Tuesday 31 December 2019

Gimana Nasib Anies Baswedan?

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Judul ini mah nanya, bener nanya, bukan mengkritik. Nanya, sumpah.

            Akan tetapi, sebelum ke pertanyaan, saya pengen ceritera dulu. Banyak status di Medsos hari ini, 31 Desember 2019, yang bersyukur dan berharap, malah berdoa agar hujan terus turun. Banyak juga yang berharap malah bersiap-siap bisa liburan dengan memanfaatkan momen malam tahun baru. Pastinya, mereka ini berharap hari tidak hujan. Kalau saya, tidak ada bedanya, mau hujan atau tidak, jika memungkinkan, saya pergi ke luar. Saya ini kan penulis dan masih punya kartu pers yang berlaku. Saya bisa ceriterakan suasana tahun baru di tempat-tempat yang saya kunjungi, baik sisi positifnya maupun negatifnya. Bahkan, saya bisa ceriterakan ketika terjadi teror bom di bawah mobil “tvOne” di depan pendopo walikota Bandung ketika masih zaman Ridwan Kamil. Saya ada di tempat itu.

            Kembali ke pertanyaan judul. Beberapa hari terakhir ini Medsos banyak diisi oleh tulisan atau status tentang tidak bolehnya merayakan tahun baru. Ada yang menyatakan haram, kafir, murtad, bahkan harus syahadat lagi jika merayakan tahun baru masehi. Akan tetapi, beberapa hari terakhir pula, tepatnya mulai 21 Desember 2019 muncul berita bahwa Provinsi DKI Jakarta berbenah dan mempersiapkan diri untuk menyambut pergantian tahun baru 2019 ke 2020. Gubernur DKI itu jelas Anies Baswedan.

            Kalau rakyat biasa merayakan tahun baru dicap haram, kafir, atau murtad, bagaimana dengan Anies Baswedan?

            Gubernur Indonesia, Pujaan Umat, Goodbener Anies Baswedan itu memfasilitasi malam tahun baru dengan hadirnya beberapa titik panggung hiburan, seperti, di Jln. Thamrin, Jln. Sudirman, dan Bundaran HI. Di samping itu, diadakan pula pesta kembang api yang megah.

            Bisakah dikatakan bahwa Gubernur DKI itu memfasilitasi dan memberikan ruang kepada rakyat untuk melakukan kegiatan yang haram sehingga menjadi kafir atau murtad?

            Kasihan sekali dia kalau begitu.

            Bagi saya, Anies adalah orang cerdas.

            Bagi saya, malam tahun baru itu hanya sebuah momen. Berdosa atau tidaknya kita di malam itu bergantung bagaimana kita mengisinya. Jika kegiatan kita positif, ya bagus dan berpahala. Jika negatif, ya jadi buruk dan berdosa. Kita bisa berada di masjid, tausiyah, berdoa, berdzikir, dan lain sebagainya. Bisa pula mengadakan kegiatan positif di tempat orang ramai, misalnya, pada tahun-tahun lalu para mahasiswa ITB unjuk kebolehan di sepanjang Jl. Braga, Bandung dengan berbagai karya; warga Jl. Braga mengisahkan sejarah, perkembangan, dan masalah Jl. Braga melalui bioskop gratis di dalam bus; para seniman Sunda memperkenalkan seni Sunda yang hampir punah pada anak-anak muda.

            Siapa bilang itu jelek?

            Positif-negatif, bukan karena momen, melainkan perilaku kita sendiri.

            Sampurasun.

Monday 30 December 2019

Memelihara Hoax

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Kita tahu bahwa hoax itu adalah berita bohong atau informasi palsu. Sesungguhnya, hoax selalu terjadi dari zaman ke zaman. Pada akhir-akhir ini hoax bisa kita lihat ikut mempengaruhi situasi sosial-politik dunia. Pertarungan Donald Trump Vs Hillary Clinton di AS melibatkan hoax yang masih tersisa urusannya hingga kini. Pemilihan walikota London, Inggris pun menggunakan hoax yang luar biasa karena calon walikotanya ada yang berasal dari kalangan muslim. Bahkan, orang Islam ini yang kemudian terpilih, namanya Sadiq Khan. Di samping itu, fenomena Britain Exit (Brexit) pun meningkatkan hoax hingga ke angka 500%. Hal ini disebabkan persoalan ekonomi yang membuat warga Inggris sendiri “terkalahkan” oleh warga pendatang, banyak lapangan pekerjaan dan bisnis dikuasai bukan oleh warga asli Inggris. Demikian pula di Indonesia, hoax digunakan dalam perhelatan-perhelatan politik, situasi pemililhan, baik Pilkada, Pileg, maupun Pilpres. Dalam Pilpres 2019, masyarakat Indonesia tersedot energinya secara luar biasa dengan banyaknya hoax yang beredar.

            Kini Pilpres RI sudah selesai, tetapi hoax tetap menghiasi ruang media sosial, bahkan terjadi pula di dunia nyata. Jokowi (01) sudah menang dan Prabowo (02) sudah bergabung menambah kekuatan politik Jokowi hingga 76%. Tak perlu ada lagi persaingan. Bahkan, Jokowi bukan lagi saingan untuk Pilpres 2024, tetapi hoax tetap berseliweran.

            Mengapa hoax terus dipelihara?

            Paling tidak, ada sedikit pencerahan dari Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Anita Wahid yang menjelaskan bahwa “hoax yang beredar sekarang bukan lagi terkait Pilpres, melainkan memelihara kebencian yang sudah tertanam di masyarakat”. Penjelasan itu memerlukan penjelasan tambahan, sayangnya Anita Wahid belum menjelaskannya sehingga membuat kita harus mencoba menjelaskan sendiri.

            Para pembuat dan penyebar hoax memang sengaja memelihara kebencian tersebut agar dirinya tetap eksis dan tidak kehilangan perhatian dari masyarakat yang telah ditipunya. Banyak masyarakat Indonesia yang mudah percaya tanpa periksa, tanpa tabayun, check and recheck, atau fact checking sehingga mudah ditipu. Masyarakat yang seperti inilah “langganan utama” dari para “pemelihara kebencian”.

            Jika tidak menyebarkan hoax, mereka akan dilupakan dan hilang dari peredaran. Oleh sebab itu, mereka membuat hoax-hoax baru atau ujaran kebencian agar tetap eksis. Dengan demikian, masyarakat yang mudah ditipunya dapat digiring untuk memperoleh posisi politik dan mengumpulkan sejumlah uang untuk kepentingan pribadi-pribadinya.

            Tugas orang-orang sadar, tulus, dan cinta harmonilah yang harus memerangi hoax, ujaran kebencian, dan perpecahan. Allah swt sangat mencintai kebenaran, kedamaian, cinta, dan kasih sayang.

            Beberapa tulisan saya yang lalu, ada yang berisi tentang bagaimana cara menentukan kebenaran suatu informasi. Orang lain pun banyak yang menulis hal yang sama. Insyaallah, tulisan-tulisan berikutnya menyinggung-nyinggung juga cara supaya kita tidak menjadi korban hoax.

            Sampurasun.

Sunday 29 December 2019

Merindukan Susi Pudjiastuti


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Siapa yang tidak kenal Susi Pudjiastuti, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan RI yang dikenal dengan kata “Tenggelamkan!”?

            Kata itu digunakan untuk memerintahkan jajarannya menghukum para pencuri ikan di kawasan Indonesia dengan cara menenggelamkan perahu-perahunya. Ketegasannya itu membuatnya terkenal ke seluruh dunia sekaligus membuat ciut nyali para pencuri ikan serta negara asal para pencuri itu. Tak kurang Negara Cina yang besar itu pun terpaksa “mengalah” ketika terjadi ribut penangkapan nelayan Cina yang mencuri ikan di kawasan Natuna yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan. Cina sempat menghardik Indonesia karena menganggap wilayah itu miliknya, tetapi Susi pun melawannya dengan keras. Akhirnya, Cina mengatakan tidak berkeberatan jika kawasan laut tempat terjadinya penangkapan itu diklaim Indonesia sebagai wilayahnya.

            Untuk mengamankan kawasan Natuna, Susi melengkapinya dengan perahu dan pasukan laut yang bersenjata. Ini soal kedaulatan negara dan kesejahteraan nelayan Indonesia. Dengan berbagai tindakannya, untuk beberapa lama, di kawasan Natuna tidak lagi terdengar pencurian ikan. Itu artinya, kedaulatan negara terjaga dan kesempatan nelayan Indonesia untuk lebih menyejahterakan dirinya semakin terbuka lebar, bebas dari pencurian.

            Pagi hari ini saya menonton berita dari Metro TV yang memaparkan bahwa pencurian ikan mulai marak lagi di kawasan Natuna. Kapal-kapal laut pencuri ikan yang sempat direkam oleh nelayan Indonesia adalah berasal dari Cina dan Vietnam. Bahkan, pencuri dari Cina itu dikawal Coast Guard Cina. Para nelayan itu sudah lapor pada aparat keamanan laut, tetapi belum ada tindakan yang diharapkan. Ini sungguh mengherankan. Ketika menteri kelautan dan perikanan diganti oleh Edhy Prabowo yang berasal dari Partai Gerindra, partainya Prabowo yang ahli keamanan itu, kawasan Natuna kembali marak pencurian ikan.

            Apakah ada hubungan antara pergantian menteri dari Susi Pudjiastuti ke Edhy Prabowo dengan maraknya kembali pencurian ikan?

            Kita belum tahu.

            Kita memang belum bisa menyalahkan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Edhy Prabowo karena yang namanya pencuri itu selalu mencari jalan untuk mencuri. Seketat apapun keamanan rumah, kawasan, atau negara, pencuri pikirannya selalu mencari celah untuk mencuri. Paling tidak, ini adalah tantangan bagi Edhy Prabowo untuk mengatasinya sebaik Susi Pudjiastuti, bahkan lebih baik lagi. Presiden Jokowi sudah memberikan kepercayaan kepadanya, Edhy harus membuktikan bahwa kepercayaan yang diberikan itu memang layak diembankan kepada dirinya.

            Yang jelas, saya mulai merindukan lagi Susi Pudjiastuti dengan perintahnya, “Tenggelamkan!”

            Sampurasun.

Saturday 28 December 2019

Indonesia, Ummatan Wasathan


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Pembahasan mengenai “ummatan wasathan” sudah dilakukan banyak orang. Ummatan wasathan diartikan sebagai “umat penengah, umat pertengahan, umat yang adil,  dan umat paling utama”. Banyak orang menulis pemahaman ini dari berbagai sudut pandang. Ada yang melihat dari sisi ibadat, akhlak, ketuhanan, kemanusiaan, ekonomi, dan spiritual.

            Kalimat ummatan wasathan sendiri ada dalam QS Al Baqarah, 2 : 143.

            “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ‘ummat pertengahan’ agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu ….”

            Begitu hasil terjemahan Dr. Ahmad Hatta, M.A..

