oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Dalam memandang gerakan kaum
perempuan yang sangat besar dari dulu sudah diwanti-wanti oleh Pemimpin Besar
Revolusi Indonesia Ir. Soekarno. Gerakan-gerakan itu banyak yang dilakukan
tidak tulus dan bukan untuk kepentingan perempuan itu sendiri. Para perempuan banyak
yang hanya memiliki semangat untuk menyaingi kaum laki-laki. Mereka bosan dan
kesal harus selalu berada di bawah laki-laki. Mereka pun hanya terjebak emosi
untuk mengalahkan laki-laki. Kemarahan para perempuan dan kekesalan emosional
mereka dimanfaatkan oleh orang-orang kapitalis, para pengusaha besar. Mereka
mendukung penuh gerakan kaum perempuan itu. Soekarno mengatakan bahwa
gerakan-gerakan perempuan dari Barat dan Timur itu, dari Amerika Serikat dan
Rusia itu, disokong oleh kaum modal yang
besar usaha.
Para kapitalis pemilik modal itu tentu saja memiliki
kepentingan dan keuntungan dari kebebasan para perempuan itu. Mereka sangat
senang jika para perempuan bisa keluar dari rumahnya dengan bebas dan pulang
malam dengan bebas pula. Hal itu disebabkan para pengusaha akan mendapatkan
para pekerja wanita yang bisa dibayar dengan upah buruh rendah dibandingkan
laki-laki serta lebih penurut dibandingkan para pria. Kaum laki-laki itu selalu
ingin dibayar besar karena tanggung jawabnya besar dan mudah sekali melakukan
protes. Adapun kaum perempuan lebih jinak dan mudah diatur.
Pada masa kini pun gerakan kebebasan perempuan banyak
sekali mendapatkan dukungan dari para pengusaha. Ahmad Deedat, ulama besar
dunia, mengingatkan bahwa para pengusaha banyak menggunakan perempuan sebagai
alat pemasaran untuk menarik iklan-iklan perusahaan mereka semacam produk
kendaraan mobil dan motor. Memang akan menarik perhatian pria jika ada iklan
mobil yang disertai perempuan berpakaian minim, lalu di tayangan iklannya
ditulis You Can Try Me. Iklan itu
sesungguhnya menurunkan derajat harga diri perempuan yang dibungkus oleh
kalimat persamaan hak. Di samping itu
pun, menurut Ahmad Deedat, gerakan kebebasan perempuan didorong pula oleh para
pengusaha kosmetik, pakaian, dan perhiasan-perhiasan lain. Para perempuan yang
gemar keluyuran siang malam dan aktif dalam banyak hubungan jelas membutuhkan
banyak kosmetik, pakaian, dan perhiasan. Hal itu jelas merupakan keuntungan
bagi para pengusaha.
Sebenarnya, perempuan Indonesia tidak perlu mengimpor
gerakan-gerakan atau semangat persamaan hak dari luar negeri. Bangsa Indonesia
ini sudah menempatkan perempuan dalam derajat yang bukan lagi sama dengan
laki-laki, melainkan lebih tinggi. Sejarah sudah menunjukkan hal itu sejak
lama. Akan tetapi, anehnya, para perempuan Indonesia ini gemar sekali
meniru-niru negara lain yang cenderung merusakkan martabat wanita itu sendiri.
Soekarno mengajarkan bahwa laki-laki dan perempuan Indonesia
itu ibarat dua sayap burung Garuda.
Burung Garuda bisa terbang sangat tinggi jika kedua sayapnya kuat dan sehat.
Jika salah satu sayapnya sakit, Garuda pun tidak bisa terbang tinggi.
Hal itu menunjukkan bahwa Soekarno sangat mendukung para
perempuan dalam memajukan bangsa dan negara bersama kaum laki-laki. Bahkan,
dalam hal pendidikan, jika dalam sebuah keluarga mengalami kesulitan ekonomi
untuk menyekolahkan anaknya, anak yang harus lebih dulu mendapatkan pendidikan
adalah anak perempuan, bukan anak laki-laki. Biarkan anak laki-laki belakangan.
