oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Toleransi sangat diperlukan
dalam mewujudkan kehidupan harmonis, kerja sama, dan perdamaian. Akan tetapi,
toleransi akan menjadi hal yang membahayakan jika dilaksanakan tidak tepat
sasaran atau kebablasan.
Indonesia telah melakukan toleransi kebablasan pada
pemerintah Filipina. Dalam mengatasi berbagai kasus penculikan WNI oleh
kelompok-kelompok penjahat di Filipina, Indonesia “dipaksa” untuk mengerti
kondisi yang terjadi di Filipina. Tampaknya, Indonesia pun dengan sangat “terpaksa”
merendahkan dirinya untuk mengerti situasi di Filipina.
Dalam kasus penculikan pertama dan kedua pada empat bulan
terakhir ini, Indonesia “dipaksa” harus memahami bahwa Filipina memiliki
undang-undang yang melarang pasukan asing berada di wilayahnya dan “dipaksa” bersabar karena di Filipina
sedang terjadi pemilihan presiden. Karena memang toleransi sudah merupakan
budaya yang harus dijaga, Indonesia pun dengan sabar bersikap memahami situasi
tersebut. Akan tetapi, sesungguhnya sikap tersebut dapat dikategorikan sebagai “toleransi
kebablasan”. Dalam kasus penculikan yang ketiga pun sama saja. Indonesia
dipaksa untuk toleran. Akan tetapi, bahasanya menjadi beda, yaitu “kita harus
memahami karena pemerintahan Filipina masih baru terbentuk”.
Sebetulnya, Indonesia tidak berurusan dan tidak ada
hubungannya dengan undang-undang Filipina, situasi politik di Filipina, maupun baru-tidaknya
pemerintah Filipina.
Memangnya motor atau mobil yang jika masih baru harus
pelan-pelan dulu, jangan ngebut?
Tidak bisa begitu!
Kalau sebuah pemerintahan mau serius bekerja, dari sejak
terbentuk harus segera ngebut, gerak cepat. Pemanasannya sudah harus sejak lama
dilakukan sebelum pemerintahan itu dibentuk.
Bagi Indonesia, sama sekali tidak penting itu namanya UU,
politik, dan struktur pemerintah Filipina. Kepentingan Indonesia adalah
keselamatan WNI, bisnis, dan kedaulatan Indonesia di mana saja. Tak ada untung
dan tak ada ruginya bagi Indonesia atas apa pun yang terjadi di Filipina. Jadi,
jangan terlalu bertoleransi terhadap kepentingan orang lain.
Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah bagus dengan
mendesak terus-menerus pada pemerintah Filipina atas berbagai peristiwa
penculikan yang terjadi. Akan tetapi, tampaknya, Indonesia pun “mati kutu”
ketika desakan itu tidak ditanggapi secara lebih serius oleh pemerintah
Filipina. Artinya, Indonesia tampak kehilangan langkah ketika tidak ada
tanggapan memadai dan menyerah pada situasi tersebut. Kembali lagi Indonesia dipaksa
harus “toleran” terhadap situasi di Filipina. Apalagi ada alasan bahwa pemerintah
Filipina masih baru terbentuk.
Tak ada urusannya Indonesia dengan baru-tidaknya
pemerintah Filipina. Mata kita seharusnya tertutup terhadap kepentingan negara
lain dalam hal hubungan internasional, mau itu hubungan politik, ekonomi,
maupun keamanan dan ketertiban. Akan tetapi, sebaliknya, mata kita harus
terbuka lebar-lebar untuk kepentingan dalam negeri karena begitulah seharusnya.
Rakyat dan kedaulatan negara harus berada di atas segalanya. Begitulah
bunyinya.
Meskipun demikian, tampaknya pemerintah Indonesia pun
membuat desakan yang lebih keras, yaitu larangan untuk melakukan pelayaran ke
Filipina. Hal itu lumayan bagus karena Filipina akan menderita kerugian atas
larangan pelayaran tersebut. Dengan demikian, diharapkan Filipina berpikir
keras agar hubungan bisnis yang menggunakan jalur laut tersebut dapat berlanjut
menguntungkan dengan cara menghentikan aksi-aksi kriminal Abu Sayyaf. Larangan
untuk itu harus benar-benar dilaksanakan dengan tegas agar benar-benar bisa
memecahkan masalah. Jika masih ada hal lain yang dapat membuat Filipina lebih
terdesak, lakukanlah secepatnya agar situasinya lebih cepat terkendali.
Jika perlu, desak Filipina untuk mengizinkan Indonesia
membuat pangkalan TNI di wilayah yang tidak mereka kuasai. Hal itu akan
menguntungkan bagi Filipina dan Indonesia, yaitu keamanan lebih terjaga serta
Indonesia memiliki pangkalan militer tambahan dalam mengontrol wilayah laut
Indonesia sendiri dari arah perairan Filipina. Soal dananya kan itu mah teknis
bisa dibicarakan bersama dengan Filipina.
Sangat tak salah jika rakyat Indonesia mem-bully Filipina untuk mendesak mereka
agar lebih serius bekerja dan bertindak, bukan hanya untuk pembebasan WNI,
melainkan pula untuk kedaulatan dan keamanan wilayah Filipina sendiri.
Bagaimana bisa membangun dengan baik kalau di negaranya
banyak sekali penyamun?
Desakan dan dorongan yang bisa membuat Filipina makin
tersudut harus gencar dilakukan agar mereka mampu berpikir lebih benar dan
lebih cepat. Kalau sekarang Indonesia bersikap “maklum” atas masih barunya
pemerintah Filipina, nanti Indonesia dipaksa lagi “maklum” dan harus “toleran”
dengan alasan lain meskipun pemerintah Filipina sudah tidak baru lagi.
Toleransi itu tidak boleh “kebablasan” karena bisa
merugikan diri sendiri.
Orang Sunda bilang, “Ulah
tamplok batokkeun!”
Maksudnya, jangan terlalu memberi atau terlalu menghargai
atau terlalu toleran terhadap orang lain, sementara kita sendiri dirugikan.
No comments:
Post a Comment