Thursday 2 June 2016

Belajar dari Suku Baduy dan Kampung Dukuh

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Suku Baduy adalah salah satu suku yang sangat terkenal di dunia. Jangankan orang-orang Indonesia, para turis dan peneliti mancanegara pun kerap mendatangi suku ini.

            Sebenarnya, mereka sendiri tidak mau disebut Suku Baduy karena memang bukan Baduy. Mereka lebih suka disebut orang Kanekes. Baduy sendiri merupakan sebutan yang biasa digunakan kolonial Belanda kepada orang Kanekes. Belanda menggunakan istilah itu karena menyamakan mereka seperti terhadap orang-orang Badwi di daerah Arab yang hidup secara nomaden. Padahal, orang Kanekes tidak nomaden dan bukan orang Arab. Mereka urang Sunda tulen. Mereka pun tidak pernah berbunuh-bunuhan untuk membanggakan keluarga, kaum, atau sukunya. Berbeda dengan Badwi Arab yang penuh dengan kebanggaan terhadap kaum dan sukunya, penuh dengan perjuangan keras, heroik, dan tak segan untuk membunuh yang akhirrnya menimbulkan perang hanya untuk membela silsilahnya. Orang Kanekes memilih untuk tetap diam di tempat dan berupaya menyeimbangkan dirinya dengan alam.

            Orang Kanekes tidak mau ikut campur dalam kehidupan politik di luar desanya. Tidak juga ingin meniru hidup seperti orang-orang lain. Mereka menolak teknologi, pendidikan, keyakinan, kesehatan, dan menolak apa pun yang berasal dari luar mereka. Mereka tak ingin dipengaruhi apa pun dan oleh siapa pun. Mereka tak ingin dibimbing dan tak ingin dididik. Mereka memiliki cara-cara hidupnya sendiri yang bertahan dari zaman ke zaman. Bahkan, mereka sendiri yang berupaya di atas orang lain karena mereka selalu berupaya keras untuk mengasuh para pemimpin Indonesia dan para tokoh-tokoh Indonesia dengan cara-cara hidup mereka sendiri sehingga hidup mereka menjadi pelajaran bagi orang lain. Orang-orang Kanekes yang ingin hidup seperti orang lain, harus keluar dari wilayah pedalaman dan menjadi orang luar. Adapun orang-orang pedalaman tetap setia terhadap adat istiadatnya. Mereka tak ingin diganggu dan tak ingin mengganggu. Mereka hidup tak ingin dipengaruhi orang lain. Apa pun yang terjadi di luar mereka, terserah. Akan tetapi, mereka mempertahankan hubungan dengan orang luar dan para penguasa dengan cara tetap berperilaku baik dan mengirimkan hadiah kepada penguasa ketika kebun dan ladang mereka panen. Silaturahmi tetap dijaga sehingga tidak saling mengganggu.

            Kekuatan mereka dalam mempertahankan adat sangat luar biasa. Mereka orang-orang yang sangat teruji dalam beristiqomah. Kalau dihitung, mungkin sudah jutaan orang yang mendatangi kampung mereka, tetapi mereka tetap tidak bisa dipengaruhi. Bahkan, kehidupan merekalah yang telah mempengaruhi orang lain. Penolakan mereka sangat tegas terhadap sesuatu yang tidak mereka sukai dan tidak seorang pun di dunia ini yang mampu memaksa mereka untuk berubah.

            Ayah saya adalah seorang guru. Dulu ketika masih muda, dia pernah hendak memasuki ke pedalaman Kanekes, tetapi ditolak dan dilarang masuk. Mereka anti terhadap guru.

            Alasan mereka, “Lamun guru asup ka kami, engke rahayat kami jadi pinter. Lamun rahayat kami jadi pinter, engke rahayat kami jadi jelema jahat. (Kalau guru masuk ke daerah kami, nanti rakyat kami menjadi orang pintar. Kalau rakyat kami sudah menjadi orang pintar, nanti mereka menjadi orang-orang jahat).”

            Kalimat itu sangat dalam maknanya dan mempermalukan kita yang hidup penuh pendidikan sekaligus penuh kejahatan.

            Coba renungkan kalimat mereka itu. Ada banyak makna di sana.

            Dulu sekali mereka sangat tegas dan keras menutup diri. Akan tetapi, sekarang mereka membuka diri sedikit. Meskipun demikian, mereka tetap kuat memegang adat istiadat. Mungkin mereka sekarang melihat rakyat Indonesia mulai ada perubahan pada hal-hal yang lebih baik sehingga sedikit membuka diri. Kalau dulu pada masa kolonial dan Orde Baru, mereka sangat tertutup, mungkin karena banyak hal yang sangat mereka tidak sukai dari kehidupan di Indonesia ini.

            Kalau soal masa kolonialisme, pasti tidak mereka sukai karena banyak sekali kejahatan. Kalau masa Orde Baru, mungkin masih banyak yang tidak berkenan di hati mereka.

            Ketika menanggapi soal jatuhnya Soeharto dan Orde Baru, salah seorang dari mereka mengatakan, “Matak kitu oge teu bener meureun Soeharto teh. Da lamun bener mah, moal dikitukeun. (Dijatuhkan seperti itu mungkin karena Soeharto tidak benar memimpin. Kalau dia benar memimpin, tidak akan dijatuhkan seperti itu).”

            Sekarang mari kita tinggalkan kisah soal Suku Baduy yang sebenarnya orang Kanekes itu. Kini kita lihat bagaimana sekilas Kampung Dukuh yang berada di wilayah Garut. Warga Kampung Dukuh mirip-mirip dengan Kanekes. Mereka kuat memegang adat istiadat dan tidak mau dipengaruhi orang lain, tetapi tetap terbuka kepada siapa pun yang ingin bersilaturahmi. Mereka tidak mau menggunakan listrik. Penerangan hanya menggunakan lampu berbahan bakar minyak tanah. Mereka pun terlarang untuk menjadi pegawai negeri sipil. Hidup mereka dipenuhi ritual-ritual agama Islam.

            Hal yang paling unik adalah mereka merupakan pemegang naskah kuno mengenai sejarah dunia dan masa depan dunia. Saya menduga naskah itu berasal dari skrip-skrip yang diselamatkan oleh para pendeta gereja Sarabeum, Mesir ketika dikalahkan oleh pendeta Vatikan, Romawi. Dalam buku karya Muhammad Isa Dawud dijelaskan mengenai perebutan pengaruh di antara para pendeta. Perebutan pengaruh itu berujung pada perang antara pendeta-pendeta Vatikan, Romawi dengan pendeta-pendeta Sarabeum, Mesir. Keduanya memiliki simbol yang sama, yaitu salib. Akan tetapi, salibnya berbeda bentuk dan berbeda makna. Salib yang digunakan gereja Vatikan adalah salib sebagaimana yang kita kenal sekarang, yaitu salib berupa tempat pembunuhan terhadap orang yang mereka yakini sebagai Yesus. Adapun salib yang digunakan gereja Sarabeum adalah salib dalam bentuk kunci kehidupan, ”Anchor”. Perang besar itu dimenangkan oleh gereja Vatikan. Mereka membabi-buta membakar dan menghancurkan gereja-gereja Sarabeum. Oleh sebab itu, para pendeta Sarabeum yang kalah menyelamatkan naskah-naskah kuno mengenai dunia dan masa depan dunia ke seluruh penjuru dunia. Ada kemungkinan naskah yang dipegang di Kampung Dukuh secara turun-temurun itu berasal dari Sarabeum, Mesir.

            Karena pertempuran dimenangkan oleh gereja Vatikan, sedangkan gereja Sarabeum mengalami kehancuran total, dunia hanya mengenal satu salib, yaitu tempat dibunuhnya orang yang kata mereka adalah Yesus. Padahal, menurut Allah swt, yang disalib itu sama sekali bukan Yesus. Dia hanya orang yang mirip Yesus. Yesus as sebenarnya dalam kondisi baik-baik saja sampai hari ini. Berbeda halnya jika yang memenangkan pertempuran adalah gereja Sarabeum, kita akan mengenal salib yang digunakan adalah kunci kehidupan, “Anchor” yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan penyaliban yang katanya Yesus itu.

            Saya dua kali bertemu dengan orang-orang Kampung Dukuh. Pertama, ketika Indonesia dilanda krisis minyak tanah beberapa tahun lalu. Saat itu minyak tanah sulit sekali didapat. Kalaupun ada, mahalnya bukan main. Karena sulit mendapatkan minyak tanah dan mahal harganya. Kampung Dukuh menjadi gelap gulita pada malam hari. Mereka memang anti menggunakan listrik dan harus hanya menggunakan penerangan dari lampu minyak tanah. Saya mendatangi mereka untuk mengantarkan bantuan dua drum minyak tanah. Tentunya, saya hanya dititipi uang untuk mereka. Saya tidak membawa minyak tanah dari kota. Uang yang dititipkan dermawan kepada saya dibelikan dua drum minyak tanah dari daerah yang terdekat ke Kampung Dukuh. Mereka bersyukur sekali mendapatkan bantuan itu karena dalam satu dua bulan ke depan mereka memiliki cukup persediaan minyak tanah.

            Kedua, adalah ketika Kampung Dukuh mengalami kebakaran hebat. Baru juga kira-kira dua minggu saya datang membawa dua drum minyak tanah, tersiar kabar di media massa bahwa Kampung Dukuh kebakaran. Kembali saya mendatangi mereka beserta para dermawan untuk melihat kondisi mereka sekaligus memberikan bantuan. Ternyata, benar saja hampir setengah dari kampung itu habis terbakar dan hanya menyisakan reruntuhan rumah-rumah yang rata dengan tanah dan hitam gosong dimakan api. Kali ini bantuan jauh lebih besar daripada sebelumnya. Uang yang disalurkan bisa membangun kembali beberapa unit rumah panggung berbahan bambu dan kayu. Di samping uang, tentu saja beras dan kain sarung.

            Dua drum minyak tanah itu bagaimana?

            Habis terbakar Bro tidak bersisa!

            Menurut polisi, kebakaran disebabkan oleh silalatu dari api unggun para pemuda pada bagian bukit yang lain. Akan tetapi, saya sangat tidak percaya. Silalatu itu adalah bara api yang mudah terbang karena sangat ringan tertiup oleh angin. Dalam pandangan polisi saat itu, silalatu dari api unggun anak-anak muda itu tertiup angin, lalu mengenai rumah-rumah di Kampung Dukuh yang terbuat dari bahan bambu, alang-alang, dan kayu.  Saya tidak bisa percaya karena letak api unggun yang jadi tersangka itu berada pada bagian bukit yang lain dan jaraknya sangat jauh sekitar 300 s.d. 400 meter dari Kampung Dukuh. Silalatu atau bara api yang terbang itu dalam kenyataannya tidak pernah bisa sampai sejauh itu terbang tertiup angin. Paling-paling hanya sejauh 3 s.d. 5 meter, lalu padam sendiri. Kalau mau dijauh-jauhkan juga paling hanya bertahan 10 meter dan itu sangat tidak mungkin.

            Saya justru sangat menduga bahwa kebakaran itu disengaja oleh orang-orang yang terorganisasi dengan baik untuk melenyapkan keberadaan naskah kuno tentang sejarah dunia dan masa depan dunia. Di dalam naskah itu terdapat banyak prediksi mengenai kondisi masa depan dunia. Hal itu jelas sangat mengganggu orang-orang yang ingin membuat kisahnya sendiri tentang masa depan dunia dan ingin mengatur menguasai dunia sesuai dengan kisah yang berdasarkan hawa nafsunya sendiri.

            Sudahlah, itu kisah beberapa tahun lalu. Bukan itu sebenarnya yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini.

            Hal yang ingin saya sampaikan adalah bagaimana uniknya Suku Baduy dan Kampung Dukuh. Mereka kukuh dalam cara hidupnya sendiri dan tidak pernah mau dipengaruhi orang lain. Tak pernah mereka tergoda untuk mengikuti cara hidup dan gaya hidup orang lain. Sudah jutaan orang datang ke tempat mereka dari zaman ke zaman, tetapi mereka tetap seperti itu, kuat dalam memegang teguh keyakinan. Orang-orang dari rupa-rupa latar belakang tak mampu menggoda mereka. Dengan demikian, mereka selamat dalam dirinya sendiri tidak terpengaruh oleh gonjang-ganjing dunia luar. Bahkan, mereka justru yang memaksa setiap siapa pun yang datang ke tempat mereka untuk patuh dan hormat terhadap mereka dan lingkungannya. Siapa pun orangnya, mereka tak peduli. Siapa pun harus patuh dan hormat terhadap keyakinan mereka.           

            Itulah yang menjadi daya tarik Suku Baduy Kanekes dan Kampung Dukuh. Konsisten dalam cara hidupnya sendiri. Itu pula yang membuat orang-orang ingin tahu lebih dekat tentang mereka dan mencoba mencari tahu hal-hal apa yang bisa dipelajari dari mereka.

            Jika saja Suku Baduy dan Kampung Dukuh dapat dipengaruhi oleh cara dan gaya hidup orang lain di luar mereka, daya tarik mereka pun musnah. Mereka tak ubahnya seperti orang kebanyakan. Tak akan ada lagi orang-orang yang datang ke tempat mereka dengan antusias.

            Apa menariknya mereka jika mereka hidup seperti orang kebanyakan?

            Buat apa mendatangi mereka, toh semuanya sama seperti kita, tak ada yang aneh?

            Keunikan dan keanehan merekalah yang membuat orang-orang tak pernah berhenti mendatangi mereka dengan berbagai tujuan. Ada yang ingin mempelajari sistem sosial, politik, teknologi, bahkan ada yang ingin menyelesaikan masalah dan mendapatkan doa-doa mujarab.

            Demikian pula jika kita, Indonesia, ingin didatangi oleh orang banyak melalui pintu sektor pariwisata. Kita harus kukuh dan teguh istiqomah dalam cara-cara hidup kita sendiri, tidak  banyak menoleh ke kanan dan ke kiri. Tidak meniru-niru atau mencontek-contek negara ini atau negara itu. Kita harus hidup dalam keunikan kita dan jangan mau dipengaruhi oleh orang lain karena kita memiliki cara sendiri dalam menyelesaikan berbagai masalah dan menyelaraskan kehidupan. Sudahi menganggap orang lain sebagai negara hebat. Kita hidup saja dalam anugerah kita sendiri. Dengan demikian, kita memiliki daya tarik yang kuat sebagaimana yang dimiliki Suku Baduy dan Kampung Dukuh. Kita pun akan lebih kuat dalam menangkal pengaruh-pengaruh asing yang sangat negatif.

            Terlalu banyak melihat orang lain membuat pikiran dan hidup kita menjadi rusak. Ir. Soekarno pernah mengingatkan bahwa negeri-negeri yang pernah diatur oleh aturan Barat selalu berakhir kusut samut. Salah satunya, ia mencontohkan bagaimana Mexico yang dulunya kuat, besar, dan makmur di bawah kepemimpinan Montezuma menjadi kacau balau setelah diatur oleh pihak Barat. India yang dulunya megah dan dipenuhi para pemikir andal menjadi lemah setelah diatur Inggris. Masih banyak lagi yang dia contohkan dalam Dibawah Bendera Revolusi.

            Kita pun bisa melihat bagaimana carut marutnya Timor Timur setelah ditinggalkan Portugis, kemudian Indonesia yang harus menerima getahnya. Saat ini pun kita menyaksikan dengan jelas bagaimana semakin runyamnya Mesir setelah kekuatan Barat ikut campur terhadap mereka. Demikian pula Libya yang selalu berdarah dan bergoncang setelah Nato menghajar Moamar Khadafi. Hal yang mengerikan dialami pula oleh Irak yang setelah masa Sadam Husein dipimpin oleh Amerika Serikat dan antek-anteknya. Mereka tak mengenal kata tenteram dan damai. Tak ada kemakmuran buat mereka, kecuali perselisihan dan pertengkaran. Afghanistan pun sama tak kunjung beres setelah dicampuri pihak Barat. Somalia pun sama saja.

            Sesungguhnya, mereka yang suka ikut campur hidup orang lain itu sama sekali tidak memiliki jalan yang benar. Selalu kacau. Kita pun hidup ikut-ikutan menjadi kacau karena mengikuti dan mengidolakan orang-orang yang kacau.

            Sesungguhnya, jalan yang benar itu ada di negeri ini, Indonesia. Jika kita mau belajar konsisten dan istiqomah sebagaima Suku Baduy dan Kampung Dukuh, akan ada banyak cahaya yang menyinari dunia seperti Matahari yang terbit dari Timur. Matahari itu mampu menyinari orang lain, tetapi dirinya lebih terang daripada segala yang ada di dunia ini. Dengan demikian, kita akan menjadi bangsa unik, menarik, dan menjadi tujuan banyak orang, baik itu untuk bersitirahat, menyamankan diri, maupun menggali ilmu pengetahuan. Kitalah yang harus memberikan banyak orang pelajaran, bukan kita yang banyak dipengaruhi orang sehingga menjadi semrawut.


            Di sinilah tempat segalanya berasal. Di sinilah tempat banyak cahaya yang masih tertutupi kabut kebodohan. 

No comments:

Post a Comment