Dahulukan anak perempuan. Soekarno menjelaskan bahwa anak perempuan harus lebih
dahulu mendapatkan pendidikan karena akan menjadi ibu dan harus mendidik
putera-puterinya untuk masa depan. Di samping itu, Soekarno menjelaskan bahwa
kaum pria hanya bekerja sepanjang siang, sedangkan
perempuan bekerja siang dan malam.
Apa lagi yang diragukan mengenai penghormatan Indonesia
kepada kaum perempuannya?
Jangan sedikit-sedikit mencontohkan luar negeri.
Sedikit-sedikit Amerika Serikat. Sedikit-sedikit Eropa. Padahal, gerakan di
luar negeri itu banyak digerakkan oleh para pengusaha untuk kepentingan
perusahaannya, bukan untuk peningkatan harkat dan martabat perempuan itu
sendiri. Lihat saja efek sampingnya seperti yang kita derita juga, gemar
keluyuran siang malam, bergaul tanpa memilih teman, keluarga tidak harmonis,
akhirnya seks bebas, Narkoba, Miras, diperkosa, HIV, Aids, dan rupa-rupa
kerusakan lainnya.
Sebetulnya, bangsa Indonesia ini sudah membebaskan
perempuan untuk bergerak dan berprestasi dari dulu. Asal perempuannya mau dan
bisa, tidak ada yang akan menghalangi. Akan tetapi, kalau tidak mau dan tidak bisa,
jangan teriak-teriak pengen bebas dan memiliki hak sama.
Memangnya mau melakukan apa teriak-teriak tentang
kebebasan?
Pengen bebas keluyuran?
Pengen bebas berbuat maksiat?
Tidak perlu teriak-teriak soal kesamaan hak, Ham, atau
kebebasan yang diimpor itu. Perempuan Indonesia itu dari dulu sudah bebas kok
asal mau dan bisa.
Nggak percaya?
Masyaallah.
Perhatikan para
perempuan yang bebas bergerak tanpa harus teriak tentang persamaan hak dan Ham dari
luar negeri itu!
Subanglarang, Permaisuri
Raja Sunda Pajajaran. Ia hidup antara abad 16-17 masehi. Subanglarang
adalah ratu yang melahirkan Raden Kian Santang, Pangeran Sunda yang menyebarkan
Islam di tanah Pasundan. Subanglarang mendirikan pesantren besar dan mendapat
cinderamata dari Laksamana Cina Cheng Ho berupa mercusuar.
Ratu Shima, penguasa
Kerajaan Kalingga sekitar tahun 674 Masehi. Ia menerapkan hukum yang keras
dan tegas untuk memberantas pencurian dan kejahatan serta mendorong agar
rakyatnya senantiasa jujur. Ia pun melarang rakyat untuk memiliki emas. Ia sadar
emas bisa membuat rakyatnya jahat dan gemar bertengkar. Ia pernah menghukum anaknya sendiri karena
kaki anaknya tidak sengaja menyentuh karung emas.
Dyah Pitaloka
Citraresmi, hidup antara 1340-1357 masehi. Ia adalah Puteri
Kerajaan Sunda. Ia adalah perempuan tercantik di seluruh kerajaan kepulauan
Nusantara. Banyak raja yang ingin memperistri Dyah Pitaloka dan tak ada
perempuan yang membuat Raja Majapahit Hayam Wuruk jatuh cinta, kecuali Dyah
Pitaloka Citraresmi.
Ia perempuan yang sangat berani. Ia tetap melakukan
perlawanan meskipun seluruh prajurit dan keluarganya telah gugur dalam Perang Bubat. Ia sendirian bertahan
melawan 5.000 pasukan musuh. Dyah Pitaloka Citraresmi tetap mempertahankan
harga diri Kerajaan Sunda dari penghinaan musuh-musuhnya. Sampai hari ini ada
ribuan gadis Sunda yang menggunakan nama Dyah
Pitaloka.
