Thursday 30 June 2016

Bukan Al Aqsha Yang Itu, Melainkan The Real Al Aqsha

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Sudah berkali-kali sebenarnya saya menulis bahwa Masjid Al Aqsha di Palestina itu bukanlah masjid yang dimaksud Allah swt di dalam Al Quran. Allah swt tidak pernah menyatakan bahwa Masjid Al Aqsha itu berada di Palestina. Orang-orang hanya menduga bahwa masjid tersebut adalah berada di Palestina sebagaimana yang diyakini hingga hari ini. Dugaan tersebut bisa dipahami dan tidak mengandung dosa sepanjang belum ada keterangan yang nyata tentang masjid tersebut. Akan tetapi, jika sudah ada keterangan yang jelas dan benar, keyakinan itu pun harus segera diubah karena jika dipertahankan, akan menjadi dosa.

            Mengapa mesti malu untuk mengubah keyakinan jika sudah jelas keyakinan itu salah?

            Memang sulit mengubah keyakinan jika sudah berurat berakar dan tertanam dalam aliran darah. Hal seperti ini pernah ditegaskan oleh Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Ir. Soekarno bahwa keyakinan yang sudah tumbuh subur dalam urat-urat darah sangat sulit untuk diubah. Ia menjelaskan bahwa betapa susahnya menyadarkan bangsa Indonesia untuk bersatu dan berjuang melawan penjajahan. Bangsa Indonesia yang sudah terlalu lama dijajah memiliki keyakinan bahwa dirinya adalah bangsa rendahan dan percaya bahwa dirinya harus selalu hidup dituntun oleh orang-orang Barat dan kaum penjajah. Sampai hari ini pun mental-mental terjajah masih ada dalam diri banyak orang yang ditandai dengan selalu membangga-banggakan orang Barat yang sebetulnya telah menunjukkan perilakunya yang jahat dan membingungkan. Oleh sebab itu, Soekarno saking kesalnya pernah melabeli rakyat Indonesia sebagai 100 persen rakyat kelas kambing. Ia menggunakan istilah kambing untuk menunjukkan bahwa betapa bodohnya bangsa Indonesia yang selalu dengan mudah dan rela ditarik hidungnya kesana-kemari oleh kaum Barat. Bahkan, Soekarno pun pernah mengejek bangsa Indonesia sebagai kukuk beluk. Gambaran kukuk beluk adalah sejenis unggas yang jika sudah lama dikurung dalam kegelapan kandang, akan blingsatan dan ribut tidak karuan jika mendapatkan cahaya. Begitu juga rakyat Indonesia yang ketika Soekarno menyadarkannya untuk segera bangkit melawan penjajahan, malah berbalik menyerang dan mengejek Soekarno sebagai “pembuat keonaran” dan melakukan tindakan “ada-ada saja”. Hal itu disebabkan rakyat sudah mati harga dirinya dan hanya rela patuh dengan yakin kepada para penjajah.

            Bukan hanya bangsa Indonesia yang bersikap seperti itu. Semua manusia pun di dunia ini selalu bersikap sama jika telah terlalu lama hidup dalam keyakinannya meskipun keyakinannya tersebut merupakan kesalahan. Dengan melihat pengalaman Soekarno seperti itu, tak heran jika kaum muslimin di dunia ini banyak yang masih percaya bahwa Masjid Al Aqsha itu adalah yang berada di Palestina itu. Hal itu disebabkan sudah terlalu lama yakin bahwa kebohongan itu adalah kebenaran. Hanya orang-orang yang pikirannya bersedia terbuka yang mampu menerima kebenaran.


Menggunakan Al Quran sebagai Alat Analisis

Mari kita gunakan Al Quran untuk menganalisa kebenaran tentang Masjid Al Aqsha.

            Al Quran adalah kumpulan wahyu yang disampaikan Allah swt melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw untuk diberitakan kepada seluruh manusia. Di dalamnya terdapat berita mengenai perjalanan Nabi Muhammad saw dari Mekah ke Masjidil Aqsha. Perjalanan Isra Miraj Nabi Muhammad saw tersebut terjadi pada 620 Masehi. Berikut salah satu ayatnya.

            “Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya, Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (QS Al Isra 17 : 1)

            Mari kita lihat bagaimana kondisi Masjidil Aqsha yang berada di Palestina itu pada 620 Masehi ketika peristiwa Isra Miraj terjadi.

            Duh, ternyata, sayang sekali Saudara-saudara, Masjidil Aqsha yang di Palestina itu tidak ada. Sama sekali tak ada masjid di tempat itu pada 620 Masehi. Jadi, tak ada yang bisa dilihat di sana karena memang tak ada masjid.

            Pertanyaannya, mungkinkah Allah swt Yang Mahaagung, Mahamulia, dan Mahabenar itu memperjalankan Nabi Muhammad saw dari Mekah ke Palestina untuk mengunjungi masjid yang tidak ada?

            Mustahil!

            Orang boleh berkilah bahwa Allah swt Mahatahu bahwa pada 638 M akan dibangun masjid oleh Umar bin Khattab. Jadi, memang benar bahwa Masjidil Aqsha di Palestina itu adalah penghentian perjalanan Nabi sebelum mendapat perintah shalat. Pendapat itu sangat keliru dan menggelikan. Hal itu disebabkan masjid yang dinamai Al Aqsha itu banyak tersebar di seluruh di negeri-negeri muslim.

            Mengapa harus masjid yang di Palestina yang dimaksud Allah swt, bukan yang di tempat-tempat lain?


Mengapa bukan Al Aqsha yang ini? Ini ada di Bandung, Jawa Barat Indonesia


            Apa dasar untuk meyakini bahwa masjid yang dimaksud Allah swt itu yang berada di Palestina?

            Dengan berat hati saya harus mengatakan bahwa siapa pun yang bersikukuh mempertahankan pendapat bahwa masjid yang dimaksud Allah swt itu adalah masjid yang berada di Palestina adalah sama dengan “berbohong dengan menggunakan nama Allah swt”. Hal itu disebabkan saat terjadi peristiwa Isra Miraj Nabi Muhammad saw di area itu sama sekali tidak ada masjid. Mustahil Allah swt memperjalankan Nabi Muhammad saw menuju masjid yang tidak ada.


Menggunakan Perilaku Romawi sebagai Alat Analisis

Ketika terjadi peristiwa Isra Miraj, Yerusalem masih dikuasai oleh Kerajaan Romawi, termasuk area yang diklaim sebagai area yang sekarang berdiri Masjid Al Aqsha. Romawi berkuasa di sana sejak 63 SM s.d. 636 M. Isra Miraj sendiri terjadi pada 620 M ketika area itu masih sangat dikuasai oleh pasukan Romawi dan tidak ada bangunan masjid.

            Mungkinkah Allah swt menempatkan Nabi Muhammad saw pada area yang dikuasai penuh oleh pasukan Romawi?

            Apa yang terjadi terhadap Nabi Muhammad saw jika benar-benar diturunkan di sana yang secara teratur diawasi patroli Romawi?

            Orang boleh berkilah dengan berkhayal bahwa Isra Miraj itu terjadi pada malam hari. Saat itu pasukan dan penduduk Romawi sedang pada nyenyak molor, sebagian pasukan patroli sedang main gapleh, sebagian lagi sedang catur, sebagian lagi sedang mabuk-mabukan dan melacur. Berkhayal sih boleh-boleh saja, tetapi itu kan hanya khayalan, bukan kenyataan.

            Apabila kita melihat perilaku Romawi, kehadiran Nabi Muhammad saw di tempat itu sangat mustahil terjadi. Romawi itu kerajaan yang sangat besar dan kuat. Mereka memiliki tentara yang kuat dengan disiplin tinggi. Romawi adalah kerajaan yang lebih tertib dibandingkan komunitas manusia lainnya yang berada di sekelilingnya. Di samping itu, menurut S.H. Alatas, Romawi adalah kerajaan yang gemar sekali berpesta. Hal itu disebabkan memang pesta menjadi alat politik untuk “mengalihkan perhatian” masyarakat dari berbagai kekurangan atau kecurangan yang ada dalam pemerintahan kerajaan Romawi. Bahkan, rakyat yang berada di bawah kekuasaan Romawi selalu menilai bagus-tidaknya pemimpin adalah dari seberapa banyaknya Sang Pemimpin mampu mengadakan pesta-pesta besar bagi rakyatnya. Artinya, dengan kekuatan pasukan yang berdisiplin tinggi dan kegemaran berpesta, siang malam hampir tidak ada bedanya. Mereka selalu ramai dengan berbagai keriuhan.

            Mungkinkah Allah swt menempatkan Nabi Muhammad saw di tempat orang-orang yang gemar berpesta dan diawasi oleh patroli Romawi yang kuat?

            Tidak mungkin Saudara. Lagian, Isra Miraj itu adalah perjalanan untuk mendapatkan perintah shalat yang sudah pasti harus di tempat yang tenang, khidmat, dan penuh dengan kekhusyukan.


Kesemrawutan Sejarah

Sejarah mengenai area yang diklaim sebagai tempat pemberhentian Nabi Muhammad saw tersebut sangat semrawut, kacau balau, tak ada yang bisa dijadikan pegangan. Para peneliti selalu memiliki versi yang berbeda mengenai tempat tersebut. Kalau bedanya sedikit-sedikit sih, masih bisa ditarik benang merah atau kesamaan dari pendapat para peneliti itu. Akan tetapi, ternyata bukan hanya berbeda versi, melainkan pula saling bertolak belakang. Dengan demikian, kita sangat kesulitan mendapatkan keseragaman dari berbagai hasil penelitian tersebut. Hasil penelitian yang satu menolak hasil yang lainnya. Oleh sebab itu, saya tidak ingin menuliskan sejarah tempat itu karena saking kalang kabutnya keterangan.

            Dari berbagai versi sejarah yang kacau balau itu, ada satu nama yang lebih sering disebut-sebut, yaitu Umar bin Khattab ra. Meskipun demikian, ada versi lain yang menyanggah peran Umar bin Khattab di area tersebut.

            Apabila dilihat lebih saksama, kekacauan sejarah tempat tersebut disebabkan adanya motif-motif politik dan ekonomi dari berbagai pihak yang ingin mengeruk keuntungan dari tempat tersebut. Motif-motif murahan ini mengacaukan pula sejarah Islam di seluruh dunia.

            Peran Umar bin Khattab ra di tempat itu adalah setelah pasukan muslim berhasil mengalahkan Kerajaan Romawi, mencari tempat untuk shalat. Lalu, Umar ra menemukan tempat yang tepat. Di sanalah Umar ra membangun masjid kecil yang dinamai Masjid Umar pada 638 M. Namanya bukan Masjid Al Aqsha, melainkan Masjid Umar. Masjid kecil inilah yang kemudian dikembangkan dan diubah namanya menjadi Masjid Al Aqsha pada dinasti berikutnya.

            Pada saat Umar ra melakukan shalatnya yang pertama tanpa masjid di tempat ini pun sudah terjadi kesemrawutan sejarah. Kisah yang dialami Umar ra pun saling bertolak belakang. Ada yang mengatakan di sana sudah ada gereja, ada yang mengatakan bukan gereja, tetapi kuil, ada pula yang mengatakan bahwa di sana hanya ada reruntuhan puing-puing bangunan. Demikian pula mengenai siapa yang melakukan pembangunan selanjutnya dalam memperluas Masjid Umar ini hingga menjadi Masjid Al Aqsha, banyak sekali versinya. Benar-benar semrawut.


Berawal dari Khayalan

Sesungguhnya, dari sejak dulu pun sudah banyak akademisi yang mempertanyakan kebenaran Masjid Al Aqsha ini. Para akademisi ini melihat adanya motif-motif politik dalam mengisahkan Masjid Al Aqsha di Palestina ini sehingga melebihi keterangan Al Quran atau lebih tepatnya saya mengistilahkan sebagai “membelokkan maksud” dari apa yang sebenarnya dimaksudkan Allah swt sendiri di dalam Al Quran.

            Pada masa Dinasti Umayah di Timur Tengah berkembang sebuah genre sastra tertentu, yaitu Al Fadhail yang mengisahkan sejarah kota-kota. Kaum muslimin yang tertarik pada bidang sastra terinspirasi oleh genre sastra tersebut. Kemudian, membuat banyak kisah khayalan yang berakibat pada terangkatnya status Kota Yerusalem yang sebenarnya tidak ada di dalam Al Quran maupun Hadits. Para akademisi pun mencium adanya kesengajaan dari Dinasti Umayah untuk memperkuat posisi politik dengan mengangkat Yerusalem sebagai Kota Suci umat Islam. Khayalan para penyair inilah yang memperkuat keyakinan umat Islam terhadap Masjid Al Aqsha sebagai masjid pemberhentian Nabi Muhammad saw ketika Isra Miraj. Padahal, itu hanya khayalan.

            Bukan hanya para penyair yang membuat runyam sejarah Islam dan kebenaran Islam, melainkan pula para ahli tafsir dan para sufi yang gemar berkhayal penuh imajinasi takhayul. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Muhammad Husein Haekal yang menyusun biografi Nabi Muhammad saw dengan judul Sejarah Hidup Muhammad. Haekal melihat bahwa banyak sekali ahli tafsir dan sufi yang mengisahkan tentang Muhammad saw berdasarkan imajinasinya sendiri tanpa menggunakan pendekatan-pendekatan ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah pula. Bahkan, menurutnya sangat banyak penulis muslim yang menulis tentang Nabi Muhammad saw berdasarkan tulisan-tulisan nonmuslim yang sesungguhnya sedang menyerang Nabi Muhammad saw sendiri. Hasil kerja Muhammad Husein Haekal mendapatkan dukungan penuh dari ulama besar Indonesia sekaligus cendekiawan papan atas Indonesia, yaitu Prof. Dr. Hamka.

           
Motif Politik dan Ekonomi

Tadi sudah dijelaskan bahwa para akademisi masa lalu pun sudah mencium adanya kesengajaan Dinasti Umayah mengangkat Yerusalem sebagai Kota Suci umat Islam adalah untuk memperkokoh posisi politiknya. Pada masa kini pun motif politik penyebaran isu bahwa Yerusalem merupakan Kota Suci umat Islam dan Masjid Al Aqsha adalah tempat pemberhentian Nabi Muhammad saw ketika Isra Miraj terlihat jelas dari terbentuknya Organisasi Konferensi Islam (Oki) pada 1971 gara-gara pembakaran Masjid Al Aqsha pada 21 Agustus 1969.

            Motif ekonomi dari dibangunnya khayalan tersebut lebih mudah dapat dipahami. Dengan diyakininya Yerusalem sebagai Kota Suci umat Islam dan Nabi Muhammad berhenti di sana, kaum muslimin akan berduyun-duyun berdatangan ke sana dan itu adalah keuntungan melalui sektor pariwisata. Kehadiran kaum muslimin ke sana pun bukan hanya menguntungkan sesama muslim, melainkan pula menguntungkan Israel dan wilayah-wilayah lain yang berbatasan dengan tempat itu. Yang namanya wisata kan pasti mengeluarkan uang untuk biaya macam-macam dan juga belanja.

            Di samping itu, motif politik dan motif ekonomi tersebut selalu dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani Najran ketika pada masa Nabi Muhammad saw masih hidup. Asbabun Nuzul QS Al Baqarah  2 : 120 dalam Tafsir Quran Per Kata: Dilengkapi Asbabun Nuzul & Terjemah yang disusun Dr. Ahmad Hatta, M.A. menyebutkan Ibnu Abbas ra menjelaskan bahwa kaum Yahudi dan Nasrani Najran mengharapkan Rasulullah saw shalat menghadap kiblat mereka. Kiblat Yahudi dan Nasrani Najran itu berada pada satu tempat yang sama, yaitu di tempatnya yang sekarang berdampingan dengan Masjid Al Aqsha. Dalam perhitungan manusia, jelas sekali jika di tempat itu bergabung tiga kiblat agama besar dunia, keuntungan politik dan ekonomi akan didapatkan dengan sangat besar berlimpah ruah. Hal itu menunjukkan bahwa khayalan para penulis muslim zaman Dinasti Umayah mengenai kesucian Yerusalem mendapatkan dukungan pula dari orang-orang Yahudi dan Nasrani.

            Sangat terang benderang pula bahwa pembangunan khayalan Yerusalem adalah Kota Suci bagi tiga agama besar dunia, yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi diharapkan menyedot perhatian dunia yang ujung-ujungnya orang-orang akan datang berziarah untuk menghasilkan keuntungan ekonomi berlipat-lipat melebihi Kota Mekah. Sejak dulu memang banyak orang yang iri terhadap Mekah dan bangunan Kabah yang suci itu. Hal itu disebabkan orang-orang dari berbagai belahan dunia tujuannya selalu mengarah ke rumah purba Kabah sebagai tempat memuja Tuhan. Banyak sekali negeri yang membangun tempat ibadat untuk menyaingi Mekah agar orang-orang tujuannya tidak selalu ke Kabah, tetapi ke tempat ibadat yang lebih dekat, yaitu di negeri mereka sendiri, termasuk di Thaif. Akan tetapi, bangunan-bangunan peribadatan itu sama sekali tidak membuat orang-orang merasa tertarik. Hatinya selalu tertuju ke Kabah. Raja Abraha dari Yaman pun sempat dibuat sangat marah terhadap bangunan Kabah. Pasalnya, ia telah membuat bangunan peribadatan yang lebih megah dan modern di Yaman agar orang-orang berpaling dari Kabah dan menuju Yaman. Akan tetapi, usahanya itu sia-sia, rumah ibadat yang dibangunnya sama sekali tidak dilirik orang. Oleh sebab itu, ia dengan pasukan gajahnya berniat menghancurkan Kabah tanpa sisa agar tak ada tujuan yang ingin didatangi orang-orang. Dia berharap setelah Kabah hancur, orang-orang akan mendatangi rumah ibadat yang telah dibangunnya di Yaman. Akan tetapi, Allah swt menggagalkannya dengan mengirimkan burung-burung yang membawa batu panas dari neraka. Burung yang membawa batu panas dari neraka itu sebenarnya kuman yang membawa penyakit dari arah laut dan terbang bersama angin menuju ke perkemahan Abraha. Hasilnya, seluruh pasukan Abraha kocar-kacir dilanda wabah cacar yang sangat panas dan menular sangat cepat dalam waktu yang teramat singkat. Abraha sendiri terkena penyakit itu dan kabur sampai berhasil pulang ke Yaman, tetapi nyawanya tidak tertolong. Ia pun mati di Yaman karena serangan cacar yang panas dan ganas mematikan.

            Demikian pula dengan Yerusalem. Dengan terbangunnya pikiran dunia bahwa kota itu adalah Kota Suci tiga agama besar dunia, keuntungan ekonomi yang didapat akan sangat berlimpah. Akan tetapi, sayang sekali, itu hanya khayalan yang menjadi dusta, bukannya keuntungan ekonomi berlipat yang didapatkan, melainkan huru hara dan berbagai aksi pembunuhan yang selalu menjadi pusat perhatian dunia.

            Berapa nyawa manusia yang melayang di sana dari zaman ke zaman hingga hari ini?

            Berapa banyak kerusakan yang telah melanda wilayah itu?

            Kedamaian apa yang telah terjadi di sana?

            Bahagiakah mereka?

            Masa ada Kota Suci, tetapi kehidupannya dipenuhi pertumpahan darah, kebencian, kecemasan, dan kekalutan.

            Berhenti dari kedustaan!


Allah swt Membenci Kebohongan

Al haqu mirobbika, “kebenaran itu datang dari Tuhan-mu”. Kebenaran adalah Allah swt. Oleh sebab itu, Allah swt sangat membenci kebohongan dan kedustaan.

            Manusia boleh menginginkan langgengnya kekuasaan politik dengan berdusta, tetapi hasilnya pasti adalah kekalahan. Manusia boleh menginginkan keuntungan ekonomi berlimpah ruah dengan kebohongan, tetapi hasilnya pasti kehancuran.

            Lihat Organisasi Konferensi Islam, berhasilkah?

            Kalau dasarnya adalah khayalan yang telah menjadi dusta, hanya kebencian Allah swt yang akan datang dan memang sudah datang. Jangan harap pertolongan Allah swt akan tiba jika masih mendasarkan diri pada kebohongan. Tak ada kebahagiaan di sana jika kebohongan masih menempel di tempat itu. Tak mungkin Allah swt menganugerahkan kemenangan dan kebahagiaan hakiki atas dasar kedustaan.

            Masjid Al Aqsha di Palestina itu bukanlah masjid yang dimaksud Allah swt dalam Al Quran. Kalau masih bersikukuh dengan hal palsu, sama artinya dengan menipu manusia dengan dalih bahwa hal itu berasal dari Allah swt. Dosa besar. Jangan bermimpi mendapatkan kemenangan jika masih percaya pada kepalsuan. Nikmatilah kesedihan dan ketidakamanan karena telah menggunakan kebohongan untuk kepentingan duniawi yang rendah.

            Allah swt sudah mengingatkan hal ini dalam Al Quran Surat Al Baqarah ayat 120:

            “…. Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak akan ada bagimu pelindung dan penolong selain Allah.”

            Jika masih mengikuti khayalan para penyair yang mendapatkan dukungan penuh dari kaum Yahudi dan Nasrani, Allah swt akan membiarkan kaum muslimin menderita tanpa ada seorang pun yang mampu memberikan perlindungan dan pertolongan. Hanya Allah swt sajalah yang sangat mampu memberikan perlindungan dan pertolongan bagi kaum muslimin dengan cara-Nya sendiri. Akan tetapi, perlindungan dan pertolongan Allah swt itu datang setelah kaum muslimin menyadari kesalahannya dan menghentikan menyandarkan diri pada kebohongan serta berhenti dari upaya mendapatkan keuntungan melalui kedustaan.

            Khusus bagi Indonesia, hendaknya segera mengubah pandangannya. Pembelaan terhadap Palestina seharusnya bukan karena “khayalan” bahwa Nabi Muhammad saw pernah berada di sana saat Isra Miraj, melainkan karena amanat dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

            “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

            Kalimat dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut sesungguhnya lebih suci dan lebih diridhoi Allah swt daripada kebohongan tentang Yerusalem. Oleh sebab itu, alinea-alinea berikutnya lebih masuk akal dan lebih sakral dengan menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia itu dihasilkan oleh atas rahmat Allah swt dan dengan didorong oleh keinginan yang luhur.

            Keyakinan yang tulus terhadap rahmat Allah swt dan keinginan yang luhur dari segenap bangsa Indonesia menjadikan Allah swt benar-benar ridho terhadap kemerdekaan Indonesia karena tak ada kedustaan di sana. Berbeda jika keinginan untuk merdeka sangat besar, tetapi mendasarkan diri pada khayalan yang telah menjadi kebohongan, rahmat Allah swt pun tak akan ada di sana. Hal itu disebabkan Allah swt tak akan pernah meridhoi segala bentuk kebohongan yang diniatkan untuk mendapatkan keuntungan politik dan ekonomi.


The Real Al Aqsha

Kaum muslimin seluruh dunia harus menyiapkan mental untuk membuka diri, pikiran, dan perasaan bahwa sesungguhnya yang dimaksud Masjidil Aqsha oleh Allah swt dalam Al Quran adalah Candi Borobudur. Masjidil Aqsha itu adalah istilah yang digunakan Allah swt dalam Al Quran yang artinya “masjid terjauh”. Istilah yang digunakan kita adalah Candi Borobudur. Hal ini sebagaimana bahasa Allah swt yang menyebutkan bahwa Raja Abraha diserang oleh burung-burung yang membawa batu panas dari neraka. Dalam pandangan manusia Raja Abraha diserang oleh kuman yang membawa penyakit yang terbang bersama angin dari arah laut sehingga menimbulkan penyakit cacar yang panas dan ganas serta menular dalam waktu teramat singkat. Itu berdasarkan penelitian Muhammad Husein Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad. Artinya, Al Aqsha dan Candi Borobudur itu adalah tempat yang sama. Demikian pula bahwa burung-burung itu adalah kuman, batu panas dari neraka adalah materi penyakit cacar yang panas dan ganas.

