oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Beberapa
waktu lalu dunia dikejutkan oleh aksi penembakan yang dilakukan Omar Mateen di
sebuah klub homoseks, Orlando, AS. Orang-orang boleh terkejut, mengutuk keras, marah,
dan sedih. Sebenarnya, tidak perlu terkejut karena aksi-aksi semacam itu sangat
sering terjadi di Amerika Serikat. Pada banyak tempat di AS peristiwa itu
menjadi berita yang biasa saja. Ada penembakan di sekolah, supermarket, hiburan
malam, tengah jalan, tempat wisata, dan lain-lainnya.
Mengapa harus terkejut?
Berita semacam itu kan sudah sangat
sering terjadi?
Kalau peristiwa itu terjadi di
Leuwigoong, Garut, Jawa Barat, Indonesia, itu baru berita luar biasa dan sudah
seharusnya publik kaget, terkejut setengah mati karena lingkungan itu bukan
lingkungan kasar, melainkan cenderung agamis dan penuh sopan santun. Wajar
kalau ada penembakan di Leuwigoong, publik kaget tersentak. Kalau di AS sih,
biasa saja. Beruntung di Leuwigoong, Garut, tidak ada grup homoseks sehingga tidak
perlu ada yang dibunuh.
Kalau ada yang menumbuhkan kebencian
kepada Islam dan kaum muslimin disebabkan kasus penembakan di Orlando, AS,
tersebut, mari kita tertawakan saja karena sesungguhnya pikiran dan jiwa mereka
hanya setara dengan anak-anak Taman Kanak-kanak di Indonesia. Tidak peduli
mereka itu publik Amerika Serikat dan pemerintahnya atau penduduk dunia lainnya
beserta pemerintahnya. Mereka hanya anak-anak. Jadi, kita perlu berbicara
kepada mereka sebagaimana berbicara kepada anak-anak.
Mereka tak perlu menyalahkan Islam
dan kaum muslimin karena aksi penembakan di AS dilakukan oleh banyak orang
dengan latar belakang yang berbeda-beda, ada yang nonmuslim juga ateis.
Mengapa harus menyalahkan Islam dan
kaum muslimin?
Dasar anak-anak!
Pernyataan Presiden AS Barack Obama
lebih dewasa. Ia justru memprihatinkan bahwa penembakan itu penyebab besarnya
adalah mudahnya orang-orang di AS memiliki akses terhadap kepemilikan senjata.
Di samping itu, ia pun menyadari bahwa menyalahkan kaum muslimin sama sekali
tidak menyelesaikan masalah.
Dunia boleh mengutuk aksi penembakan
tersebut. Akan tetapi, harus diingat bahwa yang harus lebih dikutuk adalah
penyebab terjadinya aksi-aksi pembunuhan tersebut. Salah satu penyebabnya sudah
dikatakan Barack Obama, yaitu terlalu mudahnya orang memiliki senjata. Namun, sesungguhnya
ada banyak hal yang menyebabkan aksi itu terjadi.
Hal yang paling mudah dilakukan adalah
penggunaan tuduhan atau pembangunan opini bahwa Omar Mateen adalah orang yang
jiwanya tidak stabil dan temperamental. Pembangunan opini semacam ini cukup
efektif digunakan dari zaman ke zaman untuk meredam gejolak masyarakat. Pada
berbagai belahan dunia pembuatan opini tersebut pernah digunakan dalam berbagai
hal yang menyedot perhatian masyarakat. Pada tahun 80-an beberapa senator AS
yang pernah berseberangan dengan berbagai kepentingan di AS pernah pula dicap
sebagai “orang gila” dan berhenti dari jabatannya. Di Indonesia juga pernah
terjadi ketika ada anggota DPR/MPR zaman Orde Baru yang tidak sejalan dengan
keinginan pemerintah, beberapa hari berselang dia berhenti dari jabatannya dan
dikabarkan sebagai “hilang ingatan”. Lumayan ampuh memang untuk meredam rasa
penasaran publik. Akan tetapi, tuduhan-tuduhan atau cap-cap semacam itu sama
sekali tidak menyelesaikan masalah karena tidak menyentuh akar masalah
sebenarnya. Hal itu hanya berguna untuk mengalihkan perhatian dan mengelabui
masyarakat.