Cut Nyak Dhien,
pemimpin besar Perang Kerajaan Islam Aceh
yang hidup antara 1848–1908. Sepanjang
hidupnya bertempur melawan penjajahan Belanda. Dia tidak pernah kalah perang.
Teriakan Allahu Akbar adalah
senjatanya.
Akan tetapi, ketika sudah tua, ia sakit. Seorang
pasukannya mengadakan perjanjian dengan Belanda. Ia ingin Belanda mengobati Cut
Nyak Dhien. Belanda setuju. Akan tetapi, Cut Nyak Dhien marah.
Meskipun dirawat di rumah sakit, ia tetap berhubungan
dengan pasukan Aceh untuk terus bertempur.
Akhirnya, Belanda memindahkan Cut Nyak Dhien ke Sumedang, Jawa Barat dan
meninggal di sana.
Gambar Cut Nyak Dhien menjadi gambar salah satu pecahan
mata uang kertas Indonesia.
Cut Nyak Meutia. pejuang
perang Aceh yang hidup pada 1870-1910. Ia bersama suaminya yang bernama
Teuku Muhammad melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.
Raden Dewi Sartika
adalah pahlawan pendidikan yang lahir di Bandung. Ia hidup antara
1884–1947. Ia adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum wanita. Dewi Sartika adalah
orang pertama yang membuka sekolah untuk perempuan, “Sakola Istri”.
Raden Adjeng Kartini, puteri bangsawan Jawa. Ia hidup antara 1879-1904. Ia gemar membaca
majalah-majalah Eropa. Ia kemudian berhubungan melalui surat menyurat dengan
teman-temannya di Eropa. Setelah Kartini meninggal, surat-surat itu dikumpulkan
kemudian menjadi buku, “Habis Gelap
Terbitlah Terang”.
Rangkayo Rasuna
Said, perempuan pejuang antikolonial yang hebat. Ia hidup antara 1910 s.d.
1965. Tulisan-tulisannya yang sangat tajam menyerang pemerintah Kolonial
Belanda. Akibatnya, ia sempat ditahan Belanda. Kemudian, ia dipercaya menjadi
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat. Setelah itu, ia
kembali dipercaya menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia.
Maria Walanda
Maramis hidup pada 1872-1924. Ia
lahir dalam keluarga pejuang antikolonialis. Kakaknya, Andries Maramis, adalah
aktivis yang memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia. Kemudian, ia pernah menjadi menteri dan duta besar Indonesia.
Maria Walanda Maramis adalah perempuan yang sangat memperhatikan tugas dan tanggung jawab perempuan,
baik di dalam rumah tangga sebagai ibu, sebagai istri, maupun sebagai pendidik.
Ia kemudian mendirikan organisasi Percintaan
Ibu kepada Anak Temurunannya (Pikat). Tujuan organisasi ini adalah untuk
mendidik kaum wanita yang tamat sekolah dasar dalam hal-hal rumah tangga
seperti memasak, menjahit, merawat bayi, pekerjaan tangan, dan sebagainya.
Martha Christina
Tiahahu, pemberani yang hidup antara 1800-1818. Pada usia 17 ia melakukan
perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Ia selalu mendampingi ayahnya Kapitan
Paulus Tiahahu dalam menyerang Belanda. Ia selalu mengobarkan semangat perang
prajuritnya dan mengajak para perempuan untuk ikut berperang. Akibatnya, Belanda
kewalahan mendapat perlawanan dari para perempuan. Karena semangat dan
keberaniannya, pemerintah Indonesia membuat patung Martha Christina Tiahahu.
Siti Walidah Ahmad
Dahlan hidup pada 1872-1946. Ia adalah Istri Ahmad Dahlan yang mendirikan
organisasi Muhammadiyah. Siti sangat memperhatikan kaum perempuan. Oleh sebab
itu, ia mendirikan organisasi perempuan
yang bernama Sopo Tresno untuk mendidik
kaum perempuan. Ia bersama suaminya mengganti nama Sopo Tresno menjadi
Aisyiyah. Nama itu berasal dari nama isteri Nabi Muhammad saw, Aisyah. Dalam
organisasi itu, ia mendirikan lembaga pendidikan bagi para perempuan. Para
perempuan dididik agar mampu menjadi pendidik di dalam keluarga, sekolah, dan
masyarakat. Ia adalah perempuan pertama yang memimpin rapat besar organisasi
besar Muhammadiyah di Indonesia.
Nyi Ageng Serang
terlahir dengan nama asli Raden Ajeng
(RA) Kustiyah Wulaningsih Retno Edhi. Nyi Ageng Serang merupakan puteri
dari Pangeran Natapraja, seorang penguasa daerah Serang, Jawa Tengah yang juga
merupakan Panglima Perang Sultan Hamengkeu Buwono I. Nyi Ageng juga merupakan
salah satu keturunan dari Sunan Kalijaga penyebar Islam yang sangat berpengaruh
di Indonesia.
Ketika menjadi penguasa Serang, banyak rakyatnya
kelaparan dan mengalami kesengsaraan akibat ulah dari penjajah Belanda. Ia
selalu membantu kesengsaraan rakyatnya dengan membagi-bagikan pangan. Selain
itu, ia juga melakukan perlawanan fisik untuk mengusir pasukan Belanda dari
tanah kelahirannya itu.
Ia pun ikut dalam Perang Diponegoro pada 1825. Atas jasa
dan keberaniannya, pemerintah Indonesia membuat monumen Nyi Ageng Serang.
Opu Daeng Risadju, anggota
keluarga bangsawan Luwu. Ia lahir di
Palopo, Sulawesi Selatan, pada 1880. Dalam sepanjang hidupnya ia dididik ajaran
dan nilai-nilai moral baik yang berlandaskan budaya maupun agama Islam.
Opu Daeng Risaju melakukan perlawanan terhadap kejahatan Netherlands Indies Civil Administration
(NICA) yang berkeinginan untuk menjajah kembali Indonesia. NICA memutuskan
untuk mengobrak-abrik masjid bahkan menginjak Al-Quran. Opu Daeng Risaju pun
segera membangkitkan dan memobilisasi para pemuda untuk melakukan perlawanan
terhadap tentara NICA.
Masih banyak perempuan hebat Indonesia lainnya yang
derajatnya berada di atas para pria pada zamannya. Kepada merekalah perempuan
Indonesia harus memandang dan meneladani, bukan kepada orang-orang di luar
negeri. Para perempuan-perempuan itulah yang harus menjadi inspirasi karena
mereka bergerak dan bertindak untuk kepentingan manusia, kemanusiaan, serta
bangsa dan negara. Mereka bergerak bukan karena sokongan kaum modal yang besar usaha. Mereka berjuang bukan untuk
kepentingan para pengusaha atau ego dari perempuan itu sendiri. Mereka berjuang
untuk hidup dan kehidupan.
Salah besar jika ada yang menganggap bahwa Indonesia
adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia yang mengekang atau
merendahkan kaum perempuan. Sejak dulu juga kaum perempuan terbuka untuk
bergerak dan aktif asal mau, bisa, dan bermanfaat. Sejarah membuktikan hal itu.
Tidak perlu lagi banyak kisah tentang “kesamaan gender”.
Dari dulu juga sudah sama bahwa laki-laki dan perempuan Indonesia itu adalah
bagai dua sayap burung garuda. Jika salah satu sakit, Indonesia pun sakit.
Lihat mereka para perempuan Indonesia hebat itu. Jangan selalu melihat ke para perempuan berambut kuning kemerahan yang pirang!
No comments:
Post a Comment