oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Suku Baduy adalah salah satu
suku yang sangat terkenal di dunia. Jangankan orang-orang Indonesia, para turis
dan peneliti mancanegara pun kerap mendatangi suku ini.
Sebenarnya, mereka sendiri tidak mau disebut Suku Baduy
karena memang bukan Baduy. Mereka lebih suka disebut orang Kanekes. Baduy
sendiri merupakan sebutan yang biasa digunakan kolonial Belanda kepada orang
Kanekes. Belanda menggunakan istilah itu karena menyamakan mereka seperti
terhadap orang-orang Badwi di daerah Arab yang hidup secara nomaden. Padahal, orang
Kanekes tidak nomaden dan bukan orang Arab. Mereka urang Sunda tulen. Mereka pun tidak pernah berbunuh-bunuhan untuk
membanggakan keluarga, kaum, atau sukunya. Berbeda dengan Badwi Arab yang penuh
dengan kebanggaan terhadap kaum dan sukunya, penuh dengan perjuangan keras,
heroik, dan tak segan untuk membunuh yang akhirrnya menimbulkan perang hanya
untuk membela silsilahnya. Orang Kanekes memilih untuk tetap diam di tempat dan
berupaya menyeimbangkan dirinya dengan alam.
Orang Kanekes tidak mau ikut campur dalam kehidupan
politik di luar desanya. Tidak juga ingin meniru hidup seperti orang-orang
lain. Mereka menolak teknologi, pendidikan, keyakinan, kesehatan, dan menolak
apa pun yang berasal dari luar mereka. Mereka tak ingin dipengaruhi apa pun dan
oleh siapa pun. Mereka tak ingin dibimbing dan tak ingin dididik. Mereka
memiliki cara-cara hidupnya sendiri yang bertahan dari zaman ke zaman. Bahkan, mereka
sendiri yang berupaya di atas orang lain karena mereka selalu berupaya keras
untuk mengasuh para pemimpin Indonesia dan para tokoh-tokoh Indonesia dengan
cara-cara hidup mereka sendiri sehingga hidup mereka menjadi pelajaran bagi
orang lain. Orang-orang Kanekes yang ingin hidup seperti orang lain, harus
keluar dari wilayah pedalaman dan menjadi orang luar. Adapun orang-orang
pedalaman tetap setia terhadap adat istiadatnya. Mereka tak ingin diganggu dan
tak ingin mengganggu. Mereka hidup tak ingin dipengaruhi orang lain. Apa pun
yang terjadi di luar mereka, terserah. Akan tetapi, mereka mempertahankan
hubungan dengan orang luar dan para penguasa dengan cara tetap berperilaku baik
dan mengirimkan hadiah kepada penguasa ketika kebun dan ladang mereka panen.
Silaturahmi tetap dijaga sehingga tidak saling mengganggu.
Kekuatan mereka dalam mempertahankan adat sangat luar
biasa. Mereka orang-orang yang sangat teruji dalam beristiqomah. Kalau dihitung,
mungkin sudah jutaan orang yang mendatangi kampung mereka, tetapi mereka tetap
tidak bisa dipengaruhi. Bahkan, kehidupan merekalah yang telah mempengaruhi
orang lain. Penolakan mereka sangat tegas terhadap sesuatu yang tidak mereka
sukai dan tidak seorang pun di dunia ini yang mampu memaksa mereka untuk
berubah.
Ayah saya adalah seorang guru. Dulu ketika masih muda,
dia pernah hendak memasuki ke pedalaman Kanekes, tetapi ditolak dan dilarang
masuk. Mereka anti terhadap guru.
Alasan mereka, “Lamun
guru asup ka kami, engke rahayat kami jadi pinter. Lamun rahayat kami jadi
pinter, engke rahayat kami jadi jelema jahat. (Kalau guru masuk ke daerah
kami, nanti rakyat kami menjadi orang pintar. Kalau rakyat kami sudah menjadi
orang pintar, nanti mereka menjadi orang-orang jahat).”
Kalimat itu sangat dalam maknanya dan mempermalukan kita
yang hidup penuh pendidikan sekaligus penuh kejahatan.
Coba renungkan kalimat mereka itu. Ada banyak makna di
sana.
Dulu sekali mereka sangat tegas dan keras menutup diri.
Akan tetapi, sekarang mereka membuka diri sedikit. Meskipun demikian, mereka tetap
kuat memegang adat istiadat. Mungkin mereka sekarang melihat rakyat Indonesia
mulai ada perubahan pada hal-hal yang lebih baik sehingga sedikit membuka diri.
