oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Ayah saya adalah guru, killer, sekarang sudah pensiun. Saya banyak
mendengar bagaimana kerasnya dia menjadi pendidik. Para muridnya yang sekarang
sudah bertebaran pada berbagai bidang profesi kerap berceritera jika kebetulan
bertemu dengan saya dan tahu bahwa saya adalah anak gurunya. Hal ini sering
sekali terjadi. Setiap bertemu, kesan yang mereka ceriterakan tentang ayah saya
tetap sama, killer.
Dalam sebuah
pertemuan yang terjadi tanpa sengaja, ada seorang ahli hukum yang mengajak
mengobrol kesana-kemari. Saya awalnya tidak tahu siapa dia. Karena dia selalu
mengajak ngobrol, akhirnya sampai mengobrol soal keluarga dan masa kecil. Dia
kaget ketika tahu bahwa saya adalah anak gurunya yang killer itu. Dia pun gembira dan memeluk saya. Dia memeluk saya
karena katanya saya adalah orang yang menyelamatkan dia dari “amukan” ayah
saya. Dia bilang saya adalah pahlawan bagi dirinya. Sungguh, saya tidak
mengerti dan tidak pernah tahu peristiwa itu.
Dia mulai berceritera lebih terarah. Ceriteranya, biasa,
seperti yang sering saya dengar dari murid-murid ayah saya yang lain. Kalau
tahu jam itu adalah jadwal ayah saya mengajar matematika, kelas mendadak
hening, ruangan terasa sempit. Kalau ayah saya sudah masuk kelas, dada terasa
sesak dan sulit bernafas. Beberapa murid stress
dan merasakan tekanan luar biasa. Hampir semua siswa menjadi gugup. Wajar
seperti itu karena pelajarannya adalah matematika dan gurunya galak banget.
Pada suatu hari, ayah saya mengabsen beberapa anak laki-laki, lalu disuruh
untuk berjajar di halaman sekolah pada saat panas terik. Bukan dari satu kelas
saja yang disuruh berdiri berjejer, dari kelas lain pun ada yang disuruh
berjejer. Salah seorang yang dipanggil adalah orang yang sedang berceritera
kepada saya
Saya tanya dia, “Kenapa Bapak dulu dijemur seperti itu?”
Dia bilang sambil tertawa-tawa, “Itu semua anak-anak
nakal.”
Mungkin ada sekitar sembilan orang yang dijemur pada
terik Matahari seperti itu. Katanya, siswa-siswa itu yang sering bikin
keributan, misalnya, berkelahi, mengambil barang punya temannya, mengganggu
anak perempuan, tidak mengerjakan tugas, corat-coret di kursi atau di meja, berbicara
kasar, sering bolos, dan hal-hal lainnya.
Ayah saya mulai mendekat ke jejeran anak-anak bermasalah
itu dan langsung menempeleng mereka satu per satu dengan sangat keras. Beberapa
di antara mereka ada yang langsung menangis kesakitan. Ketika itu, katanya,
saya ada di sana dan masih sangat kecil, sekitar usia dua atau tiga tahun.
Orang yang berceritera kepada saya itu berdiri paling akhir sehingga harus
kebagian ditempeleng paling terakhir. Ketika ayah saya hampir mendekati dia,
katanya, saya berjalan ke arah dia. Dia pun segera menggendong saya. Pada saat
dia hendak ditempeleng, ayah saya melihat dia menggendong saya. Ayah saya pun
tidak jadi menempeleng dia. Barisan anak-anak nakal pun segera dibubarkan. Dia
selamat dari tempelengan ayah saya.
Dia bilang sambil tetap tertawa, “Gara-gara kamu saya
jadi selamat tidak ditempeleng.”
Saya juga jadi ikut-ikutan tertawa.
Coba bayangkan jika peristiwa itu terjadi pada saat ini.
Ayah saya pasti sudah berada dalam penjara. Saya juga pasti dendam kepada
orang-orang yang sudah membuat ayah saya masuk penjara. Saya akan membuat
perhitungan terhadap mereka. Mereka pun akan mengambil sikap bermusuhan dengan
saya. Pertikaian bisa menjadi beberapa generasi. Saya pun pasti berurusan
dengan pihak kepolisian. Untung saja peristiwa itu terjadi ketika Ham yang dari
luar negeri itu belum merajalela di Indonesia. Dengan demikian, orang-orang
bisa menceriterakan masa lalunya sambil tertawa-tawa.
Hal yang sangat unik adalah tak seorang pun anak yang
ditempelengin ayah saya itu berani lapor sama orangtuanya. Jangankan membuat
laporan pada polisi, bicara sama orangtuanya saja tidak. Kabarnya, jika mereka
bicara sama orangtua mereka, mereka akan dihajar lagi sama orangtuanya. Jadi,
mereka akan mendapatkan dua kali hukuman. Pertama, dari gurunya, kedua dari
orangtuanya sendiri. Hal itu disebabkan pada saat itu guru dianggap orangtua
kedua di sekolah. Jika mereka dihukum guru sama artinya dihukum oleh
orangtuanya sendiri. Di samping itu, dengan dihukum guru, mereka menjadi “aib”
bagi keluarganya. Artinya, mereka akan mendapat “cap” sebagai anak bandel yang
meresahkan lingkungannya dan sulit untuk dididik.
Berbeda dengan sekarang, jika guru menghukum murid,
apalagi dengan cara fisik, orangtuanya akan mencak-mencak di sekolahnya
menganggap gurunya telah menganiaya anaknya. Guru pun hanya dianggap sebagai
pengajar atau pentransfer ilmu pengetahuan, bukan lagi sebagai pendidik manusia
agar menjadi manusia yang lebih baik dan lebih disiplin. Akan tetapi, anehnya,
jika masyarakat atau polisi menemukan siswa yang melakukan keonaran di luar
sekolah, gurunya sering dihubungi untuk membina siswanya, padahal guru sekarang
memiliki banyak keterbatasan dalam membina manusia. Seharusnya, proses saja
secara hukum karena guru hanya berfungsi sebagai “pemindah” pelajaran, bukan lagi sebagai pendidik. Salah
besar jika ada anak yang melakukan kenakalan atau keonaran, dianggap sebagai
kesalahan guru dalam mendidik.
Bagaimana guru mau mendidik, keleluasaannya saja dibatasi
oleh ketakutan melanggar Ham?
Ibu saya juga
seorang guru, tetapi tidak killer
seperti ayah saya. Dia juga sudah pensiun. Dia guru biasa saja. Meskipun bukan
guru killer, tetap saja ibu saya
kerap berurusan dengan murid-murid yang nakalnya bukan main. Memang tidak semua
murid itu patuh, baik, disiplin, rajin, dan bersikap hormat. Selalu saja ada
yang membuat kesulitan, baik dalam hal pelajaran maupun dalam bersikap. Ada
muridnya yang sangat mengesalkan. Ibu saya sudah menghukumnya berulang-ulang.
Muridnya itu sudah dijemur, berdiri di depan kelas, dijewer, dan entah apalagi
yang dilakukan ibu saya terhadapnya.
Saking kesalnya, ibu saya membuat surat panggilan kepada
orangtuanya, “Suruh orangtua kamu datang ke sekolah!”
Besoknya, kedua orangtuanya datang menghadap ibu saya.
Belum juga ibu saya berbicara, mereka sudah bicara
duluan, “Bu, anak saya mau diapain juga sama Ibu terserah. Mau dicubit,
dipukul, ditempeleng, mau disiksa juga silakan. Saya percaya sama Ibu. Terserah
Ibu.”
Ibu saya jadi bingung. Tadinya, mau ngajak mereka bekerja
sama untuk mendidiknya, tetapi ternyata mereka menyerahkan anaknya sepenuhnya.
Sekarang, anak laki-laki bandel yang “boleh disiksa” itu
sudah memiliki perusahaan. Kelakuannya juga masih tetap aneh.
Kalau kebetulan melihat ibu saya di mana saja, dia suka
berteriak, “Ibuuu …!”
Setelah berteriak, dia turun dari mobilnya hanya untuk
mencium tangan ibu saya.
Dia sadar bahwa apa yang dilakukan ibu saya terhadapnya
pada masa lalu adalah untuk membuatnya menjadi orang yang lebih baik, bukan
menjadikannya sebagai penjahat yang harus dihukum dan dipermalukan. Tak ada
dendam dari dirinya, bahkan rasa hormat itu bertahan hingga dia memiliki
keluarga sendiri.
Bagaimana dengan guru-guru sekarang dan murid-murid saat
ini yang begitu mengagungkan Ham dari luar negeri itu?
Akan ada lagikah kejadian seperti yang terjadi pada ibu
saya dan muridnya?
Hujan angin dor dar
gelap mun kajadian poe ieu!
Demikian pula ayah saya yang killer itu. Beberapa generasi dari murid-muridnya kerap datang jika
ingin mengadakan acara reuni. Mereka meminta ayah saya berceramah saat reunian.
Mereka tampaknya rindu masa lalunya. Saya pernah mengantar ayah saya pada salah
satu acara reuni mereka. Ada anak yang dulunya bermasalah yang sampai sekarang
pun masih tetap bermasalah meminta berfoto dengan ayah saya berdua saja. Dia
ingin hanya difoto berdua sebagai bukti bagi keluarganya bahwa dia pergi dari
rumah untuk menemui ayah saya. Soalnya, setiap dia keluar rumah, pulangnya
selalu dimaki-maki keluarganya. Dia memang masih bermasalah. Hal itu terlihat
dari caranya berpakaian, matanya yang sayu dan cekung tanda gemar alkohol,
badannya kurus kering hitam tanda kurang tidur, dan bicaranya tidak tegas
seperti sedang mabuk.
Akhir-akhir ini ayah saya tidak lagi bisa hadir jika ada
acara reuni angkatan-angkatan yang lain karena sudah lumayan sepuh. Murid-muridnya pun paham hal itu.
Sebagai gantinya, mereka membawa banyak hadiah dan uang untuk ayah saya, lalu
berfoto di rumah ayah saya. Fotonya dibagikan dan salah satunya digantungkan di
ruang depan rumah ayah saya dan dibingkai dengan bagus. Padahal, ayah saya
adalah guru killer.
Sosok
Generasi Harapan
Sesungguhnya, generasi yang
bagaimana yang ingin diciptakan sistem pendidikan di Indonesia?
Sosok yang bagaimana yang ingin diwujudkan?
Pribadi-pribadi yang ingin dibentuk itulah yang harus
menjadi acuan dasar sistem pendidikan di Indonesia. Jika kita ingin seperti
orang Barat, conteklah habis-habisan sistem pendidikan Barat. Jika kita ingin
seperti orang Timur Tengah, contek habis Timur Tengah. Jika ingin seperti
India, tiru habis itu India. Jika ingin seperti Cina, teladani itu Cina. Jika
ingin seperti sebagaimana Indonesia, jadikanlah pendidikan Indonesia sesuai
dengan nilai-nilai Indonesia.
Mungkin saya salah melihat bahwa saat ini dengan adanya
aturan Ham dari luar negeri itu Indonesia banyak mencontek Barat yang kemasannya
banyak berbicara “demi kemanusiaan”.
Akan tetapi, apakah kita punya contoh sosok Barat yang
menjadi acuan kita dalam menciptakan generasi-generasi baru masa depan
Indonesia?
Apakah benar kita menginginkan kita sebagaimana
pribadi-pribadi Barat itu?
Jika benar, konsistenlah kita dalam menanggung berbagai
risiko yang pasti terjadi. Lihat mereka, guru hanya menjadi pengajar dan bukan
pendidik. Bahkan, di Indonesia semakin disempitkan pengajar menjadi hanya
pengajar di kelas dalam arti “pengajaran di kelas” yang hanya dibatasi dinding
kelas. Murid-murid di Barat semakin mandiri dan kurang ajar. Bullying menjadi hal biasa. Bahkan, jiwa
mereka banyak yang tidak stabil. Tidak jarang murid di Barat bisa membawa
pistol ke dalam kelas, lalu menembakkan pistolnya membabi buta hingga menewaskan
teman-temannya, termasuk gurunya sendiri.
Begitukah yang kita inginkan?
Guru di mata mereka bukanlah sebagai pembimbing
kehidupan, melainkan sebagai profesi biasa yang tidak beda dengan karyawan
pabrik atau pekerja lainnya.
Murid-murid dengan pribadi seperti merekakah yang ingin
kita ciptakan?
Saya mungkin tidak bisa terlalu lengkap membuat
perbandingan. Akan tetapi, setidaknya kita bisa melihat bahwa pendidikan masa
lalu, baik di Timur Tengah, Cina, dan Indonesia adalah lebih baik. Harus
diingat bahwa pada masa lalu itu tidak diganggu oleh adanya Ham yang berasal
dari Barat. Hasil pendidikan masa lalu pada tiga wilayah itu menunjukkan hasil
yang sangat hebat.
Dari Timur Tengah bermunculan para pemikir dan teknokrat
unggulan. Padahal, tidak mengenal Ham yang membatasi keleluasaan guru dalam
mendidik.
Di Timur Tengah lahir Abbas
Firnas, orang yang pertama terbang ke udara selama sepuluh menit. Wright
bersaudara hanya mampu terbang dua belas detik dan itu terjadi setelah seribu
tahun Abbas Firnas berhasil terbang. Al
Jazari, Insinyur mesin yang menciptakan Jam Gajah untuk menentukan waktu
shalat, puasa, dan haji dengan menggunakan energi air. Ibnu Sina, Bapak Kedokteran sebagai peletak ilmu kedokteran Barat
dengan bukunya yang sangat terkenal Al
Qanun fi at-Tibb yang diterjemahkan menjadi Canon of Medicine dan menjadi dasar bagi kedokteran Barat saat ini.
Az Zahrawi, Bapak Dokter Bedah yang
bukunya dipelajari selama berabad-abad dalam ilmu bedah. Fathimah Al Fitri, Ibu Pendiri Universitas Pertama Modern di
kompleks Masjid Al Qawariyin, Fez, Maroko. Sementara adiknya Maryam membuat
universitas di Andalusia, Spanyol. Pakaian mahasiswa ala Fathimah Al Fitri
masih dipakai sampai sekarang. Toga yang berbentuk segi empat merupakan simbol
dari Kabah. Ibnu Haytham, penemu camera obscura yang hasil penelitiannya
menjadi kamera handphone saat ini. Karyanya, Al Manazir, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Book of Optics. Al Farabi pemikir Islam
terkemuka dalam bidang logika, ilmu-ilmu matematika, ilmu alam, teologi, serta politik
dan kenegaraan. Al Batani, ahli
astronomi dan matematika. Hasil penelitiannya yang sangat terkenal adalah tentang
penentuan Tahun Matahari sebagai 365 hari, 5 jam, 46 menit dan 24 detik. Ia pun
menemukan sejumlah persamaan trigonometri dan memecahkan persamaan sin x = a
cos x. Muhammad bin Musa Al Khawarizmi, Bapak
Al Jabar, operasi dalam matematika untuk menyelesaikan notasi kuadrat dan
menetapkan perhitungan logaritma.
Terlalu banyak sesungguhnya murid-murid Timur Tengah yang
muncul menjadi orang-orang hebat dan artikel ini tak mungkin menyebutnya satu
per satu. Tulisan ini bukan ingin menuliskan hal itu, tetapi mencoba mencari
kesadaran bahwa mereka itu dulunya adalah para murid dari guru-gurunya.
Bagaimana para gurunya mendidik mereka hingga menjadi
para pemikir hebat yang berpengaruh hingga saat ini?
Apakah para guru mereka dibatasi oleh Ham seperti yang
berlaku saat ini?
Tentu tidak, bukan?
Bagaimana jadinya jika pada masa lalu, diberlakukan
aturan Ham saat ini pada mereka? Akankah mereka menghasilkan murid-murid yang
istimewa?
Pikir!
Ada persamaan cara mendidik guru-guru di Timur Tengah
dengan di Indonesia dan Cina pada masa lalu. Cara mendidik di Timur Tengah bisa
kita telusuri dari biografi para sufi dan para pemikir lainnya. Adapun cara
mendidik di Indonesia dan Cina bisa dilihat dari kisah-kisah para pendekar,
pertapa, keluarga kerajaan yang belajar di pertapaan, padepokan, atau kuil
shaolin di Cina. Mereka dididik dengan keras dan disiplin tinggi untuk
mendapatkan hasil yang maksimal. Hukuman fisik dilakukan dengan sangat
menakutkan dan mengerikan hingga para murid berupaya keras menghindari hukuman
itu dengan mematuhi dan menghormati gurunya. Bukan hanya dalam soal pelajaran
para murid dituntut untuk patuh dan disiplin, melainkan pula dalam hal
menghormati guru. Para murid diwajibkan
bangun lebih pagi daripada gurunya. Mereka harus sudah selesai memenuhi bak-bak
penampungan air, mencuci baju, memasak makanan dan minuman bagi para gurunya
sebelum gurunya bangun. Ketika gurunya bangun, mereka dengan takzim sudah siap
untuk menerima pelajaran.
Tak heran jika pendidikan seperti itu menghasilkan
murid-murid cerdas, setia, dan tetap menghormati gurunya.
Siapa saja orang-orang Indonesia yang sudah berperan
besar bagi dunia sebagai akibat dari sistem pendidikan masa lalunya?
Banyak, banyak sekali!
Masalahnya, para sejarawan, arkeolog, dan peneliti lain
di Indonesia masih tenggelam dalam “ketakutan” dan “keengganan” untuk menabrak
hasil-hasil penelitian yang selama ini diyakini sebagai kebenaran. Akibatnya,
banyak sekali kehebatan Indonesia tertutupi oleh hasil-hasil penelitian yang
sebetulnya digunakan untuk menutupi kebesaran dan kehebatan Indonesia.
Untuk hal ini, saya akan tulis dalam artikel khusus yang
menerangkan mengapa sejarah kebesaran Indonesia tidak bisa terbuka dengan baik
dan tertutupi oleh kabut kekusutan. Hal itu disebabkan memang ada “pihak-pihak”
yang sengaja melakukan “penutupan” itu dengan maksud membodohi bangsa Indonesia
sehingga tetap menganggap dirinya lemah dan harus selalu mengikuti negara lain.
Perlu
Keseragaman Pengenaan Sanksi
Dari seluruh ceramah Prof.
Dr. H. Mohamad Surya, Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik
Indonesia (PGRI) yang saya ikuti pada berbagai daerah di Indonesia, 80% dia
selalu mengatakan hal yang sama berulang-ulang, “Guru lebih rendah dibandingkan
monyet.”
Kalimat itu berangkat dari keprihatinannya terhadap
kondisi guru di Indonesia saat ini yang cukup ketakutan dan dibatasi oleh
adanya Ham yang membuat guru sulit mendidik murid-muridnya. Ketika guru
mendisiplinkan muridnya, terancam oleh “pelanggaran Ham”. Ketika Sang Guru
terjerat pelanggaran Ham, guru pun bisa dimasukkan dalam penjara.
Dia bilang, “Monyet saja dilindungi undang-undang, guru
tidak dilindungi undang-undang.”
Memang ketika dia berbicara seperti itu selalu disambut
oleh gerr para guru yang menjadi
pendengarnya di mana-mana. Seolah-olah itu hanya sebuah banyolan, tetapi
sesungguhnya memiliki kandungan makna yang membuat miris dan penuh kegetiran.
Agar guru dapat mendidik murid-muridnya dengan lebih
baik, baik dalam segi akademis maupun perilaku, perlu ada undang-undang atau
aturan mengenai penerapan sanksi bagi murid yang dapat diberlakukan oleh setiap
guru. Dengan demikian, guru mendapatkan perlindungan ketika menerapkan sanksi.
Sanksi tersebut haruslah sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia dan sesuai
dengan nilai-nilai Indonesia serta mengarah pada penciptaan “sosok generasi
yang diharapkan masa depan Indonesia”. Jangan terlalu mengekor pada kebiasaan
orang lain karena mereka bukanlah kita. Keinginan kita berbeda dengan keinginan
mereka. Kalau mereka “mengharamkan” hukuman fisik, kita membutuhkan hukuman fisik.
Akan tetapi, hukuman fisik itu harus terukur dan disepakati. Jangan diserahkan
kepada keinginan individu guru karena bisa terjadi pengenaan sanksi yang
berlebihan.
Saya juga tidak setuju dengan apa yang ayah saya lakukan
pada murid-muridnya pada masa lalu, terlalu berlebihan. Sebaiknya, diatur dan
disepakati.
Siapa bilang hukuman fisik tidak boleh?
Nabi Muhammad saw mengajarkan bahwa anak itu harus mulai
diajari melaksanakan shalat pada usia 7 tahun dan harus dipukul jika pada usia
10 tahun belum melakukan juga shalat. Di sana ada hukuman fisik yang harus
dilakukan. Akan tetapi, jika anak patuh, hukuman itu tidak perlu dilakukan.
Dalam melaksanakan anjuran Nabi Muhammad saw, Abu Bakar
ra dan Umar bin Khattab ra melakukannya dengan menggantungkan tali kulit pelana
kuda di atas pintu rumahnya sebagai ancaman bagi anak-anak mereka jika tidak
mau shalat atau berperilaku buruk. Dengan demikian, anak menjadi patuh untuk
melakukan shalat dan tetap berperilaku baik. Akan tetapi, tidak pernah ada
kisah bahwa keduanya, baik Abu bakar ra maupun
Umar bin Khattab ra pernah menggunakan tali kulit pelana kudanya untuk
memukul anak-anaknya. Tali pelana itu hanya bergantung sebagai ancaman dan tak
pernah ada kisah diturunkan untuk digunakan.
Dengan adanya penerapan sanksi bagi murid yang disepakati
dalam undang-undang, termasuk hukuman fisik, guru akan terlindungi dalam
melaksanakan pendidikan. Di samping itu pun, tujuan pendidikan Indonesia bisa tercapai
dengan lebih baik, bukan saja dalam hal kognitif, melainkan pula dalam segi
afektif dan psikomotornya.
Kalau masih ada orang tua atau murid yang mencak-mencak
karena dihukum guru, tetapi sanksi yang diberikan sudah sesuai aturan yang
sesuai pula dengan nilai-nilai keindonesiaan, bilang saja kepada mereka, “Kalau
tidak mau dididik, jangan sekolah! Didik saja di rumah sendirian!”
Saya yakin bahwa sampai saat ini guru Indonesia
cita-citanya sama, yaitu menginginkan anak didiknya berhasil menjadi orang yang
baik dan berguna bagi agama, nusa, dan bangsa. Kebahagiaan mereka adalah jika
telah melihat murid-muridnya menjadi manusia-manusia dan berprestasi bagi hidup
dan kehidupan. Mereka tak pernah merasa tersaingi jika muridnya lebih baik
hidupnya dibandingkan dirinya, tetapi para guru akan merasa berbahagia karena
telah berhasil berperan serta dalam menciptakan sosok-sosok unggulan dalam
hidup dan kehidupan ini.
No comments:
Post a Comment