oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Kok orang-orang terus-terusan
ribut soal film “The Santri”?
Coba kita sederhanakan pikiran kita. Di Indonesia itu ada
lembaga sensor film. Sepanjang tidak dilarang oleh lembaga itu dalam arti
diperbolehkan untuk tayang, berarti “boleh ditonton”. Tinggal kitanya saja mau
nonton apa tidak. Terserah kita. Sederhana pisan.
Salah satu persoalannya adalah banyak orang yang menilai
sesuatu tidak secara utuh. Baru lihat “trailer”
saja seperti orang yang sudah memahami seluruh isi ceriteranya. Ini kebiasaan.
Dari dulu, apalagi masa-masa Pilpres RI, April 2019, informasi yang isinya
sepotong-sepotong saja sudah langsung dipercaya, lalu disebarkan seperti
kebenaran mutlak. Padahal, kalaupun mau memberikan kritik dan komentar,
seharusnya pahami dulu secara utuh, kemudian komparasikan dengan
standar-standar yang jelas sehingga kritik dan komentarnya bermutu. Orang Islam
apalagi harus lebih teliti. Untuk meyakini sebuah kisah sebagai hadits saja, harus
diperiksa matan dan perawinya. Kalau tidak jelas, itu dusta atau dongeng yang
hanya digunakan untuk kepentingan orang-orang tertentu.
Di dalam trailer “The
Santri” itu ada adegan memberikan tumpeng di dalam gereja dan itu
diributkan. Bahkan, dinilai terlalu jauh seperti dituduhkan mengajarkan
kekafiran, pemurtadan, dan berasal dari gerakan zionis. Wah, jauh banget itu
tuduhan.
Apa salahnya memberikan tumpeng di dalam gereja?
Apa salahnya jika orang-orang nonmuslim ketika bulan
Ramadhan banyak yang berdiri di pinggir jalan, di depan gereja, dan di gerbang
masjid membagikan secara gratis tajil untuk kaum muslimin yang melaksanakan
ibadat shaum?
Pembagian tajil itu terjadi di kota-kota besar, seperti,
Jakarta dan Bandung.
So what?
Bukankah itu sikap yang baik menjaga hubungan baik sesama
manusia dan sesama warga bangsa?
Dulu, kenalan saya kuliah di Honolulu, Hawai, Amerika
Serikat. Setiap Jumat selalu menggunakan gereja untuk melaksanakan ibadat
shalat jumat. Orang-orang Islam di sana dari berbagai negara iuran untuk
menyewa gereja agar bisa melaksanakan shalat jumat. Hal itu dilakukan karena
saat itu di Honolulu belum ada
masjid.
Ketika hal ini saya diskusikan di Bandung dengan
teman-teman, ributnya bukan main, saling salahkan karena menurut mereka memang
melanggar beberapa syarat sahnya ibadat shalat Jumat. Pro-kontra pun terjadi.
Meskipun demikian, baik yang pro maupun yang kontra sama-sama mendapatkan ilmu dari perdebatan itu.
Saya sih sederhana saja berpikirnya. Saat itu di Honolulu
belum ada masjid. Kaum muslimin ingin ibadat Jumat. Bangunan besar yang bisa
digunakan adalah gereja. Itu situasi darurat. Oleh sebab itu, boleh saja
dilakukan. Kalau tidak boleh, berarti salah dong shalat jumat itu di sana.
Jadi, jumatan itu salah, begitukah?
Itu peristiwa dulu. Sekarang beda lagi. Mungkin sudah
banyak masjid dibangun di Amerika Serikat sesuai perkembangan kaum muslim di
sana. Bahkan, di New York itu hari Idul Fitri dan Idul Adha dijadikan hari
libur untuk menghormati kaum muslimin Amerika Serikat. Kaum muslimin tidak
perlu lagi menyewa gereja untuk beribadat.
Memberikan tumpeng di gereja tidaklah salah, apalagi pada masa sekarang ini ketika masyarakat banyak menilai terjadinya sikap-sikap radikal dan intoleran yang dikhawatirkan menimbulkan disintegrasi bangsa. Hubungan antarumat beragama harus semakin diperkuat. Saling menghormati dengan toleransi yang tinggi harus makin dibiasakan. Hal yang haram dilakukan oleh umat Islam adalah datang ke gereja, lalu menukarkan akidahnya. Itu baru murtad.
Memberikan tumpeng di gereja tidaklah salah, apalagi pada masa sekarang ini ketika masyarakat banyak menilai terjadinya sikap-sikap radikal dan intoleran yang dikhawatirkan menimbulkan disintegrasi bangsa. Hubungan antarumat beragama harus semakin diperkuat. Saling menghormati dengan toleransi yang tinggi harus makin dibiasakan. Hal yang haram dilakukan oleh umat Islam adalah datang ke gereja, lalu menukarkan akidahnya. Itu baru murtad.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment