Thursday, 26 September 2019

Beda Aksi Mahasiswa 1998 dengan 2019


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Banyak orang yang darahnya mendidih, mengalami eforia melihat gerakan mahasiswa pada 24 September 2019. Banyak yang berharap bahwa gerakan mahasiswa kali ini akan mengulangi kesuksesan 1998 dengan jatuhnya “Rezim Soeharto”. Mereka pun sangat berharap dan menyangka keras bahwa gerakan itu dapat menjadi jalan tumbangnya pemerintahan Jokowi. Hal itu bisa dilihat dari berbagai tulisan mereka di Medsos, berita, dan blog-blog pribadi.

            Sayangnya, peristiwa jatuhnya Jokowi itu tidak akan terjadi. Dalam perhitungan saya, sebagai manusia. Gerakan itu tidak akan menjatuhkan Jokowi.

            Mengapa?

            Pertama, para mahasiswa bergerak tidak untuk menjatuhkan Jokowi. Para ketua Bem yang sempat diwawancarai di TVone dan Metro Tv menyatakan bahwa mereka tidak peduli dengan politik. Mereka hanya berkonsentrasi pada penolakan terhadap UU KPK dan RKUHP. Niat mereka jelas bukan untuk menjatuhkan pemerintahan. Jadi, kalau ada yang teriak-teriak di dunia maya maupun dunia nyata untuk menjatuhkan Jokowi, mereka hanyalah “penunggang gelap”, “penyusup busuk”, yang memanfaatkan gerakan moral mahasiswa untuk menyuarakan keinginan konyol mereka karena belum bisa move on akibat kekalahan Pilpres 2019.

            Kedua, para mahasiswa bergerak sendiri tanpa dipandu oleh orang-orang kuat yang tampil “pasang badan” bersama mahasiswa. Jumlah mahasiswa memang luar biasa. Mereka bergerak bebarengan. Akan tetapi, sayangnya, untuk melakukan perubahan, tidak cukup dengan jumlah massa yang banyak. Berapa pun jumlah massa yang bergerak, tidak akan membuat pemerintahan jatuh jika tuntutan tidak disampaikan dengan jelas dan bernilai akademis. Berbeda dengan aksi 1998 yang didampingi orang-orang kuat. Di jalanan para mahasiswa dipandu “Lokomotif Reformasi” Amien Rais, Sultan Hamengkubuwono X, Gus Dur (Abdurahman Wahid), dan Megawati Soekarnoputeri. Mereka merumuskan “Deklarasi Ciganjur” yang sangat menekan pemerintah dan DPR/MPR. Di dalam pemerintahan, gerakan reformasi diperkuat oleh Ginanjar Kartasasmita. Ketika Soeharto membentuk Kabinet Reformasi untuk menyerap aspirasi rakyat, Ginanjar “mengorganisasikan para menteri” untuk tidak ikut dalam pemerintahan Soeharto. Hal itulah yang menyebabkan Soeharto hilang kekuatannya sebagaimana kata dia sendiri bahwa dia merasa kesulitan karena Kabinet Reformasi tidak mendapat tanggapan yang cukup. Jatuhlah Soeharto.

            Sekarang?

            Tak seorang pun begawan berada di jalanan bersama mahasiswa. Demikian pula, di dalam pemerintahan Jokowi, tak seorang pun tokoh yang menyatakan tidak setuju pada rencana dan gagasan dalam kepemimpinan Jokowi.
            Jokowi tidak akan jatuh. Dia tetap kuat. Itu dalam perhitungan saya, sebagai manusia. Saya tidak tahu rencana Allah swt. Bisa jadi Allah swt menjatuhkan Jokowi, tetapi bisa pula malah meneguhkannya, menguatkannya, memperkokoh posisinya dalam memimpin Indonesia. Allah swt bertindak secara misterius, manusia sulit mencerna tindakan-Nya jika tidak Dia sendiri yang memberitahukannya kepada manusia.

            Ketiga, … sudah dulu lah. Nanti disambung lagi. Soalnya banyak hal yang membuat Jokowi tidak akan jatuh karena gerakan mahasiswa itu. Kalau ditulis sekarang, bisa bosan dan kesal membacanya.

            Jokowi sampai saat ini masih sangat kuat dan kokoh. Saya tidak melihat celah yang membuatnya jatuh.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment