Thursday 23 June 2016

Bahaya Kuning

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

“Bahaya kuning” adalah istilah yang pernah diungkapkan Soekarno mengenai bahaya yang harus diwaspadai pada masa-masa kehidupan Indonesia selanjutnya setelah merdeka. Istilah bahaya kuning sendiri tidak jelas kapan mulai ada yang kemudian merebak di masyarakat saat itu sehingga yang masih memiliki jiwa pejuang selalu mempersiapkan diri terhadap kemungkinan datangnya bahaya kuning tersebut.

            Saya coba cari-cari pada beberapa tulisan di internet mengenai bahaya kuning tersebut. Sayangnya,  tulisan mengenai hal itu sangat terbatas dan kurang dapat dipahami atau agak sulit dipercaya. Ada beberapa tulisan yang menyebutkan bahwa yang dimaksud bahaya kuning tersebut adalah bahaya invasi Jepang terhadap Indonesia. Akan tetapi, apabila bahaya kuning adalah bahaya Jepang, sangat sulit untuk diyakini kebenarannya. Hal itu disebabkan Jepang sudah bukan lagi ancaman bagi Indonesia setelah kalah perang oleh sekutu dan menyerah. Memang pada masa-masa selanjutnya hingga hari ini Jepang sama sekali bukan ancaman bagi Indonesia. Tak ada indikasi sedikit pun Jepang akan melakukan hal yang “macam-macam” terhadap Indonesia. Dengan demikian, besar kemungkinan bahwa yang dimaksud bahaya kuning oleh Soekarno bukanlah bahaya dari Jepang, melainkan ada maksud lain.

            Ketika saya tanya soal bahaya kuning kepada para orang tua yang sudah lanjut usia dan ikut terlibat dalam masa perjuangan, saya mendapatkan jawaban yang sangat cepat dan tanpa ragu.

            Mereka bilang dengan cepat dan tegas, “Cina!”

            Berita bahaya kuning atau bahaya Cina ini sangat menguat ketika Presiden RI ke-1 Ir. Soekarno jatuh sakit dan dirawat oleh dokter-dokter dari Cina. Menurut para orang tua itu, dokter-dokter Cina sempat berunding mengenai kesehatan Soekarno yang sedang sangat kritis. Dokter-dokter Cina itu merundingkan apakah Soekarno harus dirawat sampai dengan sembuh atau “dibuat mati” saja. Para dokter Cina sempat hendak membunuh Soekarno dengan cara medis.

            Begitu yang dikabarkan para orang tua yang sempat saya tanya. Akan tetapi, kebenaran mengenai peristiwa itu masih harus diteliti karena para orang tua itu masih sangat muda saat itu, sekitar usia 15 tahunan. Meskipun mereka sudah memegang senjata dan ikut bertempur karena secara fisik sudah mirip dengan orang dewasa, mereka masih dalam usia sangat muda yang mudah sekali digiring oleh isu-isu yang bisa benar atau bisa juga salah. Usia SMP itu merupakan usia rawan “penipuan” karena masih sangat sedikit informasi di dalam kepala mereka. Artinya,  berita yang mereka dapatkan mengenai upaya rencana pembunuhan oleh dokter-dokter Cina itu bisa sekedar isu bohong atau memang benar-benar merupakan kenyataan.

            Meskipun demikian, bahaya kuning adalah bahaya Cina lebih dapat dipercaya dibandingkan bahaya Jepang. Sebagaimana yang saya sebutkan tadi, Jepang sama sekali bukan merupakan ancaman bagi Indonesia, sedangkan Cina tetap menjadi ancaman bagi Indonesia sampai hari ini.

            Istilah kuning sendiri mengacu pada warna kulit. Orang Jepang dan orang Cina memang sering sekali disebut sebagai “manusia kuning”, sebagaimana orang Afrika yang disebut sebagai “manusia hitam” dan Indian sebagai “manusia merah”. Jadi, bahaya kuning adalah bahaya Cina mudah sekali dipahami.

            Bahaya Cina bagi Indonesia saat ini semakin tampak jelas, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Di dalam negeri banyak orang mulai resah dengan dibanjirinya Indonesia oleh para pekerja dari Cina atau Tiongkok. Pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya bisa dikerjakan oleh pribumi “terserobot” oleh pekerja asal Cina. Belum lagi upah bagi warga pribumi lebih rendah dibandingkan pekerja asal Cina. Begitulah berita-berita yang sering ditayangkan oleh televisi di Indonesia. Hal itu jelas akan menimbulkan kecemburuan dan kejengkelan warga asli Indonesia.

            Saya juga pernah mewawancarai pemimpin pembangunan Waduk Jatigede, Jawa Barat beberapa tahun lalu. Proyek pembangunan Waduk Jatigede itu dikerjakan oleh perusahaan asal Cina. Mereka pun banyak mempekerjakan pekerja asal Cina. Ada dampak sosial yang mungkin sampai hari ini tidak tertanggulangi dan terus menjadi masalah. Para pekerja asal Cina itu merayu perempuan-perempuan di kampung-kampung seputar Waduk Jatigede. Terjadilah jalinan cinta di antara mereka yang tentunya diiming-imingi sejumlah uang. Hubungan itu berlanjut lebih dalam sampai terjadi kehamilan pada perempuan-perempuan pribumi dan melahirkan anak. Ketika kontrak kerja berakhir, para pekerja asal Cina itu pun pulang ke negerinya. Adapun perempuan-perempuan hamil dan melahirkan anak-anak mereka ditinggalkan begitu saja. Hal itu jelas merupakan masalah tersendiri yang harus ditanggung oleh bangsa Indonesia.

            Ketika saya tanyakan tentang tanggung jawab atas hal itu, pemimpin pembangunan Waduk Jatigede dengan tegas menyatakan, “Itu bukan masalah saya. Kalau Bapak menanyakan tentang besi, semen, terowongan, cara menggali, mengecor, dan perbandingan kekuatan bangunan, saya bisa jawab. Kalau urusan perempuan hamil, bukan tanggung jawab saya. Itu tanggung jawab Pemda.”

            Memang benar itu bukan tanggung jawab dia, melainkan tanggung jawab Pemda setempat. Meskipun demikian, hal itu sudah menjadi dampak sosial yang harus ditanggulangi oleh bangsa Indonesia, baik masyarakat yang terlibat hal itu maupun Pemda setempat. Itu artinya ada cost yang sudah pasti menjadi risiko bangsa Indonesia. Itu merupakan bahaya yang sudah terjadi.

            Siapa laki-laki Indonesia yang mau bertanggung jawab atas kehamilan para perempuan yang ditinggalkan itu?

            Tidak jelas.

            Bahaya Cina itu saat ini semakin terang dengan adanya pencurian ikan di kawasan laut Indonesia. Bahaya itu semakin menguat dengan adanya protes dari pemerintah Cina atas ditangkapnya para kriminal pencuri ikan terhadap Indonesia. Bahaya kuning tidak berhenti sampai di situ, melainkan semakin kentara dengan klaim Cina atas laut Indonesia sebagai wilayah tradisional penangkapan ikan nelayan Cina. Itu artinya kedaulatan wilayah Indonesia mulai diganggu. Bukan tidak mungkin jika dibiarkan, akan terjadi invasi laut terhadap wilayah laut Indonesia, khususnya di Kepulauan Natuna.

            Hal yang harus dilakukan Indonesia adalah memperkuat ketegasan atas kedaulatan wilayah Indonesia dan memberikan aturan tegas beserta penerapannya atas pekerja-pekerja asal Cina. Dengan demikian, bahaya kuning itu dapat diantisipasi sejak dini.

            Apabila Cina sampai lebih jauh dan lebih dalam mengganggu Indonesia, bukan tidak mungkin rakyat akan semakin marah. Kemarahan itu bisa memuncak dan merusakkan berbagai hubungan ekonomi dan politik antara Indonesia dengan Cina. Pemerintah Indonesia mungkin akan bersikap jelas sesuai dengan berbagai kesepakatan yang telah dibuat. Akan tetapi, rakyat yang marah mungkin akan bersikap berbeda.

            Bukankah kita tidak ingin bahwa peristiwa medio Mei 1998 terulang kembali?

            Akan ada banyak biaya yang harus diderita Indonesia jika peristiwa itu terulang lagi.


            Bahaya kuning itu memang ada dan harus diantisipasi sejak dini. Pemerintah dan rakyat Indonesia harus bersama-sama mengantisipasinya.

No comments:

Post a Comment