oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Dengar-dengar di Papua
beberapa suku memiliki cara unik dalam menyelesaikan kasus-kasus pembunuhan.
Mereka memiliki adat khas yang terkesan adil, tetapi sebenarnya membahayakan.
Saya dengar kisah bahwa kalau anggota salah satu suku
mati dibunuh oleh suku yang lain, penyelesaiannya adalah salah satu anggota
suku yang membunuh itu harus mati juga. Hal itu diselesaikan melalui perang suku
sampai jumlah orang yang mati dari kedua suku sama jumlahnya.
Kalaulah memang begitu adat yang mereka miliki, bahaya
sekali bagi kelangsungan hidup mereka. Masalahnya adalah jika sudah beberapa
orang mati, tetapi belum seimbang juga jumlahnya, perang akan terus
berlangsung. Bahkan, perbandingan jumlah orang yang mati di antara kedua suku
bisa terus tidak berimbang dan semakin jomplang. Permasalahan tidak pernah
selesai dan permusuhan terus berlanjut. Apalagi jika yang mati adalah anak-anak
muda yang secara perhitungan manusia masih punya banyak waktu untuk menyiapkan
masa depan yang lebih baik. Mereka yang seharusnya menjadi generasi pembangun
Papua dan bintang-bintang masa depan Papua, pupus mati dalam perang antarsuku.
Sayang sekali.
Saya bukan sok tahu, tetapi itulah yang saya dengar.
Kalau salah, ya sorry. Nanti, orang
yang cerita sama saya tentang Papua secara salah akan saya kasih tahu agar
jangan suka berbohong dan sok tahu.
Kalaulah apa yang saya dengar itu benar, sebaiknya negara
mengambil alih pelaksanaan pembalasan hukuman atas pembunuhan tersebut. Tidak
perlu lagi ada perang antarsuku. Negaralah yang wajib melakukan penghukuman
kepada orang yang paling bertanggung jawab telah melakukan pembunuhan. Hukuman
mati harus dijatuhkan kepada orang yang benar-benar bersalah. Nyawa dibayar
nyawa.
Tampaknya, masyarakat Papua sangat siap dengan hukuman
mati dalam arti nyawa dibayar nyawa. Daripada mencari penyelesaian permasalahan
dengan perang yang belum tentu selesai secara efektif dan efisien, hukuman mati
bagi para pembunuh di Papua adalah yang paling pantas. Jangan ada pilihan
hukuman lain, kecuali hukuman mati. Jangan ada hukuman seumur hidup, 20 tahun,
atau lainnya jika menyelesaikan kasus pembunuhan dan jika pembunuhnya telah
terbukti nyata melakukan pembunuhan. Dengan demikian, keadilan dapat ditegakkan.
Pembunuhnya mati dan suku lain yang anggotanya telah terbunuh terpuaskan.
Perang pun tidak perlu terjadi.
Apabila perang antarsuku dapat diredam atau dihilangkan
sama sekali dengan cara negara mengambil alih pembalasan penghukuman tersebut, akan
ada banyak generasi muda yang mungkin sangat cerdas-cerdas terselamatkan dari
kematian akibat perang. Dengan demikian, mereka bisa menapaki kehidupannya
dengan lebih tenang pada masa depan untuk diri mereka sendiri, masyarakat
Papua, dan Indonesia.
Hal yang paling penting adalah jangan pedulikan omongan
negara lain yang suka mengejek atau menghina Indonesia karena memberlakukan
hukuman mati. Dalam hal ini tak salah jika kita mengaku sebagai sahabat Cepot.
Tahu kan Cepot?
Iya benar, Cepot yang itu yang dari Karang Tumaritis
dalam pewayangan. Wayang golek.
Cepot kalau sudah yakin terhadap sesuatu, akan bertahan
dengan pendapatnya dan tidak mempedulikan pendapat orang lain. Hal itu
disebabkan dialah yang tahu tentang dirinya sendiri dibandingkan orang lain.
“Ceuk aing kaleng,
kaleng (kata gue kaleng, kaleng)!” tegas
Cepot.
Orang-orang menyalahkan Cepot karena melihat barang yang
dipegang Cepot adalah botol. Akan tetapi, Cepot tidak peduli sebanyak apa pun
orang yang mengatakan bahwa barang yang dipegangnya adalah botol.
“Ceuk aing kaleng,
kaleng!” Cepot marah.
Orang lain makin ngotot bahwa itu adalah botol.
Cepot tidak peduli, “Ceuk
aing kaleng, kaleng!”
Cepot bertahan karena
tahu benar apa yang dipegangnya, sedangkan orang lain hanya melihatnya. Adapun
Cepot memegangnya, melihatnya, merasakannya, dan memiliki barang itu.
Ceuk aing kaleng,
kaleng!
Jadi, tidak perlu dengar omongan orang lain jika kita
sudah merasa sangat yakin terhadap keputusan kita sendiri yang telah
dipertimbangkan dengan sangat matang.
Ceuk aing kaleng,
kaleng!
Saya juga mendapat beberapa email dari Inggris dan
Australia. Mereka menuduh Indonesia sebagai bangsa primitif dan kejam dengan
memberlakukan hukuman mati. Awalnya, saya jelaskan mengapa Indonesia
membutuhkan hukuman mati sejauh yang saya mengerti. Akan tetapi, mereka tidak juga
mau mengerti.
Bahkan, mereka menantang, “You are my enemy.”
Jawaban apalagi yang
harus saya berikan kepada orang-orang angkuh yang tidak mau mengerti, tetapi
hanya mau dimengerti?
Mereka ingin kita mengerti mereka, tetapi mereka tidak
mau mengerti kita.
Jawaban yang paling pas buat orang-orang arogan semacam
mereka adalah sebagaimana sahabat kita, Cepot, “Ceuk aing kaleng, kaleng!”
Hidup Kaleng!
No comments:
Post a Comment