Wednesday, 8 June 2016

Guru Lebih Rendah Dibandingkan Monyet

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Ayah saya adalah guru, killer, sekarang sudah pensiun. Saya banyak mendengar bagaimana kerasnya dia menjadi pendidik. Para muridnya yang sekarang sudah bertebaran pada berbagai bidang profesi kerap berceritera jika kebetulan bertemu dengan saya dan tahu bahwa saya adalah anak gurunya. Hal ini sering sekali terjadi. Setiap bertemu, kesan yang mereka ceriterakan tentang ayah saya tetap sama, killer.

            Dalam sebuah pertemuan yang terjadi tanpa sengaja, ada seorang ahli hukum yang mengajak mengobrol kesana-kemari. Saya awalnya tidak tahu siapa dia. Karena dia selalu mengajak ngobrol, akhirnya sampai mengobrol soal keluarga dan masa kecil. Dia kaget ketika tahu bahwa saya adalah anak gurunya yang killer itu. Dia pun gembira dan memeluk saya. Dia memeluk saya karena katanya saya adalah orang yang menyelamatkan dia dari “amukan” ayah saya. Dia bilang saya adalah pahlawan bagi dirinya. Sungguh, saya tidak mengerti dan tidak pernah tahu peristiwa itu.

            Dia mulai berceritera lebih terarah. Ceriteranya, biasa, seperti yang sering saya dengar dari murid-murid ayah saya yang lain. Kalau tahu jam itu adalah jadwal ayah saya mengajar matematika, kelas mendadak hening, ruangan terasa sempit. Kalau ayah saya sudah masuk kelas, dada terasa sesak dan sulit bernafas. Beberapa murid stress dan merasakan tekanan luar biasa. Hampir semua siswa menjadi gugup. Wajar seperti itu karena pelajarannya adalah matematika dan gurunya galak banget. Pada suatu hari, ayah saya mengabsen beberapa anak laki-laki, lalu disuruh untuk berjajar di halaman sekolah pada saat panas terik. Bukan dari satu kelas saja yang disuruh berdiri berjejer, dari kelas lain pun ada yang disuruh berjejer. Salah seorang yang dipanggil adalah orang yang sedang berceritera kepada saya

            Saya tanya dia, “Kenapa Bapak dulu dijemur seperti itu?”

            Dia bilang sambil tertawa-tawa, “Itu semua anak-anak nakal.”

            Mungkin ada sekitar sembilan orang yang dijemur pada terik Matahari seperti itu. Katanya, siswa-siswa itu yang sering bikin keributan, misalnya, berkelahi, mengambil barang punya temannya, mengganggu anak perempuan, tidak mengerjakan tugas, corat-coret di kursi atau di meja, berbicara kasar, sering bolos, dan hal-hal lainnya.

            Ayah saya mulai mendekat ke jejeran anak-anak bermasalah itu dan langsung menempeleng mereka satu per satu dengan sangat keras. Beberapa di antara mereka ada yang langsung menangis kesakitan. Ketika itu, katanya, saya ada di sana dan masih sangat kecil, sekitar usia dua atau tiga tahun. Orang yang berceritera kepada saya itu berdiri paling akhir sehingga harus kebagian ditempeleng paling terakhir. Ketika ayah saya hampir mendekati dia, katanya, saya berjalan ke arah dia. Dia pun segera menggendong saya. Pada saat dia hendak ditempeleng, ayah saya melihat dia menggendong saya. Ayah saya pun tidak jadi menempeleng dia. Barisan anak-anak nakal pun segera dibubarkan. Dia selamat dari tempelengan ayah saya.

            Dia bilang sambil tetap tertawa, “Gara-gara kamu saya jadi selamat tidak ditempeleng.”

            Saya juga jadi ikut-ikutan tertawa.

            Coba bayangkan jika peristiwa itu terjadi pada saat ini. Ayah saya pasti sudah berada dalam penjara. Saya juga pasti dendam kepada orang-orang yang sudah membuat ayah saya masuk penjara. Saya akan membuat perhitungan terhadap mereka. Mereka pun akan mengambil sikap bermusuhan dengan saya. Pertikaian bisa menjadi beberapa generasi. Saya pun pasti berurusan dengan pihak kepolisian. Untung saja peristiwa itu terjadi ketika Ham yang dari luar negeri itu belum merajalela di Indonesia. Dengan demikian, orang-orang bisa menceriterakan masa lalunya sambil tertawa-tawa.

            Hal yang sangat unik adalah tak seorang pun anak yang ditempelengin ayah saya itu berani lapor sama orangtuanya. Jangankan membuat laporan pada polisi, bicara sama orangtuanya saja tidak. Kabarnya, jika mereka bicara sama orangtua mereka, mereka akan dihajar lagi sama orangtuanya. Jadi, mereka akan mendapatkan dua kali hukuman. Pertama, dari gurunya, kedua dari orangtuanya sendiri. Hal itu disebabkan pada saat itu guru dianggap orangtua kedua di sekolah. Jika mereka dihukum guru sama artinya dihukum oleh orangtuanya sendiri. Di samping itu, dengan dihukum guru, mereka menjadi “aib” bagi keluarganya. Artinya, mereka akan mendapat “cap” sebagai anak bandel yang meresahkan lingkungannya dan sulit untuk dididik.

            Berbeda dengan sekarang, jika guru menghukum murid, apalagi dengan cara fisik, orangtuanya akan mencak-mencak di sekolahnya menganggap gurunya telah menganiaya anaknya. Guru pun hanya dianggap sebagai pengajar atau pentransfer ilmu pengetahuan, bukan lagi sebagai pendidik manusia agar menjadi manusia yang lebih baik dan lebih disiplin. Akan tetapi, anehnya, jika masyarakat atau polisi menemukan siswa yang melakukan keonaran di luar sekolah, gurunya sering dihubungi untuk membina siswanya, padahal guru sekarang memiliki banyak keterbatasan dalam membina manusia. Seharusnya, proses saja secara hukum karena guru hanya berfungsi sebagai “pemindah”  pelajaran, bukan lagi sebagai pendidik. Salah besar jika ada anak yang melakukan kenakalan atau keonaran, dianggap sebagai kesalahan guru dalam mendidik.

            Bagaimana guru mau mendidik, keleluasaannya saja dibatasi oleh ketakutan melanggar Ham?

             Ibu saya juga seorang guru, tetapi tidak killer seperti ayah saya. Dia juga sudah pensiun. Dia guru biasa saja. Meskipun bukan guru killer, tetap saja ibu saya kerap berurusan dengan murid-murid yang nakalnya bukan main. Memang tidak semua murid itu patuh, baik, disiplin, rajin, dan bersikap hormat. Selalu saja ada yang membuat kesulitan, baik dalam hal pelajaran maupun dalam bersikap. Ada muridnya yang sangat mengesalkan. Ibu saya sudah menghukumnya berulang-ulang. Muridnya itu sudah dijemur, berdiri di depan kelas, dijewer, dan entah apalagi yang dilakukan ibu saya terhadapnya.

            Saking kesalnya, ibu saya membuat surat panggilan kepada orangtuanya, “Suruh orangtua kamu datang ke sekolah!”

            Besoknya, kedua orangtuanya datang menghadap ibu saya.

            Belum juga ibu saya berbicara, mereka sudah bicara duluan, “Bu, anak saya mau diapain juga sama Ibu terserah. Mau dicubit, dipukul, ditempeleng, mau disiksa juga silakan. Saya percaya sama Ibu. Terserah Ibu.”

            Ibu saya jadi bingung. Tadinya, mau ngajak mereka bekerja sama untuk mendidiknya, tetapi ternyata mereka menyerahkan anaknya sepenuhnya.

            Sekarang, anak laki-laki bandel yang “boleh disiksa” itu sudah memiliki perusahaan. Kelakuannya juga masih tetap aneh.

            Kalau kebetulan melihat ibu saya di mana saja, dia suka berteriak, “Ibuuu …!”

            Setelah berteriak, dia turun dari mobilnya hanya untuk mencium tangan ibu saya.

            Dia sadar bahwa apa yang dilakukan ibu saya terhadapnya pada masa lalu adalah untuk membuatnya menjadi orang yang lebih baik, bukan menjadikannya sebagai penjahat yang harus dihukum dan dipermalukan. Tak ada dendam dari dirinya, bahkan rasa hormat itu bertahan hingga dia memiliki keluarga sendiri.

            Bagaimana dengan guru-guru sekarang dan murid-murid saat ini yang begitu mengagungkan Ham dari luar negeri itu?

            Akan ada lagikah kejadian seperti yang terjadi pada ibu saya dan muridnya?

            Hujan angin dor dar gelap mun kajadian poe ieu!

            Demikian pula ayah saya yang killer itu. Beberapa generasi dari murid-muridnya kerap datang jika ingin mengadakan acara reuni. Mereka meminta ayah saya berceramah saat reunian. Mereka tampaknya rindu masa lalunya. Saya pernah mengantar ayah saya pada salah satu acara reuni mereka. Ada anak yang dulunya bermasalah yang sampai sekarang pun masih tetap bermasalah meminta berfoto dengan ayah saya berdua saja. Dia ingin hanya difoto berdua sebagai bukti bagi keluarganya bahwa dia pergi dari rumah untuk menemui ayah saya. Soalnya, setiap dia keluar rumah, pulangnya selalu dimaki-maki keluarganya. Dia memang masih bermasalah. Hal itu terlihat dari caranya berpakaian, matanya yang sayu dan cekung tanda gemar alkohol, badannya kurus kering hitam tanda kurang tidur, dan bicaranya tidak tegas seperti sedang mabuk.

            Akhir-akhir ini ayah saya tidak lagi bisa hadir jika ada acara reuni angkatan-angkatan yang lain karena sudah lumayan sepuh. Murid-muridnya pun paham hal itu. Sebagai gantinya, mereka membawa banyak hadiah dan uang untuk ayah saya, lalu berfoto di rumah ayah saya. Fotonya dibagikan dan salah satunya digantungkan di ruang depan rumah ayah saya dan dibingkai dengan bagus. Padahal, ayah saya adalah guru killer.


Sosok Generasi Harapan

Sesungguhnya, generasi yang bagaimana yang ingin diciptakan sistem pendidikan di Indonesia?

            Sosok yang bagaimana yang ingin diwujudkan?

            Pribadi-pribadi yang ingin dibentuk itulah yang harus menjadi acuan dasar sistem pendidikan di Indonesia. Jika kita ingin seperti orang Barat, conteklah habis-habisan sistem pendidikan Barat. Jika kita ingin seperti orang Timur Tengah, contek habis Timur Tengah. Jika ingin seperti India, tiru habis itu India. Jika ingin seperti Cina, teladani itu Cina. Jika ingin seperti sebagaimana Indonesia, jadikanlah pendidikan Indonesia sesuai dengan nilai-nilai Indonesia.

            Mungkin saya salah melihat bahwa saat ini dengan adanya aturan Ham dari luar negeri itu Indonesia banyak mencontek Barat yang kemasannya banyak berbicara “demi kemanusiaan”.

            Akan tetapi, apakah kita punya contoh sosok Barat yang menjadi acuan kita dalam menciptakan generasi-generasi baru masa depan Indonesia?

            Apakah benar kita menginginkan kita sebagaimana pribadi-pribadi Barat itu?

            Jika benar, konsistenlah kita dalam menanggung berbagai risiko yang pasti terjadi. Lihat mereka, guru hanya menjadi pengajar dan bukan pendidik. Bahkan, di Indonesia semakin disempitkan pengajar menjadi hanya pengajar di kelas dalam arti “pengajaran di kelas” yang hanya dibatasi dinding kelas. Murid-murid di Barat semakin mandiri dan kurang ajar. Bullying menjadi hal biasa. Bahkan, jiwa mereka banyak yang tidak stabil. Tidak jarang murid di Barat bisa membawa pistol ke dalam kelas, lalu menembakkan pistolnya membabi buta hingga menewaskan teman-temannya, termasuk gurunya sendiri.

            Begitukah yang kita inginkan?

            Guru di mata mereka bukanlah sebagai pembimbing kehidupan, melainkan sebagai profesi biasa yang tidak beda dengan karyawan pabrik atau pekerja lainnya.

            Murid-murid dengan pribadi seperti merekakah yang ingin kita ciptakan?

            Saya mungkin tidak bisa terlalu lengkap membuat perbandingan. Akan tetapi, setidaknya kita bisa melihat bahwa pendidikan masa lalu, baik di Timur Tengah, Cina, dan Indonesia adalah lebih baik. Harus diingat bahwa pada masa lalu itu tidak diganggu oleh adanya Ham yang berasal dari Barat. Hasil pendidikan masa lalu pada tiga wilayah itu menunjukkan hasil yang sangat hebat.

            Dari Timur Tengah bermunculan para pemikir dan teknokrat unggulan. Padahal, tidak mengenal Ham yang membatasi keleluasaan guru dalam mendidik.

            Di Timur Tengah lahir Abbas Firnas, orang yang pertama terbang ke udara selama sepuluh menit. Wright bersaudara hanya mampu terbang dua belas detik dan itu terjadi setelah seribu tahun Abbas Firnas berhasil terbang. Al Jazari, Insinyur mesin yang menciptakan Jam Gajah untuk menentukan waktu shalat, puasa, dan haji dengan menggunakan energi air. Ibnu Sina, Bapak Kedokteran sebagai peletak ilmu kedokteran Barat dengan bukunya yang sangat terkenal Al Qanun fi at-Tibb yang diterjemahkan menjadi Canon of Medicine dan menjadi dasar bagi kedokteran Barat saat ini. Az Zahrawi, Bapak Dokter Bedah yang bukunya dipelajari selama berabad-abad dalam ilmu bedah. Fathimah Al Fitri, Ibu Pendiri Universitas Pertama Modern di kompleks Masjid Al Qawariyin, Fez, Maroko. Sementara adiknya Maryam membuat universitas di Andalusia, Spanyol. Pakaian mahasiswa ala Fathimah Al Fitri masih dipakai sampai sekarang. Toga yang berbentuk segi empat merupakan simbol dari Kabah. Ibnu Haytham, penemu camera obscura yang hasil penelitiannya menjadi kamera handphone saat ini. Karyanya, Al Manazir, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Book of Optics. Al Farabi pemikir Islam terkemuka dalam bidang logika, ilmu-ilmu matematika, ilmu alam, teologi, serta politik dan kenegaraan. Al Batani, ahli astronomi dan matematika. Hasil penelitiannya yang sangat terkenal adalah tentang penentuan Tahun Matahari sebagai 365 hari, 5 jam, 46 menit dan 24 detik. Ia pun menemukan sejumlah persamaan trigonometri dan memecahkan persamaan sin x = a cos x. Muhammad bin Musa Al Khawarizmi, Bapak Al Jabar, operasi dalam matematika untuk menyelesaikan notasi kuadrat dan menetapkan perhitungan logaritma.

            Terlalu banyak sesungguhnya murid-murid Timur Tengah yang muncul menjadi orang-orang hebat dan artikel ini tak mungkin menyebutnya satu per satu. Tulisan ini bukan ingin menuliskan hal itu, tetapi mencoba mencari kesadaran bahwa mereka itu dulunya adalah para murid dari guru-gurunya.

            Bagaimana para gurunya mendidik mereka hingga menjadi para pemikir hebat yang berpengaruh hingga saat ini?

            Apakah para guru mereka dibatasi oleh Ham seperti yang berlaku saat ini?

            Tentu tidak, bukan?

            Bagaimana jadinya jika pada masa lalu, diberlakukan aturan Ham saat ini pada mereka? Akankah mereka menghasilkan murid-murid yang istimewa?

            Pikir!

            Ada persamaan cara mendidik guru-guru di Timur Tengah dengan di Indonesia dan Cina pada masa lalu. Cara mendidik di Timur Tengah bisa kita telusuri dari biografi para sufi dan para pemikir lainnya. Adapun cara mendidik di Indonesia dan Cina bisa dilihat dari kisah-kisah para pendekar, pertapa, keluarga kerajaan yang belajar di pertapaan, padepokan, atau kuil shaolin di Cina. Mereka dididik dengan keras dan disiplin tinggi untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Hukuman fisik dilakukan dengan sangat menakutkan dan mengerikan hingga para murid berupaya keras menghindari hukuman itu dengan mematuhi dan menghormati gurunya. Bukan hanya dalam soal pelajaran para murid dituntut untuk patuh dan disiplin, melainkan pula dalam hal menghormati guru. Para murid  diwajibkan bangun lebih pagi daripada gurunya. Mereka harus sudah selesai memenuhi bak-bak penampungan air, mencuci baju, memasak makanan dan minuman bagi para gurunya sebelum gurunya bangun. Ketika gurunya bangun, mereka dengan takzim sudah siap untuk menerima pelajaran.

            Tak heran jika pendidikan seperti itu menghasilkan murid-murid cerdas, setia, dan tetap menghormati gurunya.

            Siapa saja orang-orang Indonesia yang sudah berperan besar bagi dunia sebagai akibat dari sistem pendidikan masa lalunya?

            Banyak, banyak sekali!

            Masalahnya, para sejarawan, arkeolog, dan peneliti lain di Indonesia masih tenggelam dalam “ketakutan” dan “keengganan” untuk menabrak hasil-hasil penelitian yang selama ini diyakini sebagai kebenaran. Akibatnya, banyak sekali kehebatan Indonesia tertutupi oleh hasil-hasil penelitian yang sebetulnya digunakan untuk menutupi kebesaran dan kehebatan Indonesia.

            Untuk hal ini, saya akan tulis dalam artikel khusus yang menerangkan mengapa sejarah kebesaran Indonesia tidak bisa terbuka dengan baik dan tertutupi oleh kabut kekusutan. Hal itu disebabkan memang ada “pihak-pihak” yang sengaja melakukan “penutupan” itu dengan maksud membodohi bangsa Indonesia sehingga tetap menganggap dirinya lemah dan harus selalu mengikuti negara lain.

           
Perlu Keseragaman Pengenaan Sanksi

Dari seluruh ceramah Prof. Dr. H. Mohamad Surya, Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang saya ikuti pada berbagai daerah di Indonesia, 80% dia selalu mengatakan hal yang sama berulang-ulang, “Guru lebih rendah dibandingkan monyet.”

            Kalimat itu berangkat dari keprihatinannya terhadap kondisi guru di Indonesia saat ini yang cukup ketakutan dan dibatasi oleh adanya Ham yang membuat guru sulit mendidik murid-muridnya. Ketika guru mendisiplinkan muridnya, terancam oleh “pelanggaran Ham”. Ketika Sang Guru terjerat pelanggaran Ham, guru pun bisa dimasukkan dalam penjara.

            Dia bilang, “Monyet saja dilindungi undang-undang, guru tidak dilindungi undang-undang.”

            Memang ketika dia berbicara seperti itu selalu disambut oleh gerr para guru yang menjadi pendengarnya di mana-mana. Seolah-olah itu hanya sebuah banyolan, tetapi sesungguhnya memiliki kandungan makna yang membuat miris dan penuh kegetiran.

            Agar guru dapat mendidik murid-muridnya dengan lebih baik, baik dalam segi akademis maupun perilaku, perlu ada undang-undang atau aturan mengenai penerapan sanksi bagi murid yang dapat diberlakukan oleh setiap guru. Dengan demikian, guru mendapatkan perlindungan ketika menerapkan sanksi. Sanksi tersebut haruslah sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia dan sesuai dengan nilai-nilai Indonesia serta mengarah pada penciptaan “sosok generasi yang diharapkan masa depan Indonesia”. Jangan terlalu mengekor pada kebiasaan orang lain karena mereka bukanlah kita. Keinginan kita berbeda dengan keinginan mereka. Kalau mereka “mengharamkan” hukuman fisik, kita membutuhkan hukuman fisik. Akan tetapi, hukuman fisik itu harus terukur dan disepakati. Jangan diserahkan kepada keinginan individu guru karena bisa terjadi pengenaan sanksi yang berlebihan.

            Saya juga tidak setuju dengan apa yang ayah saya lakukan pada murid-muridnya pada masa lalu, terlalu berlebihan. Sebaiknya, diatur dan disepakati.

            Siapa bilang hukuman fisik tidak boleh?

            Nabi Muhammad saw mengajarkan bahwa anak itu harus mulai diajari melaksanakan shalat pada usia 7 tahun dan harus dipukul jika pada usia 10 tahun belum melakukan juga shalat. Di sana ada hukuman fisik yang harus dilakukan. Akan tetapi, jika anak patuh, hukuman itu tidak perlu dilakukan.

            Dalam melaksanakan anjuran Nabi Muhammad saw, Abu Bakar ra dan Umar bin Khattab ra melakukannya dengan menggantungkan tali kulit pelana kuda di atas pintu rumahnya sebagai ancaman bagi anak-anak mereka jika tidak mau shalat atau berperilaku buruk. Dengan demikian, anak menjadi patuh untuk melakukan shalat dan tetap berperilaku baik. Akan tetapi, tidak pernah ada kisah bahwa keduanya, baik Abu bakar ra maupun  Umar bin Khattab ra pernah menggunakan tali kulit pelana kudanya untuk memukul anak-anaknya. Tali pelana itu hanya bergantung sebagai ancaman dan tak pernah ada kisah diturunkan untuk digunakan.

            Dengan adanya penerapan sanksi bagi murid yang disepakati dalam undang-undang, termasuk hukuman fisik, guru akan terlindungi dalam melaksanakan pendidikan. Di samping itu pun, tujuan pendidikan Indonesia bisa tercapai dengan lebih baik, bukan saja dalam hal kognitif, melainkan pula dalam segi afektif dan psikomotornya.

            Kalau masih ada orang tua atau murid yang mencak-mencak karena dihukum guru, tetapi sanksi yang diberikan sudah sesuai aturan yang sesuai pula dengan nilai-nilai keindonesiaan, bilang saja kepada mereka, “Kalau tidak mau dididik, jangan sekolah! Didik saja di rumah sendirian!”        


            Saya yakin bahwa sampai saat ini guru Indonesia cita-citanya sama, yaitu menginginkan anak didiknya berhasil menjadi orang yang baik dan berguna bagi agama, nusa, dan bangsa. Kebahagiaan mereka adalah jika telah melihat murid-muridnya menjadi manusia-manusia dan berprestasi bagi hidup dan kehidupan. Mereka tak pernah merasa tersaingi jika muridnya lebih baik hidupnya dibandingkan dirinya, tetapi para guru akan merasa berbahagia karena telah berhasil berperan serta dalam menciptakan sosok-sosok unggulan dalam hidup dan kehidupan ini.

No comments:

Post a Comment