            Jika kita memperhatikan Indonesia dan hubungannya dengan negara-negara asing, Allah swt sudah menggiring Indonesia menjadi ummatan wasathan. Tampaknya, Allah swt memberikan ilham kepada para founding fathers untuk berada di tengah-tengah dunia. Hal itu bisa dilihat dari politik luar negeri Indonesia yang “bebas dan aktif”, ‘bebas dari tekanan negara mana pun dan aktif mendamaikan dunia’. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak mau ditarik-tarik oleh dua kekuatan besar dunia, yaitu kapitalis dan komunis. Indonesia berada di tengah-tengah keduanya. Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia adalah penggagas gerakan nonblok yang utama. Tidak berpihak pada blok kapitalis dan tidak berpihak pada blok komunis, tetapi aktif meningkatkan harga diri bangsa-bangsa terjajah sekaligus aktif dalam perdamaian dunia. Monumennya ada di Bandung, Jawa Barat. Ada Gedung Merdeka, Jln. Asia Afrika, Hotel Homman, Jln. Hofman, Braga, Dasasila Bandung, dan sebagainya.

            Dasar pemikiran untuk bertindak bagi bangsa Indonesia, tentu saja Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya memuat Pancasila. Jadi, dasar tindakan kita bukanlah ideologi kapitalis maupun komunis, melainkan Pancasila.

            Sampai sekarang pun Indonesia tetap di tengah-tengah. Indonesia bisa bersahabat dengan negara-negara kapitalis, bisa bersahabat pula dengan negara-negara komunis. Kedutaan Besar mereka ada di Jakarta. Jika duta besarnya ada di Jakarta, berarti mereka sahabat. Dengan Israel tidak bersahabat, duta besarnya tidak ada di Jakarta, duta besar Indonesia pun tidak ada di Tel Aviv. Meskipun demikian, Indonesia tidak segan-segan bersuara di tingkat internasional jika ada perilaku internasional yang dipandang melanggar nilai-nilai yang kita anut secara universal.

            Itu dilihat dari segi nilai-nilai, dasar pemikiran, dan dasar bernegara. Dalam praktiknya,  untuk menjadi ummatan wasathan, sulitnya luar biasa. Hal itu bisa dilihat dari seluruh presiden di Indonesia sejak Soekarno hingga saat ini. Setiap presiden mempunyai kecenderungan/kemiringan sendiri. Terkadang miring ke kapitalis, terkadang pula ke komunis. Akan tetapi, mereka tidak pernah hendak menjadikan Indonesia sebagai kapitalis ataupun komunis. Mereka miring-miring saja karena kondisi dan situasi memaksa mereka untuk melakukan itu demi keselamatan Indonesia sendiri. Bedanya, ada yang miringnya sedikit, ada yang banyak sekali, tetapi pada dasarnya selalu kembali ke tengah. Kesulitan itu karena Indonesia sendiri masih memiliki banyak kelemahan.

            Dalam dunia olah raga, kita mengenal istilah “wasit” yang artinya sama, yaitu “pihak yang harus berada di tengah”, tidak pro ke kanan dan tidak pro ke kiri. Dia harus adil, berada di tengah. Oleh sebab itu, wasit diberi kekuasaan yang besar untuk memberikan “hukuman” kepada mereka yang melanggar aturan. Itulah bedanya dengan Indonesia. Dalam posisi, pikiran, dan jiwa Indonesia berada di tengah dunia, ‘wasathan’, tetapi tidak memiliki kekuasaan yang besar untuk bertindak sebagai wasit, ‘penengah’. Hal itu disebabkan Indonesia masih lemah secara ekonomi, militer, pendidikan, dan teknologi.

            Allah swt menggiring kita ke posisi ummatan wasathan, tinggal kitanya yang harus meningkatkan kualitas diri, keluarga, dan masyarakat dengan berbagai hal yang positif sehingga bermanfaat bagi manusia. Jika kita menjadi manusia-manusia yang berkualitas unggul, otomatis, insyaallah, kita menjadi ummatan wasathan yang sangat dihormati dan berpengaruh di dunia. Dengan itulah, kita akan mempersembahkan amal baik kita ke hadapan Allah swt di akhirat kelak karena telah berperan serta dalam perdamaian dunia dan keadilan manusia dengan kekuatan yang luar biasa, “rahmatan lil alamin”.

            Sampurasun.

Friday 27 December 2019

Berkaca dari Hudaibiyyah

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Perjanjian Hudaibiyyah dapat dikategorikan sebagai perjanjian internasional, perjanjian antara dua kekuasaan yang berbeda, yaitu antara Madinah yang dikuasai kaum muslimin dengan Mekah yang dikuasai kaum kafir.  Perjanjian itu mirip gencatan senjata untuk tidak saling membunuh, berperang. Kisah Perjanjian Hudaibiyyah sangat panjang, bisa dipelajari dari berbagai buku.

            Saya hanya menyoroti salah satu isi perjanjian tersebut yang menyebutkan bahwa “jika penduduk Mekah ke Madinah tanpa seizin walinya, harus dikembalikan ke Mekah, tetapi jika penduduk Madinah ke Mekah, tidak boleh dikembalikan ke Madinah.”

            Sedari awal, perjanjian ini tampak merugikan kaum muslim, bahkan para sahabat Nabi saw pun banyak yang protes dan kecewa kepada Muhammad saw. Dilihat dari penambahan jumlah orang, jelas kaum muslim mendapatkan kerugian karena jika datang ke Mekah, tidak boleh pulang ke Madinah. Sebaliknya, orang Mekah jika ke Madinah, harus dikembalikan ke Mekah. Kekecewaan kaum muslim terus berlanjut pada tahun-tahun awal pelaksanaan perjanjian itu.

