Tuesday 29 December 2020

Veni, Vidi, Vici

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Sering lihat kan orang berpose dalam foto dengan membentuk jari tangannya mengepal, tetapi memunculkan jari telunjuk dan jari tengahnya?

            Jari telunjuk dan jari tengah yang diberdirikan itu membentuk huruf “V”. Banyak orang yang menafsirkan bahwa bentuk huruf V itu mewakili kalimat “veni, vidi, vici” yang artinya “saya datang, saya lihat, saya menang”. Kalimat itu berasal dari bahasa latin yang digunakan oleh Julius Caesar ketika menang bertempur di Zela. Sebagian orang lagi menafsirkan bahwa bentuk jari V itu adalah mewakili kata “victory” yang artinya “kemenangan”. Di samping itu, orang-orang Amerika Serikat membentuk posisi tangan V itu mengartikannya sebagai lambang perdamaian atau tidak menginginkan perkelahian. Biasanya, mereka mengacungkan tangan berbentuk V sambil mengatakan “peace”, ‘damai’.

            Saya juga kalau difoto, sering menggunakan pose tangan seperti itu.




            Baik zaman Julius Caesar maupun awal-awal penggunaan bentuk tangan itu di Amerika Serikat, erat kaitannya dengan situasi perang. Akan tetapi, saat ini, khususnya di Indonesia, perang tidak ada. Oleh sebab itu, semangat dari bentuk jari tangan V itu sangat baik jika diartikan “saya datang dengan potensi diri, saya lihat tantangannya, saya berhasil sukses dalam bersaing dan berkarir, penuh kemenangan dengan cara damai dan penuh persaudaraan”.

            Boleh kan jika menafsirkannya seperti itu?

            Kita kan tidak sedang berperang fisik. Jangan bikin perang fisik jika dalam situasi damai karena akan membangkitkan kemarahan orang-orang yang mencintai perdamaian.

            Pertarungan kita adalah dalam melawan kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, dan ketertingalan hidup.

            Veni, Vidi, Vici, and Victory in Peace.

            Sampurasun

Monday 21 December 2020

Musibah Adalah Akibat Ulah Kita Sendiri

 


oleh  Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Musibah yang diderita manusia, apa pun itu bentuknya, sesungguhnya diakibatkan oleh manusia itu sendiri. Musibah itu semacam hasil dari berbagai kesalahan manusia. Musibah itu bisa berupa dipukuli orang, kecelakaan, rugi, bangkrut, ditangkap polisi, dipenjara, dikucilkan, dll..

            Jika kita terkena musibah, sebaiknya hal pertama yang dilakukan adalah introspeksi diri. Kita harus mempelajari diri sendiri dulu, jangan langsung menyalahkan orang lain. Dengan begitu, kita akan lebih bijak dan lebih berhati-hati bersikap. Bisa jadi memang dalam musibah yang menimpa kita ada orang lain yang terlibat di dalamnya. Akan tetapi, kita harus menyadari bahwa musibah itu terjadi kepada kita, bukan kepada orang lain dan Allah swt mengizinkannya terjadi kepada kita. Balik lagi, kita memang harus introspeksi diri, mendalami diri sendiri, mengingat kesalahan-kesalahan kita sendiri.

            Allah swt sendiri yang menerangkan seperti itu. Perhatikan firman Allah swt dalam QS An Nisa, 4 : 79.

            “Kebaikan apa pun yang kamu peroleh adalah dari sisi Allah dan keburukan apa pun yang menimpamu itu dari (kesalahan) dirimu sendiri….”

            Dengan tegas Allah swt memberitahukan bahwa jika kita mendapatkan kebaikan, itu adalah berasal dari kasih sayang Allah swt kepada kita. Dia yang menganugerahkannya kepada kita. Akan tetapi, jika tertimpa musibah, sesungguhnya itu akibat dari berbagai kesalahan dan kelalaian kita sendiri.

            Perhatikan pula ayat Allah swt berikut ini.

            “Musibah apa pun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS Asy-Syura, 42 : 30)

            Banyak sekali ayat yang senada dan menerangkan tentang musibah yang diakibatkan oleh perilaku kita. Jika saya tulis di sini, akan sangat panjang. Akan tetapi, dua ayat ini saja sudah mencukupi pengetahuan kita tentang dari mana datangnya kebaikan dan musibah itu. Kebaikan berasal dari Allah swt, musibah berasal dari keburukan kita.

            Paling tidak, saya menemukan catatan tiga ahli yang menafsirkan ayat ini, yaitu Ibnu Katsir, Syekh Abdurrahman As Saadi, dan Al Baghawi. Jika disimpulkan tafsir ketiganya, mereka menjelaskan bahwa musibah yang menimpa manusia adalah memang akibat ulah manusia sendiri. Akan tetapi, Allah swt telah banyak memaafkan perilaku buruk kita. Tanpa diminta pun Allah swt telah banyak memaafkan kita. Hal itu dilakukan-Nya karena saking sayangnya kepada umat manusia. Adapun musibah yang terjadi kepada umat Islam adalah untuk membuat kita menjadi lebih baik lagi, lebih banyak belajar, lebih banyak memperbaiki diri agar hidup lebih berkualitas.

            Saya sendiri berpendapat bahwa musibah itu akan membuat manusia lebih mulia dan lebih baik jika mampu mengambil banyak manfaat dari kejadian-kejadian sedih yang menimpanya. Akan tetapi, manusia tidak akan menjadi lebih baik setelah mendapatkan musibah jika tidak mau belajar dari pengalaman hidupnya yang pahit itu.

            Demikian. Jika apa yang saya tulis ini benar, itu berarti datang dari Allah swt. Akan tetapi, jika yang saya tulis ini salah, itu berarti datang dari kebodohan saya sendiri. Semoga Allah swt memaafkan saya dan tak berhenti memberikan petunjuk bagi seluruh manusia. Aamiin.

