oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Kalau tidak mau ribut,
hormati Ramadhan dan orang yang berpuasa. Itu mutlak. Kalau tidak mau
menghormati Ramadhan dan orang yang berpuasa, khususnya di Indonesia, keributan
bakalan terjadi. Itu pasti.
Kita ini sudah beberapa tahap meninggalkan kebiasaan
buruk, jangan kembali lagi menghidup-hidupkan kebiasaan buruk lama. Generasi
saat kita ini sangat berbeda dengan generasi masa lalu. Dulu orang-orang yang
berpuasa bersikap defensif terhadap orang-orang yang tidak berpuasa.
Mereka tidak mau ribut karena sedang
berpuasa, harus menahan amarah. Meskipun orang yang tidak berpuasa terkadang
bersikap offensif dan mencoba menggoda terkadang melecehkan, orang yang
berpuasa tetap tenang dan menjaga stabilitas situasi. Saya masih ingat ketika
kecil bagaimana kurang ajarnya para pedagang kakilima menjajakan barang sambil
tetap merokok pada siang hari, bagaimana tidak sopannya anak-anak muda merokok
dalam Angkot, betapa over acting para
nonmuslim keluar masuk rumah makan dan makan minum di tempat terbuka. Sementara
itu, orang-orang baik yang berpuasa tidak terlalu ambil pusing. Itu tandanya
bahwa orang-orang yang berpuasa sudah sangat toleran terhadap orang yang tidak berpuasa
sejak dulu.
Jangan diingatkan lagi bahwa “orang yang berpuasa harus
menghormati orang yang tidak berpuasa”. Dari dulu juga sudah, sudah, sudah
menghormati. Jangan diulang-ulang lagi peringatan itu, nggak ada gunanya, nggak
perlu, tidak penting, kalimatnya sudah sangat kuno, ketinggalan zaman!
Perubahan sikap terjadi ketika justru orang-orang yang
tidak berpuasa makin hari makin kurang ajar, semakin melecehkan, semakin tidak
peduli, semakin tidak menghargai, semakin arogan, serta semakin menantang
pengen ditonjok!
Kayaknya mereka merasa bahagia kalau disiksa. Aneh. Kalau
diingatin juga, mereka malah menantang, ngajakin teman-temannya agar tetap bisa
berlaku kurang ajar.
Kita masih ingat bagaimana banyak Ormas Islam yang
melakukan aksi-aksi sweeping pada beberapa
tahun lalu. Hal itu disebabkan orang-orang yang tidak berpuasa dan kurang ajar
tidak menghormati Ramadhan. Makan minum seenaknya, dari mulutnya kerap
melecehkan bahwa puasa itu tidak ada gunanya, cuma tradisi Arab. Mabuk-mabukan
tidak berhenti, malahan mengganggu orang lain.
Aksi-aksi Ormas-ormas Islam itu terjadi karena kekesalan
terhadap situasi dan kemarahan atas tindakan bodoh dari orang-orang yang tidak
menghargai Ramadhan. Aksi-aksi itu bukan hanya dilakukan oleh Ormas Islam,
melainkan pula oleh individu-individu yang diberi kekuatan oleh Allah swt
secara perorangan. Saya, misalnya, kalau pulang kuliah dulu sama teman-teman
menggunakan bus kota atau Angkot. Jika di terminal atau di dalam kendaraan
tercium asap rokok, otomatis, saya bereaksi teramat cepat. Saya dengan cepat
meledek untuk mempermalukan orang yang merokok. Akibatnya, paling-paling
berkelahi. Kalau berkelahi kan hasilnya selalu sama, yaitu kalah atau menang. Biasa
saja. Saya juga memang belum bisa meninggalkan kebiasaan merokok, tetapi kalau
saat Ramadhan dan di tempat umum, sangat tidak beretika.
Saya juga sendirian pernah membubarkan orang-orang yang
gemar berjudi memancing ikan. Nggak sendirian juga sih, pake akal dikit. Saya
sangat kesal setiap lewat tempat itu melihat orang ketawa-ketawa keras-keras
kayak dunia hanya milik mereka aja. Berjudi sambil memancing ikan. Rokok di
mulutnya tak pernah lepas, sebagian lagi mengunyah makanan. Padahal, saat itu
sedang Ramadhan. Dari sejak sebelum dzuhur, mereka sudah memancing sambil judi.
Dzuhur dilewat, Ashar juga tidak dipedulikan. Ketika menjelang maghrib, dari
masjid dekat situ ada ustadz lagi ngajarin asmaul
husna dan bacaan Al Quran lainnya dengan menggunakan speaker. Eh, … para
penjudi ikan itu malah ngikut-ngikutin baca asmaul husna dengan main-main
memplesetkan bacaan. Terus, ketawa-ketawa bahagia sama teman-temannya. Ketika
hampir maghrib, anak-anak berhamburan keluar masjid, pulang ke rumahnya.
Sebagian dari anak-anak itu melewati tempat gerombolan pemancing itu.
Satu-dua anak menyapa yang sedang memancing, “Pak, ….”
“Ya, cepat sana pulang!”
Ternyata, anak itu menyapa ayahnya sendiri.
Gobloknya, ayahnya menjawab sapaan anaknya yang sedang
puasa dan pulang mengaji itu sambil merokok dan matanya tetap tertuju pada kail
dan umpan.
Dasar Ortu Bego!
Ketika memasuki waktu buka puasa, ternyata para penjudi
itu pun ikut sibuk. Mereka pada pulang ke rumahnya. Akan tetapi, cuma sebentar.
Lalu, balik lagi. Mereka pun ketawa-ketawa lagi.
Mancing, lanjut terus!
Semakin malam semakin ribut, semakin ramai. Mereka pasang
beberapa lampu neon di tengah kolam ikan itu. Situasi makin seru. Padahal,
orang-orang banyak yang tarawih dan ingin suasana tenang untuk meningkatkan
kualitas ibadat masing-masing.
Saya pikir, mereka memang keterlaluan. Saya segera tanya
kepada orang-orang siapa mereka itu, lalu kenapa nggak ada yang mengingatkan
mereka. Ternyata, mereka itu orang-orang yang selalu ingin dihormati
lingkungannya. Mereka merasa harus selalu berada di papan atas di wilayahnya.
Bersamaan dengan itu, orang-orang yang sadar pun enggan berurusan dengan
mereka.
Hmh, … cukup menarik sekaligus mengesalkan.
Saya coba mengobrol dengan Ketua DKM dan beberapa tokoh
masyarakat di sana. Ternyata, tokoh-tokoh di sana baru tersadar bahwa
orang-orang itu memang harus diingatkan dan harus dicegah agar tidak melakukan
hal-hal berlebihan lainnya. Selama ini, di lingkungan itu para penjudi dan
gerombolannya berlaku seperti itu dianggap hal yang biasa, wajar. Hal itu
disebabkan masyarakat lainnya seperti tidak memiliki kemauan dan kemampuan
untuk menghentikan mereka. Padahal, masyarakat tahu benar bahwa gerombolan itu
kerap melakukan banyak kesalahan.
Saya coba berkoordinasi dengan polisi karena memang ada
pelanggaran hukum di sana, yaitu mengganggu ketenangan masyarakat dan
menggunakan fasilitas umum secara tidak sah.
Polisi bilang, “Coba koordinasi dengan RT dan RW.”
Saya bilang, “Sudah dan sekarang saya bicara sama
polisi.”
Saya tegaskan hal itu agar kalau terjadi sesuatu antara
saya dengan gerombolan itu, sudah banyak orang yang tahu. Memang saya kasih
waktu satu minggu terhadap gerombolan itu agar berhenti dari melakukan berbagai
keburukan di tempat itu. Kalau mereka tidak menurut, saya mungkin akan bikin
keributan.
Beruntung, Allah swt menanamkan rasa malu pada
orang-orang itu sehingga mengalah dan menghentikan kegiatan buruk mereka.
Perjudian ikan itu tak ada lagi sampai hari ini. Pada saat lebaran mereka
memeluk saya sambil menangis. Saya juga menangis. Saling memohon maaf.
Tentunya, bukan hanya saya memiliki pengalaman seperti
itu. Banyak, banyak sekali di luar sana orang-orang yang lebih hebat. Akan
tetapi, hal yang ingin saya sampaikan adalah kita sudah mengalami suatu masa
ketika masyarakat muslim Indonesia sangat kesal dan marah terhadap tindakan
orang-orang yang tidak menghargai Ramadhan dan orang yang berpuasa. Baik Ormas
Islam maupun muslim secara individu melakukan hal-hal yang lebih keras dan
kasar dibandingkan biasanya untuk menyadarkan orang-orang agar menghargai
Ramadhan dan orang-orang yang berpuasa. Dalam ilmu sejarah, masa seperti itu,
mirip-mirip dengan istilah “jiwa zaman”.
Artinya, pada masa itu zaman memang menghendaki hal seperti itu dan tidak bisa
tidak harus terjadi tanpa ada yang menghalangi. Zaman itu membuka zaman lainnya,
yaitu zaman yang saat ini kita rasakan.
Berangkat dari zaman yang penuh kemarahan umat Islam yang
terwakili oleh tindakan Ormas-Ormas Islam dan individu-individu yang diberi
kemauan, kemampuan, dan kekuatan oleh Allah swt, banyak pemerintah daerah yang
mengeluarkan peraturan, baik itu Perda, Perwal, atau Perbup agar seluruh
masyarakatnya, baik muslim maupun nonmuslim dapat saling menghargai dalam Bulan
Ramadhan. Itu sangat bagus dan harus ditegakkan. Jangan didengerin orang-orang
sok tahu yang tidak suka terhadap peraturan tersebut. Hal itu disebabkan kita
tidak bisa mundur seperti kondisi masa lalu. Keharmonisan harus semakin dijaga
dan saling menghormati harus lebih dipupuk.
Sebenarnya, sejak awal Ramadhan tahun ini terasa sekali
perbedaannya. Suasananya lebih menyenangkan. Ada kegembiraan di dalamnya. Hal
ini pun terasa bukan hanya oleh umat Islam, melainkan pula oleh umat-umat lain.
Malahan, ada pendeta yang ingin ikutan berpuasa, para preman sembunyi-sembunyi
kalau mau makan, banyak gereja menyiapkan tajil untuk berbuka puasa, para
nonmuslim ikutan menahan lapar untuk menghargai umat Islam, dan banyak hal baik
lainnya.
Bukankah hal itu lebih menyenangkan dan lebih kondusif?
Bukankah hal itu lebih mendamaikan hati dan suasana?
Jangan dikacaukan oleh tuduhan-tuduhan menyesatkan
terhadap penertiban-penertiban yang dilakukan pemerintah kepada para pelanggar
peraturan. Hanya karena ada warung makan yang ditertibkan, lalu sibuk
orang-orang menyalahkan peraturan, menyalahkan pemerintah, padahal yang salah
adalah yang melakukan pelanggaran. Sebagai negara yang ingin disebut negara
hukum, peraturan harus ditegakan dan dipatuhi. Kalau tidak setuju terhadap
peraturan tersebut, lakukan evaluasi dan susun ulang, bukan membenarkan pelanggaran
terhadap peraturan yang sedang diberlakukan.
Salah besar itu orang-orang yang berlebihan mengatakan
bahwa warung makan ditutup selama Ramadhan. Itu pernyataan menyesatkan. Sejauh
ini saya melihat tidak ada keharusan menutup warung makan. Yang ada adalah
perubahan waktu mulai buka usaha warung makan selama Ramadhan. Semuanya harus
menyesuaikan diri pada situasi Ramadhan, siapa pun itu. Ramadhan itu “bulan
yang tidak biasa”. Oleh sebab itu, kita pun harus berperilaku “tidak biasa”.
Kalau biasa-biasa saja, ya biasa saja nggak dapat apa-apa, pantas saja setiap
Ramadhan tidak mendapatkan pengaruh positif apa pun dalam hidupnya. Dulu
pusing, sekarang gelisah. Dulu stress, sekarang frustrasi. Dulu bego, sekarang
bloon.
Jangan membesar-besarkan hak orang yang tidak berpuasa
dan menghubungkannya dengan warung makan karena banyak hal yang sebetulnya
tidak terjadi dan hanya ada dalam khayalan. Kesannya hanya dibuat-buat,
ngarang. Misalnya, warung makan boleh buka karena ada orang udzur, maksudnya tua.