            Beberapa sahabat Nabi saw dengan lugas protes kepada Nabi saw, “Apakah engkau akan membiarkan aku hidup bersama orang-orang kafir itu dengan perilaku mereka yang seperti itu?”

            Ucapan-ucapan semacam itu kerap sampai langsung kepada Nabi saw. Akan tetapi, Muhammad saw tetap mengharuskan mereka untuk kembali ke Mekah. Nabi Muhammad saw adalah orang yang selalu menepati janji dan tidak akan melanggar ucapannya sendiri. Oleh sebab itu, banyak kaum muslim yang pulang ke Mekah dengan tulus ikhlas, tetapi banyak pula yang pulang disertai rasa kesal dan kecewa. Bahkan, tidak sedikit yang pulang, tetapi tidak sampai ke Mekah. Mereka memilih hidup berada di tengah-tengah antara Mekah dan Madinah. Mereka tidak mau hidup bersama orang kafir di Mekah, tetapi mereka pun tidak bisa hidup di Madinah karena Nabi saw pasti mengusirnya.

            Kejadian-kejadian selanjutnya Islam semakin berkembang dan bertahap mencapai kemenangannya. Itulah buah dari konsistennya Nabi saw dalam mematuhi perjanjian internasional. Nabi saw kuat memegang janji hingga orang kafir sendiri yang melanggarnya yang membuat perjanjian itu sendiri batal dan kaum muslim akhirnya bisa menguasai Mekah, Kabah.

            Berkaca dari hal itu, umat Islam Indonesia pun harus mematuhi berbagai perjanjian yang dibuat, baik yang tertulis maupun yang terucap dalam pergaulan internasional. Salah satunya, memegang kuat janji untuk tidak ikut campur atau intervensi urusan negara lain. Itu prinsip yang diajarkan Muhammad saw. Dengan demikian, kita bisa tetap terhormat dan aman dari gangguan negara lain karena kita terlebih dahulu menghormat negara lain, insyaallah.

            Terkait etnis Uighur, Indonesia harus kukuh untuk tidak merecoki Cina. Hal itu disebabkan pertama, etnis Uighur hidup di Xinjiang yang merupakan wilayah Cina. Kedua, tidak ada pembantaian dan penyiksaan, tetapi pengaturan dan pendisiplinan warga Negara Cina, khususnya sebagian kecil dari etnis Uighur. Ketiga, kalaupun terjadi masalah, Indonesia dapat menggunakan diplomasi lunak (nasihat/masukan) sebagai negara sahabat agar situasi lebih kondusif karena masalah yang terjadi di negara-negara sahabat sedikit banyak akan merugikan dirinya sendiri dan mungkin mengganggu kerja sama yang sedang berlangsung untuk kepentingan bangsa Indonesia.

            Sampurasun.

Thursday 26 December 2019

Perang Dagang AS dan Cina


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Pembuat gara-gara perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Cina adalah Donald Trump, Presiden AS sendiri. Pada 22 Maret 2018, dia berkehendak memberlakukan bea masuk yang tinggi untuk barang-barang dari Cina. Di samping itu, Trump pun mengampanyekan bahwa Cina melakukan “praktik dagang yang tidak adil” dan “melakukan pencurian kekayaan intelektual”. Oleh sebab itu, Cina melakukan pembalasan dengan menerapkan bea masuk yang tinggi pula untuk 128 produk dari AS.

            Perang dagang ini bukan hanya mengganggu perdagangan kedua negara tersebut, melainkan pula membuat lambat perkembangan ekonomi dunia dan pengaruhnya pun dirasakan oleh Indonesia. Untuk penjelasan hal ini, perlu ahli ekonomi dengan perhitungan-perhitungan yang cukup rumit. Saya hanya mencoba menjelaskan sangat sedikit dari sisi sosial yang berpengaruh pada Indonesia.

            Sampai hari ini alasan yang dikemukakan Donald Trump tentang Cina melakukan “praktik dagang yang tidak adil” dan “melakukan pencurian kekayaan intelektual” sangat tidak jelas.

            Praktik dagang yang bagaimana yang dilakukan Cina?

            Kekayaan intelektual mana yang dicuri oleh Cina?

            Kalaulah Cina memproduksi barang-barang yang mirip “barang awal”, sudah bukan rahasia lagi. Di Indonesia pun Cina membuat barang-barang yang mirip “barang awal” dengan kualitas yang lebih rendah dan harga lebih murah, seperti, sepatu, kompor, pemantik api, alat rumah tangga, alat tulis kantor, ataupun kendaraan bermotor. Bahkan, Cina mampu mengumpulkan bekas kondom untuk dibuat menjadi mainan bayi atau anak-anak dengan harga yang teramat murah dan anak-anak kita pun suka membelinya, ada yang harganya seribuan, malah lima ratusan.

            Itu kah yang disebut pencurian kekayaan intelektual?

            Hal yang jelas adalah Amerika Serikat mulai khawatir terhadap perkembangan pesatnya ekonomi Cina yang bisa menyainginya. Hampir semua peneliti berpendapat seperti ini. Oleh sebab itu, kampanye anti-Cina pun dilancarkan.

            Paling tidak, Michael Ivanovitch, seorang analis independen yang berfokus pada ekonomi dunia, geopolitik, dan strategi investasi mengatakan bahwa kampanye anti-Cina memang berkembang, "AS akan disarankan untuk membuat kesepakatan perdagangan yang cepat dengan Cina dan untuk mengurangi retorika anti-Cina yang serampangan dan kontraproduktif."

            Pernyataannya itu menunjukkan bahwa memang ada retorika anti-Cina untuk memenangkan AS dalam perang dagang. Akan tetapi, masih menurutnya, retorika anti-Cina itu kontraproduktif, sama sekali tidak menguntungkan.

            Akan tetapi, para buzzer anti-Cina ini tampaknya asyik dengan retorikanya hingga menggunakan etnis Uighur sebagai “barang dagangan” untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Saking asyiknya, berita ini masuk ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Harapan besarnya, perkembangan ekonomi Cina bisa melambat atau bahkan hancur. Di samping itu, kecil-kecilannya, kampanye anti-Cina pun dapat menguntungkan pribadi-pribadi atau kelompok secara ekonomi dengan mengumpulkan uang recehan.

            So, kampanye anti-Cina ini tampak sekali bukan urusan kemanusiaan ataupun urusan keagamaan, melainkan urusan perang dagang, urusan ekonomi, urusan UUD: “Ujung-Ujungnya Duit”.

            Sampurasun.

Wednesday 25 December 2019

Enemy of My Enemy is My Friend



oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Musuh dari musuhku adalah temanku. Begitu arti dari judul tulisan ini. Hal ini sudah menjadi fenomena kehidupan dari zaman ke zaman, baik dalam kehidupan individu, sosial, bertetangga, kenegaraan, maupun hubungan internasional. Jika seseorang mempunyai musuh, lalu musuhnya itu mempunyai musuh, pihak yang memusuhi musuhnya itu biasanya menjadi temannya. Kalau saling kenal dengan pihak yang memusuhi musuhnya, biasanya terjadi koalisi. Kalaupun tidak saling kenal, tetap saling mendukung dalam menjatuhkan musuh yang sama. Meskipun pertemanan itu tidak masuk akal, mereka tetap saling mendukung.

            Jika melihat hubungan internasional saat ini, khususnya mengenai Uighur, Xinjiang, Cina, pemeo “enemy of my enemy is my friend” ini sangat terlihat. Ketika saat ini terjadi perang dagang antara Amerika Serikat dengan Cina, kemudian “Wall Street Journal” menurunkan berita tentang pelanggaran Ham di Xinjiang, Cina, ramai-ramai negara barat kapitalis mendukung berita itu dan berdiri bersama Amerika Serikat. Hal itu disebabkan Cina adalah musuh mereka bersama dalam hal ekonomi. Lejitan ekonomi Cina di Asia dan dunia yang luar biasa mengkhawatirkan posisi negara-negara itu yang biasanya berada di atas angin. Bagi mereka, Cina harus jatuh.

            Demikan pula Hongkong yang ikut demonstrasi mengecam pemerintah pusat Cina terkait Uighur. Hongkong ikut menentang Cina karena memang bermusuhan dengan Beijing terkait isu RUU Ekstradisi. Ketika Hongkong berdemonstrasi tentang RUU itu, Amerika Serikat mengeluarkan pernyataan tentang kekhawatirannya atas apa yang terjadi antara polisi dengan demonstran Hongkong. Oleh sebab itu, Hongkong pun ikut-ikutan “berteman” dengan barat kapitalis menentang Cina.

            Hal yang sama pun terjadi di Indonesia. Mereka yang masih belum mampu “move on” dari Pilpres RI April 2019, masih memusuhi Jokowi atau seluruh pendukung 01. Berita dari Wall Street Journal segera dipercaya dan dijadikan amunisi untuk menyerang Jokowi dan jajarannya karena memang pemerintahan Jokowi sedang “mesra” membangun kerja sama dengan Cina.

            Meskipun biasanya menentang barat-kapitalis karena dianggap bertentangan dengan Islam,  mereka tidak melihat itu, tutup mata, karena berita Uighur itu menguatkan mereka untuk menjatuhkan martabat Cina sekaligus menghancurkan kredibilitas Jokowi dalam memimpin masyarakat muslim terbesar di dunia. Jokowi dianggap tidak mempedulikan keinginan umat Islam Indonesia dalam membela kepentingan umat Islam Uighur. Pendek kata, Jokowi diupayakan tergambar sebagai tidak pro Islam. Bahkan, anti-Islam, islamophobia. Siapa pun yang memusuhi Cina adalah teman mereka karena Cina adalah teman Jokowi.

            Begitulah. Musuh dari musuhku adalah temanku.

            Sampurasun.

Jangan Ikut Campur!


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Ingat ketika Menteri Luar Negeri RI menghardik, “Jangan ikut campur!”

            Menlu RI Retno Marsudi menghardik beberapa negara di Kawasan Asia Pasifik yang mengampanyekan bahwa Indonesia melakukan pelanggaran hak azasi manusia di Wamena, Papua. Wamena adalah bagian dari Indonesia dan dikuasai penuh oleh Indonesia. Masalah Wamena adalah masalah Indonesia. Hak dan kewajiban Indonesia untuk mendisiplinkan warganya sendiri, memadamkan huru-hara, dan meningkatkan taraf hidup warganya. Negara lain tak boleh ikut campur. Meskipun di luar negeri beredar isu-isu pelanggaran Ham oleh Indonesia terhadap Wamena, pasukan TNI dan Polri pasti menghantam negara mana pun yang datang ke Wamena jika datang tanpa rasa hormat dengan tujuan merecoki di Wamena.

            Ketegasan Indonesia tentang wilayahnya itu membuat tak ada satu pun negara lain yang berani datang menantang secara militer. Hal itu disebabkan di samping harus menghormati kedaulatan Negara Indonesia, juga cost untuk bertikai dengan Indonesia sangatlah mahal.

