Friday, 3 June 2016

Hukuman Mati untuk Papua

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Dengar-dengar di Papua beberapa suku memiliki cara unik dalam menyelesaikan kasus-kasus pembunuhan. Mereka memiliki adat khas yang terkesan adil, tetapi sebenarnya membahayakan.

            Saya dengar kisah bahwa kalau anggota salah satu suku mati dibunuh oleh suku yang lain, penyelesaiannya adalah salah satu anggota suku yang membunuh itu harus mati juga. Hal itu diselesaikan melalui perang suku sampai jumlah orang yang mati dari kedua suku sama jumlahnya.

            Kalaulah memang begitu adat yang mereka miliki, bahaya sekali bagi kelangsungan hidup mereka. Masalahnya adalah jika sudah beberapa orang mati, tetapi belum seimbang juga jumlahnya, perang akan terus berlangsung. Bahkan, perbandingan jumlah orang yang mati di antara kedua suku bisa terus tidak berimbang dan semakin jomplang. Permasalahan tidak pernah selesai dan permusuhan terus berlanjut. Apalagi jika yang mati adalah anak-anak muda yang secara perhitungan manusia masih punya banyak waktu untuk menyiapkan masa depan yang lebih baik. Mereka yang seharusnya menjadi generasi pembangun Papua dan bintang-bintang masa depan Papua, pupus mati dalam perang antarsuku. Sayang sekali.

            Saya bukan sok tahu, tetapi itulah yang saya dengar. Kalau salah, ya sorry. Nanti, orang yang cerita sama saya tentang Papua secara salah akan saya kasih tahu agar jangan suka berbohong dan sok tahu.

            Kalaulah apa yang saya dengar itu benar, sebaiknya negara mengambil alih pelaksanaan pembalasan hukuman atas pembunuhan tersebut. Tidak perlu lagi ada perang antarsuku. Negaralah yang wajib melakukan penghukuman kepada orang yang paling bertanggung jawab telah melakukan pembunuhan. Hukuman mati harus dijatuhkan kepada orang yang benar-benar bersalah. Nyawa dibayar nyawa.

            Tampaknya, masyarakat Papua sangat siap dengan hukuman mati dalam arti nyawa dibayar nyawa. Daripada mencari penyelesaian permasalahan dengan perang yang belum tentu selesai secara efektif dan efisien, hukuman mati bagi para pembunuh di Papua adalah yang paling pantas. Jangan ada pilihan hukuman lain, kecuali hukuman mati. Jangan ada hukuman seumur hidup, 20 tahun, atau lainnya jika menyelesaikan kasus pembunuhan dan jika pembunuhnya telah terbukti nyata melakukan pembunuhan. Dengan demikian, keadilan dapat ditegakkan. Pembunuhnya mati dan suku lain yang anggotanya telah terbunuh terpuaskan. Perang pun tidak perlu terjadi.

            Apabila perang antarsuku dapat diredam atau dihilangkan sama sekali dengan cara negara mengambil alih pembalasan penghukuman tersebut, akan ada banyak generasi muda yang mungkin sangat cerdas-cerdas terselamatkan dari kematian akibat perang. Dengan demikian, mereka bisa menapaki kehidupannya dengan lebih tenang pada masa depan untuk diri mereka sendiri, masyarakat Papua, dan Indonesia.

            Hal yang paling penting adalah jangan pedulikan omongan negara lain yang suka mengejek atau menghina Indonesia karena memberlakukan hukuman mati. Dalam hal ini tak salah jika kita mengaku sebagai sahabat Cepot.

            Tahu kan Cepot?

            Iya benar, Cepot yang itu yang dari Karang Tumaritis dalam pewayangan. Wayang golek.

            Cepot kalau sudah yakin terhadap sesuatu, akan bertahan dengan pendapatnya dan tidak mempedulikan pendapat orang lain. Hal itu disebabkan dialah yang tahu tentang dirinya sendiri dibandingkan orang lain.

            “Ceuk aing kaleng, kaleng (kata gue kaleng, kaleng)!tegas Cepot.

            Orang-orang menyalahkan Cepot karena melihat barang yang dipegang Cepot adalah botol. Akan tetapi, Cepot tidak peduli sebanyak apa pun orang yang mengatakan bahwa barang yang dipegangnya adalah botol.

            “Ceuk aing kaleng, kaleng!” Cepot marah.

            Orang lain makin ngotot bahwa itu adalah botol.

            Cepot tidak peduli, “Ceuk aing kaleng, kaleng!”

            Cepot bertahan karena tahu benar apa yang dipegangnya, sedangkan orang lain hanya melihatnya. Adapun Cepot memegangnya, melihatnya, merasakannya, dan memiliki barang itu.

            Ceuk aing kaleng, kaleng!

            Jadi, tidak perlu dengar omongan orang lain jika kita sudah merasa sangat yakin terhadap keputusan kita sendiri yang telah dipertimbangkan dengan sangat matang.

            Ceuk aing kaleng, kaleng!

            Saya juga mendapat beberapa email dari Inggris dan Australia. Mereka menuduh Indonesia sebagai bangsa primitif dan kejam dengan memberlakukan hukuman mati. Awalnya, saya jelaskan mengapa Indonesia membutuhkan hukuman mati sejauh yang saya mengerti. Akan tetapi, mereka tidak juga mau mengerti.

            Bahkan, mereka menantang, “You are my enemy.”

            Jawaban apalagi yang harus saya berikan kepada orang-orang angkuh yang tidak mau mengerti, tetapi hanya mau dimengerti?

            Mereka ingin kita mengerti mereka, tetapi mereka tidak mau mengerti kita.

            Jawaban yang paling pas buat orang-orang arogan semacam mereka adalah sebagaimana sahabat kita, Cepot, “Ceuk aing kaleng, kaleng!”


            Hidup Kaleng!

No comments:

Post a Comment