Saturday, 18 June 2016

Hormati Ramadhan dan Orang yang Berpuasa

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Kalau tidak mau ribut, hormati Ramadhan dan orang yang berpuasa. Itu mutlak. Kalau tidak mau menghormati Ramadhan dan orang yang berpuasa, khususnya di Indonesia, keributan bakalan terjadi. Itu pasti.

            Kita ini sudah beberapa tahap meninggalkan kebiasaan buruk, jangan kembali lagi menghidup-hidupkan kebiasaan buruk lama. Generasi saat kita ini sangat berbeda dengan generasi masa lalu. Dulu orang-orang yang berpuasa bersikap defensif terhadap orang-orang yang tidak berpuasa. Mereka  tidak mau ribut karena sedang berpuasa, harus menahan amarah. Meskipun orang yang tidak berpuasa terkadang bersikap offensif dan mencoba menggoda terkadang melecehkan, orang yang berpuasa tetap tenang dan menjaga stabilitas situasi. Saya masih ingat ketika kecil bagaimana kurang ajarnya para pedagang kakilima menjajakan barang sambil tetap merokok pada siang hari, bagaimana tidak sopannya anak-anak muda merokok dalam Angkot, betapa over acting para nonmuslim keluar masuk rumah makan dan makan minum di tempat terbuka. Sementara itu, orang-orang baik yang berpuasa tidak terlalu ambil pusing. Itu tandanya bahwa orang-orang yang berpuasa sudah sangat toleran terhadap orang yang tidak berpuasa sejak dulu.

            Jangan diingatkan lagi bahwa “orang yang berpuasa harus menghormati orang yang tidak berpuasa”. Dari dulu juga sudah, sudah, sudah menghormati. Jangan diulang-ulang lagi peringatan itu, nggak ada gunanya, nggak perlu, tidak penting, kalimatnya sudah sangat kuno, ketinggalan zaman!

            Perubahan sikap terjadi ketika justru orang-orang yang tidak berpuasa makin hari makin kurang ajar, semakin melecehkan, semakin tidak peduli, semakin tidak menghargai, semakin arogan, serta semakin menantang pengen ditonjok!

            Kayaknya mereka merasa bahagia kalau disiksa. Aneh. Kalau diingatin juga, mereka malah menantang, ngajakin teman-temannya agar tetap bisa berlaku kurang ajar.

            Kita masih ingat bagaimana banyak Ormas Islam yang melakukan aksi-aksi sweeping pada beberapa tahun lalu. Hal itu disebabkan orang-orang yang tidak berpuasa dan kurang ajar tidak menghormati Ramadhan. Makan minum seenaknya, dari mulutnya kerap melecehkan bahwa puasa itu tidak ada gunanya, cuma tradisi Arab. Mabuk-mabukan tidak berhenti, malahan mengganggu orang lain.

            Aksi-aksi Ormas-ormas Islam itu terjadi karena kekesalan terhadap situasi dan kemarahan atas tindakan bodoh dari orang-orang yang tidak menghargai Ramadhan. Aksi-aksi itu bukan hanya dilakukan oleh Ormas Islam, melainkan pula oleh individu-individu yang diberi kekuatan oleh Allah swt secara perorangan. Saya, misalnya, kalau pulang kuliah dulu sama teman-teman menggunakan bus kota atau Angkot. Jika di terminal atau di dalam kendaraan tercium asap rokok, otomatis, saya bereaksi teramat cepat. Saya dengan cepat meledek untuk mempermalukan orang yang merokok. Akibatnya, paling-paling berkelahi. Kalau berkelahi kan hasilnya selalu sama, yaitu kalah atau menang. Biasa saja. Saya juga memang belum bisa meninggalkan kebiasaan merokok, tetapi kalau saat Ramadhan dan di tempat umum, sangat tidak beretika.

