oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Ahok wajar dijegal dan
memang sudah seharusnya dijegal karena itulah yang namanya demokrasi. Sangat
banyak orang yang kesal dan marah atas upaya dugaan penjegalan terhadap Ahok
untuk maju ke kursi DKI 1. Mereka menuduh para lawan Ahok, baik itu partai
politik maupun LSM sebagai tidak memiliki etika dan nalar yang benar karena
telah menghalangi Ahok.
Mengapa harus kesal?
Bukankah demokrasi harus begitu?
Justru sangat aneh jika lawan-lawan Ahok tidak berupaya
menjegal Ahok. Bagi para pendukung Ahok, mungkin upaya penjegalan yang terkesan
“dicari-cari” itu merupakan tindakan yang tidak beretika. Akan tetapi, justru
upaya penjegalan itu merupakan tindakan etika yang sangat baik bagi penantang
Ahok agar partai atau jagoannya bisa menang mengalahkan Ahok. Sangat tidak
beretika jika lawan-lawan Ahok justru membuka jalan yang lebar bagi kemenangan
Ahok. Artinya, para lawan Ahok tidak memiliki etika terhadap kepentingan
partainya atau kelompoknya.
Biasa saja adanya upaya menjegal lawan untuk memenangkan
jagoannya. Bukan merupakan suatu hal yang aneh. Namanya juga demokrasi.
Demokrasi itu bersaing untuk menang, bukan?
Demokrasi itu bukan bersaing untuk benar, iya kan?
Demokrasi itu memang bersaing bukan untuk mendapatkan
kebenaran, melainkan untuk mendapatkan kemenangan.
Wow, mungkin para pendukung Ahok mengklaim diri bahwa
mereka adalah pendukung kebenaran dan berjuang untuk menang.
Pada saat yang sama lawan-lawan Ahok pun mungkin mengklaim
diri bahwa merekalah yang sesungguhnya pendukung kebenaran dan harus berjuang
untuk mengalahkan Ahok.
Jadi, siapa sesungguhnya yang benar?
Kata grup Ahok, dirinyalah yang benar untuk Jakarta.
Kata grup lawan Ahok, dirinyalah yang paling benar untuk
Jakarta.
Jadi, siapa sesungguhnya yang benar?
Dua-duanya mengklaim diri sebagai pihak yang paling benar
untuk Jakarta. Oleh sebab itu, sama-sama berjuang untuk menang karena sama-sama
merasa benar.
Kalau sama-sama benar, kenapa harus bertengkar dan
berselisih?
Saya jadi teringat adagium yang diajarkan guru ngaji saya
dulu bahwa dalam suatu pertengkaran atau
perselisihan, pasti ada yang benar dan ada yang salah atau kedua-duanya salah
karena tidak mungkin pihak yang benar bertengkar atau berselisih dengan pihak
yang benar.
Kalau dua-duanya benar, kenapa harus bertengkar atau
berselisih?
Pertengkaran
atau perselisihan itu selalu terjadi antara pihak yang benar melawan pihak yang
salah. Bisa juga antara pihak yang salah dengan pihak yang salah. Hal ini bisa
dilihat dari persengketaan atau pertentangan di antara para penjahat. Mereka
sama-sama jahat dan salah, lalu bertengkar. Sangat tidak mungkin pihak yang
benar melawan pihak yang benar.
Kalau dua-duanya benar, seharusnya bekerja sama
bahu-membahu untuk kemajuan bersama. Sangat aneh jika sama-sama benar, tetapi
saling menjatuhkan.
Memang cukup memusingkan yang namanya demokrasi ini.
Seluruhnya merasa paling benar dan terbaik, tetapi saling mengalahkan. Aneh
memang jika kita harus memahami ada pihak yang benar bertarung melawan pihak
yang benar.
Penentu kebenaran dalam demokrasi adalah rakyat. Akan
tetapi, rakyat tetap terbagi-bagi. Ada yang menganggap benar yang itu dan ada
yang menganggap benar yang ini. Kalau sudah pemilihan pun, rakyat hanya
memiliki pihak yang menang. Benar atau tidak, masih sangat sulit diketahui.
Buktinya, rakyat sudah memilih dan mendapatkan pemenang, baik eksekutif maupun legislatif,
tetapi seiring berjalannya waktu mereka
yang menang karena dianggap benar itu ternyata tidak benar, ada yang ditangkap
karena korupsi, ada pula yang ditangkap karena Narkoba. Artinya, pihak yang
kalah dan dianggap tidak benar justru adalah orang yang benar.
Pusing.
No comments:
Post a Comment