            Akan tetapi, Indonesia pun membuka diri untuk siapa pun agar datang ke Wamena dan melihat secara langsung kondisi yang terjadi. Tak ada pelanggaran Ham yang dilakukan negara, tetapi hanya tindakan-tindakan kriminal yang dilakukan  para teroris untuk membuat ketakutan dan huru-hara di tengah masyarakat.

            Hal yang mirip pun terjadi di Xinjiang, Cina. Dalam etika internasional saat ini, tidak boleh ada satu negara pun yang ikut campur urusan dalam negeri suatu negara berdaulat. Setiap negara berhak dan wajib mengatur dan mengurus warganya sendiri. Kalau ikut campur, ketegangan meningkat, berbagai kerja sama bisa putus dan merugikan, bahkan bisa terjadi perang. Cina berkali-kali bersuara keras pada negara-negara Barat yang dianggap mendistorsi kenyataan yang terjadi dan sudah pasti siap mengamankan wilayahnya dari ikut campurnya negara lain. Hasilnya, hingga hari ini tak ada satu negara pun yang berani datang untuk bikin keributan, kecuali bikin isu-isu di luar Negara Cina.

            Meskipun demikian, Cina pun berkali-kali mempersilakan untuk siapa pun datang ke Xinjiang dan melihat sendiri kenyataan yang ada. Bagi Cina, tak ada penyiksaan dan pembantaian, tetapi pusat pendidikan vokasi untuk meredam aksi-aksi Uighur yang dianggap menganggu keamanan Negara Cina.

            Indonesia, baik pemerintah, masyarakat, maupun Ormas-Ormas yang melihat situasi lebih komprehensif, sudah bagus bersikap. Diplomasi lunak dijalankan dengan menegaskan bahwa soal mengatur warga Uighur adalah hak dan kewajiban Cina, Indonesia tidak akan ikut campur. Akan tetapi, untuk urusan ibadat, Cina didorong agar memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada warga Uighur.

            Hanya itu yang bisa dan mungkin dilakukan Indonesia dalam menyikapi permasalahan Uighur saat ini. Tidak bisa melakukan intervensi apalagi mengerahkan kekuatan militer berhadapan dengan Cina. Negara-negara Barat saja tidak ada yang berani, masa Indonesia mau sok jago.

            Apa untungnya bagi rakyat Indonesia jika mengerahkan militer atau mengintervensi Cina soal Uighur?

            Tidak perlu ikut campur urusan negara lain saat ini. Kalaupun mau, gunakan “moral force” untuk mengingatkan jika memang terjadi pembatasan-pembatasan atas hak individu, terutama  dalam melaksanakan ibadat.

            Sampurasun.

Tuesday 24 December 2019

Museum Rasulullah


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Pagi tadi saya buka Grup WA Bas Tour yang anggotanya jamaah umroh bareng saya. Salah seorang teman membagikan berita dari www.liputan6.com tentang terpilihnya Indonesia menjadi lokasi pertama pembangunan Museum Rasulullah di luar Negara Arab Saudi. Sementara itu, negara lain masih berusaha untuk mendapatkan kesempatan tersebut.

            Dari tanggal berita tersebut, tertulis bahwa keterangannya mulai ada pada 24 Desember 2019. Artinya, saya telat satu hari membacanya. Mungkin orang lain sudah lebih dulu tahu. It’s Ok.

            Setelah membaca berita tersebut, langsung teringat pengalaman spiritual ketika saya berdoa dan shalat di samping timur dinding ruangan makam Rasulullah Muhammad saw, Medinah. Sungguh, pengalaman emosional luar biasa yang tidak bisa diungkapkan sempurna dengan kata-kata. Untuk mengucapkan terima kasih kepada Nabi Muhammad saw saja sulitnya minta ampun, tercekat dalam tangis haru. Perlu beberapa waktu untuk mengendalikan diri hingga lancar berkata-kata lagi.

            Sekarang, Indonesia diberikan kesempatan untuk menjadi lokasi pertama pembangunan Museum Rasulullah. Itu artinya masyarakat Indonesia dapat secara langsung lebih dekat mengenal Rasulullah dan mendapatkan pengalaman emosional tersendiri terkait Rasulullah. Kita tidak perlu jauh-jauh untuk melihat benda-benda milik Nabi Muhammad saw. Naskah-naskah, manuskrip, benda-benda peninggalan Muhammad saw yang selama tiga belas tahun dikumpulkan dari berbagai belahan dunia akan disimpan sebagian di Indonesia.

            Bagi para pecinta Nabi Muhammad saw, ini merupakan kebahagiaan tersendiri. Kita bisa lihat contohnya bahwa “selembar rambut Nabi Muhammad saw” saja yang dihadiahkan untuk Indonesia, umat berbondong-bondong datang, berdoa, berdzikir, bersyukur, terharu, dan mendorong umat untuk lebih baik lagi beriman dan berislam. Demikian pula ketika “satu mangkuk tembaga” yang digunakan oleh Nabi Muhammad saw untuk makan, minum, termasuk mengambil air wudhu diarak di jalanan utama Negara Cechnya. Jutaan orang berdiri di pinggir jalan untuk menyambut mangkuk itu hingga diserahkan kepada Imam Besar Cechnya untuk disimpan. Sebelum disimpan, pejabat dan para imam di Cechnya menciumi mangkuk tersebut sambil menangis. Hal-hal seperti itu terjadi karena kerinduan dan kecintaan kepada Muhammad saw hingga seolah-olah Sang Nabi ada bersama mereka.

            Itu baru satu benda. Bayangkan jika ada puluhan atau ratusan benda yang disimpan di museum Indonesia, betapa bahagianya para pecinta Nabi saw di Indonesia. Apa pun yang terkait Rasulullah Muhammad saw selalu berkesan di hati para pecintanya.

            Terpilihnya Indonesia menjadi negara pertama di luar Arab Saudi untuk membangun Museum Rasulullah disebabkan Indonesia lebih serius dibandingkan negara lain dalam menginginkannya. Hal itu ditandai dengan sudah disiapkannya oleh Indonesia lahan pembangunan Museum Rasulullah di Cimanggis, Depok, Jawa Barat.

            Lembaga Muslim Dunia dan Tim Pembangunan Museum Rasulullah yang membiayai pembangunan tersebut menginginkan secepatnya Indonesia bekerja untuk mewujudkannya. Semakin serius kita, semakin cepat terealisasi museum tersebut. Itu artinya, pemerintah, Ormas Islam, para pengusaha, dan masyarakat harus konsentrasi bahu-membahu bekerja sama-sama. Semua orang, apa pun pangkatnya, dapat menyumbangkan apa saja yang positif, misalnya, tenaga, pikiran, ketertiban, ketenangan, kecerdasan, waktu, termasuk dana; paling tidak, kita bisa berdoa agar upaya positif ini bisa terlaksana dengan lancar.

            Jika kita serius, museum ini bermanfaat bukan hanya untuk rakyat Indonesia, melainkan pula untuk masyarakat dunia. Orang-orang dari berbagai belahan dunia akan berdatangan lebih banyak ke Indonesia untuk mengunjungi museum tersebut. Jika Indonesia tidak serius ditambah tidak aman dengan suasana tidak tenang, bisa-bisa pembangunan dialihkan ke negara lain. Itu tidak boleh terjadi.

            Jangan bikin isu aneh-aneh. Mari kita saling bantu agar Rasullah saw semakin dekat dengan kita. Semoga Allah swt selalu bersama kita. Aamiin.

            Sampurasun.

Monday 23 December 2019

Sumbangan untuk Uighur

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Awalnya, saya tidak begitu “ngeh” atau perhatian dengan tulisan Dina Sulaeman yang mempertanyakan tentang sumbangan untuk etnis Uighur, Xinjiang, Cina. Hal tersebut disebabkan saya belum tahu ada lembaga-lembaga yang mengumpulkan uang dari masyarakat untuk disalurkan ke Uighur. Akan tetapi, hari ini saya mulai melihat beberapa iklan sumbangan tersebut. Keanehan mulai terlihat pada beberapa waktu lalu postingan para “pembela Uighur” sangat keras dan masif mengampanyekan berita dari “Wall Street Journal” sekaligus menyindir-nyindir NU, Muhammadiyah, dan MUI menerima “suapan” dari Cina, bahkan meledek Presiden Jokowi tidak pro terhadap umat Islam, khususnya Uighur, Cina. Kemudian, postingan mereka mulai melunak dengan narasi mengiba, minta dikasihani, serta merayu umat Islam untuk peduli dan membantu kaum muslim Uighur yang katanya sedang dibantai. Mereka bilang jumlahnya jutaan. Sekarang postingannya berubah menjadi iklan donasi untuk Uighur. Begitulah.

            Upaya mengumpulkan bantuan untuk mereka yang membutuhkan adalah sangat bagus dan itu berpahala sekaligus membangun jaringan silaturahmi. Akan tetapi, yang namanya uang itu sensitif, harus jelas.

            Saya sebagai anggota masyarakat, boleh dong bertanya tentang sumbangan itu. Tidak perlu marah, jawab saja dengan baik dan jelas. Kalau jawabannya jelas dan meyakinkan, banyak umat yang tertarik untuk ikut memberikan sumbangan. Kalau tidak jelas, ya … begitulah.

            Pertama. Berkali-kali saya katakan bahwa dunia ini terbagi dua kubu antara yang percaya ada pembantaian (22 negara) dengan yang tidak percaya, malah mendukung Cina (37 negara).

            Mengapa berpegang pada 22 negara Barat-Kapitalis itu? Mengapa tidak berpegang pada keyakinan 37 negara lainnya yang di dalamnya ada mayoritas muslim?

            Dasar keyakinannya apa?

            Kedua. Dalam iklan sumbangan itu disebutkan bahwa jutaan Uighur teraniaya. Kalau disebut jutaan, berarti lebih dari satu juta.

            Jumlah jutaan itu berdasarkan perhitungan siapa?

            Pernahkah lembaga pengumpul sumbangan itu datang ke Xinjiang, lalu menghitung sendiri dengan pasti jumlah itu? Kapan menghitungnya? Di mana? Bagaimana caranya?

            Ketiga. Kalau pengumpulan sumbangan itu berdasarkan keyakinan atas foto-foto dan video yang tersebar di Medsos, bukankah foto-foto itu sudah diklarifikasi oleh para “netizen” sendiri dan sebagian besar—jika tidak semuanya--adalah hoax dan penipuan?

            Bagaimana bisa mengumpulkan donasi berdasarkan ilustrasi-ilustrasi itu?

            Keempat. Sumbangan yang terkumpul itu nantinya diantarkan menggunakan kendaraan apa? Pesawat terbang? Kapal laut?

            Soalnya, saya mau bandingkan dengan donasi-donasi yang pernah diberikan ke Afghanistan, Palestina, dan Rohingya. Kalau ketiga negara ini jelas datanya, jelas jalurnya, dan pemerintah Indonesia pun membuka aksesnya.

            Kelima. Bentuk bantuannya apa? Uang atau barang?

            Kalau uang, berarti harus bawa banyak uang rupiah, lalu ditukarkan dengan uang yang berlaku di Xinjiang.

            Kalau barang, berarti harus beli dulu.

            Di mana belinya? Di Indonesia, lalu diangkut ke Uighur? Beli di Beijing, lalu diantarkan ke Uighur?

            Lewat mana bantuan itu disalurkan? Darat? Laut? Udara?

            Keenam, lewat wilayah mana masuk ke Cina untuk membawa bantuan itu? Beijing, Shanghai, Hongkong, lewat Turki, atau langsung ke Xinjiang?

            Ketujuh. Bagaimana cara masuk ke Xinjiang dengan membawa banyak barang atau uang?

            Dibagikan langsung?

            Rasanya mustahil deh. Hal itu disebabkan Duta Besar Cina yang ada di Indonesia sebagai perwakilan pemerintah Cina sudah mengatakan bahwa saat ini tidak ada kejadian apa-apa di Xinjiang.

            “Kami ini sebagaimana negara lainnya yang sedang mengatasi terorisme dan radikalisme dengan cara deradikalisasi,” begitu katanya kira-kira.

            Apalagi jika seperti yang digambarkan oleh para anti-Cina bahwa aparat keamanan Cina sangat represif terhadap Uighur, bahkan melakukan penyiksaan dan pembantaian di dalam kamp konsentrasi. Tentunya, sumbangan untuk Uighur tidak akan pernah bisa sampai ke tujuan. Di samping itu, pemberian bantuan itu bisa dianggap sebagai penghinaan pada pemerintah pusat Cina. Pemerintah Cina tidak akan pernah membiarkan siapa pun masuk dan menentang keyakinan serta kebijakannya di wilayah yang dikuasainya. Uighur, Xinjiang adalah di bawah kendali penuh Beijing.

            Sungguh, saya bodoh soal ini. Karena merasa diri tidak mengerti dan bodoh soal sumbangan ini, saya bertanya kepada siapa pun melalui tulisan ini.

            Seperti saya bilang, jangan marah. Jawab saja dengan baik. Kalau jawabannya baik, jelas, dan meyakinkan, banyak umat yang tergerak untuk memberikan sumbangan. Anggap saja tulisan saya ini iklan tambahan bagi lembaga pengumpul dana untuk Uighur agar lebih meyakinkan masyarakat. Kalau jawabannya tidak baik, tidak jelas, dan tidak meyakinkan, yaaa … begitulah.

            Sampurasun.

Sunday 22 December 2019

Tidak Perlu Profesor Tingkat Dunia untuk Meragukan Kasus Uighur


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Pada tulisan yang lalu saya menulis bahwa para peneliti atau ilmuwan sejati selalu skeptis (ragu) terhadap informasi atau ilmu baru yang mereka terima. Keraguan itu mendorong mereka untuk mencari tahu lebih jauh hingga pada titik “yakin benar” atau “yakin salah”, ujungnya menerima atau menolak informasi atau ilmu yang baru diketahuinya itu.

            Tidak perlu profesor tingkat dunia untuk meragukan kasus Uighur, orang biasa pun bisa. Coba perhatikan di Cina itu banyak orang Islam dari berbagai etnis, bukan hanya Uighur. Paling tidak, ada sepuluh etnis muslim, yaitu: Bao’an (Bonan), Tatar, Salar, Uzbeks, Kygiz, Dongxiang, Tajik, Uighur, Kazakh, dan Hui. Dari sepuluh etnis itu, hanya satu yang bermasalah, yaitu Uighur.

            Kalau ada yang bertanya, “Mengapa hanya Uighur?”, dia punya potensi untuk menjadi peneliti hebat. Dia ingin tahu karena tidak mengerti dan mencoba mencari tahu. Dari pertanyaan itu, muncul hipotesa (dugaan) bahwa kasus Uighur bukanlah soal Islam atau muslim keseluruhan, melainkan hanya etnis Uighur. Buktinya, etnis muslim yang lain baik-baik saja, hidup normal sebagaimana warga Cina pada umumnya.

            Dari  sana, bisa muncul pertanyaan lain, “Apakah seluruh anggota etnis Uighur bermasalah?”

            Etnis Uighur itu sekitar 10 s.d. 15 juta orang. Banyak sekali. Kalau ternyata hanya dua atau tiga juta orang, berarti yang bermasalah hanya sedikit dibandingkan seluruh muslim yang ada di Cina. Penelitian bisa lebih fokus ke mereka, tidak ke seluruh Uighur, hanya yang bermasalah.

            Mengapa etnis Muslim yang lain baik-baik saja dan Uighur bermasalah? Tidak bisakah hubungan antara pemerintah Cina dengan Uighur sama dengan hubungan antara pemerintah Cina dengan etnis-etnis muslim lain yang baik-baik saja, bahkan saling mendukung? Apa masalahnya?

            Pertanyaan-pertanyaan itu harus dijawab agar didapat kepastian. Dari kepastian, kita dapat lebih bijak bersikap dan menemukan cara yang lebih tepat sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah itu.

            Kalau hanya teriak-teriak nggak jelas faktanya, lalu tujuannya agar umat tidak lagi percaya kepada NU, Muhammadiyah, dan MUI, bahkan mendiskreditkan pemerintah dalam hal ini pribadi Jokowi, rendah sekali tujuan itu. Mereka hanya menunggangi dan memanfaatkan kasus Uighur untuk menunjukkan bahwa orang lain rendah dan dirinya lebih tinggi sehingga umat berpaling pada dirinya. Bukan kemuliaan Islam yang mereka cari, melainkan kejatuhan orang lain dan terpenuhi hawa nafsunya. Itu hanya keinginan rendah dari orang-orang rendah.

            Sampurasun.