Kalau dulu pada masa kolonial dan Orde Baru, mereka sangat tertutup, mungkin
karena banyak hal yang sangat mereka tidak sukai dari kehidupan di Indonesia
ini.
Kalau soal masa kolonialisme, pasti tidak mereka sukai
karena banyak sekali kejahatan. Kalau masa Orde Baru, mungkin masih banyak yang
tidak berkenan di hati mereka.
Ketika menanggapi soal jatuhnya Soeharto dan Orde Baru,
salah seorang dari mereka mengatakan, “Matak
kitu oge teu bener meureun Soeharto teh. Da lamun bener mah, moal dikitukeun. (Dijatuhkan
seperti itu mungkin karena Soeharto tidak benar memimpin. Kalau dia benar
memimpin, tidak akan dijatuhkan seperti itu).”
Sekarang mari kita tinggalkan kisah soal Suku Baduy yang
sebenarnya orang Kanekes itu. Kini kita lihat bagaimana sekilas Kampung Dukuh
yang berada di wilayah Garut. Warga Kampung Dukuh mirip-mirip dengan Kanekes.
Mereka kuat memegang adat istiadat dan tidak mau dipengaruhi orang lain, tetapi
tetap terbuka kepada siapa pun yang ingin bersilaturahmi. Mereka tidak mau
menggunakan listrik. Penerangan hanya menggunakan lampu berbahan bakar minyak
tanah. Mereka pun terlarang untuk menjadi pegawai negeri sipil. Hidup mereka
dipenuhi ritual-ritual agama Islam.
Hal yang paling unik adalah mereka merupakan pemegang
naskah kuno mengenai sejarah dunia dan masa depan dunia. Saya menduga naskah
itu berasal dari skrip-skrip yang diselamatkan oleh para pendeta gereja
Sarabeum, Mesir ketika dikalahkan oleh pendeta Vatikan, Romawi. Dalam buku
karya Muhammad Isa Dawud dijelaskan mengenai perebutan pengaruh di antara para
pendeta. Perebutan pengaruh itu berujung pada perang antara pendeta-pendeta
Vatikan, Romawi dengan pendeta-pendeta Sarabeum, Mesir. Keduanya memiliki
simbol yang sama, yaitu salib. Akan tetapi, salibnya berbeda bentuk dan berbeda
makna. Salib yang digunakan gereja Vatikan adalah salib sebagaimana yang kita
kenal sekarang, yaitu salib berupa tempat pembunuhan terhadap orang yang mereka
yakini sebagai Yesus. Adapun salib yang digunakan gereja Sarabeum adalah salib
dalam bentuk kunci kehidupan, ”Anchor”. Perang besar itu dimenangkan oleh
gereja Vatikan. Mereka membabi-buta membakar dan menghancurkan gereja-gereja
Sarabeum. Oleh sebab itu, para pendeta Sarabeum yang kalah menyelamatkan
naskah-naskah kuno mengenai dunia dan masa depan dunia ke seluruh penjuru dunia.
Ada kemungkinan naskah yang dipegang di Kampung Dukuh secara turun-temurun itu
berasal dari Sarabeum, Mesir.
Karena pertempuran dimenangkan oleh gereja Vatikan,
sedangkan gereja Sarabeum mengalami kehancuran total, dunia hanya mengenal satu
salib, yaitu tempat dibunuhnya orang yang kata mereka adalah Yesus. Padahal,
menurut Allah swt, yang disalib itu sama sekali bukan Yesus. Dia hanya orang
yang mirip Yesus. Yesus as sebenarnya dalam kondisi baik-baik saja sampai hari
ini. Berbeda halnya jika yang memenangkan pertempuran adalah gereja Sarabeum, kita
akan mengenal salib yang digunakan adalah kunci kehidupan, “Anchor” yang sama
sekali tidak ada hubungannya dengan penyaliban yang katanya Yesus itu.
Saya dua kali bertemu dengan orang-orang Kampung Dukuh. Pertama, ketika Indonesia dilanda krisis
minyak tanah beberapa tahun lalu. Saat itu minyak tanah sulit sekali didapat.
Kalaupun ada, mahalnya bukan main. Karena sulit mendapatkan minyak tanah dan
mahal harganya. Kampung Dukuh menjadi gelap gulita pada malam hari. Mereka
memang anti menggunakan listrik dan harus hanya menggunakan penerangan dari lampu
minyak tanah. Saya mendatangi mereka untuk mengantarkan bantuan dua drum minyak
tanah. Tentunya, saya hanya dititipi uang untuk mereka. Saya tidak membawa
minyak tanah dari kota. Uang yang dititipkan dermawan kepada saya dibelikan dua
drum minyak tanah dari daerah yang terdekat ke Kampung Dukuh. Mereka bersyukur
sekali mendapatkan bantuan itu karena dalam satu dua bulan ke depan mereka
memiliki cukup persediaan minyak tanah.
Kedua, adalah
ketika Kampung Dukuh mengalami kebakaran hebat. Baru juga kira-kira dua minggu saya
datang membawa dua drum minyak tanah, tersiar kabar di media massa bahwa
Kampung Dukuh kebakaran. Kembali saya mendatangi mereka beserta para dermawan
untuk melihat kondisi mereka sekaligus memberikan bantuan. Ternyata, benar saja
hampir setengah dari kampung itu habis terbakar dan hanya menyisakan reruntuhan
rumah-rumah yang rata dengan tanah dan hitam gosong dimakan api. Kali ini
bantuan jauh lebih besar daripada sebelumnya. Uang yang disalurkan bisa
membangun kembali beberapa unit rumah panggung berbahan bambu dan kayu. Di
samping uang, tentu saja beras dan kain sarung.
Dua drum minyak tanah itu bagaimana?
Habis terbakar Bro tidak bersisa!
Menurut polisi, kebakaran disebabkan oleh silalatu dari api unggun para pemuda pada
bagian bukit yang lain. Akan tetapi, saya sangat tidak percaya. Silalatu itu adalah bara api yang mudah
terbang karena sangat ringan tertiup oleh angin. Dalam pandangan polisi saat
itu, silalatu dari api unggun
anak-anak muda itu tertiup angin, lalu mengenai rumah-rumah di Kampung Dukuh
yang terbuat dari bahan bambu, alang-alang, dan kayu. Saya tidak bisa percaya karena letak api
unggun yang jadi tersangka itu berada pada bagian bukit yang lain dan jaraknya
sangat jauh sekitar 300 s.d. 400 meter dari Kampung Dukuh. Silalatu atau bara
api yang terbang itu dalam kenyataannya tidak pernah bisa sampai sejauh itu
terbang tertiup angin. Paling-paling hanya sejauh 3 s.d. 5 meter, lalu padam
sendiri. Kalau mau dijauh-jauhkan juga paling hanya bertahan 10 meter dan itu
sangat tidak mungkin.
Saya justru sangat menduga bahwa kebakaran itu disengaja
oleh orang-orang yang terorganisasi dengan baik untuk melenyapkan keberadaan
naskah kuno tentang sejarah dunia dan masa depan dunia. Di dalam naskah itu
terdapat banyak prediksi mengenai kondisi masa depan dunia. Hal itu jelas
sangat mengganggu orang-orang yang ingin membuat kisahnya sendiri tentang masa
depan dunia dan ingin mengatur menguasai dunia sesuai dengan kisah yang
berdasarkan hawa nafsunya sendiri.
Sudahlah, itu kisah beberapa tahun lalu. Bukan itu
sebenarnya yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini.
Hal yang ingin saya sampaikan adalah bagaimana uniknya
Suku Baduy dan Kampung Dukuh. Mereka kukuh dalam cara hidupnya sendiri dan
tidak pernah mau dipengaruhi orang lain. Tak pernah mereka tergoda untuk
mengikuti cara hidup dan gaya hidup orang lain. Sudah jutaan orang datang ke
tempat mereka dari zaman ke zaman, tetapi mereka tetap seperti itu, kuat dalam
memegang teguh keyakinan. Orang-orang dari rupa-rupa latar belakang tak mampu
menggoda mereka. Dengan demikian, mereka selamat dalam dirinya sendiri tidak
terpengaruh oleh gonjang-ganjing dunia luar. Bahkan, mereka justru yang memaksa
setiap siapa pun yang datang ke tempat mereka untuk patuh dan hormat terhadap
mereka dan lingkungannya. Siapa pun orangnya, mereka tak peduli. Siapa pun
harus patuh dan hormat terhadap keyakinan mereka.
Itulah yang menjadi daya tarik Suku Baduy Kanekes dan
Kampung Dukuh. Konsisten dalam cara hidupnya sendiri. Itu pula yang membuat
orang-orang ingin tahu lebih dekat tentang mereka dan mencoba mencari tahu
hal-hal apa yang bisa dipelajari dari mereka.
Jika saja Suku Baduy dan Kampung Dukuh dapat dipengaruhi
oleh cara dan gaya hidup orang lain di luar mereka, daya tarik mereka pun
musnah. Mereka tak ubahnya seperti orang kebanyakan. Tak akan ada lagi orang-orang
yang datang ke tempat mereka dengan antusias.
Apa menariknya mereka jika mereka hidup seperti orang
kebanyakan?
Buat apa mendatangi mereka, toh semuanya sama seperti
kita, tak ada yang aneh?
Keunikan dan keanehan merekalah yang membuat orang-orang
tak pernah berhenti mendatangi mereka dengan berbagai tujuan. Ada yang ingin
mempelajari sistem sosial, politik, teknologi, bahkan ada yang ingin
menyelesaikan masalah dan mendapatkan doa-doa mujarab.
Demikian pula jika kita, Indonesia, ingin didatangi oleh
orang banyak melalui pintu sektor pariwisata. Kita harus kukuh dan teguh
istiqomah dalam cara-cara hidup kita sendiri, tidak banyak menoleh ke kanan dan ke kiri. Tidak
meniru-niru atau mencontek-contek negara ini atau negara itu. Kita harus hidup
dalam keunikan kita dan jangan mau dipengaruhi oleh orang lain karena kita
memiliki cara sendiri dalam menyelesaikan berbagai masalah dan menyelaraskan
kehidupan. Sudahi menganggap orang lain sebagai negara hebat. Kita hidup saja
dalam anugerah kita sendiri. Dengan demikian, kita memiliki daya tarik yang
kuat sebagaimana yang dimiliki Suku Baduy dan Kampung Dukuh. Kita pun akan
lebih kuat dalam menangkal pengaruh-pengaruh asing yang sangat negatif.
Terlalu banyak melihat orang lain membuat pikiran dan
hidup kita menjadi rusak. Ir. Soekarno pernah mengingatkan bahwa negeri-negeri
yang pernah diatur oleh aturan Barat selalu berakhir kusut samut. Salah
satunya, ia mencontohkan bagaimana Mexico yang dulunya kuat, besar, dan makmur di
bawah kepemimpinan Montezuma menjadi kacau balau setelah diatur oleh pihak
Barat. India yang dulunya megah dan dipenuhi para pemikir andal menjadi lemah
setelah diatur Inggris. Masih banyak lagi yang dia contohkan dalam Dibawah Bendera Revolusi.
Kita pun bisa melihat bagaimana carut marutnya Timor
Timur setelah ditinggalkan Portugis, kemudian Indonesia yang harus menerima
getahnya. Saat ini pun kita menyaksikan dengan jelas bagaimana semakin
runyamnya Mesir setelah kekuatan Barat ikut campur terhadap mereka. Demikian
pula Libya yang selalu berdarah dan bergoncang setelah Nato menghajar Moamar
Khadafi. Hal yang mengerikan dialami pula oleh Irak yang setelah masa Sadam
Husein dipimpin oleh Amerika Serikat dan antek-anteknya. Mereka tak mengenal
kata tenteram dan damai. Tak ada kemakmuran buat mereka, kecuali perselisihan
dan pertengkaran. Afghanistan pun sama tak kunjung beres setelah dicampuri
pihak Barat. Somalia pun sama saja.
Sesungguhnya, mereka yang suka ikut campur hidup orang
lain itu sama sekali tidak memiliki jalan yang benar. Selalu kacau. Kita pun
hidup ikut-ikutan menjadi kacau karena mengikuti dan mengidolakan orang-orang
yang kacau.
Sesungguhnya, jalan yang benar itu ada di negeri ini,
Indonesia. Jika kita mau belajar konsisten dan istiqomah sebagaima Suku Baduy
dan Kampung Dukuh, akan ada banyak cahaya yang menyinari dunia seperti Matahari
yang terbit dari Timur. Matahari itu mampu menyinari orang lain, tetapi dirinya
lebih terang daripada segala yang ada di dunia ini. Dengan demikian, kita akan
menjadi bangsa unik, menarik, dan menjadi tujuan banyak orang, baik itu untuk
bersitirahat, menyamankan diri, maupun menggali ilmu pengetahuan. Kitalah yang
harus memberikan banyak orang pelajaran, bukan kita yang banyak dipengaruhi
orang sehingga menjadi semrawut.
Di sinilah tempat segalanya berasal. Di sinilah tempat
banyak cahaya yang masih tertutupi kabut kebodohan.
No comments:
Post a Comment