            Saya juga sendirian pernah membubarkan orang-orang yang gemar berjudi memancing ikan. Nggak sendirian juga sih, pake akal dikit. Saya sangat kesal setiap lewat tempat itu melihat orang ketawa-ketawa keras-keras kayak dunia hanya milik mereka aja. Berjudi sambil memancing ikan. Rokok di mulutnya tak pernah lepas, sebagian lagi mengunyah makanan. Padahal, saat itu sedang Ramadhan. Dari sejak sebelum dzuhur, mereka sudah memancing sambil judi. Dzuhur dilewat, Ashar juga tidak dipedulikan. Ketika menjelang maghrib, dari masjid dekat situ ada ustadz lagi ngajarin asmaul husna dan bacaan Al Quran lainnya dengan menggunakan speaker. Eh, … para penjudi ikan itu malah ngikut-ngikutin baca asmaul husna dengan main-main memplesetkan bacaan. Terus, ketawa-ketawa bahagia sama teman-temannya. Ketika hampir maghrib, anak-anak berhamburan keluar masjid, pulang ke rumahnya. Sebagian dari anak-anak itu melewati tempat gerombolan pemancing itu.

            Satu-dua anak menyapa yang sedang memancing, “Pak, ….”

            “Ya, cepat sana pulang!”

            Ternyata, anak itu menyapa ayahnya sendiri.

            Gobloknya, ayahnya menjawab sapaan anaknya yang sedang puasa dan pulang mengaji itu sambil merokok dan matanya tetap tertuju pada kail dan umpan.

            Dasar Ortu Bego!

            Ketika memasuki waktu buka puasa, ternyata para penjudi itu pun ikut sibuk. Mereka pada pulang ke rumahnya. Akan tetapi, cuma sebentar. Lalu, balik lagi. Mereka pun ketawa-ketawa lagi.

            Mancing, lanjut terus!

            Semakin malam semakin ribut, semakin ramai. Mereka pasang beberapa lampu neon di tengah kolam ikan itu. Situasi makin seru. Padahal, orang-orang banyak yang tarawih dan ingin suasana tenang untuk meningkatkan kualitas ibadat masing-masing.

            Saya pikir, mereka memang keterlaluan. Saya segera tanya kepada orang-orang siapa mereka itu, lalu kenapa nggak ada yang mengingatkan mereka. Ternyata, mereka itu orang-orang yang selalu ingin dihormati lingkungannya. Mereka merasa harus selalu berada di papan atas di wilayahnya. Bersamaan dengan itu, orang-orang yang sadar pun enggan berurusan dengan mereka.

            Hmh, … cukup menarik sekaligus mengesalkan.

            Saya coba mengobrol dengan Ketua DKM dan beberapa tokoh masyarakat di sana. Ternyata, tokoh-tokoh di sana baru tersadar bahwa orang-orang itu memang harus diingatkan dan harus dicegah agar tidak melakukan hal-hal berlebihan lainnya. Selama ini, di lingkungan itu para penjudi dan gerombolannya berlaku seperti itu dianggap hal yang biasa, wajar. Hal itu disebabkan masyarakat lainnya seperti tidak memiliki kemauan dan kemampuan untuk menghentikan mereka. Padahal, masyarakat tahu benar bahwa gerombolan itu kerap melakukan banyak kesalahan.

            Saya coba berkoordinasi dengan polisi karena memang ada pelanggaran hukum di sana, yaitu mengganggu ketenangan masyarakat dan menggunakan fasilitas umum secara tidak sah.

            Polisi bilang, “Coba koordinasi dengan RT dan RW.”

            Saya bilang, “Sudah dan sekarang saya bicara sama polisi.”

            Saya tegaskan hal itu agar kalau terjadi sesuatu antara saya dengan gerombolan itu, sudah banyak orang yang tahu. Memang saya kasih waktu satu minggu terhadap gerombolan itu agar berhenti dari melakukan berbagai keburukan di tempat itu. Kalau mereka tidak menurut, saya mungkin akan bikin keributan.

            Beruntung, Allah swt menanamkan rasa malu pada orang-orang itu sehingga mengalah dan menghentikan kegiatan buruk mereka. Perjudian ikan itu tak ada lagi sampai hari ini. Pada saat lebaran mereka memeluk saya sambil menangis. Saya juga menangis. Saling memohon maaf.

            Tentunya, bukan hanya saya memiliki pengalaman seperti itu. Banyak, banyak sekali di luar sana orang-orang yang lebih hebat. Akan tetapi, hal yang ingin saya sampaikan adalah kita sudah mengalami suatu masa ketika masyarakat muslim Indonesia sangat kesal dan marah terhadap tindakan orang-orang yang tidak menghargai Ramadhan dan orang yang berpuasa. Baik Ormas Islam maupun muslim secara individu melakukan hal-hal yang lebih keras dan kasar dibandingkan biasanya untuk menyadarkan orang-orang agar menghargai Ramadhan dan orang-orang yang berpuasa. Dalam ilmu sejarah, masa seperti itu, mirip-mirip dengan istilah “jiwa zaman”. Artinya, pada masa itu zaman memang menghendaki hal seperti itu dan tidak bisa tidak harus terjadi tanpa ada yang menghalangi. Zaman itu membuka zaman lainnya, yaitu zaman yang saat ini kita rasakan.

            Berangkat dari zaman yang penuh kemarahan umat Islam yang terwakili oleh tindakan Ormas-Ormas Islam dan individu-individu yang diberi kemauan, kemampuan, dan kekuatan oleh Allah swt, banyak pemerintah daerah yang mengeluarkan peraturan, baik itu Perda, Perwal, atau Perbup agar seluruh masyarakatnya, baik muslim maupun nonmuslim dapat saling menghargai dalam Bulan Ramadhan. Itu sangat bagus dan harus ditegakkan. Jangan didengerin orang-orang sok tahu yang tidak suka terhadap peraturan tersebut. Hal itu disebabkan kita tidak bisa mundur seperti kondisi masa lalu. Keharmonisan harus semakin dijaga dan saling menghormati harus lebih dipupuk.

            Sebenarnya, sejak awal Ramadhan tahun ini terasa sekali perbedaannya. Suasananya lebih menyenangkan. Ada kegembiraan di dalamnya. Hal ini pun terasa bukan hanya oleh umat Islam, melainkan pula oleh umat-umat lain. Malahan, ada pendeta yang ingin ikutan berpuasa, para preman sembunyi-sembunyi kalau mau makan, banyak gereja menyiapkan tajil untuk berbuka puasa, para nonmuslim ikutan menahan lapar untuk menghargai umat Islam, dan banyak hal baik lainnya.

            Bukankah hal itu lebih menyenangkan dan lebih kondusif?

            Bukankah hal itu lebih mendamaikan hati dan suasana?

            Jangan dikacaukan oleh tuduhan-tuduhan menyesatkan terhadap penertiban-penertiban yang dilakukan pemerintah kepada para pelanggar peraturan. Hanya karena ada warung makan yang ditertibkan, lalu sibuk orang-orang menyalahkan peraturan, menyalahkan pemerintah, padahal yang salah adalah yang melakukan pelanggaran. Sebagai negara yang ingin disebut negara hukum, peraturan harus ditegakan dan dipatuhi. Kalau tidak setuju terhadap peraturan tersebut, lakukan evaluasi dan susun ulang, bukan membenarkan pelanggaran terhadap peraturan yang sedang diberlakukan.

            Salah besar itu orang-orang yang berlebihan mengatakan bahwa warung makan ditutup selama Ramadhan. Itu pernyataan menyesatkan. Sejauh ini saya melihat tidak ada keharusan menutup warung makan. Yang ada adalah perubahan waktu mulai buka usaha warung makan selama Ramadhan. Semuanya harus menyesuaikan diri pada situasi Ramadhan, siapa pun itu. Ramadhan itu “bulan yang tidak biasa”. Oleh sebab itu, kita pun harus berperilaku “tidak biasa”. Kalau biasa-biasa saja, ya biasa saja nggak dapat apa-apa, pantas saja setiap Ramadhan tidak mendapatkan pengaruh positif apa pun dalam hidupnya. Dulu pusing, sekarang gelisah. Dulu stress, sekarang frustrasi. Dulu bego, sekarang bloon.

            Jangan membesar-besarkan hak orang yang tidak berpuasa dan menghubungkannya dengan warung makan karena banyak hal yang sebetulnya tidak terjadi dan hanya ada dalam khayalan. Kesannya hanya dibuat-buat, ngarang. Misalnya, warung makan boleh buka karena ada orang udzur, maksudnya tua.

