai pencitraan, padahal dirinya sendiri sering melakukan pencitraan di media sosial miliknya, misalnya, pura-pura bahagia, pura-pura kaya raya, pura-pura shaleh, pura-pura dibutuhkan orang lain, dan seabrek kepura-puraan lainnya.

            Lucu, kan?

            Sama orang lain meledek, nyinyir, dirinya sendiri kerap melakukan pencitraan. Bahkan, mungkin lebih banyak hasil foto selfie dirinya yang penuh kepura-puraan dan pencitraan dibandingkan orang yang dia ledek dan nyinyiri.

            Kalem aja, Bro. Santai aja.

            Sampurasun.

Thursday 19 September 2019

Shalat Jumat di Gereja


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Kok orang-orang terus-terusan ribut soal film “The Santri”?

            Coba kita sederhanakan pikiran kita. Di Indonesia itu ada lembaga sensor film. Sepanjang tidak dilarang oleh lembaga itu dalam arti diperbolehkan untuk tayang, berarti “boleh ditonton”. Tinggal kitanya saja mau nonton apa tidak. Terserah kita. Sederhana pisan.

            Salah satu persoalannya adalah banyak orang yang menilai sesuatu tidak secara utuh. Baru lihat “trailer” saja seperti orang yang sudah memahami seluruh isi ceriteranya. Ini kebiasaan. Dari dulu, apalagi masa-masa Pilpres RI, April 2019, informasi yang isinya sepotong-sepotong saja sudah langsung dipercaya, lalu disebarkan seperti kebenaran mutlak. Padahal, kalaupun mau memberikan kritik dan komentar, seharusnya pahami dulu secara utuh, kemudian komparasikan dengan standar-standar yang jelas sehingga kritik dan komentarnya bermutu. Orang Islam apalagi harus lebih teliti. Untuk meyakini sebuah kisah sebagai hadits saja, harus diperiksa matan dan perawinya. Kalau tidak jelas, itu dusta atau dongeng yang hanya digunakan untuk kepentingan orang-orang tertentu.

            Di dalam trailer “The Santri” itu ada adegan memberikan tumpeng di dalam gereja dan itu diributkan. Bahkan, dinilai terlalu jauh seperti dituduhkan mengajarkan kekafiran, pemurtadan, dan berasal dari gerakan zionis. Wah, jauh banget itu tuduhan.

            Apa salahnya memberikan tumpeng di dalam gereja?

            Apa salahnya jika orang-orang nonmuslim ketika bulan Ramadhan banyak yang berdiri di pinggir jalan, di depan gereja, dan di gerbang masjid membagikan secara gratis tajil untuk kaum muslimin yang melaksanakan ibadat shaum?

            Pembagian tajil itu terjadi di kota-kota besar, seperti, Jakarta dan Bandung.

            So what?

            Bukankah itu sikap yang baik menjaga hubungan baik sesama manusia dan sesama warga bangsa?

            Dulu, kenalan saya kuliah di Honolulu, Hawai, Amerika Serikat. Setiap Jumat selalu menggunakan gereja untuk melaksanakan ibadat shalat jumat. Orang-orang Islam di sana dari berbagai negara iuran untuk menyewa gereja agar bisa melaksanakan shalat jumat. Hal itu dilakukan karena saat itu di Honolulu belum ada masjid.

            Ketika hal ini saya diskusikan di Bandung dengan teman-teman, ributnya bukan main, saling salahkan karena menurut mereka memang melanggar beberapa syarat sahnya ibadat shalat Jumat. Pro-kontra pun terjadi. Meskipun demikian, baik yang pro maupun yang kontra sama-sama  mendapatkan ilmu dari perdebatan itu.

            Saya sih sederhana saja berpikirnya. Saat itu di Honolulu belum ada masjid. Kaum muslimin ingin ibadat Jumat. Bangunan besar yang bisa digunakan adalah gereja. Itu situasi darurat. Oleh sebab itu, boleh saja dilakukan. Kalau tidak boleh, berarti salah dong shalat jumat itu di sana.

            Jadi, jumatan itu salah, begitukah?