Memangnya ada berapa orang udzur yang makan di restoran?
Orang udzur itu biasanya makan di rumah karena sudah
udzur, nggak boleh banyak ke luar rumah. Masa ada orang udzur, tetapi keluyuran
di luar rumah. Pagi makan di warung itu, siang di restoran anu, malam di tempat
anu. Itu namanya bukan udzur, melainkan “ubur-ubur bangkotan”.
Memangnya ada berapa ibu hamil yang selalu makan siang di
rumah makan?
Wanita hamil itu seharusnya banyak istirahat di rumah.
Kalaupun kerja pada siang hari, biasanya makanannya harus khusus karena suka
aneh-aneh, bagusnya bawa bekal dari rumah. Jangan di warung makan.
Ada berapa wanita menyusui yang sering ke restoran?
Ada berapa anak-anak yang suka makan di warung makan?
Anak-anak itu biasanya di rumah sama orangtuanya.
Memangnya ada gitu orang gila yang makan di restoran
duduk dengan nikmat?
Bagaimana dengan orang nonmuslim?
Banyak nonmuslim yang sudah mengerti dan berupaya menjaga
situasi dengan tidak banyak tingkah memperlihatkan diri tidak berpuasa. Mereka
juga sangat berhati-hati sekarang. Itu sangat bagus.
Jadi, jangan memaksakan hubungan antara buka-tutupnya
bisnis makanan dengan orang-orang yang boleh untuk tidak berpuasa. Kalau
dipaksa-paksa dihubung-hubungkan, namanya lebay.
Hal yang lebih parah
adalah adanya anggapan bahwa peraturan yang sesungguhnya dibuat untuk semakin
membuat Ramadhan kondusif dan semakin memiliki arti terhadap kehidupan disebut sebagai
“peraturan bermasalah”. Siapa pun yang beranggapan bahwa peraturan yang positif
merupakan “peraturan bermasalah”, sesungguhnya “dirinyalah yang bermasalah”.
Kalaulah peraturan itu belum sempurna, sempurnakanlah.
Kalau dirasa belum lengkap, lengkapi. Kalau dipandang belum adil, tambah agar
jadi adil. Begitu cara berpikirnya. Jangan menuduh sebagai “peraturan
bermasalah”.
Hormati Ramadhan dan orang yang berpuasa. Dengan itulah
kita hidup lebih baik dan harmonis. Kalau masih ngotot ingin menguji kesabaran
orang yang berpuasa, silakan saja, tetapi pasti banyak terjadi keributan.
Tidak semua orang kuat menahan godaan. Orang-orang yang
kuat jangan sombong bahwa dirinya tidak tergoda untuk makan dan minum.
Orang-orang yang lemah harus dibantu agar menjadi kuat dengan cara
menyingkirkan segala godaan dari dirinya.
Salah sekali jika ada yang mengatakan, “Saya kuat tidak
tergoda meskipun warung makan buka, bahkan ada orang yang makan dan minum di
depan saya. Orang-orang yang tergoda itu berarti imannya lemah tidak kuat.”
Kenapa saya bilang dia itu salah?
Dia sombong bahwa dirinya sudah kuat dan beriman, tetapi
melecehkan saudaranya yang imannya masih sangat lemah. Itu menandakan bahwa
dirinya sama saja kurang beriman karena merendahkan orang lain. Sebagai orang
Islam yang menyadari diri memiliki iman yang kuat, seharusnya menolong
saudaranya yang masih lemah iman dengan cara “meniadakan” segala bentuk gangguan
yang dapat menggodanya untuk “batal puasa”. Misalnya, dengan cara mengubah
jadwal waktu buka bisnis makanan yang asalnya sejak pagi menjadi sejak sore
sampai subuh serta “memberi peringatan keras” terhadap orang yang makan dan
minum di hadapan dirinya karena itu adalah sebuah “tantangan” yang harus dijawab dengan sangat tegas dan
keras.
Hormati Ramadhan dan orang yang berpuasa!
No comments:
Post a Comment