Sunday, 12 June 2016

Ahok Wajar Dijegal

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Ahok wajar dijegal dan memang sudah seharusnya dijegal karena itulah yang namanya demokrasi. Sangat banyak orang yang kesal dan marah atas upaya dugaan penjegalan terhadap Ahok untuk maju ke kursi DKI 1. Mereka menuduh para lawan Ahok, baik itu partai politik maupun LSM sebagai tidak memiliki etika dan nalar yang benar karena telah menghalangi Ahok.

            Mengapa harus kesal?

            Bukankah demokrasi harus begitu?

            Justru sangat aneh jika lawan-lawan Ahok tidak berupaya menjegal Ahok. Bagi para pendukung Ahok, mungkin upaya penjegalan yang terkesan “dicari-cari” itu merupakan tindakan yang tidak beretika. Akan tetapi, justru upaya penjegalan itu merupakan tindakan etika yang sangat baik bagi penantang Ahok agar partai atau jagoannya bisa menang mengalahkan Ahok. Sangat tidak beretika jika lawan-lawan Ahok justru membuka jalan yang lebar bagi kemenangan Ahok. Artinya, para lawan Ahok tidak memiliki etika terhadap kepentingan partainya atau kelompoknya.

            Biasa saja adanya upaya menjegal lawan untuk memenangkan jagoannya. Bukan merupakan suatu hal yang aneh. Namanya juga demokrasi.

            Demokrasi itu bersaing untuk menang, bukan?

            Demokrasi itu bukan bersaing untuk benar, iya kan?

            Demokrasi itu memang bersaing bukan untuk mendapatkan kebenaran, melainkan untuk mendapatkan kemenangan.

            Wow, mungkin para pendukung Ahok mengklaim diri bahwa mereka adalah pendukung kebenaran dan berjuang untuk menang.

            Pada saat yang sama lawan-lawan Ahok pun mungkin mengklaim diri bahwa merekalah yang sesungguhnya pendukung kebenaran dan harus berjuang untuk mengalahkan Ahok.

            Jadi, siapa sesungguhnya yang benar?

            Kata grup Ahok, dirinyalah yang benar untuk Jakarta.

            Kata grup lawan Ahok, dirinyalah yang paling benar untuk Jakarta.

            Jadi, siapa sesungguhnya yang benar?

            Dua-duanya mengklaim diri sebagai pihak yang paling benar untuk Jakarta. Oleh sebab itu, sama-sama berjuang untuk menang karena sama-sama merasa benar.

            Kalau sama-sama benar, kenapa harus bertengkar dan berselisih?

            Saya jadi teringat adagium yang diajarkan guru ngaji saya dulu bahwa dalam suatu pertengkaran atau perselisihan, pasti ada yang benar dan ada yang salah atau kedua-duanya salah karena tidak mungkin pihak yang benar bertengkar atau berselisih dengan pihak yang benar.

            Kalau dua-duanya benar, kenapa harus bertengkar atau berselisih?

            Pertengkaran atau perselisihan itu selalu terjadi antara pihak yang benar melawan pihak yang salah. Bisa juga antara pihak yang salah dengan pihak yang salah. Hal ini bisa dilihat dari persengketaan atau pertentangan di antara para penjahat. Mereka sama-sama jahat dan salah, lalu bertengkar. Sangat tidak mungkin pihak yang benar melawan pihak yang benar.

            Kalau dua-duanya benar, seharusnya bekerja sama bahu-membahu untuk kemajuan bersama. Sangat aneh jika sama-sama benar, tetapi saling menjatuhkan.

            Memang cukup memusingkan yang namanya demokrasi ini. Seluruhnya merasa paling benar dan terbaik, tetapi saling mengalahkan. Aneh memang jika kita harus memahami ada pihak yang benar bertarung melawan pihak yang benar.

            Penentu kebenaran dalam demokrasi adalah rakyat. Akan tetapi, rakyat tetap terbagi-bagi. Ada yang menganggap benar yang itu dan ada yang menganggap benar yang ini. Kalau sudah pemilihan pun, rakyat hanya memiliki pihak yang menang. Benar atau tidak, masih sangat sulit diketahui. Buktinya, rakyat sudah memilih dan mendapatkan pemenang, baik eksekutif maupun legislatif, tetapi  seiring berjalannya waktu mereka yang menang karena dianggap benar itu ternyata tidak benar, ada yang ditangkap karena korupsi, ada pula yang ditangkap karena Narkoba. Artinya, pihak yang kalah dan dianggap tidak benar justru adalah orang yang benar.

            Pusing.


           


No comments:

Post a Comment