            Sampurasun.

Thursday 17 December 2020

Universitas Al-Ghifari Paling Rapi

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Beberapa waktu lalu, Universitas Al-Ghifari melangsungkan Wisuda Sarjana XVI Tahun 2019-2020. Sebelumnya, berminggu-minggu sudah terjadi perdebatan apakah akan dilaksanakan secara online atau offline. Persoalannya jelas, ini gara-gara pandemi Covid-19. Akhirnya, disepakati wisuda dilaksanakan secara hybrid, mahasiswa boleh memilih untuk ikut secara online atau secara offline. Bagi yang memilih offline, dapat hadir langsung ke tempat wisuda. Bagi yang memilih online, boleh mengikuti dari rumah masing-masing melalui zoom atau streaming di YouTube. Mayoritas memilih untuk mengikuti offline. Memang, kalau wisuda melalui internet itu, kurang afdol, kurang rasa, tetapi itu boleh dilakukan.

            Untuk melaksanakan wisuda secara offline dalam arti tatap muka dan hadir langsung, dilakukan pengamanan protokol kesehatan yang berlapis-lapis. Pertama, jumlah panitia dikurangi hingga seperempatnya. Kedua, mahasiswa yang wisuda harus datang sendirian, tidak boleh diantar siapa pun, termasuk orangtua, kerabat, atau pasangannya dilarang ikut ke acara wisuda. Ketiga, panitia dan peserta harus melakukan rapid test antibody yang dibuktikan dengan surat sah dan hasilnya harus nonreaktif, bagi yang reaktif tidak boleh ikut. Selain itu, meskipun nonreaktif, tetapi tidak membawa surat hasil tes rapid, tetap tidak boleh mengikutinya. Keempat, undangan pun dibatasi. Para pejabat seperti Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil hanya memberikan sambutan dan ucapan selamat melalui internet. Kelima, ruangan untuk wisuda yang sebetulnya bisa menampung seribu orang, hanya boleh diisi oleh 250 orang. Keenam, disediakan ratusan hand sanitizer. Ketujuh, baik panitia maupun peserta harus menggunakan masker, lalu ditutup lagi wajahnya dengan face shield, ditambah lagi dengan gloves atau sarung tangan. Benar-benar tertutup.





            Dengan pengamanan protokol kesehatan berlapis-lapis itu, ketika aparat Satgas Covid-19 yang sah dari pemerintah melakukan pengecekan protokol kesehatan, pihak Universitas Al-Ghifari sudah sangat siap dengan jawaban dan bukti-bukti.

            Oleh sebab itu, Satgas Covid-19 pun berujar, “Al-Ghifari paling rapi dari segi protokol kesehatan.”




            Kami bersyukur, acara berjalan lancar, tidak dibubarkan, tak ada masalah, kesehatan terjaga, dan tidak menyisakan tuntutan-tuntutan hukum. Semua baik-baik saja, alhamdulillah.

            Pada akhir acara, saya perintahkan teman-teman panitia agar para wisudawan segera makan siang, lalu secepatnya pulang. Inilah yang paling sulit dikendalikan. Para orangtua, kerabat, pasangan-pasangannya sudah banyak menunggu di luar gedung, terjadilah seperti biasa, selfie-selfie, foto bareng keluarga, dan gembira bersama para dosen. Hal itu sesungguhnya lumayan mengkhawatirkan, tetapi beruntung hal itu terjadi hanya sebentar. Mereka pun langsung segera pulang sebagai sarjana yang sah bersama orang-orang terdekatnya.

            Selepas acara di dalam gedung pun mirip yang terjadi di luar gedung.

            Para wisudawan banyak yang meminta saya untuk berfoto bersama mereka, “Pak, foto dong Pak sama saya.”

            “Pak minta foto bareng sama Bapak.”



            Ini soal perasaan. Soal rasa kangen. Rasa akrab. Rasa bahagia. Rasa bersyukur.



            Saya yang awalnya ragu--sekali lagi, gara-gara Covid—akhirnya terpancing juga, malah saya jadinya yang mengajak beberapa wisudawan untuk berfoto bersama. Perasaan memang sulit dikendalikan.




            Dalam pikiran saya, “Tenanglah, kan semuanya sudah dinyatakan nonreaktif secara sah dengan surat yang bisa dipertanggungjawabkan.”

            Saya makin tak ragu berfoto bersama mereka.




            Bersyukur, karena upaya pengamanan yang berlapis-lapis itu, kami semua baik-baik saja.




            Para wisudawan yang saya asuh sejak mereka lulus SMA selama beberapa tahun dari berbagai daerah di Indonesia itu sekarang sudah menjadi sarjana dan mulai harus melangkah menata kehidupannya di luar sana untuk menjadi manusia yang lebih baik dan bermanfaat di tengah masyarakat. Artinya, ada waktu yang tidak sebentar dilalui bersama sebelum akhirnya berpisah untuk menapaki fase kehidupan berikutnya.




            “Bral geura miang makalangan, Bapa mah ukur bisa maturan ku doa ti kaanggangan”.




            Sampurasun.

Monday 30 November 2020

Berdebat Menurut Allah swt

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Banyak sekali nasihat tentang “larangan berdebat”, baik di Medsos, artikel di web, blog, maupun di dunia nyata melalui obrolan, diskusi, dan ceramah. Akan tetapi, nasihat-nasihat itu sandarannya tidak bersandar pada Al Quran, tetapi bersandar pada hal yang disebut hadits ataupun pendapat yang kata mereka adalah pendapat ulama. Paling tidak, itu yang sempat saya perhatikan. Semua nasihat itu berbahasa yang baik, tidak ada yang buruk. Akan tetapi, saya itu selalu skeptis, ragu, terhadap apa yang disebut hadits.

            Apakah benar Nabi Muhammad saw mengatakan hal seperti itu?

            Jangan-jangan hanya karangan orang-orang biasa saja, lalu disebut berasal dari Nabi Muhammad saw. Berbahasa baik saja tidak cukup, tetapi harus nyata dikatakan benar-benar oleh Nabi Muhammad saw. Ada metode ilmiah untuk menelusuri kebenaran suatu yang disebut hadits.

            Apakah benar orang yang mengatakan hal itu adalah ulama?

            Jangan-jangan dia cuma penyair puisi, pendongeng, sastrawan, pustakawan, atau hanya seorang demagog.

            Apakah benar para imam semisal Imam Syafei mengatakan hal seperti itu?

            Jangan-jangan hanya karangan orang iseng, lalu mengatakan bahwa itu adalah kata-kata Imam Syafei.

            Bagi orang seperti saya, hal yang paling mudah dilakukan adalah mengonfrontirnya dengan Al Quran. Al Quran adalah kitab yang dijaga Allah swt, tidak pernah salah. Seluruh ajaran Islam harus merujuk ke sumber itu, Al Quran. Jika ada hadits atau cuma pendapat ulama, tetapi bertentangan dengan Al Quran, pasti salah. Hadits atau pendapat itu harus gugur karena bertentangan dengan Al Quran. Sebaliknya, jika hadits atau pendapat ulama itu menjelaskan dan menguatkan ayat-ayat Al Quran, itu harus dipertimbangkan untuk diikuti dan diyakini kebenarannya.

            Setelah membaca dan mendengar tentang larangan berdebat, saya penasaran dengan kata-kata Allah swt tentang berdebat. Saya teringat kalimat yang disampaikan Allah swt dalam QS An Nahl, 16 : 125.

            “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik. Berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya, Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”

            Begitulah yang dikatakan Allah swt agar kita mematuhi-Nya. Dari ayat itu kita bisa memahami bahwa kewajiban kita itu adalah menyeru manusia pada kebenaran Ilahi dengan baik. Kemudian, jika mendapatkan penentangan, berdebatlah dengan cara yang baik. Artinya, boleh, bahkan harus berdebat, tetapi harus dengan cara yang baik.

            “…Berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik….”

            Cara yang baik itu adalah berbahasa yang baik, memahami hal yang sedang diperdebatkan, memiliki ilmu yang cukup dan berwawasan yang luas, memiliki data dan fakta yang nyata, serta berniat untuk mendapatkan atau menemukan “kebenaran” dan bukan untuk mendapatkan “kemenangan dalam berdebat”.

            Kebenaran itu sumbernya adalah Allah swt (Al Quran) dan hadits (Muhammad saw). Semua harus disandarkan pada keduanya, bukan dari hawa nafsu pribadi ataupun hawa nafsu orang lain yang kita hormati.

            Kalau hanya ingin menang, kita bisa tersesat dan berada dalam kegelapan. Allah swt sangat tahu hal itu. Dalam setiap perdebatan, Allah swt hadir dan menyaksikannya. Dia tahu mana yang benar dan mana yang salah. Dia tahu siapa yang lurus dan mendapat petunjuk serta siapa yang bengkok dan berada dalam kesesatan. Hal itu seperti yang dikatakan-Nya sendiri.

            “… Sesungguhnya, Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”

            Lalu, bagaimana jika dalam perdebatan itu tidak menemui hasilnya atau ujungnya?

            Bagaimana jika hanya menjadi debat kusir yang tidak berarti serta berhadapan dengan orang keras kepala dan bangga dengan kebodohannya?

            Kalau dirasa sudah maksimal menyerukan kebenaran, tetapi tetap tidak diterima dan malah mendapatkan makian-makian bodoh hingga bisa menyesatkan orang banyak, Allah swt memberikan lagi penjelasan dalam QS Al Araf, 7 : 199.

            “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.”

            Kata Allah swt, jadilah pemaaf dan tetap mengajak orang lain untuk melakukan pekerjaan baik sekaligus jangan pedulikan dan tinggalkanlah orang-orang bodoh yang keras kepala, merasa benar sendiri, bahkan bangga dengan kebodohannya. Allah swt akan membuat perhitungan kepada orang-orang seperti itu, bisa disadarkan Allah swt atau malah dibiarkan dalam kebodohannya. Kita tidak pernah tahu apa yang dilakukan Allah swt, kecuali Allah swt sendiri yang memberitahukannya kepada kita. Kita hanya bisa tetap menjadi cahaya bagi diri kita sendiri, keluarga kita, orang-orang terdekat dan tercinta kita, dan semua manusia. Kalau mereka tidak mau mendekati cahaya Ilahi, itu keputusan diri mereka sendiri. Kita berlepas tangan dari mereka karena kita sudah menyerukan kebenaran.

            Boleh berdebat, tetapi dengan cara yang baik. Tinggalkanlah perdebatan jika sudah tidak lagi kondusif dan biarkan orang lain dalam keinginannya sendiri. Allah swt akan memutuskan sendiri terhadap hal itu. Begitu kira-kira yang saya pahami dari QS An Nahl, 16 : 125 dan QS Al Araf, 7 : 199.

            Sampurasun.

Monday 23 November 2020

Syarat Keberhasilan Perencanaan

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Perencanaan pembangunan untuk mencapai berbagai sasaran, tentunya diperlukan berbagai syarat pula. Berikut  syarat-syarat keberhasilan dalam suatu perencanaan menurut  Alam S. (2016):

            Pertama, adanya badan perencanaan. Badan ini mutlak diperlukan dan bertugas secara periodik membuat laporan kemajuan dan hambatan-hambatan dalam pelaksanaan perencanaan.

            Kedua, adanya data statistik. Data statistik sangatlah diperlukan untuk diolah sebagai bahan dasar evaluasi perencanaan. Melalui data statistik ini, dapat diketahui apakah perencanaan masih berjalan dalam proses yang diharapkan atau malah berubah haluan dan berbelok dari awalnya.

            Ketiga, adanya mobilisasi sumber daya. Sumber daya yang digunakan untuk perencanaan perlu dimobilisasi dengan baik. Sebaiknya, sumber daya yang digunakan pertama kali adalah sumber daya yang berasal dari dalam negeri, misalnya, anggaran atau tabungan pemerintah. Apabila masih dirasakan kurang, pemerintah dapat menggunakan sumber daya yang berasal dari luar negeri.

            Keempat, memiliki tujuan. Tujuan haruslah ada dalam perencanaan pembangunan ekonomi. Hal ini bisa berupa target yang ingin dicapai. Tujuan dapat dibagi-bagi ke dalam tujuan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.

            Kelima, adanya penetapan sasaran dan prioritas. Sasaran secara makro dan proritas pembangunan harus dirumuskan dengan sangat jelas agar setiap tahapan dalam pembangunan dapat dilaksanakan secara tepat.

            Keenam, keseimbangan. Perencanaan yang baik haruslah memperhatikan keseimbangan dalam perekonomian. Hal itu seperti keseimbangan antara tabungan dan investasi, permintaan dan penawaran, termasuk di dalamnya kebutuhan tenaga kerja.

            Demikian syarat-syarat yang diperlukan dalam keberhasilan suatu perencanaan.

            Sampurasun

 

Sumber Pustaka:

Hastyorini, Irim Rismi; Novasari, Yunita; Sari, Kartika; Jawangga, Yan Hanif (editor), Ekonomi untuk SMA/MA Kelas XI Semester I: Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial, PT Penerbit Intan Pariwara

S., Alam, 2016, Ekonomi untuk SMA dan MA Kelas XI Kurikulum 2013: Kelompok Peminatan Ilmu Pengetahuan Sosial, Penerbit Erlangga: Jakarta

Kegunaan Barang

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Manusia dalam memenuhi kebutuhannya kerap membutuhkan barang. Barang-barang tersebut memiliki kegunaan berdasarkan hal-hal tertentu.

 

1.         Kegunaan Bentuk (Form Utility)

Kegunaan bentuk suatu barang adalah kegunaan atau manfaat dari suatu barang jika barang tersebut telah diubah bentuknya. Misalnya, papan, paku, cat, dan pelitur diubah bentuknya menjadi meja, kursi, bangku, dan perabotan lainnya. Dengan diubah bentuknya, barang tersebut akan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk awalnya.

 

2.         Kegunaan Tempat (Place Utility)

Kegunaan tempat adalah kegunaan atau manfaat yang didapat ketika barang tersebut dipindahkan tempatnya. Contohnya, pasir, batu, granit, oli, dan kapur akan memiliki nilai yang lebih tinggi jika dipindahkan tempatnya ke perkotaan di lokasi pembangunan gedung untuk dijadikan bahan-bahan pembangunan gedung.

 

3.         Kegunaan Waktu (Time Utility)

Kegunaan waktu adalah adalah kegunaan atau manfaat suatu barang jika digunakan ketika waktunya telah tepat. Misalnya, tabungan atau asuransi pendidikan akan sangat berguna digunakan ketika tiba masanya membayar pendidikan. Contoh lain adalah sepasang suami istri telah membeli perlengakapan bayi sebelum bayi lahir. Berbagai perlengkapan dan pakaian itu akan terasa kegunaannya ketika bayi sudah lahir.

 

4.         Kegunaan Milik (Ownership Utility)

Kegunaan milik adalah kegunaan atau manfaat suatu barang jika telah dimiliki. Misalnya, laptop, Hp, komputer, dan pakaian yang ada di toko akan berguna jika telah dibayar dan telah dimiliki. Tanpa dimiliki barang-barang itu tidak akan ada gunanya.

 

            Demikian penjelasan dari kegunaan barang.

            Sampurasun.


Sumber Pustaka

Novasari, Yunita; Jawangga, Yan Hanif; Setiadi, Inung Oni; Hastyorini, Irim Rismi (editor); Ekonomi untuk SMA/MA Kelas X Semester I: Peminatan Ilmu-ilmu Sosial, PT Penerbit Intan Pariwara

 

S., Alam, 2013, Ekonomi untuk SMA dan MA Kelas X Kurikulum 2013: Kelompok Peminatan Ilmu Pengetahuan Sosial, Penerbit Erlangga: Jakarta

Saturday 21 November 2020

Belajar dari Snouck Hurgronje

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Nama Snouck Hurgronje tidak lepas dari sejarah Aceh. Tokoh ini selalu menarik untuk dikaji sehingga setiap membaca tentang dirinya dari berbagai buku, artikel, dan bahkan mendengar dari diskusi-diskusi terbatas selalu ada informasi baru berkaitan dengan sepak terjangnya dalam menaklukan Aceh.

            Aceh dapat dikatakan sebagai wilayah terkuat di Indonesia ini dalam melawan penjajah Belanda. Ketika raja-raja dan sultan-sultan di seluruh wilayah Indonesia ini sudah tunduk pada keinginan Belanda, Aceh masih tegak berdiri melakukan perlawanan.

            Snouck Hurgronje adalah tokoh pemikir yang selalu mendapat perhatian Belanda. Hasil pemikirannya kadang digunakan, kadang tidak oleh Belanda dalam menyusun strategi mengatur wilayah jajahan di Indonesia.

            Dalam menundukkan Aceh, Belanda selalu melakukan dua cara, yaitu negosiasi dan kekerasan terhadap kesultanan Aceh. Akan tetapi, Belanda tidak pernah berhasil. Snouck Hurgronje berpendapat bahwa untuk mengalahkan Aceh, tidak bisa dilakukan dengan negosiasi, tetapi dengan kekerasan penuh. Kekerasan itu jangan dilakukan terhadap kesultanan, tetapi harus diarahkan terhadap para ulama. Hal itu disebabkan perlawanan rakyat Aceh adalah di bawah kendali para ulama. Jadi, ulama yang harus dibasmi.

            Pendapat Snouck Hurgronje tidak dipercayai oleh Belanda. Penjajah Belanda tetap melakukan negosiasi dan kekerasan terbatas terhadap kesultanan. Sementara itu, perlawanan tetap keras dari para ulama dan pengikutnya.

            Sebagai seorang pemikir, Snouck Hurgronje selalu memiliki rasa penasaran terhadap Islam. Oleh sebab itu, ia berpura-pura menjadi orang Islam, mengucapkan syahadat, melakukan ritual islami, dan tinggal di Jedah, Arab Saudi, hingga berhasil menginjakkan kakinya di Masjidil Haram, Mekah. Ia pun dihormati dan diberi gelar, seperti, mufti dan syekh.

            Hubungan dengan kaum muslimin pun semakin dekat. Bahkan, kata-katanya dianggap sebagai ajaran Islam.

            Kalimat yang diucapkan Snouck Hurgronje dan sangat berpengaruh bagi rakyat muslim Aceh adalah, “Dunia ini ibarat anjing. Anjing itu najis. Oleh sebab itu, umat Islam tidak boleh mendekati dunia karena dunia itu najis!”

            Seperti itulah yang diajarkan Snouck Hurgronje. Entah dari mana kalimat itu berasal. Akan tetapi, kalimat itu mempengaruhi kaum muslimin Aceh. Akibatnya, rakyat Aceh terlalu banyak tinggal di masjid-masijd, terfokus pada ibadat-ibadat ritual, seperti, berbagai macam shalat, dzikir, doa-doa, dan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya. Sementara itu, ibadat yang sifatnya umum, seperti, bekerja, belajar, berlatih, bersosialisasi, dan berpolitik, jauh menurun, sangat berkurang.

            Hal ini terjadi bertahun-tahun dan terus-menerus. Ini pula yang membuat Aceh menjadi lemah. Pengetahuan, pengalaman, keterampilan, dan fisik orang-orang Aceh melemah. Hal ini mudah dipahami karena orang-orang Aceh perhatiannya terpusat pada kegiatan ritual, sedangkan sosial-politik-teknologi jauh berkurang.

            Pada saat itulah Belanda mendapatkan kesempatan emas untuk menaklukan Aceh. Belanda melakukan serangan. Rakyat Aceh pun melawan, tetapi situasinya sudah jauh lebih lemah dibandingkan dulu. Perlawanan heroik Cut Nyak Dien dan Cut Meutia pun harus menemui kekalahan. Akhirnya, Belanda mendeklarasikan kemenangannya pada 1903. Cut Nyak Dien meninggal di Sumedang, Jawa Barat, pada 1908.

            Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari persitiwa bersejaran itu?

            Pelajarannya adalah jangan menghinakan dunia. Kehidupan dunia adalah ladang bagi kehidupan akhirat. Pencarian kehidupan dunia adalah modal untuk akhirat. Ibadat umum dan ilmu dunia harus seimbang dengan ibadat khusus dan ilmu akhirat, tidak boleh berat sebelah karena begitulah seharusnya. Pengetahuan dan keterampilan duniawi harus pula berimbang dengan pemahaman akhirat. Begitulah yang diajarkan Allah swt.

            Perhatikan firman Allah swt dalam QS Al Jumuah, 62 : 10:

 

            “Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di Bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.”

            Perhatikan dengan baik ayat itu. Jika ibadat ritual telah dilaksanakan, bertebaranlah di muka Bumi, beraktivitaslah dengan manusia lainnya. Kita harus mencari karunia Allah swt sebanyak-banyaknya. Karunia itu bisa berupa uang, harta-benda, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya. Kita harus punya uang agar bisa membangun masjid, pesantren, lembaga pendidikan, berangkat haji dan umroh, berkurban, dsb.. Kita harus punya uang agar bisa bayar pajak sehingga bisa membangun jalan, jembatan, Puskesmas, rumah sakit, membiayai TNI, Polri, ASN, gedung-gedung megah, lembaga-lembaga positif untuk masyarakat, dan lain sebagainya.

            Kalau tidak punya uang, kita akan selalu menjadi pengemis dan berharap bantuan dari orang lain atau pemerintah.

            Kita harus belajar banyak ilmu pengetahuan sehingga di antara kita ada yang bisa menjadi dokter, tentara, polisi, ahli ekonomi, ahli masyarakat, ahli ilmu jiwa, arsitektur, pembuat mobil, motor, pesawat terbang, ahli sejarah, arkeologi, ahli bahasa, ahli ilmu politik, ahli kelautan, dan lain sebagainya. Dengan berbagai pengetahuan itulah kita bisa berkembang dan maju sebagai umat-umat yang bermanfaat bagi manusia dan dipertimbangkan kekuatannya oleh pihak-pihak lain. Dengan manfaat yang kita berikan kepada sesama manusia itulah, kita bisa mempersembahkan hasil karya kita kepada Allah swt untuk dihitung sebagai amal kebaikan dan bukti syukur kita yang telah diberikan otak dan fisik yang baik oleh Allah swt.

            Jangan tinggalkan dunia. Jadikan dunia sebagai ladang untuk hasil di akhirat.

            Hal yang dilarang itu adalah kita diperbudak oleh dunia sehingga kita selalu dipusingkan duniawi dan melupakan akhirat. Kehidupan dunia tidak boleh digunakan untuk berbangga-bangga dan melecehkan orang lain, apalagi sampai bermaksiat kepada Allah swt. Pandangan kita harus selalu untuk kehidupan akhirat, tetapi jangan melupakan dunia.

            Seimbangkan dunia dan akhirat dalam kehidupan kita. Contohlah Aceh yang sangat perkasa dan tidak bisa ditaklukan Belanda karena kecerdasan para ulamanya yang mampu menyeimbangkan ibadat ritual dengan ibadat umum. Akan tetapi, ketika terlalu fokus pada ibadat ritual, dunianya pun lemah dan sejarah menunjukkan Aceh pun dapat dikuasai Belanda.

            Kalau ada yang mau diskusi soal ini, boleh. Kalau ada yang memberikan masukan dan koreksi pun boleh, bahkan membantah pun bagus, asal dengan niat yang baik dan bahasa yang baik.

            Sampurasun.

Teori Modernisasi

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Dalam hal perubahan-perubahan sosial, Kun Maryati dan Juju Suryawati (2013) mengetengahkan teori modernisasi. Dalam pembahasan mereka, teori modernisasi melihat bahwa perubahan negara-negara terbelakang akan mengikuti jalan yang sama dengan negara industri di barat. Cara tersebut adalah melalui proses modernisasi sehingga negara terbelakang menjadi negara berkembang. Teori ini melihat bahwa negara terbelakang memiliki banyak kekurangan sehingga harus menanggulangi kekurangan yang dimiliki untuk mencapai tahap tinggal landas (take off).

            Eva Etzioni-Halevy dan Amitai Etzoni dalam Kun Maryati dan Juju Suryawati (2013) melihat bahwa dalam masa perubahan atau transisi, sebuah negara akan mengalami revolusi demografi dengan ciri-ciri sebagai berikut: menurunnya angka kematian dan kelahiran; menurunnya ukuran dan pengaruh keluarga; terbukanya sistem stratifikasi; peralihan dari struktur feodal ke suatu birokrasi; menurunnya pengaruh agama; beralihnya fungsi pendidikan dari keluarga dan komunitas ke dalam sistem pendidikan formal; munculnya kebudayaan massa; munculnya perekonomian pasar dan industrialisasi.

            Adapun menurut Davis Lerner, modernisasi diperlukan dalam proses perubahan sosial sehingga negara yang kurang berkembang perlu meminjam dan menerapkan karakteristik dari negara yang sudah maju untuk berubah menjadi negara berkembang ataupun mencapai tahap sebagai negara maju. Selain itu, menurut Huntington dalam tulisannya, “The Change to Change: Modernization, Development, and Politics, dinyatakan bahwa modernisasi mempunyai ciri-ciri prosesnya bertahap, prosesnya homogenisasi, wujudnya berupa proses eropanisasi, amerikanisasi, ataupun westernisasi, jalannya selalu bergerak maju dan tidak pernah mundur, progresif, serta waktunya panjang.

            Demikian penjelasan Kun Maryati dan Juju Suryawati (2013) mengenai teori modernisasi.

            Sampurasun

 

 

Sumber Pustaka

Maryati, Kun; Suryawati, Juju, 2013, Sosiologi untuk SMA dan MA Kelas XII Kurikulum 2013: Kelompok Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial, Penerbit Erlangga: Jakarta

Wijayanti, Fitria; Kusumantoro, Sri Muhammad; Irawan, Hanif, Sosiologi untuk SMA/MA Kelas XII: Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial

Hubungan Antarkelompok Berdasarkan Dimensi Sikap

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Dalam kehidupan manusia, sering muncul sikap-sikap yang didasari atas prasangka dan stereotip. Prasangka (prejudice) adalah dasar dari sikap permusuhan terhadap kelompok lain yang diduga memiliki sifat dan sikap yang tidak menyenangkan. Prasangka bukanlah suatu kebenaran karena tidak memiliki dasar pengetahuan, bukti yang cukup, dan pengalaman yang meyakinkan.

            Contoh permusuhan yang diakibatkan prasangka adalah orang Batak diyakini sebagai orang-orang yang kasar dan agresif, orang Padang adalah orang-orang pelit dan curang, orang Jawa adalah orang yang lamban dan tidak tegas, orang Sunda adalah orang yang tidak mau terus terang sehingga pendendam. Tentunya, semua ini adalah prasangka yang sifatnya subjektif.

            Orang-orang yang memiliki sikap mudah berprasangka ini termasuk orang yang tidak rasional dan sulit diubah. Prasangka seperti ini tiba-tiba saja muncul dalam alam pemikiran mereka. Pemikiran mereka tidak rasional karena muncul dari alam bawah sadar.

            Pada kasus tertentu, prasangka ini bisa menimbulkan tindakan yang membahayakan. Orang-orang bisa bertindak agresif terhadap pihak yang dianggap membahayakan dirinya. Jika tidak mampu, mereka akan melakukan tindakan kepada orang lemah untuk dijadikan kambing hitam. Misalnya, dulu di Amerika Serikat subur sekali sikap rasis. Orang-orang kulit hitam dianggap sebagai ancaman bagi warga kulit putih sehingga terjadi perbudakan dan penyiksaan bagi warga kulit hitam.

            Adapun stereotip erat kaitannya dengan prasangka. Stereotip adalah pandangan yang mendasarkan dirinya pada tuduhan-tuduhan tertentu terhadap kelompok lain. Padahal, kebenaran tuduhan itu tidak pernah diteliti atau diperiksa. Orang-orang seperti ini tidak mau sulit untuk menilai orang. Mereka mencari mudahnya saja untuk menuduh orang lain.

            Stereotip bisa positif, bisa pula negatif. Contohnya, perempuan sifatnya keibuan, penyayang, dan lembut, ini positif. Contoh negatif adalah orang kulit hitam itu miskin, bodoh, bar bar, terbelakang, kotor, dan tidak beradab.

            Demikian penjelasan singkat mengenai hubungan antarkelompok dalam dimensi sikap.

            Sampurasun.

 

 

Sumber Pustaka:

Wijayanti, Fitria; Rahmawati, Farida; Irawan, Hanif; Sosiologi: untuk SMA/MA Kelas XI Semester 1: Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial

Maryati, Kun; Suryawati, Juju; 2014, Sosiologi: untuk SMA dan MA Kelas XI Kurikulum 2013: Kelompok Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial, Penerbit Erlangga: Jakarta

Friday 20 November 2020

Identifikasi

 

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Salah satu faktor pendorong yang menjadi landasan psikologis terjadinya interaksi sosial adalah “identifikasi”. Identifikasi sifatnya lebih mendalam dibandingkan imitasi. Kalau imitasi hanyalah tindakan meniru orang lain yang menjadi pusat perhatiannya, tetapi tidak menyeluruh dalam segala kehidupannya. Adapun identifikasi adalah kecenderungan untuk mencontoh orang lain yang sangat diidolakan dan menginginkan menjadi sama dengan orang yang menjadi pusat perhatiannya.

            Seorang anak bisa mengidentifikasi ibunya atau ayahnya karena dipandang sebagai sosok yang sangat ideal baginya. Segala yang dilakukan ayah atau ibunya dia tiru dengan sepenuh hati. Bisa juga tokoh lain, seperti, artis, atlet, guru, ulama, dan tokoh pejabat tinggi. Seseorang akan meniru pakaian, sikap, cara bicara, cara bertindak, hingga mengupayakan kesamaan suara dan wajah terhadap tokoh yang diidentifikasinya.

            Seorang santri yang sangat mengidolakan kiyainya, berupaya menjadi sama dengan kiyainya. Ia akan menggunakan pakaian yang sama, sikap yang sama, cara bicara yang sama, dan lain sebagainya.

            Proses identifikasi bisa terjadi dengan sengaja maupun tidak sengaja. Meskipun terjadi dengan tidak sengaja, seseorang yang melakukan identifikasi harus memahami dan mengenal orang yang diidentifikasinya sedetail mungkin. Dengan demikian, ia akan menjadi semakin mirip dengan orang yang sangat diidolakannya tersebut.

            Demikian penjelasan singkat mengenai identifikasi.

            Sampurasun

 

 

Sumber Pustaka

Irawan, Hanif; Rahmawati, Farida; Febriyanto, Alfian; Muhammad Kusumantoro, Sri, Sosiologi: Untuk SMA/MA Kelas X Semester 1

Maryati, Kun; Suryawati, Juju, 2013, Sosiologi: Kelompok Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial; untuk SMA dan MA Kelas X Kurikulum 2013, Penerbit Erlangga: Jakarta

Wednesday 18 November 2020

Jangan Berlebihan

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Berlebihan itu dalam bahasa Sunda adalah “leuwih teuing”. Segala sesuatu yang berlebihan itu jelek. Dalam hal apa pun tetap jelek. Segala yang berlebihan itu berarti melewati batas yang telah ditentukan.

            Dalam hal agama pun demikian, tidak boleh melebihi batas yang telah ditentukan.

            Siapa yang menentukan batas-batas itu?

            Tidak ada yang lain yang menentukannya, kecuali Allah swt dan Rasulullah saw sendiri. Semua orang harus berpegang pada keduanya jika tidak ingin tersesat.

            Mari kita perhatikan QS Al Maidah, 5 : 77:

            “Katakanlah, ‘Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu berlebih-lebihan dengan cara tidak benar dalam agamamu. Janganlah kamu mengikuti keinginan orang-orang yang telah tersesat dahulu dan (telah) menyesatkan banyak (manusia). Mereka sendiri telah tersesat dari jalan yang lurus.”

            Itu firman Allah swt, bukan kata-kata Nabi Muhammad saw, bukan pendapat ulama, apalagi pendapat saya. Begitulah larangan dari Allah swt. Kita tidak boleh berlebihan dalam hal agama seperti umat-umat dahulu yang telah tersesat karena sikapnya yang berlebihan.

            Itu memang ayat tersebut pada saat lalu diarahkan kepada para ahli kitab, tetapi kita dapat mengambil pelajaran dari hal itu.

            Kalau bingung dengan ayat ini, tanyakan dan diskusikan dengan ulama, para ahli, dan cendekiawan muslim. Tugas merekalah untuk menerangkan ayat tersebut. Saya sangat senang mendapatkan pengetahuan dari para ahli. Kalau dari para pembaca ada yang memiliki pemahaman tentang ayat ini, saya sangat senang mengetahuinya. Saya akan sangat berterima kasih.

            Kalau kita mencintai Allah swt, perilaku kita harus sesuai dengan yang diajarkan, jangan berlebihan. Misalnya, shalat wajib itu sudah ditentukan lima waktu, selebihnya sunat. Ya sudah, harus begitu. Kalau bersikap lain, itu menjadi berlebihan, misalnya, menentukan sendiri shalat wajib itu tujuh atau sebelas waktu. Itu berlebihan. Bisa juga dengan melebih-lebihkan firman Allah swt atau bahkan menguranginya. Itu juga berlebihan.

            Contoh lain, ada sekelompok orang yang mewajibkan shalat malam sambil mematikan lampu, lalu sesudahnya membakar alat kelaminnya sendiri, baik pria maupun wanita. Hal itu dilakukan mereka untuk merasakan panasnya api neraka. Itu berlebihan.

            Kalau ditanya, apakah mereka mencintai Allah swt?

            Jawaban mereka pasti sangat mencintai Allah swt karena mereka melakukan itu atas dasar cintanya kepada Allah swt. Akan tetapi, itu berlebihan, tidak sesuai aturan dan standar. Akibatnya, mereka menjadi kelompok sesat, lalu ditangkap polisi. Ini terjadi di Indonesia beberapa tahun lalu, beritanya ada di TV.

            Cinta kepada Nabi Muhammad saw juga jangan menimbulkan perilaku berlebihan, harus sesuai dengan ajaran Muhammad saw sendiri. Tidak boleh melewati batas yang ditentukan.

            Rasul Muhammad saw tidak boleh digambarkan itu adalah batas yang ditentukan agar umat Islam tidak berlebihan berperilaku dalam mencintai Nabi saw. Mayoritas ulama sepakat untuk mengharamkan perilaku menggambar atau melukis Nabi Muhammad saw. Hal itu disebabkan umat-umat terdahulu telah menggambar para nabi, murid-muridnya, orang-orang sholeh, dan orang-orang bijaknya. Awalnya, baik-baik saja. Generasi pertama sepeninggal para nabi itu menggunakan lukisan-lukisan itu untuk mengingatkan keluhuran, kemuliaan, dan keshalehan orang-orang suci itu. Akan tetapi, setelah berganti generasi, terjadi penyimpangan akidah. Mereka mulai sangat menghormati dan mensucikan gambar-gambar itu hingga akhirnya menyembah lukisan-lukisan itu. Itulah yang namanya berlebihan. Peristiwa-peristiwa itulah yang menyebabkan para ulama mengharamkan Nabi Muhammad saw untuk digambarkan. Para ulama sangat khawatir akidah umat menyimpang karena sangat cinta kepada Rasulullah saw melebihi cintanya kepada manusia, nabi lain, bahkan malaikat sekalipun. Karena cinta umat yang sangat tinggi itu dikhawatirkan umat akan berperilaku seperti umat yang terdahulu, yaitu menyembah lukisan Nabi Muhammad saw.

            Hal itu pun dikuatkan oleh peristiwa ketika Nabi Muhammad saw sakit, para istri beliau membicarakan gereja yang di dalamnya ada patung-patung orang-orang sucinya, seperti, Nabi Isa as, Siti Maryam, dll.. Mendengar hal itu, Nabi saw menjelaskan bahwa baik para isterinya maupun kaum muslimin untuk tidak berlebihan dalam mencintai dirinya. Maksudnya, meskipun sangat mencintai Nabi saw, kita tidak boleh membuat patung dirinya, apalagi di dalam masjid. Itulah batas perilaku kita dalam mencintai Nabi Muhammad saw.

            Meskipun sangat cinta, kita tidak boleh membuat patung dan gambar Nabi saw. Beliau sendiri yang membatasinya. Meskipun bagus dan indah manusia bisa membuat patung dan lukisan Nabi Muhammad saw, bagi mayoritas ulama, itu adalah berlebihan. Bagus dan indah saja tidak boleh, apalagi jelek.

            Itu bagi mayoritas ulama, bagi ulama yang lainnya, tidak begitu. Mereka membolehkan gambar dan lukisan Nabi Muhammad saw dibuat dan dipajang. Saya sendiri beberapa kali melihat lukisan itu. Banyak sekali dan rupa-rupa gambarnya. Ada yang masih kecil, masih remaja, serta dewasa dan matang. Akan tetapi, saya tidak melihat para pemilik lukisan itu menyembahnya, biasa saja. Akan tetapi, itu minoritas. Kalau dibagikan ke khalayak ramai, khawatir orang-orang akan menyembahnya seperti waktu lalu.

            Semua lukisan itu bagus, indah meskipun beda-beda, dinyatakan bahwa itu lukisan Nabi Muhammad saw. Kalau karikatur Nabi saw, banyak dibuat para ateis dan selalu buruk.

            Begitulah sikap-sikap berlebihan yang harus dihindari dari rasa cinta. Itu terjadi pada masa yang lalu.

            Pada masa sekarang, saya melihatnya lebih pada fanatisme organisasi. Mungkin ada ratusan, bahkan ribuan kelompok di kalangan kaum muslimin yang bersikap berlebihan ini. Mereka menganggap bahwa golongannyalah, kelompoknyalah yang paling benar, pemimpinnyalah yang paling suci. Kelompok yang berada di luar mereka, salah. Hampir tidak ada ayat-ayat Al Quran maupun hadits yang keluar dari mulut mereka, kecuali sedikit. Kalaupun ada, kebanyakan tentang perang. Hal yang banyak diucapkan mereka adalah kata-kata para pemimpinnya saja. Mereka berbanga-bangga dengan kelompoknya dan cenderung kasar, bahkan ekstrim. Jika punya senjata, mereka bisa menjadi pengacau. Ini sudah terjadi, pertarungan senjata di antara kelompok-kelompok itu sering sekali terjadi. Kita masih ingat ada pembunuhan ulama di Suriah yang dilakukan oleh kelompok Islam tertentu. Di Timur Tengah dan juga beberapa bagian dunia lain, kelompok-kelompok berlebihan ini bertebaran dan mengacaukan situasi.

            Jika ditanyakan kepada mereka apakah mereka mencintai Allah swt dan Rasulullah Muhammad saw?

            Jawabannya, pasti sangat mencintai. Akan tetapi, rasa cinta mereka itu diwujudkan dengan perilaku yang sangat berlebihan.

            Jangan berlebihan dalam hal apa pun jika kita tidak ingin hidup tersesat. Soal rasa cinta boleh seluas samudera dan setinggi langit, bahkan harus menembus lautan dan angkasa, tetapi dalam mewujudkannya harus ada dalam koridor perilaku-perilaku yang sesuai dengan Al Quran dan hadits.

            Sampurasun