oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
“Bahaya kuning” adalah
istilah yang pernah diungkapkan Soekarno mengenai bahaya yang harus diwaspadai pada
masa-masa kehidupan Indonesia selanjutnya setelah merdeka. Istilah bahaya
kuning sendiri tidak jelas kapan mulai ada yang kemudian merebak di masyarakat
saat itu sehingga yang masih memiliki jiwa pejuang selalu mempersiapkan diri
terhadap kemungkinan datangnya bahaya kuning tersebut.
Saya coba cari-cari pada beberapa tulisan di internet
mengenai bahaya kuning tersebut. Sayangnya, tulisan mengenai hal itu sangat terbatas dan
kurang dapat dipahami atau agak sulit dipercaya. Ada beberapa tulisan yang
menyebutkan bahwa yang dimaksud bahaya kuning tersebut adalah bahaya invasi
Jepang terhadap Indonesia. Akan tetapi, apabila bahaya kuning adalah bahaya
Jepang, sangat sulit untuk diyakini kebenarannya. Hal itu disebabkan Jepang
sudah bukan lagi ancaman bagi Indonesia setelah kalah perang oleh sekutu dan
menyerah. Memang pada masa-masa selanjutnya hingga hari ini Jepang sama sekali
bukan ancaman bagi Indonesia. Tak ada indikasi sedikit pun Jepang akan
melakukan hal yang “macam-macam” terhadap Indonesia. Dengan demikian, besar
kemungkinan bahwa yang dimaksud bahaya kuning oleh Soekarno bukanlah bahaya
dari Jepang, melainkan ada maksud lain.
Ketika saya tanya soal bahaya kuning kepada para orang
tua yang sudah lanjut usia dan ikut terlibat dalam masa perjuangan, saya mendapatkan
jawaban yang sangat cepat dan tanpa ragu.
Mereka bilang dengan cepat dan tegas, “Cina!”
Berita bahaya kuning atau bahaya Cina ini sangat menguat
ketika Presiden RI ke-1 Ir. Soekarno jatuh sakit dan dirawat oleh dokter-dokter
dari Cina. Menurut para orang tua itu, dokter-dokter Cina sempat berunding
mengenai kesehatan Soekarno yang sedang sangat kritis. Dokter-dokter Cina itu
merundingkan apakah Soekarno harus dirawat sampai dengan sembuh atau “dibuat
mati” saja. Para dokter Cina sempat hendak membunuh Soekarno dengan cara medis.
Begitu yang dikabarkan para orang tua yang sempat saya
tanya. Akan tetapi, kebenaran mengenai peristiwa itu masih harus diteliti
karena para orang tua itu masih sangat muda saat itu, sekitar usia 15 tahunan. Meskipun
mereka sudah memegang senjata dan ikut bertempur karena secara fisik sudah
mirip dengan orang dewasa, mereka masih dalam usia sangat muda yang mudah
sekali digiring oleh isu-isu yang bisa benar atau bisa juga salah. Usia SMP itu
merupakan usia rawan “penipuan” karena masih sangat sedikit informasi di dalam
kepala mereka. Artinya, berita yang
mereka dapatkan mengenai upaya rencana pembunuhan oleh dokter-dokter Cina itu
bisa sekedar isu bohong atau memang benar-benar merupakan kenyataan.
Meskipun demikian, bahaya kuning adalah bahaya Cina lebih
dapat dipercaya dibandingkan bahaya Jepang. Sebagaimana yang saya sebutkan tadi,
Jepang sama sekali bukan merupakan ancaman bagi Indonesia, sedangkan Cina tetap
menjadi ancaman bagi Indonesia sampai hari ini.
Istilah kuning sendiri mengacu pada warna kulit. Orang
Jepang dan orang Cina memang sering sekali disebut sebagai “manusia kuning”,
sebagaimana orang Afrika yang disebut sebagai “manusia hitam” dan Indian
sebagai “manusia merah”. Jadi, bahaya kuning adalah bahaya Cina mudah sekali
dipahami.
Bahaya Cina bagi Indonesia saat ini semakin tampak jelas,
baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Di dalam negeri banyak orang mulai
resah dengan dibanjirinya Indonesia oleh para pekerja dari Cina atau Tiongkok.
Pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya bisa dikerjakan oleh pribumi “terserobot”
oleh pekerja asal Cina. Belum lagi upah bagi warga pribumi lebih rendah
dibandingkan pekerja asal Cina. Begitulah berita-berita yang sering ditayangkan
oleh televisi di Indonesia. Hal itu jelas akan menimbulkan kecemburuan dan
kejengkelan warga asli Indonesia.
Saya juga pernah mewawancarai pemimpin pembangunan Waduk
Jatigede, Jawa Barat beberapa tahun lalu. Proyek pembangunan Waduk Jatigede itu
dikerjakan oleh perusahaan asal Cina. Mereka pun banyak mempekerjakan pekerja
asal Cina. Ada dampak sosial yang mungkin sampai hari ini tidak tertanggulangi
dan terus menjadi masalah. Para pekerja asal Cina itu merayu
perempuan-perempuan di kampung-kampung seputar Waduk Jatigede. Terjadilah jalinan
cinta di antara mereka yang tentunya diiming-imingi sejumlah uang. Hubungan itu
berlanjut lebih dalam sampai terjadi kehamilan pada perempuan-perempuan pribumi
dan melahirkan anak. Ketika kontrak kerja berakhir, para pekerja asal Cina itu
pun pulang ke negerinya. Adapun perempuan-perempuan hamil dan melahirkan
anak-anak mereka ditinggalkan begitu saja. Hal itu jelas merupakan masalah
tersendiri yang harus ditanggung oleh bangsa Indonesia.
Ketika saya tanyakan tentang tanggung jawab atas hal itu,
pemimpin pembangunan Waduk Jatigede dengan tegas menyatakan, “Itu bukan masalah
saya. Kalau Bapak menanyakan tentang besi, semen, terowongan, cara menggali,
mengecor, dan perbandingan kekuatan bangunan, saya bisa jawab. Kalau urusan
perempuan hamil, bukan tanggung jawab saya. Itu tanggung jawab Pemda.”
Memang benar itu bukan tanggung jawab dia, melainkan
tanggung jawab Pemda setempat. Meskipun demikian, hal itu sudah menjadi dampak
sosial yang harus ditanggulangi oleh bangsa Indonesia, baik masyarakat yang
terlibat hal itu maupun Pemda setempat. Itu artinya ada cost yang sudah pasti menjadi risiko bangsa Indonesia. Itu
merupakan bahaya yang sudah terjadi.
Siapa laki-laki Indonesia yang mau bertanggung jawab atas
kehamilan para perempuan yang ditinggalkan itu?
Tidak jelas.
Bahaya Cina itu saat ini semakin terang dengan adanya
pencurian ikan di kawasan laut Indonesia. Bahaya itu semakin menguat dengan
adanya protes dari pemerintah Cina atas ditangkapnya para kriminal pencuri ikan
terhadap Indonesia. Bahaya kuning tidak berhenti sampai di situ, melainkan
semakin kentara dengan klaim Cina atas laut Indonesia sebagai wilayah tradisional
penangkapan ikan nelayan Cina. Itu artinya kedaulatan wilayah Indonesia mulai
diganggu. Bukan tidak mungkin jika dibiarkan, akan terjadi invasi laut terhadap
wilayah laut Indonesia, khususnya di Kepulauan Natuna.
Hal yang harus dilakukan Indonesia adalah memperkuat
ketegasan atas kedaulatan wilayah Indonesia dan memberikan aturan tegas beserta
penerapannya atas pekerja-pekerja asal Cina. Dengan demikian, bahaya kuning itu
dapat diantisipasi sejak dini.
Apabila Cina sampai lebih jauh dan lebih dalam mengganggu
Indonesia, bukan tidak mungkin rakyat akan semakin marah. Kemarahan itu bisa
memuncak dan merusakkan berbagai hubungan ekonomi dan politik antara Indonesia
dengan Cina. Pemerintah Indonesia mungkin akan bersikap jelas sesuai dengan
berbagai kesepakatan yang telah dibuat. Akan tetapi, rakyat yang marah mungkin
akan bersikap berbeda.
Bukankah kita tidak ingin bahwa peristiwa medio Mei 1998
terulang kembali?
Akan ada banyak biaya yang harus diderita Indonesia jika peristiwa
itu terulang lagi.
Bahaya kuning itu memang ada dan harus diantisipasi sejak
dini. Pemerintah dan rakyat Indonesia harus bersama-sama mengantisipasinya.
No comments:
Post a Comment