            Itu peristiwa dulu. Sekarang beda lagi. Mungkin sudah banyak masjid dibangun di Amerika Serikat sesuai perkembangan kaum muslim di sana. Bahkan, di New York itu hari Idul Fitri dan Idul Adha dijadikan hari libur untuk menghormati kaum muslimin Amerika Serikat. Kaum muslimin tidak perlu lagi menyewa gereja untuk beribadat.

           Memberikan tumpeng di gereja tidaklah salah, apalagi pada masa sekarang ini ketika masyarakat banyak menilai terjadinya sikap-sikap radikal dan intoleran yang dikhawatirkan menimbulkan disintegrasi bangsa. Hubungan antarumat beragama harus semakin diperkuat. Saling menghormati dengan toleransi yang tinggi harus makin dibiasakan. Hal yang haram dilakukan oleh umat Islam adalah datang ke gereja, lalu menukarkan akidahnya. Itu baru murtad.

            Sampurasun.

Menjaga Anak-Anak Papua

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Papua adalah bagian dari Indonesia. Itu sejarahnya. Negara yang disebut Indonesia adalah seluruh wilayah bekas jajahan Belanda. Papua adalah wilayah bekas jajahan Belanda. Berbeda dengan Timor Timur yang bekas jajahan Portugis. Wilayah ini diperjuangkan untuk tetap bersama Indonesia dalam keadaan setengah hati. Oleh sebab itu, Timor Timur dengan mudah melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi Timor Leste. Adapun Papua dipertahankan mati-matian karena memang salah satunya adalah memiliki sejarah yang sama dengan wilayah lain di Indonesia, bekas jajahan Belanda.

            Hal itu menandakan bahwa apa pun kondisinya rakyat Papua dengan rakyat wilayah Indonesia lainnya harus hidup bersama dalam suka dan duka, jatuh dan bangun, maju sejahtera bersama. Di sinilah letaknya kewajiban melaksanakan ajaran Prabu Siliwangi, yaitu silih asih, silih asah, silih asuh, ‘saling mengasihi, saling mencerdaskan, saling melindungi’.

            Terkait kejadian rasis dan memanasnya Papua beberapa waktu lalu, harus menjadi perhatian serius seluruh bangsa ini tanpa kecuali. Baik aparat, pendidik, dan masyarakat harus sama-sama menjaga persatuan dan kesatuan NKRI. Upaya itu tidak selalu harus dengan hard power, ‘kekerasan’, tetapi juga dengan soft power, ‘ajakan lembut dan pemahaman’. Salah satu upaya soft power yang dilakukan polisi dari Polsek Arcamanik, Bandung adalah contoh yang baik. Tadi siang mereka datang bersama TNI bersilaturahmi ke kampus Universitas Al Ghifari (Unfari), Jln. A.H. Nasution No. 247, Bandung. Mereka dengan ramah menyapa para mahasiswa, lalu menemui pejabat kampus, termasuk dosen. Kebetulan saya sedang ada jadwal mengajar di sana.





            Mereka datang menanyakan kondisi anak-anak Papua yang kuliah di Unfari. Mereka merasa kehilangan karena beberapa mahasiswa asal Papua yang biasanya akrab dengan mereka dan aktif di masyarakat hilang tiba-tiba sejak kejadian rasisme di Surabaya itu. Kami pun merasa kehilangan karena kejadian di Surabaya itu bertepatan dengan masa libur kuliah. Sejak saat itu banyak yang belum kembali ke kampus meskipun ada juga yang terus menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya. Dalam diskusi itu, dicapai kata sepakat bahwa kewajiban kita adalah memberikan kesadaran dan dorongan kepada mereka agar membaur dengan masyarakat. Bahkan, kepolisian bersedia memberikan berbagai fasilitas jika mereka hobi futsal atau bermain musik. Adapun saya bersama dengan teman-teman dosen lainnya berkewajiban memberikan pemahaman dari sisi ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu kebijakan publik karena kebetulan dosen yang hadir saat itu berasal dari Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Unfari.

            Pihak kepolisian sudah mendeteksi keberadaan mereka. Upaya pendeteksian itu bukan untuk menakut-nakuti atau melakukan penangkapan, melainkan untuk pembinaan dan pembauran agar meminimalisasi sikap rasis dan  membangkitkan rasa persaudaraan dan persatuan.




            Selain hal itu, ada kesamaan pandangan lain antara saya dengan kepolisian, yaitu adanya dugaan pihak-pihak lain yang berupaya menebarkan provokasi kepada saudara-saudara Papua kita untuk memisahkan diri dari saudara-saudara Indonesia lainnya. Hal itu disebabkan saya tahu benar bahwa murid-murid saya itu tidak mungkin memiliki gagasan sendiri semacam itu jika tidak diprovokasi oleh aktor intelektual yang menginginkan adanya kericuhan. Murid-murid saya sebenarnya orang-orang baik dan memiliki kesempatan yang luas di Papua jika mau belajar dengan baik dan tidak mendapatkan provokasi negatif dari pihak lain yang bergerak secara sembunyi-sembunyi.

            Berkaitan dengan hal itu, saya sesungguhnya agak kurang puas jika harus hanya memberikan pemahaman kepada murid-murid saya karena hal itu sudah menjadi kewajiban saya tanpa harus ada diskusi dengan kepolisian pun. Saya akan senang jika berdiskusi bahkan berdebat hingga lelah dengan mereka yang suka memprovokasi situasi secara negatif. Biarkan terbuka berdebat soal politik di Papua terkait hal apa pun tentang keinginan merdeka dan pentingnya bergotong royong untuk maju bersama dalam NKRI. Biarkan orang lain yang menilai baik, buruk, logis, ataupun tidak logis. Biarkan ilmu, data, dan kaidah akademis yang bicara.

            Papua adalah kita. Kita adalah bersaudara.

            Sampurasun.

Tuesday 17 September 2019

Manusia Butuh Manusia


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Manusia ditakdirkan untuk hidup saling membutuhkan. Sejak lahir pun manusia membutuhkan manusia lainnya, tidak bisa tidak, kecuali Nabi Adam as. Meskipun lahir tanpa ibu, Adam as tetap diciptakan dengan memiliki rasa keinginan untuk berhubungan dengan manusia lainnya. Oleh sebab itulah, diciptakan pasangannya, Hawa ra.

            Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang bermasyarakat. Ia tidak akan memiliki keutamaan, kebangkitan, dan keluhuran jika hidup sendiri. Seseorang bisa disebut hebat, pandai, berhasil, kaya, shaleh, tinggi, bijak karena ada orang lain yang memiliki kekurangan dibandingkan dirinya. Tak ada manusia yang benar-benar bisa hidup sendiri di dunia ini, kecuali dalam fantasi semacam Tarzan atau Mowgli. Meskipun demikian, Tarzan dan Mowgli pun pada bagian kisahnya berhubungan juga dengan manusia lainnya.

            Pada zaman modern ini kebutuhan berinteraksi antarmanusia semakin tinggi. Kita makan beras berarti butuh petani beras. Butuh pakaian berarti butuh petani kapas, pemintal benang, penenun kain, dan penjahit. Butuh berkomunikasi jarak jauh berarti butuh Hp, televisi, laptop yang dibuat orang lain. Butuh memindahkan orang, barang, dan jasa, berarti butuh alat transportasi yang juga dibuat orang lain. Butuh mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, berarti butuh orang lain yang memiliki pengalaman dan ilmu tentang masyarakat, negara, hukum, dan segala yang terkait dengan hal itu. Pendek kata, semua manusia butuh manusia lainnya.

            Kebutuhan berhubungan dengan manusia lainnya ini tidak dibatasi oleh agama, letak geografis, budaya, atau adat. Bahkan, dengan orang tidak beragama pun kebutuhan untuk berhubungan itu selalu ada. Di dalam pergaulan internasional kebutuhan tanpa dibatasi sekat-sekat itu tampak sekali. Teknologi yang dibangun pihak Barat membutuhkan minyak untuk mengoperasikannya dari Asia Barat atau Timur Tengah. Segala barang yang diproduksi perlu bahan dan pasar dari Asia. Demikian pula untuk memenuhi kebutuhan spiritual, orang-orang banyak yang berdatangan ke Asia semisal ke India, Thailand, termasuk ke Indonesia.

            Untuk itu, kita harus memiliki sikap terbuka dan toleran dengan siapa saja. Sikap tertutup dan menolak untuk berhubungan hanya akan membuat kita tertinggal dan hidup dalam kegelapan. Berbagai ilmu, sifat dan perilaku, serta sumber daya alam tersebar di seluruh penjuru dunia. Oleh sebab itu, diperlukan hubungan yang baik di antara umat manusia agar dapat memenuhi berbagai kebutuhan, baik lahir maupun batin.

            Allah swt pun memang berkehendak agar seluruh manusia berhubungan satu sama lain untuk saling mengenal, saling belajar, dan saling tolong-menolong.

            Hal itu ditegaskan Allah swt dalam QS Al Hujurat ayat 13.

            ”Hai Manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal …."

            Jangan arogan, jangan merasa diri paling tinggi, paling hebat, dan paling benar karena kita sesungguhnya selalu membutuhkan orang lain. Oleh sebab itu, kita wajib menjalin interaksi yang baik dengan orang lain apa pun agama, ras, suku, dan adat mereka, bahkan sekalipun dengan mereka yang tidak beragama.

            Sampurasun.

Saturday 14 September 2019

KPK Kuat Demokrasi Kuat

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Dulu saya sangat tidak percaya demokrasi karena demokrasi itu menghasilkan banyak keburukan dan membludakkan orang-orang munafik. Kalau berbicara, mereka suka berbohong; kalau berjanji, mereka suka ingkar; kalau diberi amanat/kepercayaan, mereka malah khianat.

            Salah satu kejahatan yang muncul karena sistem  politik demokrasi itu adalah tindakan “korupsi”. Orang-orang berkuasa dan kaya raya menghambur-hamburkan uang untuk kampanye dengan jumlah yang sangat fantastis, besar sekali. Bahkan, jika dihitung-hitung, jumlah uang yang dikeluarkan untuk “money politics” jauh lebih besar dibandingkan dengan gaji para pejabat terpilih selama lima tahun. Ketika berhasil terpilih, mereka bukannya bekerja untuk rakyat dan bangsanya, melainkan berupaya mengembalikan modal bekas kampanye dengan cara-cara kotor, yaitu korupsi.

            Dengan adanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tindakan korupsi yang diakibatkan oleh proses politik demokrasi dapat ditekan dan terus ditekan hingga ke tingkat minimal, bahkan kalau bisa, tidak ada sama sekali. Dengan demikian, money politics dapat dikurangi karena para pejabat terpilih, baik di eksekutif maupun di legislatif akan  semakin kesulitan untuk melakukan korupsi dalam rangka mengembalikan modal bekas kampanye. Hal itu disebabkan mereka akan berhadapan dengan KPK yang tidak segan menangkap gubernur, walikota, DPR/DPRD, atau pejabat lainnya. Hal itu pun akan menguatkan kepercayaan rakyat pada sistem demokrasi.

            Untuk membuat KPK semakin kuat, harus ada evaluasi dan berbagai perbaikan dalam tubuh KPK dalam berbagai hal. Dalam ilmu manajemen, evaluasi itu penting untuk lebih menguatkan organisasi. Suatu organisasi yang tidak pernah dievaluasi akan stagnan, statis, tidak dinamis, dan tidak akan berkembang. Evaluasi itu sangat penting jika dilakukan untuk memperkuat sebuah organisasi dan bukan untuk menghambat, bahkan membunuhnya.

            Semoga revisi UU KPK yang diributkan orang itu semakin memperkuat KPK agar demokrasi menjadi semakin dipercaya dan semakin kuat. Apabila KPK semakin lemah, kepercayaan pada demokrasi pun semakin luntur dan pada gilirannya orang akan meninggalkan sistem politik demokrasi untuk kemudian memilih sistem politik lain.

            Sampurasun.

Berbeda Pendapat dengan Habibie


oleh Tom Finaldin



Bandung, Putera Sang Surya
Bacharuddin Jusuf Habibie, Presiden ke-3 RI adalah orang cerdas, baik, banyak jasanya, luas manfaatnya bagi orang lain. Semoga Allah swt memberikan tempat yang sangat baik di sisi-Nya. Meskipun demikian, dia sama dengan kita, manusia yang punya kelebihan dan kekurangan. Oleh sebab itu, dalam beberapa hal mungkin banyak yang tidak sependapat dengan Habibie. Itu wajar. Tidak sepaham, berbeda pendapat, bukan berarti harus menjadi musuh.

