Thursday 19 September 2019

Shalat Jumat di Gereja


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Kok orang-orang terus-terusan ribut soal film “The Santri”?

            Coba kita sederhanakan pikiran kita. Di Indonesia itu ada lembaga sensor film. Sepanjang tidak dilarang oleh lembaga itu dalam arti diperbolehkan untuk tayang, berarti “boleh ditonton”. Tinggal kitanya saja mau nonton apa tidak. Terserah kita. Sederhana pisan.

            Salah satu persoalannya adalah banyak orang yang menilai sesuatu tidak secara utuh. Baru lihat “trailer” saja seperti orang yang sudah memahami seluruh isi ceriteranya. Ini kebiasaan. Dari dulu, apalagi masa-masa Pilpres RI, April 2019, informasi yang isinya sepotong-sepotong saja sudah langsung dipercaya, lalu disebarkan seperti kebenaran mutlak. Padahal, kalaupun mau memberikan kritik dan komentar, seharusnya pahami dulu secara utuh, kemudian komparasikan dengan standar-standar yang jelas sehingga kritik dan komentarnya bermutu. Orang Islam apalagi harus lebih teliti. Untuk meyakini sebuah kisah sebagai hadits saja, harus diperiksa matan dan perawinya. Kalau tidak jelas, itu dusta atau dongeng yang hanya digunakan untuk kepentingan orang-orang tertentu.

            Di dalam trailer “The Santri” itu ada adegan memberikan tumpeng di dalam gereja dan itu diributkan. Bahkan, dinilai terlalu jauh seperti dituduhkan mengajarkan kekafiran, pemurtadan, dan berasal dari gerakan zionis. Wah, jauh banget itu tuduhan.

            Apa salahnya memberikan tumpeng di dalam gereja?

            Apa salahnya jika orang-orang nonmuslim ketika bulan Ramadhan banyak yang berdiri di pinggir jalan, di depan gereja, dan di gerbang masjid membagikan secara gratis tajil untuk kaum muslimin yang melaksanakan ibadat shaum?

            Pembagian tajil itu terjadi di kota-kota besar, seperti, Jakarta dan Bandung.

            So what?

            Bukankah itu sikap yang baik menjaga hubungan baik sesama manusia dan sesama warga bangsa?

            Dulu, kenalan saya kuliah di Honolulu, Hawai, Amerika Serikat. Setiap Jumat selalu menggunakan gereja untuk melaksanakan ibadat shalat jumat. Orang-orang Islam di sana dari berbagai negara iuran untuk menyewa gereja agar bisa melaksanakan shalat jumat. Hal itu dilakukan karena saat itu di Honolulu belum ada masjid.

            Ketika hal ini saya diskusikan di Bandung dengan teman-teman, ributnya bukan main, saling salahkan karena menurut mereka memang melanggar beberapa syarat sahnya ibadat shalat Jumat. Pro-kontra pun terjadi. Meskipun demikian, baik yang pro maupun yang kontra sama-sama  mendapatkan ilmu dari perdebatan itu.

            Saya sih sederhana saja berpikirnya. Saat itu di Honolulu belum ada masjid. Kaum muslimin ingin ibadat Jumat. Bangunan besar yang bisa digunakan adalah gereja. Itu situasi darurat. Oleh sebab itu, boleh saja dilakukan. Kalau tidak boleh, berarti salah dong shalat jumat itu di sana.

            Jadi, jumatan itu salah, begitukah?

            Itu peristiwa dulu. Sekarang beda lagi. Mungkin sudah banyak masjid dibangun di Amerika Serikat sesuai perkembangan kaum muslim di sana. Bahkan, di New York itu hari Idul Fitri dan Idul Adha dijadikan hari libur untuk menghormati kaum muslimin Amerika Serikat. Kaum muslimin tidak perlu lagi menyewa gereja untuk beribadat.

           Memberikan tumpeng di gereja tidaklah salah, apalagi pada masa sekarang ini ketika masyarakat banyak menilai terjadinya sikap-sikap radikal dan intoleran yang dikhawatirkan menimbulkan disintegrasi bangsa. Hubungan antarumat beragama harus semakin diperkuat. Saling menghormati dengan toleransi yang tinggi harus makin dibiasakan. Hal yang haram dilakukan oleh umat Islam adalah datang ke gereja, lalu menukarkan akidahnya. Itu baru murtad.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment