Friday 3 June 2016

Gerakan Kaum Perempuan

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Dalam memandang gerakan kaum perempuan yang sangat besar dari dulu sudah diwanti-wanti oleh Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Ir. Soekarno. Gerakan-gerakan itu banyak yang dilakukan tidak tulus dan bukan untuk kepentingan perempuan itu sendiri. Para perempuan banyak yang hanya memiliki semangat untuk menyaingi kaum laki-laki. Mereka bosan dan kesal harus selalu berada di bawah laki-laki. Mereka pun hanya terjebak emosi untuk mengalahkan laki-laki. Kemarahan para perempuan dan kekesalan emosional mereka dimanfaatkan oleh orang-orang kapitalis, para pengusaha besar. Mereka mendukung penuh gerakan kaum perempuan itu. Soekarno mengatakan bahwa gerakan-gerakan perempuan dari Barat dan Timur itu, dari Amerika Serikat dan Rusia itu, disokong oleh kaum modal yang besar usaha.

            Para kapitalis pemilik modal itu tentu saja memiliki kepentingan dan keuntungan dari kebebasan para perempuan itu. Mereka sangat senang jika para perempuan bisa keluar dari rumahnya dengan bebas dan pulang malam dengan bebas pula. Hal itu disebabkan para pengusaha akan mendapatkan para pekerja wanita yang bisa dibayar dengan upah buruh rendah dibandingkan laki-laki serta lebih penurut dibandingkan para pria. Kaum laki-laki itu selalu ingin dibayar besar karena tanggung jawabnya besar dan mudah sekali melakukan protes. Adapun kaum perempuan lebih jinak dan mudah diatur.

            Pada masa kini pun gerakan kebebasan perempuan banyak sekali mendapatkan dukungan dari para pengusaha. Ahmad Deedat, ulama besar dunia, mengingatkan bahwa para pengusaha banyak menggunakan perempuan sebagai alat pemasaran untuk menarik iklan-iklan perusahaan mereka semacam produk kendaraan mobil dan motor. Memang akan menarik perhatian pria jika ada iklan mobil yang disertai perempuan berpakaian minim, lalu di tayangan iklannya ditulis You Can Try Me. Iklan itu sesungguhnya menurunkan derajat harga diri perempuan yang dibungkus oleh kalimat persamaan hak. Di samping itu pun, menurut Ahmad Deedat, gerakan kebebasan perempuan didorong pula oleh para pengusaha kosmetik, pakaian, dan perhiasan-perhiasan lain. Para perempuan yang gemar keluyuran siang malam dan aktif dalam banyak hubungan jelas membutuhkan banyak kosmetik, pakaian, dan perhiasan. Hal itu jelas merupakan keuntungan bagi para pengusaha.

            Sebenarnya, perempuan Indonesia tidak perlu mengimpor gerakan-gerakan atau semangat persamaan hak dari luar negeri. Bangsa Indonesia ini sudah menempatkan perempuan dalam derajat yang bukan lagi sama dengan laki-laki, melainkan lebih tinggi. Sejarah sudah menunjukkan hal itu sejak lama. Akan tetapi, anehnya, para perempuan Indonesia ini gemar sekali meniru-niru negara lain yang cenderung merusakkan martabat wanita itu sendiri.

            Soekarno mengajarkan bahwa laki-laki dan perempuan Indonesia itu ibarat dua sayap burung Garuda. Burung Garuda bisa terbang sangat tinggi jika kedua sayapnya kuat dan sehat. Jika salah satu sayapnya sakit, Garuda pun tidak bisa terbang tinggi.

            Hal itu menunjukkan bahwa Soekarno sangat mendukung para perempuan dalam memajukan bangsa dan negara bersama kaum laki-laki. Bahkan, dalam hal pendidikan, jika dalam sebuah keluarga mengalami kesulitan ekonomi untuk menyekolahkan anaknya, anak yang harus lebih dulu mendapatkan pendidikan adalah anak perempuan, bukan anak laki-laki. Biarkan anak laki-laki belakangan. Dahulukan anak perempuan. Soekarno menjelaskan bahwa anak perempuan harus lebih dahulu mendapatkan pendidikan karena akan menjadi ibu dan harus mendidik putera-puterinya untuk masa depan. Di samping itu, Soekarno menjelaskan bahwa kaum pria hanya bekerja sepanjang siang, sedangkan perempuan bekerja siang dan malam.

            Apa lagi yang diragukan mengenai penghormatan Indonesia kepada kaum perempuannya?

            Jangan sedikit-sedikit mencontohkan luar negeri. Sedikit-sedikit Amerika Serikat. Sedikit-sedikit Eropa. Padahal, gerakan di luar negeri itu banyak digerakkan oleh para pengusaha untuk kepentingan perusahaannya, bukan untuk peningkatan harkat dan martabat perempuan itu sendiri. Lihat saja efek sampingnya seperti yang kita derita juga, gemar keluyuran siang malam, bergaul tanpa memilih teman, keluarga tidak harmonis, akhirnya seks bebas, Narkoba, Miras, diperkosa, HIV, Aids, dan rupa-rupa kerusakan lainnya.

            Sebetulnya, bangsa Indonesia ini sudah membebaskan perempuan untuk bergerak dan berprestasi dari dulu. Asal perempuannya mau dan bisa, tidak ada yang akan menghalangi. Akan tetapi, kalau tidak mau dan tidak bisa, jangan teriak-teriak pengen bebas dan memiliki hak sama.

            Memangnya mau melakukan apa teriak-teriak tentang kebebasan?

            Pengen bebas keluyuran?

            Pengen bebas berbuat maksiat?

            Tidak perlu teriak-teriak soal kesamaan hak, Ham, atau kebebasan yang diimpor itu. Perempuan Indonesia itu dari dulu sudah bebas kok asal mau dan bisa.

            Nggak percaya?

            Masyaallah.

            Perhatikan para perempuan yang bebas bergerak tanpa harus teriak tentang persamaan hak dan Ham dari luar negeri itu!

            Subanglarang, Permaisuri Raja Sunda Pajajaran. Ia hidup antara abad 16-17 masehi. Subanglarang adalah ratu yang melahirkan Raden Kian Santang, Pangeran Sunda yang menyebarkan Islam di tanah Pasundan. Subanglarang mendirikan pesantren besar dan mendapat cinderamata dari Laksamana Cina Cheng Ho berupa mercusuar.

            Ratu Shima, penguasa Kerajaan Kalingga sekitar tahun 674 Masehi. Ia menerapkan hukum yang keras dan tegas untuk memberantas pencurian dan kejahatan serta mendorong agar rakyatnya senantiasa jujur. Ia pun melarang rakyat untuk memiliki emas. Ia sadar emas bisa membuat rakyatnya jahat dan gemar bertengkar.  Ia pernah menghukum anaknya sendiri karena kaki anaknya tidak sengaja menyentuh karung emas.

            Dyah Pitaloka Citraresmi, hidup antara 1340-1357 masehi. Ia  adalah Puteri Kerajaan Sunda. Ia adalah perempuan tercantik di seluruh kerajaan kepulauan Nusantara. Banyak raja yang ingin memperistri Dyah Pitaloka dan tak ada perempuan yang membuat Raja Majapahit Hayam Wuruk jatuh cinta, kecuali Dyah Pitaloka Citraresmi.

            Ia perempuan yang sangat berani. Ia tetap melakukan perlawanan meskipun seluruh prajurit dan keluarganya telah gugur dalam Perang Bubat. Ia sendirian bertahan melawan 5.000 pasukan musuh. Dyah Pitaloka Citraresmi tetap mempertahankan harga diri Kerajaan Sunda dari penghinaan musuh-musuhnya. Sampai hari ini ada ribuan gadis Sunda yang menggunakan nama Dyah Pitaloka.

            Cut Nyak Dhien, pemimpin besar Perang Kerajaan Islam Aceh yang hidup antara  1848–1908. Sepanjang hidupnya bertempur melawan penjajahan Belanda. Dia tidak pernah kalah perang. Teriakan Allahu Akbar adalah senjatanya.
            Akan tetapi, ketika sudah tua, ia sakit. Seorang pasukannya mengadakan perjanjian dengan Belanda. Ia ingin Belanda mengobati Cut Nyak Dhien. Belanda setuju. Akan tetapi, Cut Nyak Dhien marah.

            Meskipun dirawat di rumah sakit, ia tetap berhubungan dengan pasukan Aceh untuk terus bertempur.  Akhirnya, Belanda memindahkan Cut Nyak Dhien ke Sumedang, Jawa Barat dan meninggal di sana.

            Gambar Cut Nyak Dhien menjadi gambar salah satu pecahan mata uang kertas Indonesia.

            Cut Nyak Meutia. pejuang perang Aceh yang hidup pada 1870-1910. Ia bersama suaminya yang bernama Teuku Muhammad melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.

            Raden Dewi Sartika adalah pahlawan pendidikan yang lahir di Bandung. Ia hidup antara 1884–1947. Ia adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum wanita. Dewi Sartika adalah orang pertama yang membuka sekolah untuk perempuan, “Sakola Istri”.

            Raden Adjeng Kartini, puteri bangsawan Jawa. Ia hidup  antara 1879-1904. Ia gemar membaca majalah-majalah Eropa. Ia kemudian berhubungan melalui surat menyurat dengan teman-temannya di Eropa. Setelah Kartini meninggal, surat-surat itu dikumpulkan kemudian menjadi buku, “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

            Rangkayo Rasuna Said, perempuan pejuang antikolonial yang hebat. Ia hidup antara 1910 s.d. 1965. Tulisan-tulisannya yang sangat tajam menyerang pemerintah Kolonial Belanda. Akibatnya, ia sempat ditahan Belanda. Kemudian, ia dipercaya menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat. Setelah itu, ia kembali dipercaya menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia.

            Maria Walanda Maramis  hidup pada 1872-1924. Ia lahir dalam keluarga pejuang antikolonialis. Kakaknya, Andries Maramis, adalah aktivis yang  memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Kemudian, ia pernah menjadi menteri dan duta besar Indonesia.

            Maria Walanda Maramis adalah perempuan yang sangat memperhatikan tugas dan tanggung jawab perempuan, baik di dalam rumah tangga sebagai ibu, sebagai istri, maupun sebagai pendidik. Ia kemudian mendirikan organisasi  Percintaan Ibu kepada Anak Temurunannya (Pikat). Tujuan organisasi ini adalah untuk mendidik kaum wanita yang tamat sekolah dasar dalam hal-hal rumah tangga seperti memasak, menjahit, merawat bayi, pekerjaan tangan, dan sebagainya.

            Martha Christina Tiahahu, pemberani yang hidup antara 1800-1818. Pada usia 17 ia melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Ia selalu mendampingi ayahnya Kapitan Paulus Tiahahu dalam menyerang Belanda. Ia selalu mengobarkan semangat perang prajuritnya dan mengajak para perempuan untuk ikut berperang. Akibatnya, Belanda kewalahan mendapat perlawanan dari para perempuan. Karena semangat dan keberaniannya, pemerintah Indonesia membuat patung Martha Christina Tiahahu.

            Siti Walidah Ahmad Dahlan hidup pada 1872-1946. Ia adalah Istri Ahmad Dahlan yang mendirikan organisasi Muhammadiyah. Siti sangat memperhatikan kaum perempuan. Oleh sebab itu, ia mendirikan organisasi perempuan yang bernama Sopo Tresno  untuk mendidik kaum perempuan. Ia bersama suaminya mengganti nama Sopo Tresno menjadi Aisyiyah. Nama itu berasal dari nama isteri Nabi Muhammad saw, Aisyah. Dalam organisasi itu, ia mendirikan lembaga pendidikan bagi para perempuan. Para perempuan dididik agar mampu menjadi pendidik di dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ia adalah perempuan pertama yang memimpin rapat besar organisasi besar Muhammadiyah di Indonesia.

            Nyi Ageng Serang terlahir dengan nama asli Raden Ajeng (RA) Kustiyah Wulaningsih Retno Edhi. Nyi Ageng Serang merupakan puteri dari Pangeran Natapraja, seorang penguasa daerah Serang, Jawa Tengah yang juga merupakan Panglima Perang Sultan Hamengkeu Buwono I. Nyi Ageng juga merupakan salah satu keturunan dari Sunan Kalijaga penyebar Islam yang sangat berpengaruh di Indonesia.

            Ketika menjadi penguasa Serang, banyak rakyatnya kelaparan dan mengalami kesengsaraan akibat ulah dari penjajah Belanda. Ia selalu membantu kesengsaraan rakyatnya dengan membagi-bagikan pangan. Selain itu, ia juga melakukan perlawanan fisik untuk mengusir pasukan Belanda dari tanah kelahirannya itu.

            Ia pun ikut dalam Perang Diponegoro pada 1825. Atas jasa dan keberaniannya, pemerintah Indonesia membuat monumen Nyi Ageng Serang.

            Opu Daeng Risadju, anggota keluarga bangsawan Luwu.  Ia lahir di Palopo, Sulawesi Selatan, pada 1880. Dalam sepanjang hidupnya ia dididik ajaran dan nilai-nilai moral baik yang berlandaskan budaya maupun agama Islam.

            Opu Daeng Risaju melakukan perlawanan terhadap kejahatan Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang berkeinginan untuk menjajah kembali Indonesia. NICA memutuskan untuk mengobrak-abrik masjid bahkan menginjak Al-Quran. Opu Daeng Risaju pun segera membangkitkan dan memobilisasi para pemuda untuk melakukan perlawanan terhadap tentara NICA.

            Masih banyak perempuan hebat Indonesia lainnya yang derajatnya berada di atas para pria pada zamannya. Kepada merekalah perempuan Indonesia harus memandang dan meneladani, bukan kepada orang-orang di luar negeri. Para perempuan-perempuan itulah yang harus menjadi inspirasi karena mereka bergerak dan bertindak untuk kepentingan manusia, kemanusiaan, serta bangsa dan negara. Mereka bergerak bukan karena sokongan kaum modal yang besar usaha. Mereka berjuang bukan untuk kepentingan para pengusaha atau ego dari perempuan itu sendiri. Mereka berjuang untuk hidup dan kehidupan.

            Salah besar jika ada yang menganggap bahwa Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia yang mengekang atau merendahkan kaum perempuan. Sejak dulu juga kaum perempuan terbuka untuk bergerak dan aktif asal mau, bisa, dan bermanfaat. Sejarah membuktikan hal itu.

            Tidak perlu lagi banyak kisah tentang “kesamaan gender”. Dari dulu juga sudah sama bahwa laki-laki dan perempuan Indonesia itu adalah bagai dua sayap burung garuda. Jika salah satu sakit, Indonesia pun sakit.

            Lihat mereka para perempuan Indonesia hebat itu. Jangan selalu melihat ke para perempuan berambut kuning kemerahan yang pirang!

No comments:

Post a Comment