            Memangnya ada berapa orang udzur yang makan di restoran?

            Orang udzur itu biasanya makan di rumah karena sudah udzur, nggak boleh banyak ke luar rumah. Masa ada orang udzur, tetapi keluyuran di luar rumah. Pagi makan di warung itu, siang di restoran anu, malam di tempat anu. Itu namanya bukan udzur, melainkan “ubur-ubur bangkotan”.

            Memangnya ada berapa ibu hamil yang selalu makan siang di rumah makan?

            Wanita hamil itu seharusnya banyak istirahat di rumah. Kalaupun kerja pada siang hari, biasanya makanannya harus khusus karena suka aneh-aneh, bagusnya bawa bekal dari rumah. Jangan di warung makan.

            Ada berapa wanita menyusui yang sering ke restoran?

            Ada berapa anak-anak yang suka makan di warung makan?

            Anak-anak itu biasanya di rumah sama orangtuanya.

            Memangnya ada gitu orang gila yang makan di restoran duduk dengan nikmat?

            Bagaimana dengan orang nonmuslim?

            Banyak nonmuslim yang sudah mengerti dan berupaya menjaga situasi dengan tidak banyak tingkah memperlihatkan diri tidak berpuasa. Mereka juga sangat berhati-hati sekarang. Itu sangat bagus.

            Jadi, jangan memaksakan hubungan antara buka-tutupnya bisnis makanan dengan orang-orang yang boleh untuk tidak berpuasa. Kalau dipaksa-paksa dihubung-hubungkan, namanya lebay.

            Hal yang lebih parah adalah adanya anggapan bahwa peraturan yang sesungguhnya dibuat untuk semakin membuat Ramadhan kondusif dan semakin memiliki arti terhadap kehidupan disebut sebagai “peraturan bermasalah”. Siapa pun yang beranggapan bahwa peraturan yang positif merupakan “peraturan bermasalah”, sesungguhnya “dirinyalah yang bermasalah”.

            Kalaulah peraturan itu belum sempurna, sempurnakanlah. Kalau dirasa belum lengkap, lengkapi. Kalau dipandang belum adil, tambah agar jadi adil. Begitu cara berpikirnya. Jangan menuduh sebagai “peraturan bermasalah”.

            Hormati Ramadhan dan orang yang berpuasa. Dengan itulah kita hidup lebih baik dan harmonis. Kalau masih ngotot ingin menguji kesabaran orang yang berpuasa, silakan saja, tetapi pasti banyak terjadi keributan.

            Tidak semua orang kuat menahan godaan. Orang-orang yang kuat jangan sombong bahwa dirinya tidak tergoda untuk makan dan minum. Orang-orang yang lemah harus dibantu agar menjadi kuat dengan cara menyingkirkan segala godaan dari dirinya.

            Salah sekali jika ada yang mengatakan, “Saya kuat tidak tergoda meskipun warung makan buka, bahkan ada orang yang makan dan minum di depan saya. Orang-orang yang tergoda itu berarti imannya lemah tidak kuat.”

            Kenapa saya bilang dia itu salah?

            Dia sombong bahwa dirinya sudah kuat dan beriman, tetapi melecehkan saudaranya yang imannya masih sangat lemah. Itu menandakan bahwa dirinya sama saja kurang beriman karena merendahkan orang lain. Sebagai orang Islam yang menyadari diri memiliki iman yang kuat, seharusnya menolong saudaranya yang masih lemah iman dengan cara “meniadakan” segala bentuk gangguan yang dapat menggodanya untuk “batal puasa”. Misalnya, dengan cara mengubah jadwal waktu buka bisnis makanan yang asalnya sejak pagi menjadi sejak sore sampai subuh serta “memberi peringatan keras” terhadap orang yang makan dan minum di hadapan dirinya karena itu adalah sebuah “tantangan”  yang harus dijawab dengan sangat tegas dan keras.


            Hormati Ramadhan dan orang yang berpuasa!

No comments:

Post a Comment