            Saya pun punya pendapat berbeda dengan Habibie. Dulu ketika referendum/penentuan pendapat rakyat dilaksanakan di Timor Timur, Habibie terlalu cepat mengabulkan dilaksanakannya referendum. Akibatnya,  Timor Timur lepas dari NKRI dan menjadi negara sendiri dengan nama Timor Leste. Dia terlalu cepat karena Indonesia tidak mempersiapkan diri untuk menjadi pemenang referendum, sedangkan mereka yang ingin berpisah dari NKRI bekerja sangat keras dengan dibantu pihak asing.

            Perbedaan paham tersebut tidak mengurangi rasa hormat saya kepada Presiden Habibie. Berbeda ya berbeda saja. Biasa saja.

            Sekarang pun saya punya pendapat yang berbeda dengan Habibie. Selepas BJ Habibie wafat, tiba-tiba viral isi pidatonya di Kairo, Mesir. Awalnya, saya tidak percaya Habibie berpidato seperti itu. Saya anggap sebagaimana postingan yang lalu-lalu, dibuat oleh orang iseng yang kerjaannya bikin ramai di dunia maya. Akan tetapi, setelah di televisi ada orang yang mengaku menyaksikan pidato itu, saya agak percaya meskipun tidak percaya sepenuhnya karena tidak mendengar langsung dan tidak melihat rekaman/video saat pidato itu terjadi.

            Saya anggap saja pidato itu memang terjadi dengan isi seperti itu. Ada yang menggelitik dari isi pidato itu, terutama pada bagian ketika dia mengatakan bahwa jika harus memilih antara teknologi dan ilmu agama, akan memilih ilmu agama. Kata-katanya itu jelas menyiratkan bahwa ada ilmu duniawi dan ilmu agama. Di situlah perbedaannya dengan saya.

            Bagi saya, tidak ada yang namanya ilmu agama dan ilmu duniawi. Semua ilmu itu sumbernya dari Zat Yang Satu, yaitu Allah swt. Teknologi membuat pesawat terbang juga dari Allah swt. Ilmu arsitektur juga dari Allah swt. Ilmu kedokteran, ekonomi, sosiologi, politik, pemerintahan, kebijakan publik semuanya dari Allah swt.

            Kalau bukan dari Allah swt, dari siapa atuh?

            Seorang ahli teknologi yang mampu membuat pesawat terbang jika dia membuatnya dengan niat “lillahi taala” untuk kebaikan manusia akan memperoleh pahala yang teramat besar dari Allah swt. Bayangkan saja pada masa lalu orang untuk pergi ibadat ke Mekah itu bisa berbulan-bulan dengan menggunakan perahu layar, begitu juga dengan perahu mesin, masih berbulan-bulan juga. Akan tetapi, sekarang dengan teknologi pesawat terbang, pergi berhaji ke Mekah bisa hanya hitungan jam. Jauh lebih cepat, lebih hemat, dan lebih sehat.

            Bukankah itu tindakan berpahala yang dapat menyebabkan pembuat pesawat terbang masuk surga dan dicintai Allah swt?

            Begitu juga dengan ilmu arsitek. Dengan ilmu itu, kita bisa membuat masjid yang besar, bertingkat, mewah, dan indah. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mampu membuat bangunan masjid yang indah, mewah, dan futuristik.

            Bukankah itu tindakah yang baik, berpahala?

            Kalau tidak menguasai ilmu arsitek, bagaimana mungkin umat bisa memiliki bangunan megah dan tinggi untuk beribadat di Mekah dan Madinah?

            Apalagi ilmu kedokteran yang sangat dekat dengan masyarakat, sangat penting bagi dakwah. Kalau ustadz, mubaligh, dai, para habib sakit, ilmu kedokteran sangat berguna dalam mempercepat dan menjadi jaminan kesehatan dibandingkan para dukun.

            Kalau ilmu kedokteran dianggap rendah dibandingkan duduk bersila di dalam masjid mendengarkan ceramah, jangan ke dokter atuh kalau sakit. Apalagi penyakit jantung. Dengarin aja ceramah terus, siapa tahu sembuh.

            Itu semua adalah teknologi yang juga dari Allah swt. Tak ada pemisahan antara ilmu dunia dengan ilmu agama. Teknologi pun jika diawali dengan niat yang benar, proses yang benar, dan hasil yang benar, itu bagian dari agama. Semua ilmu dari Allah swt.