Meskipun kita bukanlah detektif atau
peneliti khusus, kita bisa mencermati kejadian penembakan yang dilakukan oleh
Omar Mateen terhadap klub homoseksual di Orlando, AS. Penembakan itu terjadi
terhadap kelompok khusus, yaitu kaum homoseksual yang sedang merayakan
pestanya. Bagi saya, penembakan tersebut sangat kecil kemungkinannya terjadi
disebabkan kebencian terhadap perilaku homoseksual. Di AS perilaku tersebut
diperbolehkan sepanjang tidak merugikan orang lain, mirip-mirip seperti di
Indonesia juga. Sebetulnya sih, setiap perilaku menyimpang apa pun itu
menimbulkan resonansi energi gelombang negatif bagi lingkungan sekitarnya. Tak
heran jika Nabi Muhammad saw menegaskan bahwa hukuman bagi mereka adalah mati.
Meskipun demikian, perilaku menyimpang tersebut masih dapat ditolerir karena
manusia tidak merasakan efek negatif itu secara langsung, padahal efek itu terus
berkembang dan merusakkan banyak energi positif bagi lingkungan. Bagi kita di
Indonesia ini, mereka tidak diberlakukan hukuman mati karena kita masih
memiliki “harapan” bahwa mereka bisa sembuh dari penyakit homoseksualnya
tersebut dan dapat hidup normal sebagaimana masyarakat lainnya. Dengan melihat
hal tersebut, kecil kemungkinan Omar Mateen melakukan aksi penembakan
disebabkan kebencian terhadap perilaku homoseksual. Kecil kemungkinan bukan
berarti tidak sama sekali. Kemungkinan itu tetap ada dan bisa benar, tetapi
kecil.
Kemungkinan lain yang tidak boleh
ditinggalkan adalah kebiasaan kaum homoseksual tersebut yang gemar menghina
Islam dan kaum muslimin. Hal itu disebabkan Islam dan kaum muslimin menentang
keras perilaku tersebut. Penentangan kaum muslimin terhadap perilaku
homoseksual membuat kuping para homoseks tersebut panas dan tersinggung. Mereka
beranggapan bahwa setiap orang memiliki hak dan urusannya masing-masing.
Kemudian, kaum homoseks itu melakukan perlawanan dengan membuat hinaan dan
berita-berita bohong tentang Islam dan kaum muslimin, lalu menertawakan sendiri
kaum muslimin atas kebohongan tersebut. Setidak-tidaknya, itulah informasi yang
saya dapatkan dari perdebatan saya dengan para anti-Islam dari berbagai negara
di dunia ini di internet. Penghinaan dan berita-berita bohong terhadap Allah
swt, Muhammad saw, Islam, dan kaum muslimin inilah yang membuat marah
orang-orang Islam. Bagi orang Islam yang mampu menahan diri, hanya menggunakan
lisan dan perilakunya untuk menunjukkan bahwa homoseks itu berbahaya, tidak
manusiawi, dan merusakkan keberlangsungan perkembangan hidup ras manusia. Akan
tetapi, bagi orang Islam yang tidak dapat menahan dirinya dan marah atas
penghinaan yang dilakukan kaum homoseks, membuat aksi sendiri yang inkonstitusional
dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri di hadapan manusia dan di hadapan
Allah swt. Itulah kemungkinan lain yang menyebabkan Omar Mateen melakukan aksi
pembunuhan di Orlando, AS.
Kebebasan berbicara di AS berbeda
jauh dengan kebebasan berbicara di Indonesia. Di AS dan Eropa, kebebasan
berbicara itu termasuk pula kebebasan menghina orang lain dan kepercayaan orang
lain. Adapun di Indonesia kebebasan berbicara itu diarahkan untuk hal-hal yang
positif dalam membangun bangsa dan negara, bukan untuk menghina dan menjatuhkan
martabat orang lain atau agama orang lain. Bebas berbicara di dunia barat
termasuk pula bebas menghina. Bebas berbicara di Indonesia dibatasi hanya untuk
hal positif. Penghinaan di Indonesia dianggap pelanggaran hukum. Manusia bisa
hancur hidupnya gara-gara menghina orang lain karena bisa dimasukkan dalam
penjara.
Tampaknya dunia barat harus belajar
tentang kebebasan berbicara dari Indonesia. Dengan demikian, tak perlu terjadi
pembunuhan gara-gara penghinaan terhadap individu, kelompok, maupun kepercayaan.
Di Indonesia apabila ada individu, kelompok, ataupun agama yang merasa
mendapatkan penghinaan, diperbolehkan untuk melaporkannya pada pihak kepolisian
dan aparat wajib memprosesnya secara hukum agar terjadi keharmonisan dalam
lingkungan masyarakat. Jika tidak diselesaikan secara hukum, tak ada jaminan tidak
akan ada individu atau kelompok yang melakukan penghakiman sendiri sebagaimana
yang dilakukan Omar Mateen di Orlando, AS. Hal itu disebabkan memang dalam
ajaran Islam siapa pun yang melakukan penghinaan terhadap Allah swt dan Nabi
Muhammad saw, hukumannya adalah “mati”. Bagi yang sudah bulat tekadnya, mereka
tak peduli akan dihukum seberat apa pun oleh hukum positif, tetapi mereka
merasa bangga telah membela keyakinannya.
Pembangunan opini Omar Mateen
sebagai orang yang tidak stabil jiwanya dan temperamental sama sekali tidak
mengungkapkan penyebab sebenarnya, melainkan hanya untuk meredam gejolak publik
tanpa menyentuh akar sebenarnya. Barack Obama sudah benar menginginkan agar AS
tidak terlalu membebaskan warga untuk memiliki senjata, tetapi harus ditambah
dengan penelitian lain agar penembakan massal itu tidak terjadi lagi. Salah
satunya membatasi kebebasan berbicara hanya untuk hal-hal positif, bukan untuk
menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
Akan sulit memang barat membatasi
kebebasan berbicara karena sudah terbiasa seperti itu. Mereka sama sekali tidak
mengerti bahwa kebebasan yang dimiliki
setiap individu tidak boleh mengganggu kebebasan individu lain. Di samping
itu, mereka pun memiliki sikap curang, yaitu ingin bebas berbicara dan
menghina, tetapi tidak ingin didebat atau tidak ingin disalahkan mengenai
pendapat dan hinaannya tersebut. Hal itu terjadi terhadap saya berkali-kali.
Akan tetapi, saya malah tambah menjadi-jadi balik menghina mereka. Mereka
sering sekali menganggap bahwa saya berlaku tidak
adil karena saya menunjukkan ketidaksetujuan terhadap pendapat dan
penghinaan mereka. Mereka berkilah bahwa mereka bebas berbicara dan tidak ingin
digugat.
Kalau mereka ingin bebas berbicara
dan menghina, mengapa saya tidak boleh bebas balik mencerca, memaki, dan
menganggap bodoh mereka?
Mereka memang lucu seperti siswa
taman kanak-kanak. Ingin bebas berbicara tanpa ingin bebas ditentang.
Seharusnya kan, kalau mereka ingin benar-benar bebas berbicara, bebaskan pula
orang lain menentang mereka. Saya tidak tahu apakah mereka itu memang lucu atau
bodoh.
Bisa jadi bahwa penembakan massal yang
dilakukan Omar Mateen disebabkan kemarahannya atas berita-berita bohong dan ejekan
mereka terhadap Allah swt, Muhammad saw, Islam, dan kaum muslimin. Oleh sebab
itu, memang Amerika Serikat memerlukan pembatasan dalam hal kepemilikan senjata
dan kebebasan berbicara.
Apabila publik Amerika Serikat menjadikan
perilaku Omar Mateen sebagai alasan untuk memojokkan Islam dan kaum muslimin,
mereka tak akan pernah menyelesaikan masalah mereka. Hal itu disebabkan mereka
tidak menyelesaikan akar persoalannya dan menyerah pada pendapat publik yang
belum tentu benar, bahkan bisa menyesatkan.
Kalau aksi Omar Mateen menjadi bahan
atau pemicu untuk menghina Islam dan kaum muslimin, publik Amerika Serikat
hanya setingkat dengan anak-anak Taman Kanak-kanak di Indonesia. Sebaiknya,
perhatikan apa yang dikatakan presidennya sendiri, Barack Obama, dan mulai
belajar bahwa kebebasan yang dimiliki
tidak boleh mengganggu kebebasan orang lain.
No comments:
Post a Comment