            Kalau ingin mengetahui kebenaran Borobudur adalah Al Aqsha bisa dipelajari dari hasil penelitian K.H. Fahmi Basya. Dia adalah ilmuwan hebat yang menerangkan secara ilmiah.

            Kalau saya sendiri berdasarkan pengalaman spiritual dan pengetahuan yang diberikan Allah swt. Saya memang mengalami pengalaman spiritual di Candi Borobudur sekitar 1998.

            Nggak percaya?

            It’s oke. No problem.

            Kalian boleh menganggap saya mengada-ada atau mengaku-aku. Nggak ada masalah. Kalian juga boleh mengatakan saya pembohong dan penipu. Bahkan, kalau ada yang mengatakan saya sesat dan menyesatkan orang lain, juga boleh-boleh saja. Saya senang jika disebut sesat dan terbukti memang sesat. Jika saya adalah sesat secara meyakinkan, saya bisa memperbaiki diri. Akan tetapi, jika kalian mengatakan saya sesat tanpa ada bukti kecuali bahasa-bahasa bodoh, kalianlah yang sesungguhnya yang tersesat. Kalianlah yang sesungguhnya manusia-manusia sesat dan hina, baik di dunia sekarang ini maupun di akhirat nanti jika tidak berhenti dari kesesatan kalian.

            Sekarang, perhatikan ini!

            “Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya, Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (QS Al Isra 17 : 1)

            Dalam banyak kitab terjemahan Al Quran, selalu dimuat tafsir dari kalimat “Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya”. Kalimat itu ditafsirkan bahwa Masjidil Aqsha  di Palestina itu diberikan berkah dengan banyaknya nabi di sana dan tanah yang sangat subur.

            Jika disebutkan di sana banyak terdapat nabi, mungkin iya. Akan tetapi, mungkin juga tidak benar. Hal yang patut diperhatikan adalah di wilayah-wilayah yang mengelilingi Candi Borobudur juga terdapat banyak nabi. Bahkan, Candi Borobudur sendiri dibangun oleh Nabi Sulaiman as. Di Indonesia ini banyak sekali nabi. Hal itu diisyaratkan sendiri oleh Allah swt bahwa nabi itu diutus dengan menggunakan bahasa kaumnya.

            Ada berapa ratus kaum dan bahasa di Indonesia?

            Sebanyak itu pulalah nabi yang diutus Allah swt ke Indonesia.

            Ada berapa ribu kaum dan bahasa di seluruh dunia?

            Sebanyak itu pulalah nabi yang diutus Allah swt ke seluruh dunia.

            Nabi-nabi itu ada yang dicatat dalam Al Quran dan ada pula yang tidak. Nabi-nabi yang dicatat dalam Al Quran ada 25 nabi. Adapun yang tidak tercatat dalam Al Quran ada dalam ayat-ayat kauniyah.

            Hal tersebut menunjukkan bahwa bukanlah suatu keistimewaan yang khusus bagi Yerusalem dengan adanya nabi-nabi di sana karena di luar Yerusalem justru lebih banyak nabi.

            Lantas, menurut para ahli tafsir, di seputar Masjidil Aqsha di Palestina itu diberkahi dengan tanahnya yang subur.

            Oh, ya?

            Betulkah?

            Sesubur apa sih tanah di sekelilingnya itu?

            Apa saja yang dihasilkan di tanah yang katanya subur itu?

            Apa bedanya dengan tanah di seputar Mekah?

            Perbedaan kesuburan tanah di Mekah dengan di Yerusalem paling sedikit-sedikit saja. Tak ada perbedaan yang sangat mencolok antara tanah di sekeliling Mekah dengan di sekeliling Masjid Al Aqsha di Palestina itu. Tak ada keistimewaan yang khusus. Biasa saja. Tanahnya kering dengan iklim yang panas.

            Terlalu rendah bagi Allah swt jika menempatkan Nabi Muhammad saw ke Yerusalem dengan kalimat “….agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami….”. Hal itu disebabkan tanah di Mekah dengan tanah di Yerusalem hanya beda-beda tipis, sama sekali tidak terlalu istimewa bagi Allah swt untuk menunjukkan kebesaran diri-Nya dengan hal itu.

            Bandingkan dengan kesuburan tanah di sekeliling Candi Borobudur.

            Subur mana antara tanah di sekeliling Yerusalem dengan tanah di sekeliling Candi Borobudur?

            Hayo, subur mana?

            Jujur!

            Jangankan di sekeliling Candi Borobudur, di tanah tempat Candi Borobudur berdiri saja sudah sangat subur. Di sekelilingnya apalagi sampai sekarang masih sangat subur. Wilayah-wilayah yang mengelilinginya pun subur sekali. Bahkan, kota-kota yang berdekatan dengan wilayah Borobudur, teramat subur. Lebih jauh lagi, Borobudur berdiri di pulau yang sangat subur dan berada di negara yang juga subur dan indah sehingga mendapat julukan The Beautiful Country. Itulah yang dimaksud oleh Allah swt sebagai tanah yang penuh berkah di sekelilingnya.

            Masyarakat di seputar Candi Borobudur pun dipenuhi banyak berkah dengan kehidupan yang lebih aman dan menyenangkan. Berbeda dengan di Palestina itu yang penuh dengan ancaman, pertikaian, kebencian, dan pembunuhan.

            Berkah dari mananya hidup dengan penuh pertengkaran seperti itu?

            Kita lihat lagi ayatnya.

            Maksud Allah swt memperjalankan Nabi Muhammad saw ke Masjidil Aqsha adalah “….agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami….”

            Coba bayangkan Saudara. Isra Miraj itu terjadi pada 620 M. Saat itu wilayah Yerusalem sedang dikuasai secara penuh oleh pasukan Romawi yang besar dan disiplin serta gemar berpesta.  Di samping itu, menurut sejarah Yerusalem yang penuh kerancuan itu, di area itu ada yang mengatakan sudah berdiri kuil, ada yang mengatakan bukan kuil, melainkan gereja, ada pula yang berpendapat di sana hanya puing-puing reruntuhan bangunan. Anggap saja semuanya benar-benar ada bahwa di sana ada gereja, kuil romawi, tembok Solomon, dan reruntuhan puing bangunan.

            Lantas, apa istimewanya pasukan dan rakyat Romawi yang gemar bermabuk-mabukan itu?

            Apa pula bagusnya bangunan-bangunan yang ada di sana dengan reruntuhan puing-puingnya?

            Apa maksudnya Nabi Muhammad saw diperlihatkan itu semua?

            Apa manfaatnya?

            Aneh!

            Mari kita bayangkan Candi Borobudur pada 620 M. Kita memang hanya bisa membayangkan dan menghubungkannya dengan catatan sejarah yang kita miliki.

            Malam Isra Miraj itu bangunan Borobudur hanya tampak jelas bagian atasnya, Arupadatu, karena bagian tubuh lainnya masih terpendam dalam lumpur yang telah mengeras menjadi tanah. Saat itu sangat sepi dan damai. Udaranya hangat karena memang udara malam di sana cukup hangat. Berbeda dengan di Bandung yang dingin dan selalu butuh jaket pada malam hari.

            Tak ada orang di Borobodur karena masjid itu telah ditinggalkan manusia setelah sebagian besarnya ditenggelamkan Allah swt ke dalam tanah gara-gara telah disalahgunakan menjadi tempat penyembahan berhala dan syetan-syetan gentayangan. Orang-orang menjauhi tempat itu dan memilih untuk tinggal jauh dari sana karena takut ditimpa azab lagi.

            Dari puncak Candi Borobudur, Nabi Muhammad saw menyaksikan pemandangan luar biasa hebat yang belum pernah dilihat sepanjang hidupnya. Dia takjub dengan keindahan yang tiada tara.  Gunung dan perbukitan subur benar-benar nyata di hadapannya. Ia seolah berada di tengah surga yang menyenangkan. Di seputarnya dipenuhi pohon-pohon rindang berdaun lebat, sebagian berbuah, sebagian lagi tidak. Suara burung malam mengiringi indahnya alam dengan tumbuhan yang rupa-rupa warnanya. Banyak sungai yang mengalirkan air tanpa henti dengan suara merdu. Sebagian airnya mengaliri sawah yang hanya terdiri atas beberapa petak. Kebun-kebun pun tampak terlihat sebagian-sebagian. Langit tampak cerah dengan bulan yang bercahaya tenang.

            Para penduduk yang jumlahnya hanya sedikit sedang terlelap tidur. Jumlah penduduk saat itu kira-kira 150 orang, tidak ramai seperti sekarang ini. Mereka orang-orang sederhana dan menyukai kedamaian.

            Allah swt memperlihatkan itu semua untuk menunjukkan kebesaran diri-Nya. Allah swt menunjukkan bahwa ada belahan dunia lain yang demikian indah tiada tara yang jauh berbeda dengan alam tempat Nabi Muhammad saw lahir dan dibesarkan. Nabi Muhammad saw pun semakin bertambah imannya bahwa Allah swt benar-benar Mahakuasa atas segala sesuatu. Ia merasakan benar-benar perbedaan yang sangat jauh antara tempatnya hidup sehari-hari yang penuh kegersangan dan cuaca yang sangat panas menyengat di Masjidil Haram dengan alam di Masjidil Aqsha yang menawarkan pesona keindahan luar biasa yang sangat nikmat dalam pandangan mata.

            Itulah maksud Allah swt memperjalankan Nabi Muhammad saw ke Masjidil Aqsha yang kita kenal dengan Candi Borobudur.

            “….agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami….”

            Di masjid itulah terdapat pengetahuan tentang shalat, cara mengabdi kepada Allah swt, serta cara menghadapi hidup dan kehidupan untuk kemudian mendapatkan kehidupan yang lebih baik di dunia dan di akhirat. Tentu saja, pengetahuan itu tidak didapat Nabi Muhammad saw dari relief-relief di Candi Borobudur karena relief-relief itu masih terpendam dalam tanah. Nabi Muhammad saw mendapatkan pengetahuan itu secara langsung dari Allah swt di Sidratul Muntaha. Akan tetapi, Allah swt berkehendak bahwa semua manusia bisa mendapatkan pengetahuan yang diterima Nabi Muhammad saw melalui relief-relief Candi Borobudur yang sekarang telah terbuka dengan jelas.

            Borobudur adalah kiblat umat Islam yang lebih modern dibandingkan rumah purba Kabah di Mekah. Kabah hanya berbentuk persegi empat yang dilengkapi Hajar Aswad. Adapun Borobudur dilengkapi dengan ilmu pengetahuan yang luar biasa luas.

            Arti setiap putaran thawaf di Mekah dijelaskan di Borobudur secara gamblang. Di Kabah manusia berthawaf sebanyak tujuh keliling dalam area yang itu-itu saja dan pada tanah yang datar. Di Borobudur manusia berthawaf tujuh keliling dalam tempat berbeda dengan makna yang jelas tergambar dalam setiap relief. Thawaf di Borobudur lebih modern dan lebih jelas dibandingkan di Mekah. Di Borobodur seharusnya manusia berthawaf dengan cara seperti di depan Kabah, melawan arah jarum jam, dari kanan ke kiri. Cara thawaf modern di Borobudur adalah perjalanannya membentuk aliran spiral. Dari bawah ke atas dan dari tempat yang luas ke tempat yang lebih sempit, kemudian menuju puncak yang luasnya tak terbatas. Dari Kamadatu meningkat ke Rupadatu.

            Di Kamadatu hanya ada satu keliling yang memperlihatkan bagaimana manusia berperilaku tidak ubahnya seperti hewan. Perilaku itu harus ditinggalkan dengan cara meningkatkan keimanan menuju thawaf berikutnya pada tingkat lebih atas, yaitu Rupadatu. Pada tahap Rupadatu ada enam kali thawaf untuk mencapai kesempurnaan. Dalam enam tingkatan itu manusia harus terus memerangi nafsu duniawi dan hewaninya dengan melengkapi dirinya dengan cinta terhadap Sang Pencipta, terhadap sesama manusia, sesama makhluk hidup, dan seluruh ciptaan Allah swt. Di samping itu, manusia harus pula terus menambah ilmu pengetahuannya untuk dapat mengendalikan dunia dan bukan untuk dikendalikan dunia. Pergaulan harus semakin dibatasi, yaitu hanya dengan orang-orang yang baik serta berpaling dari orang-orang jahat dan berperangai buruk. Tingkat terakhir dari Rupadatu adalah batas akhir  upaya manusia dalam mendekatkan dirinya kepada Allah swt. Satu keliling di Kamadatu ditambah enam keliling di Rupadatu dengan aliran spiral, jumlahnya menjadi tujuh keliling.

            Bukankah sama jumlahnya dengan thawaf mengelilingi Kabah yang tujuh keliling itu?

            Thawaf di Candi Borobudur dapat diumpamakan sebagai bukti bahwa jika Allah swt mau, seluruh manusia akan dibuat beriman dan Allah swt berkuasa untuk melakukan itu. Perhatikan saja, thawaf di Kabah itu dilaksanakan karena ada perintah untuk melakukannya, tetapi thawaf di Borobudur sama sekali tidak menggunakan perintah. Tak ada perintah untuk melakukan thawaf di Borobudur. Akan tetapi, siapa pun yang mengunjungi Borobudur akan dengan sendirinya melakukan thawaf. Siapa pun  orangnya, apa pun agamanya, apa pun rasnya, di mana pun dia tinggal, dari mana pun dia berasal, pasti thawaf di Borobudur dengan sendirinya. Otomatis. Allah swt yang membuatnya seperti itu.

            Unik bukan?

            Jika ia berhasil memaknai thawaf di Borobudur, akan meningkat secara otomatis menuju bagian yang paling atas. Ia akan memasuki maqam Arupadatu yang sudah langsung dikendalikan oleh Allah swt tanpa ada campur tangan dirinya lagi.

            Pada tahap Arupadatu ada tiga tingkatan. Tingkat yang pertama adalah stupa berlubang ketupat yang melambangkan manusia memasuki maqam Fana. Pada derajat ini manusia sudah benar-benar sangat menguasai dirinya. Fana sendiri memiliki arti bahwa telah tunduknya seluruh sifat hewani manusia secara total. Segala hal yang berbau materi dan duniawi sudah tercerabut dari hatinya. Materi dan dunia tidak lagi bersemayam dalam dirinya, melainkan ada dalam genggaman tangannya. Dengan demikian, hidupnya tidak dikendalikan dunia, tetapi justru dialah yang mengendalikan dunia. Dirinya sudah total menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah swt.

            Jika Allah swt berkehendak dan mengasihinya, secara otomatis tanpa upayanya sendiri, Allah swt menariknya ke arah diri-Nya sehingga kedudukannya meningkat dan berada dalam maqam Baqa. Level ini digambarkan di Borobudur sebagai stupa berlubang persegi empat. Pada derajat ini terjadi kebangkitan kembali diri manusia secara total jauh berbeda daripada sebelumnya. Dorongannya untuk berkata-kata dan melakukan tindakan tidak lagi berasal dari nafsunya atau keinginannya pribadi, tetapi berasal dari wilayah ruhani yang penuh pengawasan Illahi. Dari wilayah ruhani inilah munculnya berbagai sumber berlimpahnya tindakan yang bermanfaat bagi kemanusiaan dan seluruh ciptaan Allah swt. Dirinya sudah tidak lagi menggunakan nafsu dan keinginan pribadi untuk bertindak dan berbicara yang biasanya menyebabkan pelanggaran terhadap hak dan kerancuan dalam kehidupan sosial, tetapi berasal dari kesucian Illahi yang penuh rasa cinta, kasih, kedamaian, dan keadilan hakiki.

            Apabila Allah swt semakin mencintainya dan semakin percaya terhadapnya, ia akan ditarik untuk menyatu dengan diri Allah swt dalam maqam Liqa. Derajat ini digambarkan di Borobudur dengan stupa tertinggi berantena yang sudah tak ada lagi lubang. Liqa adalah tingkatan yang di dalamnya manusia sudah memiliki pengetahuan ruhani yang sangat tinggi. Ia seakan-akan sudah benar-benar melihat dan berhadapan langsung dengan Allah swt. Mata batinnya benar-benar tajam melihat Allah swt. Ia melebur dalam kemuliaan Allah swt. Dengan demikian, ia sudah terbebas dari rasa takut terhadap masa depan esok hari, tak ada lagi kegelisahan dan kecemasan atas yang telah terjadi pada masa lalu, tak ada lagi kebimbangan dan ketidakpastian dalam menghadapi masa kini. Dirinya sudah benar-benar terwarnai oleh sifat-sifat Allah swt. Ia sudah teramat ikhlas atas apa pun keputusan Allah swt terhadap dirinya. Ketahuilah jika dia tersenyum, menyukai sesuatu, atau ridho atas sesuatu hal, sesungguhnya Allah swt-lah yang sedang tersenyum, suka, senang, gembira, atau ridho terhadap sesuatu itu. Demikian pula jika dia marah dan murka, sesungguhnya Allah swt-lah yang sedang marah dan murka. Kalimatnya sangat tajam terlimpahi daya cipta anugerah Allah swt. Dia sudah menjadi wakil Allah swt atas segala sesuatu di muka Bumi. Jika dia menginginkan keberkahan dan kemakmuran terhadap suatu negeri, negeri itu pun akan penuh rahmat dan keberkahan. Doanya akan membuat panen kenikmatan bagi manusia. Demikian pula kemarahan dan kemurkaannya atas suatu negeri akan benar-benar melumatkan negeri itu. Hal itu disebabkan Allah swt telah menganugerahinya daya cipta yang dapat menentukan arah sejarah manusia.