            Kalaupun mau dipisahkan, paling juga “ilmu khusus” dan “ilmu umum”. Ilmu khusus adalah ilmu yang mempelajari dan mengajarkan tentang ibadat-ibadat ritual. Ilmu umum adalah ilmu yang mempelajari dan mengajarkan berbagai ilmu untuk kepentingan hubungan sosial, ekonomi, politik, teknologi, sastra, dan lain sebagainya. Ilmu khusus dan ilmu umum berasal dari Zat Yang Satu Yang Sama, Allah swt. Ilmu khusus dan ilmu umum adalah bagian dari agama.

            Boleh berbeda pendapat?

            Boleh atuh. Yang tidak boleh itu bermusuhan.

            Sampurasun.

Tuesday 10 September 2019

Manusia Makhluk Otonom

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Manusia adalah makhluk otonom. Artinya, manusia memiliki kebebasan menentukan sikap, pikiran, dan memiliki perasaannya sendiri. Dia bertanggung jawab sendiri atas pilihannya sendiri. Mau hidupnya bahagia atau susah, bergantung perilaku yang dia pilih sendiri.

            Setiap manusia adalah unik. Tidak ada manusia yang 100% sama, baik fisiknya maupun batinnya. Meskipun ada istilah “kembar identik”, manusia selalu berbeda, selalu ada ketidaksamaan. Selintas memang bisa tampak mirip, persis, tetapi sesungguhnya tidak pernah ada yang sama. Perbedaan ini pada zaman modern ini digunakan pemerintah dan aparat kepolisian untuk mendeteksi dan mendata manusia. Contohnya, sidik jari tidak ada yang sama di dunia ini, selalu berbeda. Meskipun kembar, bahkan namanya sama, misalnya, sama-sama bernama “Sidik”, tetap saja sidik jarinya berbeda. Jari-jari orang-orang yang bernama Sidik, pasti beda sidik jarinya. Disidik-sidik juga jari Si Sidik jelas berbeda dengan Si Sidik lainnya. Sidik jari para Si Sidik, sidik beda.  Demikian pula kondisi batin dan isi otaknya berbeda antara setiap orang. Latar belakang, lingkungan, sifat bawaan, pendidikan, dan kreativitas setiap orang berbeda.

            Hal itu mengharuskan kita untuk lebih “wise”, ‘bijak’ dalam bersikap kepada sesama manusia. Tidak boleh kita memperlakukan tindakan sama persis kepada setiap orang karena setiap orang memiliki perbedaan. Orang bijak akan memperlakukan orang sesuai dengan kondisi orang tersebut. Tidak boleh kita memaksakan kehendak kepada orang lain sebelum ada pemahaman dan kesepakatan untuk melaksanakan kehendak tersebut. Sebelum orang lain paham dan sepakat untuk melakukan sesuatu, tak boleh kita memaksakan sesuatu yang kita inginkan kepada orang lain. Pemaksaan hanya melahirkan konflik di antara manusia dan jauh dari rahmat Allah swt.

            Akan tetapi, jika sudah sampai pada pemahaman dan kesepakatan bersama, pemaksaan itu harus dilakukan karena pelanggaran terhadap kesepakatan adalah keburukan. Contohnya, manusia waras akal sudah sepakat bahwa yang namanya pembunuhan, pencurian, penganiayaan, dan pemerkosaan adalah kejahatan. Jika ada yang melanggar kesepakatan itu, pemaksaan untuk mematuhi kesepakatan itu harus dilakukan. Dalam dunia modern sekarang ini pemaksaan tersebut dilakukan dengan cara penegakkan hukum.

            Manusia adalah makhluk otonom yang bertanggung jawab atas pilihannya sendiri. Oleh sebab itu, hargailah manusia dengan segala perbedaannya dengan manusia lainnya. Untuk dapat berhubungan dengan baik di antara manusia, makhluk-makhluk otonom itu harus mengadakan kesepakatan sehingga atas dasar tanggung jawab pribadinya bersedia untuk hidup bersama atas dasar kesepakatan tersebut. Dengan demikian, dapat terjadi ketertiban dan keharmonisan dalam hidup asal patuh pada kesepakatan bersama.

            Sampurasun