            Borobudur-lah sesungguhnya The Real Al Aqsha.


Menjadikan Borobudur Penyeimbang Kehidupan Manusia

Thawaf di Mekah menurut para peneliti berfungsi pula menyeimbangkan rotasi dan revolusi Bumi terhadap Matahari secara fisik. Secara spiritual, selama thawaf dan ibadat di Mekah, kaum muslimin telah pula menyeimbangkan gelombang energi seluruh kehidupan manusia. Ketika manusia banyak sekali yang tenggelam dalam berbagai kemaksiatan, merusakkan tatanan pergaulan hidup, merusakkan dirinya sendiri, terjerumus dalam tindakan dusta dan kebohongan, asyik dalam merugikan orang lain, dan hal-hal buruk lainnya, kaum muslimin sedang terikat dalam kesucian yang tertib dan teratur. Berbagai gelombang energi negatif yang dilakukan oleh banyak manusia terimbangi oleh gerak ibadat ritual kaum muslimin selama melakukan ibadat haji dan umroh.

            Di samping itu, dalam kehidupan sehari-hari pun kaum muslimin telah menjadi penyeimbang dalam kehidupan. Shalat yang minimal lima kali dalam satu hari satu malam telah menjadi daya cegah dan tangkal dari berbagai keburukan, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap lingkungan sekitarnya. Kekuatan daya cegah dan tangkal setiap muslim berbeda antara satu dengan lainnya, bergantung sejauh mana kekuatan spiritualnya mampu memerangi energi negatif yang berada dalam dirinya sendiri dan di lingkungan sekitarnya. Shalat yang lemah mengakibatkan lemahnya pula energi positif dalam memerangi energi negatif. Oleh sebab itu, shalat yang teramat lemah hanya berupa siulan dan tepukan tangan belaka. Shalat yang kuat dan kokoh akan menimbulkan gelombang energi positif, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi lingkungan sekitarnya.

            Apabila kita ingin dunia hidup dalam kedamaian, shalatlah yang baik hingga menumbuhkan getaran positif dalam diri. Gelombang energi positif itu akan memancar keluar dari dirinya dan memengaruhi lingkungan sekitarnya. Semakin kuat shalat seorang muslim, semakin kuat pula lingkungannya tertarik ke arah dirinya hingga menjadi teratur dan semakin tertib yang berujung pada situasi yang penuh damai dan harmonis.

            Kehidupan dunia sekarang ini dengan segala hiruk pikuknya hanya baru terimbangi oleh thawaf di Mekah dengan berbagai ritualnya. Tak heran jika kita masih melihat sangat kuatnya berbagai energi keburukan terjadi di mana-mana. Energi negatif bermunculan pada berbagai belahan dunia di muka Bumi ini, sedangkan energi positif yang mampu menyeimbangkan rotasi dan revolusi Bumi hanya ada satu tempat, yaitu di Mekah depan Kabah. Dengan demikian, energi positif dikeroyok energi negatif dari atas, bawah, depan, belakang, kiri, dan kanan.

            Jika saja kita mau melakukan thawaf di Candi Borobudur dengan baik dari kanan ke kiri secara teratur dengan memahami setiap adegan dalam relief Borobudur, akan ada dua tempat positif yang menyeimbangkan rotasi dan revolusi Bumi, yaitu Kabah dan Borobudur. Apalagi jika relief-relief di Borobudur itu dijadikan ukuran bagi diri kita dalam berperilaku sehari-hari dan diimplementasikan secara nyata dalam keseharian kita, kehidupan pun akan semakin positif dan lebih menyenangkan.

            Memang tidak ada perintah khusus untuk thawaf di Borobudur, tetapi jika dilakukan, itu adalah tindakan yang sangat baik dan pasti berpahala. Lebih hebat lagi jika pengetahuan dari Borobudur itu menjadi ukuran bagi hidup kita. Dengan demikian, Timur dan Barat dikendalikan oleh dua poros kebaikan, yaitu Kabah dan Borobudur, Masjidil Haram dan The Real Masjidil Aqsha. Itu artinya, kehidupan dunia ini akan semakin dipenuhi oleh gelombang energi positif. Thawaf di Kabah adalah perlambang pengikatan diri pada ketuhanan di Bumi bagian barat dan thawaf di Candi Borobodur merupakan simbol tekad diri dalam mencapai kesempurnaan pengabdian kepada Allah swt. Kedua tempat itu akan menjadi pemancar kebaikan bagi seluruh kehidupan di dunia ini. Jika itu terjadi, semakin kuatlah harapan kita bahwa Al Mahdi hadir untuk memenuhi Bumi dengan kebaikan setelah Bumi sebelumnya dipenuhi oleh kejahatan.

            Bagaimana Bumi tidak akan dipenuhi oleh kebaikan jika Timur dan Barat telah terhubung dan bersatu memancarkan gelombang energi positif?

            Koneksi kebaikan yang memancar dari dua tempat itu akan mengalahkan energi negatif yang selama ini terjadi di hampir seluruh bagian Bumi tempat kita hidup. Semakin kuat kaum muslimin melakukan ibadat dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari, energi jahat pun semakin pudar dan musnah.

            Selamatkan diri dan kehidupan ini dari berbagai kejahatan. Hentikan kedustaan dan kebohongan agar kebaikan dan kedamaian mendapatkan jalan yang lebih lebar untuk menyelamatkan manusia dan kemanusiaan.


Lailatul Qadar

Saya menulis ini pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Saya berharap, baik saya sendiri maupun siapa saja yang membaca tulisan ini mendapatkan anugerah lailatul qadar. Amin.

            Jika saya salah, itu adalah kebodohan yang berasal dari diri saya sendiri. Jika saya benar, sesungguhnya itu berasal dari Allah swt yang Mahabenar dan Mahasuci terbebas dari berbagai keburukan.